PERNIKAHAN - Dilema"Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Suara Bram di seberang. "Maaf, kalau mengganggu. Ibu sudah pulang?""Ini baru keluar dari kamar perawatan. Kami mengucapkan terima kasih banyak, Mas Bram sudah membayar biaya rumah sakit.""Tidak apa-apa, Mbak. Saya sekarang sudah di Surabaya. Saya di depan gerbang masuk Perumahan Wijaya Kusuma Regency, di Surabaya Utara. Mungkin Mbak Indah bisa mengingat tentang alamat rumah Dita?""Saya nggak tahu. Cuman yang saya ingat, Dita memang tinggal di Surabaya Utara.""Mbak, tahu siapa nama ayahnya. Biar saya tanya pada satpam di blok mana rumahnya.""Saya nggak tahu sama sekali, Mas.""Oh, ya sudah. Makasih. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Indah mengantongi ponselnya. Kemudian menggandeng sang ibu, sedangkan Pak Lurah membawa tas pakaian."Nak Bram sudah bertemu Puspa, In?" tanya wanita itu dengan suara serak. Ada harapan besar di dalam tatapannya. Semarah apapun hatinya pada sang menantu, dia berharap semoga Puspa seg
"Sebenarnya Puspa sudah mewanti-wanti pada saya supaya nggak memberitahu siapapun. Mungkin dia butuh waktu untuk menyendiri, Mas.""Apa Puspa menceritakan permasalahannya pada, Mbak?"Dita mengangguk samar. Dia tidak bisa bersandiwara dihadapan lelaki ini. Terlihat jelas dia pria yang baik. Soal permasalahan dengan Puspa, karena memang tidak ada komunikasi yang terbangun. Bisa dianggap merupakan salah pengertian saja. "Saya tidak tahu apa yang menimpa Puspa. Andai saya tahu sebelumnya, mungkin saya tidak akan bersikap yang menyakitinya." Tatapan Bram menerawang. Dia berusaha tidak menceritakan pada Dita, tapi ternyata Puspa sudah memberitahu sahabatnya."Saya ingin bertemu dan membawa Puspa pulang," lanjutnya."Tapi saya nggak tahu di mana tempat kosnya, Mas? Puspa nggak mau ngasih tahu. Waktu dia datang ke rumah, saya terkejut karena Puspa terlihat pucat dan lebih kurus dari sebelumnya. Harusnya dia butuh istirahat. Jiwa dan raganya sedang sakit dan memerlukan support." Mata Dita be
Ternyata nomernya memang tidak sama dengan nomer yang diberikan teman Puspa hari itu."Tolong kabari saya ya, Mbak!" ujar Bram melihat Dita terdiam."Insyaallah, Mas. Oh ya, saya mau pulang ya. Mama pasti nungguin saya." Dita menyimpan kartu nama Bram ke dalam tas, lantas menyalami lelaki itu. "Maaf, boleh saya tahu rumahnya, Mbak Dita."Setelah termangu sejenak, Dita mengangguk. Ketika berjalan menuju motornya, ponsel di saku celana berdering. Saat dilihat, Dita terkesiap. Itu nomer barunya Puspa. Dita mengembalikan ponsel ke saku celananya. Semoga Bram yang berjalan di sebelahnya tidak curiga.Akhirnya Bram mengikuti Dita hingga sampai depan rumah. Setelah memarkir motornya di garasi, Dita kembali ke depan. "Ini rumah saya, Mas.""Iya. Makasih banyak, Mbak. Tolong kalau Puspa datang ke sini lagi atau menghubungi, Mbak Dita, kabari saya ya. Saya benar-benar menunggu."Dita mengangguk. Bram pergi dan dia masuk ke rumah.Ponsel kembali berpendar. Puspa menelepon lagi. Dita termangu d
