"Ayahmu sudah pergi ke masjid. Kamu nggak usah khawatir, ayahmu nggak akan bertindak di luar batas. Kamu nggak usah takut. Ibu sudah bicara banyak dengan ayah. Pulang, Nduk. Kami menunggumu. Tiap malam ayahmu nggak bisa tidur memikirkanmu.""Maafkan aku, Bu. Hanya membuat ayah dan ibu susah saja.""Nggak, Nduk. Pulanglah bareng Nak Bram. Ibu khawatir kalau kamu pulang sendirian. Yang penting pulang dulu dan kita bisa membicarakan setelah kamu sampai di rumah. Malam ini kamu harus sudah di rumah. Ibu tunggu. Assalamu'alaikum." Tanpa memberi kesempatan Puspa menjawab lagi, wanita itu menyudahi panggilan.Azan Maghrib berkumandang. Si mbak menghampiri Puspa. "Dek, kita pulang salat maghrib dulu. Aku sudah bicara sama kepala toko dan memutuskan kalau kamu nggak jadi melamar kerja. Maaf, aku terpaksa mengambil keputusan tanpa tanya dulu ke kamu. Beliau minta jawaban segera, karena ada orang lain yang juga melamar pekerjaan di sini.""Iya, Mbak. Nggak apa-apa.""Kita pulang, ya," ajak si mb
"Pulang? Sama siapa?" Ah, Dita hanya berpura-pura."Sama Mas Bram. Kami berhenti di rest area ini. Dia lagi beli makan.""Lah, dia bisa menemukanmu?" Dita sok terkejut."Dit, beneran kamu nggak tahu tentang hal ini? Maksudku Mas Bram yang menghubungimu dan kamu memberitahu keberadaanku.""Memangnya selain kamu, siapa yang tahu nomer ponselku?""Mbak Indah yang tahu, tapi sudah lama nomermu hilang sejak dia ganti ponsel.""Jadi nggak mungkin suamimu meneleponku, kan? Lagian kamu ngasih tahu alamat kosanmu padaku juga baru siang tadi."Puspa diam. Memperhatikan rest area yang ramai orang berisitirahat."Kamu memang perlu bicara dengan suami dan keluargamu, Pus. Mereka pasti merasa kehilangan dengan kepergianmu dari rumah. Oh ya, sore tadi kamu ketemu Rayyan, ya. Dia menelponku nanyain kamu. Aku bilang saja nggak tahu apa-apa.""Iya, sebaiknya kamu memang bilang begitu saja, Dit. Tolong simpan apa yang kuceritakan untuk dirimu sendiri.""Kamu jangan khawatir tentang hal itu. Sebaiknya ka
PERNIKAHAN- Menunggu Depan ruang IGD diliputi ketegangan dan kekhawatiran bagi Bram, Pak Lurah, dan istrinya.Orang tua Puspa duduk di bangku logam, sementara Bram mondar-mandir di depan pintu kaca dan berulang kali memandang ke dalam. Sudah lima menit Puspa masuk ruangan itu.Ponsel Bram bergetar di saku celana, pria itu menjauh untuk menjawab telepon dari sang mama supaya tidak menganggu ketenangan di sana."Halo, Ma. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Kamu sekarang di mana?""Saya sudah pulang, Ma. Maaf belum sempat ngabari.""Jangan bohong, Bram. Mama ada di rumahmu ini.""Maksudnya saya sudah di Nganjuk, tapi belum pulang ke rumah. Saya sekarang di rumah sakit. Saya baru sampai dari Surabaya dan Puspa tiba-tiba pingsan setelah turun dari mobil.""Jadi kamu pulang bersama Puspa?""Iya, Ma.""Alhamdulillah. Kalau kamu sudah bertemu dengan istrimu. Tapi kenapa dia pingsan?""Puspa memang kelihatan lemah saat saya bertemu di Surabaya sore tadi. Puspa kurus sekarang, Ma. Dia masih
