Kalau tadi dia ikut temannya masuk ke dalam minimarket, mungkin tidak akan bertemu Bram. Sayangnya dia memilih menunggu di luar, sedangkan temannya masuk ke dalam untuk bicara dengan kepala toko."Nggak usah mencariku. Sudah kubilang kalau aku akan pulang suatu hari nanti.""Maafkan Mas, Puspa. Duduklah, Mas ingin bicara. Atau kita mencari tempat lain untuk ngobrol."Puspa menggeleng. "Apa yang sudah kutulis waktu itu, sudah menceritakan semuanya. Mas, pulang saja. Suatu hari nanti aku pasti pulang pada orang tuaku. Katakan pada mereka kalau aku baik-baik saja."Jangan temui aku lagi, rasanya aku sudah nggak punya muka dan harga diri untuk berdiri dihadapanmu. Aku juga sudah siap untuk menghadapi perceraian kita."Dada Bram bagai dihantam gada. Sakitnya Puspa tembus ke dadanya. Begitu dalamnya rasa sakit yang ia berikan pada istrinya. Sungguh Bram tidak bermaksud begitu. Dia emosi ketika Puspa tidak mau jujur dan bilang itu hanya masa lalu."Puspa, Mas mengkhawatirkanmu. Semua keluarg
PERNIKAHAN- Pulanglah, Nak.Mendengar kabar kalau ibunya sakit, membuat Puspa cemas sekaligus bimbang. Apalagi sampai mendapatkan perawatan di rumah sakit. Seingatnya baru kali ini ibunya opname. Pasti kondisinya lebih parah dari sakit biasanya.Sang ibu rajin minum jamu tradisional. Jamu herbal buatan sendiri untuk menunjang kesehatan. Makanya wanita itu jarang sekali sakit. Kalau pun sakit, sangat cepat sembuhnya.Bram mengambil ponsel dari saku jaket. Tidak menunggu lama, panggilannya dijawab oleh Indah. Sengaja ditekannya tombol loud speaker supaya Puspa mendengarnya."Mbak, Ibu ada? Saya ingin bicara dengan Ibu.""Ada, Mas. Sebentar."Tidak lama kemudian terdengar suara Bu Lurah. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam, Bu. Saya sudah bertemu Puspa."Terdengar ucapan hamdalah beberapa kali dengan suara serak. Air mata Puspa sudah tidak bisa ditahan lagi. Berderai tanpa kompromi. Biasa tiap menghadapi kesulitan apapun, pada ibunya dia bercerita sambil tiduran di pangkuannya. Namun u
"Ayahmu sudah pergi ke masjid. Kamu nggak usah khawatir, ayahmu nggak akan bertindak di luar batas. Kamu nggak usah takut. Ibu sudah bicara banyak dengan ayah. Pulang, Nduk. Kami menunggumu. Tiap malam ayahmu nggak bisa tidur memikirkanmu.""Maafkan aku, Bu. Hanya membuat ayah dan ibu susah saja.""Nggak, Nduk. Pulanglah bareng Nak Bram. Ibu khawatir kalau kamu pulang sendirian. Yang penting pulang dulu dan kita bisa membicarakan setelah kamu sampai di rumah. Malam ini kamu harus sudah di rumah. Ibu tunggu. Assalamu'alaikum." Tanpa memberi kesempatan Puspa menjawab lagi, wanita itu menyudahi panggilan.Azan Maghrib berkumandang. Si mbak menghampiri Puspa. "Dek, kita pulang salat maghrib dulu. Aku sudah bicara sama kepala toko dan memutuskan kalau kamu nggak jadi melamar kerja. Maaf, aku terpaksa mengambil keputusan tanpa tanya dulu ke kamu. Beliau minta jawaban segera, karena ada orang lain yang juga melamar pekerjaan di sini.""Iya, Mbak. Nggak apa-apa.""Kita pulang, ya," ajak si mb