PERNIKAHAN - Pertemuan "Puspa!" Panggilan itu membuat Puspa yang berjalan di trotoar berhenti. Di sebelahnya sebuah mobil menepi. Teman di sebelah Puspa juga ikutan berhenti."Ray." Puspa kaget saat seorang laki-laki turun dari kendaraannya. Wajahnya pias. Kenapa ia bertemu Rayyan. Salah satu orang yang ingin dihindarinya."Kenapa kamu di sini?" Rayyan keheranan sekaligus bahagia. Puspa juga kebingungan dan teman kos Puspa hanya diam tidak mengerti. Sebab wanita yang lebih tua dari Puspa itu memang tidak tahu permasalahan teman barunya.Jalan itu memang biasa dilalui oleh Rayyan sepulang kerja sebagai jalan alternatif untuk menghindari kemacetan.Padahal Puspa memakai jilbab, tapi Rayyan bisa mengenalinya."Puspa, kenapa kamu ada di sini?" ulang Rayyan yang berdiri di depan Puspa. Lelaki itu memperhatikan Puspa berjilbab. Wajahnya yang pucat tersapu bedak tipis."Oh, aku ada urusan di Surabaya," jawab Puspa gugup."Kamu sendirian apa sama suamimu?""Sendiri. Aku baru beberapa hari
"Kalau baru nikah terus ada masalah itu wajar, Dek. Masih tahap menyesuaikan diri dengan pasangan. Aku nggak tahu permasalahanmu apa? Cuman seberat apapun itu, mestinya diselesaikan berdua."Wanita di sebelahnya ini berkata benar. Tapi dia tidak tahu serumit apa masalahnya. Sesuatu yang tidak bisa Puspa ceritakan pada sembarang orang. "Jadi janda tuh nggak enak banget. Apalagi kalau sudah ada anak. Seperti aku ini contohnya. Apa-apa sendiri, terlebih suami sudah sibuk dengan perempuan barunya, jadi aku yang ngurus anak tanpa nafkah darinya. Lelaki kalau sudah punya yang baru, bakalan lupa sama tanggungjawabnya."Belum lagi menghadapi cibiran tetangga karena statusku yang janda. Makanya aku nekat pergi merantau. Di sini nggak ada yang mengenaliku. Aku bisa tenang dan bekerja. Yang penting anak ada yang menjaga. "Dalam rumah tangga kalau suami nggak KDRT atau selingkuh, sebaiknya dipertahankan saja, Dek. Permasalahan bisa dibicarakan untuk mencari penyelesaian. Tapi kalau sudah seling
Kalau tadi dia ikut temannya masuk ke dalam minimarket, mungkin tidak akan bertemu Bram. Sayangnya dia memilih menunggu di luar, sedangkan temannya masuk ke dalam untuk bicara dengan kepala toko."Nggak usah mencariku. Sudah kubilang kalau aku akan pulang suatu hari nanti.""Maafkan Mas, Puspa. Duduklah, Mas ingin bicara. Atau kita mencari tempat lain untuk ngobrol."Puspa menggeleng. "Apa yang sudah kutulis waktu itu, sudah menceritakan semuanya. Mas, pulang saja. Suatu hari nanti aku pasti pulang pada orang tuaku. Katakan pada mereka kalau aku baik-baik saja."Jangan temui aku lagi, rasanya aku sudah nggak punya muka dan harga diri untuk berdiri dihadapanmu. Aku juga sudah siap untuk menghadapi perceraian kita."Dada Bram bagai dihantam gada. Sakitnya Puspa tembus ke dadanya. Begitu dalamnya rasa sakit yang ia berikan pada istrinya. Sungguh Bram tidak bermaksud begitu. Dia emosi ketika Puspa tidak mau jujur dan bilang itu hanya masa lalu."Puspa, Mas mengkhawatirkanmu. Semua keluarg
PERNIKAHAN- Pulanglah, Nak.Mendengar kabar kalau ibunya sakit, membuat Puspa cemas sekaligus bimbang. Apalagi sampai mendapatkan perawatan di rumah sakit. Seingatnya baru kali ini ibunya opname. Pasti kondisinya lebih parah dari sakit biasanya.Sang ibu rajin minum jamu tradisional. Jamu herbal buatan sendiri untuk menunjang kesehatan. Makanya wanita itu jarang sekali sakit. Kalau pun sakit, sangat cepat sembuhnya.Bram mengambil ponsel dari saku jaket. Tidak menunggu lama, panggilannya dijawab oleh Indah. Sengaja ditekannya tombol loud speaker supaya Puspa mendengarnya."Mbak, Ibu ada? Saya ingin bicara dengan Ibu.""Ada, Mas. Sebentar."Tidak lama kemudian terdengar suara Bu Lurah. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam, Bu. Saya sudah bertemu Puspa."Terdengar ucapan hamdalah beberapa kali dengan suara serak. Air mata Puspa sudah tidak bisa ditahan lagi. Berderai tanpa kompromi. Biasa tiap menghadapi kesulitan apapun, pada ibunya dia bercerita sambil tiduran di pangkuannya. Namun u