Pak Lurah yang menunggu di luar IGD, langsung mengikuti mereka menuju kamar yang dipesan Bram. Paviliun VVIP. Bram juga sempat berbincang dengan dokter jaga yang memeriksa Puspa tadi. Sebab dia ingin ada psikiater yang akan menangani Puspa.Menceritakan sekilas tentang tekanan mental yang dialami istrinya tanpa membuka aibnya. Bram hanya bilang, Puspa sangat kehilangan pasca keguguran. Soal cerita selengkapnya, biar nanti psikiater saja yang tahu.Puspa sudah pindah dari brankar ke hospital bed. Perawat mengatur suhu ruangan, membenahi selang infus, baru kemudian keluar. Bram pamit untuk ke minimarket. Membeli minum dan mengambil snack di mobilnya. Tidak lama dia sudah kembali ke paviliun."Nak Bram, pasti capek. Istirahat saja. Biar kami yang menjaga Puspa," kata Pak Lurah. Apapun yang terjadi, Pak Lurah tetap menghargai keberadaan Bram. Meski Puspa tanggungjawab suaminya, Pak Lurah tetap berterima kasih karena Bram bisa menemukan Puspa dan membawanya pulang."Ayah dan Ibu saja yang
"Mama khawatir, Vanya dipengaruhi oleh mereka untuk membenci Puspa. Santi tahu kalau Puspa nggak ada di rumah hampir dua minggu. Mungkin dia nanya ke Vanya. Mama khawatir mereka menyebarkan gosip yang bukan-bukan.""Mama, tidak perlu memikirkan itu. Biar saya yang menanganinya nanti. Mama, harus jaga kesehatan. Pokoknya jangan sampai sakit, Ma.""Iya.""Kalau gitu, saya mau ngecek ke gudang. Setelah itu tiduran sebentar. Jam sembilan nanti kita ke rumah sakit, Ma.""Iya. Mama mau pulang ke rumah dulu. Biar Siti bikinin puding waluh buat Puspa." Bu Dewi beranjak pergi. Jam besuk rumah sakit dibuka jam sepuluh pagi. Masih banyak waktu untuk membuatkan Puspa makanan.***L***Surabaya ....Dita kaget saat menerima pesan dari Bram pagi itu yang mengabari kalau Puspa masuk rumah sakit. [Pokoknya kabari saya bagaimana perkembangan kondisi Puspa, Mas. Saya nggak mungkin chat untuk menanyakannya. Saya khawatir dia akan tahu kalau Mas Bram menemui saya di Surabaya.][Setelah tahu apa yang meni
PERNIKAHAN - Gadis Kecil Itu"Bagaimana keadaan Mbak Puspa, Bos?" tanya Dahlan."Sudah mendingan setelah mendapatkan penanganan dokter. Mungkin dalam beberapa hari ini saya kurang bisa fokus di gudang. Kamu handle semuanya, kalau ada masalah telepon saya.""Siap. Alhamdulillah dalam minggu ini ter-cover semuanya, Bos. Hari ini nanti kalau sesuai jadwal, banyak barang masuk.""Oke.""Mengenai Mbak Puspa yang pergi dari rumah, sebenarnya karyawan kita nggak banyak yang tahu. Mereka malah mengira, Mbak Puspa pergi sama Bos ke luar kota. Hanya orang-orang yang saya suruh mencari saja yang tahu, tapi saya jamin mereka semua bisa dipercaya. Nggak mungkin bocor ke orang luar. Saya bisa mastikan kalau warga tahu bukan dari orang-orang kita, Bos.""Tidak apa-apa. Abaikan saja. Mengenai pergunjingan mereka itu, tidak penting bagi saya.""Hanya beberapa orang saja, Bos. Sedangkan yang lain setengah nggak percaya Mbak Puspa pergi."Bram tidak menanggapi. Dia melangkah ke luar gudang. Berdiri men
Tak sengaja sejak dari Puspa lahir, mereka sudah dipertemukan. Bahkan saat ia dan Sandra menikah, Puspa diajak kedua orang tuanya untuk menghadiri pernikahannya. Gadis kecil itu sangat cantik memakai rok tutu dan digandeng Bu Rukayah. Rambutnya yang hitam tebal di kucir dua.Entahlah, Bram masih ingat semuanya. Ternyata hal yang dianggap biasa di masa lalu, terasa sangat manis sekarang. Namun kemanisan itu diselipi oleh ujian. Kalaulah dia tahu sejak awal tentang keadaan Puspa, tidak mungkin ia sampai murka. Dia yang selalu menjaga kejujuran dalam hal apapun, merasa dikelabuhi dengan jawaban sang istri "hanya masa lalu."Namun sekarang Bram menyadari dan menyesalinya. Semoga saja usahanya untuk memulihkan Puspa, bisa membuat hubungan mereka kembali menghangat."Mas Bram, sudah ditunggu Ibu di rumah." Seorang karyawan perempuan tergopoh untuk memberitahunya."Iya. Terima kasih." Bram kembali menemui Dahlan, kemudian melangkah lebar kembali ke rumah."Kita berangkat sekarang saja, Bram
Bu Dewi memberikan barang bawaannya pada Bu Lurah. Setelah menyalami besannya, wanita memeluk sang menantu. Air matanya tidak bisa ditahan. Puspa pun berkaca-kaca. "Maafkan saya, Ma," ucap Puspa lirih."Nggak, Nduk. Kamu nggak salah." Bu Dewi menyeka air matanya. "Mama bawain kamu puding waluh sama ayam bakar. Siti yang masak tadi. Nyuruh orang di gudang untuk nyembelih ayam.""Makasih, Ma."Bu Rukayah mempersilakan besannya untuk duduk. Bram duduk di kursi sebelah tempat tidurnya Puspa setelah meletakkan tas berisi baju ganti untuk istrinya yang tadi baru dibelinya.Disaat mereka tengah berbincang, seorang perawat masuk mendorong kursi roda hendak mengajak Puspa ke ruang USG untuk pemeriksaan. Dokter sudah menunggunya.Dengan cekatan, Bu Lurah memakaikan jilbab. Bram berdiri untuk membantunya pindah ke kursi roda, tapi dengan halus Puspa menolak. Justru Puspa berpegangan pada ayahnya.Perawat yang mendorong Puspa keluar paviliun, sedangkan Bu Lurah dan Bram mengikuti di belakang. Pak
"Bagaimana, May?" teriak Dikri. Tidak sabar menyambut Maya yang keluar dari kamar mandi malam itu."Bentar!"Dikri mondar-mandir menunggu. Dia berharap ada kabar bahagia malam ini. Sudah membayangkan memiliki anak perempuan yang cantik. Biar terobati rindunya pada Denik.Maya keluar dari kamar mandi."Bagaimana?" "Aku hamil," ucap Maya dengan suara bergetar dan netra berkaca-kaca. Menunjukkan testpack dengan garis dua di tangannya.Mata Dikri membelalak dan langsung memeluk Maya dengan erat, hampir tak percaya dengan kabar bahagia itu meski harapannya begitu besar. "Alhamdulillah."Akhirnya setelah dua bulan menikah, Maya baru hamil. Biar menepis dugaan sebagian orang kalau mereka menikah diam-diam karena Maya hamil duluan.Tidak adanya resepsi dan nikah dadakan membuat beberapa orang berprasangka buruk. Apalagi Maya seorang janda."Besok kita cek ke dokter, Mas. Baru ngasih tahu orang tua kita.""Iya." Dikri masih speechless. Tak henti ia mengucap syukur. Masih diberikan kesempatan
"Sampai sekarang Rayyan belum tahu kalau akulah yang menghancurkan harapannya. Semoga sampai kapanpun dia nggak akan pernah tahu, Ma.""Baiklah kalau gitu. Kita nggak usah ngadain resepsi saja." Bu Ira mengelus punggung putranya sambil tersenyum. Dalam hati berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja. Dikri dan Maya bahagia.***L***Dua bulan sudah Dikri dan Maya menjadi pasangan suami istri. Mereka tinggal di rumah orang tua Maya karena Bu Anang di Surabaya menunggui Mika yang hendak bersalin. Tiap akhir pekan mereka menginap di rumah orang tua Dikri atau berkunjung ke Surabaya.Maya membuka jendela dapur saat matahari pagi sudah menerobos masuk. Tiap selesai salat subuh, ia akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Selalu memastikan pagi mereka dimulai dengan sarapan bersama sebelum berangkat kerja. Meski sama-sama sibuk. Salah satu kebiasaan mereka adalah mengatur makan siang bersama setidaknya dua kali seminggu. Kalau Dikri ada acara di luar kantor, ia akan menjemput Maya untu