"Ayahmu sudah pergi ke masjid. Kamu nggak usah khawatir, ayahmu nggak akan bertindak di luar batas. Kamu nggak usah takut. Ibu sudah bicara banyak dengan ayah. Pulang, Nduk. Kami menunggumu. Tiap malam ayahmu nggak bisa tidur memikirkanmu.""Maafkan aku, Bu. Hanya membuat ayah dan ibu susah saja.""Nggak, Nduk. Pulanglah bareng Nak Bram. Ibu khawatir kalau kamu pulang sendirian. Yang penting pulang dulu dan kita bisa membicarakan setelah kamu sampai di rumah. Malam ini kamu harus sudah di rumah. Ibu tunggu. Assalamu'alaikum." Tanpa memberi kesempatan Puspa menjawab lagi, wanita itu menyudahi panggilan.Azan Maghrib berkumandang. Si mbak menghampiri Puspa. "Dek, kita pulang salat maghrib dulu. Aku sudah bicara sama kepala toko dan memutuskan kalau kamu nggak jadi melamar kerja. Maaf, aku terpaksa mengambil keputusan tanpa tanya dulu ke kamu. Beliau minta jawaban segera, karena ada orang lain yang juga melamar pekerjaan di sini.""Iya, Mbak. Nggak apa-apa.""Kita pulang, ya," ajak si mb
PERNIKAHAN - Nikah, yuk!Dikri memperhatikan seorang perempuan yang memakai setelan kantoran warna abu-abu berdiri di seberang jalan. Segera disusulnya Maya untuk diseberangkan. Karena lalu lintas sangat ramai."Kamu istirahat sampai jam berapa?" tanya Dikri saat mereka berjalan beriringan masuk ke rumah makan."Jam satu lebih tiga puluh lima menit. Tapi aku harus salat zhuhur juga."Mereka duduk dan langsung memesan makanan. "Kamu biasa makan siang di sini?" tanya Dikri."Nggak. Biasanya aku bawa bekal atau makan di kantin. Kebetulan hari ini aku nggak bawa karena tadi aku dan mama bangun kesiangan. Siang ini pas banget dapat traktiran." Maya terkekeh. Dia terlihat ceria daripada saat bertemu Dikri beberapa waktu yang lalu. "Oh ya, tadi kamu bertemu klien di mana?""Di Kertosono.""Setelah ini nanti langsung kembali ke kantor?""Iya. Kamu pulang jam berapa?""Jam empat. Kalau banyak kerjaan, kadang jam tujuh malam baru nyampe rumah.""Makan dulu, May." Dikri mempersilakan saat pra
Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Maya memandangi suasana alun-alun yang selalu ramai di Minggu pagi.Meski mereka sudah berbincang-bincang, tapi Dikri tidak memberitahu bahwa ia pernah melihat mantan suami Maya bersama wanita lain di dalam mobil."Oh ya, kamu belum punya anak?""Pernikahanku sebenarnya dibilang baik-baik saja hanya dua bulan, Dik. Selebihnya kami pisah rumah hingga bercerai. Dia sudah membawa wanita lain ke rumah semenjak ketahuan selingkuh. Mungkin ini balasanku karena ninggalin kamu disaat sedang butuh dukungan.""Nggak, May. Jangan punya pikiran seperti itu. Anggap semuanya takdir." Dikri tidak ingin Maya punya pikiran demikian, karena dirinya juga bukan tunangan yang baik. "Nomer teleponmu masih sama?""Aku sudah ganti nomer semenjak menikah.""Boleh minta?""Iya."Keduanya menyimpan nomer masing-masing. Dilanjut berbincang hingga hari beranjak siang. "Sudah siang, aku mau pulang dulu, Dik. Kapan-kapan ketemuan lagi.""Kamu naik apa?"