PERNIKAHAN - Bidadari Kecil "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Di depan pintu ada Rayyan bersama Najiya yang tengah hamil besar."Hai, Ray. Ayo, masuk!" Dikri bangkit dan menyambut tamunya. Mereka jarang sekali bertemu dan berkomunikasi lewat telepon. Rayyan pasti lebih sibuk setelah menikah.Maya memperhatikan pasangan itu. Dia belum pernah melihatnya. Karena hampir kenal semua teman-teman Dikri."Nikah nggak ngabarin sih, Mas," protes Rayyan sambil bersalaman. Kemudian ia dan Najiya menyalami Maya, Pak Maksum, dan Bu Ira. Dikri mengenalkan Maya pada Rayyan dan Najiya."Mari silakan duduk," ujar Bu Ira."Maaf, rencananya kan mau tunangan dulu. Tapi kami langsung nikah siri atas saran keluarga. Baru nanti mendaftarkan pernikahan ke KUA. Kapan kalian datang?""Tadi pagi. Dan kami dikasih tahu sama Budhe. Alhamdulilah, saat berulang kali kutanyai Mas Dikri bilang nggak punya pacar. Eh tiba-tiba saja nikah. Rupanya main rahasia selama ini."Dikri tertawa. "Tanyakan ke Budhe, giman
"Apa dulu itu, kamu menyukai gadis lain, Dik? Makanya dengan berbagai alasan kamu menunda pernikahan kita?" Namun pertanyaan itu hanya terucap dalam dada. Dia tidak akan menanyakannya dan tidak usah tahu. Yang penting mereka sekarang berkomitmen untuk melangkah beriringan membina masa depan. Lupakan masa lalu. Sepahit apapun itu. Dirinya sudah menerima Dikri dan menerima seluruh kisahnya."Kita akan saling mencintai sampai kapanpun, May." Dikri mengecup puncak kepala istrinya. Ia menyadari betapa beruntungnya memiliki Maya. Dikri berjanji dalam hati untuk selalu menjaga Maya, melindunginya, dan menjadi suami yang setia.Maya mengeratkan pelukan. Keduanya terhanyut dalam perasaan dan tuntutan kebutuhan ragawi. Ternyata Maya sudah mengenakan gaun istimewa untuk suaminya. Membuat mereka tidak sabar untuk segera tenggelam menikmati malam pernikahan.Sarangan menjadi saksi keduanya untuk menyempurnakan hubungan. Maya tidak pernah tahu, bahwa dia bukan yang pertama bagi Dikri. "Dik, kita
"Setelah ini kamu dan Dikri harus mulai membahas mau tinggal di mana, May. Sebab Dikri pun sekarang menjadi anak tunggal. Jangan sampai hal begini akan jadi masalah. Kalau Mas, maunya kamu nemenin Mama," kata Bayu."Mas Bayu, nggak usah khawatir deh. Mama akan ikut aku ke Surabaya. Nungguin aku lahiran. Jangan khawatir, ada ART di rumah jadi Mama hanya duduk mengawasi saja saat kami tinggal kerja. Iya kan, Ma?" Si bungsu merangkul bahu mamanya.Sejak menikah, Mika memang mau mengajak mamanya tinggal bersama. Tapi Bu Anang menolak dengan alasan, kasihan Maya sendirian."Sekarang Mbak Maya kan sudah menikah, Ma. Ada suami yang jagain. Jadi Mama nggak perlu khawatir lagi."Bu Anang memandang Maya. Anak yang paling dekat dengannya. Dibanding dengan kedua saudaranya. Maya yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung. Itu pun karena ada andil orang tua yang memaksakan kehendak."Nggak apa-apa Mama ikut ke Surabaya. Kalau pengen pulang ke Nganjuk kan bisa kami jemput. Pengen ke Surabaya bisa
PERNIKAHAN- Semalam di Telaga Sarangan "Mbak, dulu dia mengulur-ulur waktu nikahin aku. Sekarang dia maunya buru-buru. Kami nikah secepat kilat kayak habis di gropyok hansip saja.""Sssttt, jangan ngomong begitu. Memang takdir jodoh kalian baru sekarang," jawab sang kakak ipar seraya mengaplikasikan bedak di wajah Maya. "Apapun yang pernah terjadi, Mbak salut kalian bisa kembali bersama. Ini jodoh yang sempat belok arah namanya." Nafa, istrinya Bayu terkekeh. "Mbak aja kaget waktu dikabari mama.""Aku sendiri rasanya nggak percaya. Padahal aku sudah mengubur dalam-dalam harapan itu.""Kalian ini jodoh yang tertunda. Mbak doain kalian bahagia. Jangan tunda, segeralah punya momongan. Usiamu sudah tiga puluh tiga tahun, kan?"Maya mengangguk. Make up sudah selesai. Maya membuka lemarinya dan mengambil kebaya warna putih tulang. Itu baju yang ia pakai di hari pernikahan adik perempuannya. Mika. Baru setahun yang lalu, pasti masih muat. Modelnya simple, masih mewah kebaya pengantin saat
"Sudah kubilang kalau itu bukan masalah bagiku. Kamu nggak harus berkata panjang lebar, May. Cukup bilang, ya atau tidak. Aku sudah mengerti." Dikri memandang Maya. Sedangkan Maya memandang gerimis di hadapannya. Pemandangan sore ini begitu indah. Wanita itu menoleh pada lelaki di sebelahnya. "Ya," ucapnya pasti.Senyum Dikri merekah,terlihat sangat lega. Kali ini sesuai seperti apa yang ia harapkan. "Aku akan membicarakannya dengan papa dan mama. Sudah pasti dalam waktu dekat ini, aku akan datang untuk melamarmu.""Aku ingin acara yang sederhana saja.""Aku setuju. Bagaimana kalau hari Minggu ini kami ke rumahmu.""Minggu ini?" Maya kaget. Dia pikir tidak akan secepat ini meski pun sudah mengiyakan."Iya.""Dik, aku belum ngabarin Mas Bayu. Belum tentu kalau dadakan gini dia bisa pulang. Dia yang sekarang menjadi waliku setelah papa tiada.""Ya, aku ngerti. Kalau gitu, kutunggu kabar darimu. Tapi nanti aku ingin ketemu mamamu sebentar saja.""Oke." Keduanya saling pandang. Kemudian
"Kita bisa berjuang bersama-sama, May. Jangan lagi menyesali masa lalu. Kita buka lembaran baru.""Dik, kasih aku waktu untuk bicara dengan mamaku.""Apa aku perlu bicara langsung dengan beliau sekarang.""Jangan. Biar aku saja. Besok sepulang kerja kita bisa ketemuan. Aku sudah merasa lebih baik, jadi besok bisa masuk kerja."Dikri mengangguk. "Baiklah. Kalau gitu, aku pamit pulang. Aku mau pamitan sama mamamu." Dikri memandang pintu tengah yang menghubungkan dengan ruang belakang."Bentar." Maya bangkit dari duduknya dan mencari mamanya di belakang.Bu Anang muncul seraya tersenyum. "Mau balik, Nak Dikri?""Ya, Bu. Terima kasih untuk makan malamnya. Saya ke sini malah ngerepotin.""Nggak ngerepotin. Hati-hati ya! Salam buat Pak Maksum dan Bu Ira.""Iya, Bu." Dikri mencium tangan Bu Anang, kemudian melangkah keluar di antar oleh Maya hingga ke teras. "Besok pagi kujemput. Kuantar ke tempat kerjamu. Biar sorenya kita bisa ketemuan.""Nggak usah. Aku bisa berangkat bareng temanku.""Ok
PERNIKAHAN - Mendadak NikahMaya spontan membeku dan bertambah pucat. Apa dia tidak salah dengar. Namun lelaki di hadapannya ini tampak sangat serius. Maya menghela nafas panjang untuk menghilangkan debaran dalam dada."Dik, kemarin dokter bilang aku hanya kecapekan, sekarang kamu ingin membuatku jantungan? Jangan bercanda, deh!""Aku nggak bercanda, May. Sumpah!"Suhu tubuh Maya yang mulai normal, kini rasanya kembali panas dingin. Sama sekali dia tidak kepikiran lagi bisa kembali bersama Dikri, meski hubungan mereka membaik belakangan ini."Aku serius, May."Maya serasa menggigil. Dia memang mencintai Dikri, tapi sejak putusnya pertunangan mereka dan Maya menikah dengan laki-laki lain, ia berusaha melupakan perasaan itu. Mengubur harapannya. Ada hal-hal yang tidak dipahami oleh Maya tentang Dikri. Di mana lelaki itu tidak begitu peduli dengan hubungan mereka disaat masih terikat pertunangan. Maya pun sebenarnya merasakan hal itu, meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mengun