Maya diam sejenak. Ada jeda yang panjang, Maya tidak tahu harus mulai dari mana. Wajah Maya tertunduk. Sejujurnya, sejak ia bercerai, ia kerap membayangkan jika takdir membawanya bertemu Dikri lagi. Namun itu sungguh tidak tahu diri. Dia yang tega memutuskan pertunangan mereka disaat Dikri sedang terpuruk."Dikri, aku …" Maya menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Banyak hal yang terjadi dalam hidupku setelah kita ....""Setelah kamu menikah?" potong Dikri seolah tidak ada beban. Dia sudah melupakan dan tidak pernah dendam pada Maya setelah ditinggalkan.Maya mengangguk, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya. "Iya. Pernikahan itu nggak seperti yang kubayangkan. Setelah beberapa bulan, suamiku mulai berubah. Dia kasar, dan ternyata dia juga selingkuh. Aku malu cerita seperti ini sama kamu. Aku merasa sangat bersalah telah meninggalkanmu di saat-saat sulit demi menuruti keinginan orang tuaku."Kami memutuskan hubungan pertunangan waktu itu juga
PERNIKAHAN- Teman Lama"Kamu pakai baju seperti itu?" seloroh Bu Ira saat melihat Dikri keluar kamar hanya memakai kaus dan celana pendek."Iya, Ma. Memangnya kenapa?"Bu Ira tampak termangu sejenak. Kalau sang anak memakai baju seperti itu, berarti dia tidak sedang janjian sama cewek. "Oh, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan. Kamu mau ketemuan sama temanmu di mana?""Di car free day, Ma.""Jam segini car free day sudah buyar, Dik." Bu Ira memandang jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan."Kami cuman mau ngopi sama ngobrol. Siapa tahu ada prospek bisnis yang bisa kujadikan sampingan.""Ya sudah.""Aku pergi dulu, Ma. Motornya kubawa. Assalamu'alaikum.""Iya, hati-hati. Wa'alaikumsalam," jawab Bu Ira seraya membereskan meja makan. Kecewa. Ternyata belum ada tanda-tanda Dikri dekat dengan perempuan.Motor Dikri melaju pelan di jalan desa pinggir sawah. Sinar matahari semakin terang, membuat embun di dedaunan perlahan-lahan menguap dan menghilang. Namun, kesejukan pagi masih
"Semoga kamu selalu sehat sampai lahiran. Mbak ikut bahagia, Pus." Netra Indah berkaca-kaca. "Aamiin." Puspa merangkul sang kakak. Sekali pun sudah ikhlas menerima kondisinya, tapi dalam hati Indah, pasti berharap bisa hamil lagi. Untung ada Denny yang sangat menghiburnya.Dalam kesempatan itu, mereka foto bersama-sama dengan seluruh keluarga. Bram menggendong A'im seraya memeluk pinggang sang istri. Di samping kiri dan kanan berdiri Vanya, Sony, orang tua mereka dan kerabat yang lain. Angin yang semilir dan bulan purnama di angkasa sana, seolah menjadi saksi kebagian Bram dan keluarganya.***L***"Siapa yang ngasih lapis Surabaya ini, Ma?" tanya Dikri yang baru keluar dari kamarnya. Mencomot satu potong kue dan memakannya. Biasa kalau libur kerja, habis salat subuh kembali tidur dan bangun sekitar jam delapan pagi."Jiya yang ngasih. Semalam baru datang. Tadi Rayyan juga mencarimu ke sini. Mama bilang kalau kamu belum bangun.""Dia masih di sini?" Bram melihat ke luar lewat pintu.
Rayyan mengangguk. "Jiya juga asli sini, Mas. Cuman kerjanya di Kediri. Kantornya bersebelahan dengan kantor saya." Rayyan mengulas sedikit kedekatan mereka, juga menyebutkan tempat tinggal Najiya. Bram yang asli kota angin, tahu desa tempat tinggal gadis itu.Pesanan mereka datang dan langsung makan sambil berbincang. Puspa lega, Rayyan sudah menemukan tambatan hatinya. Tidak terbelenggu lagi oleh kisah mereka yang tidak pernah kesampaian.Puspa menghindari bertemu pandang dengan lelaki itu. Karena binarnya masih terlihat ada cinta untuknya. Bram bisa membawa keadaan menjadi sangat nyaman dan hangat. Dia bertanya, juga menceritakan tentang kondisi perekonomian sekarang ini. Berbagi pendapat dengan Rayyan. Bram yang disangkanya kaku oleh Rayyan, bisa seramah itu dan cukup enak diajak berbincang.Tentu saja. Sebab Bram seorang wirausaha yang sering berhadapan dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Tentang cemburu, bukan tidak ada lagi rasa itu. Namun dia tahu bagaimana cara menge
PERNIKAHAN- Masih Normal "Kenapa Mbak Santi itu nggak pernah bersikap ramah sedikit saja sama aku ya, Mas?" Puspa penasaran. Saat itu mereka sudah di perjalanan."Kamu kepikiran tentang hal itu?" "Nggak, sih. Heran saja.""Nggak usah heran. Memang ada orang yang seperti itu. Sudah tabiatnya. Jika nasehat manusia tidak bisa menyadarkannya, biar Allah saja yang menegur dengan cara-Nya."Puspa merinding mendengar ucapan suaminya. Pak Maksum, istrinya, dan Dikri saja bisa menyadari kesalahannya dan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik. Kenapa Santi yang tidak separah mereka, tidak juga mau berubah.Mungkin dia menganggap sikapnya itu hal yang wajar. Jadi tidak pernah merasa keliru. Kalau terlalu fatal seperti keluarga Pak Maksum, sangat kentara dan akhirnya membuat mereka bisa instrospeksi diri.Bram pun sudah tidak mempermasalahkan keluarga mertuanya hendak seperti apa. Bukan urusannya lagi, selagi mereka tidak menghasut Vanya dan Sony. Anak-anak pun sekarang sudah mengerti, mana
"Nggak apa-apa, Pa. Aku sudah bisa menerima semuanya. Setahun ini, aku merasa hidupku jauh lebih tenang. Aku sekarang lebih fokus ke Dikri, memastikan dia segera menikah. Usianya sudah tiga puluh satu tahun.""Papa juga mengingatkan Dikri untuk segera berumahtangga."Kembali keheningan menerpa. Dikri yang diam-diam menajamkan pendengaran dari balik pintu kamar, cukup geram. Kedua orang tuanya masih juga berbelit-belit seperti anak muda."Kalau Papa ingin menikah lagi, monggo. Di usia tua, perlu juga pendamping hidup supaya ada teman. Tapi selesaikan dulu urusan di antara kita." Bu Ira bicara dengan pembawaan yang kalem. Tidak ada amarah dan emosi seperti dulu.Pak Maksum menghela nafas panjang. "Apa papa sudah nggak diberikan kesempatan lagi untuk kembali bersama kalian, Ma? Papa tahu terlalu sering menyakiti. Namun papa sudah menyadari kesalahan itu."Papa ingin menghabiskan masa tua dengan keluarga kita. Biar Dikri tenang dan bisa memikirkan untuk masa depannya."Bu Ira memandang l
Ponsel Bram di atas meja kecil berdering. Puspa melihat siapa yang menelepon. "Mas, ada telepon dari Bu Harso.""Angkat saja.""Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bukan suara Bu Harso, tapi suaranya Santi."Ada apa, Mbak?""Aku mau bicara sama Mas Bram.""Mas Bram lagi sibuk, Mbak. Ada pesan apa nanti saya sampaikan.""Sebentar saja. Bisa nggak?" Wanita di seberang memaksa."Nggak bisa diganggu Mas Bram-nya, Mbak. Jangan khawatir, nanti pasti saya sampaikan." Puspa jadi geram. Memangnya mau bicara apa. Bram pun sudah memberitahu Santi atau Bu Harso, kalau ada urusan yang mungkin perlu disampaikan ke Vanya dan Sony, bisa bicara langsung pada Puspa. Tapi wanita itu sepertinya tidak percaya padanya."Besok malam, ada acara arisan keluarga di rumah mama. Vanya dan Sony disuruh datang atau biar aku yang jemput mereka.""Oke. Nanti aku kasih tahu ke Mas Bram."Panggilan langsung ditutup begitu saja tanpa mengucapkan salam. Bram mendekat sambil mengendong A'im. "Ada apa?""Mbak Sant