"Pulang? Sama siapa?" Ah, Dita hanya berpura-pura."Sama Mas Bram. Kami berhenti di rest area ini. Dia lagi beli makan.""Lah, dia bisa menemukanmu?" Dita sok terkejut."Dit, beneran kamu nggak tahu tentang hal ini? Maksudku Mas Bram yang menghubungimu dan kamu memberitahu keberadaanku.""Memangnya selain kamu, siapa yang tahu nomer ponselku?""Mbak Indah yang tahu, tapi sudah lama nomermu hilang sejak dia ganti ponsel.""Jadi nggak mungkin suamimu meneleponku, kan? Lagian kamu ngasih tahu alamat kosanmu padaku juga baru siang tadi."Puspa diam. Memperhatikan rest area yang ramai orang berisitirahat."Kamu memang perlu bicara dengan suami dan keluargamu, Pus. Mereka pasti merasa kehilangan dengan kepergianmu dari rumah. Oh ya, sore tadi kamu ketemu Rayyan, ya. Dia menelponku nanyain kamu. Aku bilang saja nggak tahu apa-apa.""Iya, sebaiknya kamu memang bilang begitu saja, Dit. Tolong simpan apa yang kuceritakan untuk dirimu sendiri.""Kamu jangan khawatir tentang hal itu. Sebaiknya ka
PERNIKAHAN- Menunggu Depan ruang IGD diliputi ketegangan dan kekhawatiran bagi Bram, Pak Lurah, dan istrinya.Orang tua Puspa duduk di bangku logam, sementara Bram mondar-mandir di depan pintu kaca dan berulang kali memandang ke dalam. Sudah lima menit Puspa masuk ruangan itu.Ponsel Bram bergetar di saku celana, pria itu menjauh untuk menjawab telepon dari sang mama supaya tidak menganggu ketenangan di sana."Halo, Ma. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Kamu sekarang di mana?""Saya sudah pulang, Ma. Maaf belum sempat ngabari.""Jangan bohong, Bram. Mama ada di rumahmu ini.""Maksudnya saya sudah di Nganjuk, tapi belum pulang ke rumah. Saya sekarang di rumah sakit. Saya baru sampai dari Surabaya dan Puspa tiba-tiba pingsan setelah turun dari mobil.""Jadi kamu pulang bersama Puspa?""Iya, Ma.""Alhamdulillah. Kalau kamu sudah bertemu dengan istrimu. Tapi kenapa dia pingsan?""Puspa memang kelihatan lemah saat saya bertemu di Surabaya sore tadi. Puspa kurus sekarang, Ma. Dia masih
Pak Lurah yang menunggu di luar IGD, langsung mengikuti mereka menuju kamar yang dipesan Bram. Paviliun VVIP. Bram juga sempat berbincang dengan dokter jaga yang memeriksa Puspa tadi. Sebab dia ingin ada psikiater yang akan menangani Puspa.Menceritakan sekilas tentang tekanan mental yang dialami istrinya tanpa membuka aibnya. Bram hanya bilang, Puspa sangat kehilangan pasca keguguran. Soal cerita selengkapnya, biar nanti psikiater saja yang tahu.Puspa sudah pindah dari brankar ke hospital bed. Perawat mengatur suhu ruangan, membenahi selang infus, baru kemudian keluar. Bram pamit untuk ke minimarket. Membeli minum dan mengambil snack di mobilnya. Tidak lama dia sudah kembali ke paviliun."Nak Bram, pasti capek. Istirahat saja. Biar kami yang menjaga Puspa," kata Pak Lurah. Apapun yang terjadi, Pak Lurah tetap menghargai keberadaan Bram. Meski Puspa tanggungjawab suaminya, Pak Lurah tetap berterima kasih karena Bram bisa menemukan Puspa dan membawanya pulang."Ayah dan Ibu saja yang
"Mama khawatir, Vanya dipengaruhi oleh mereka untuk membenci Puspa. Santi tahu kalau Puspa nggak ada di rumah hampir dua minggu. Mungkin dia nanya ke Vanya. Mama khawatir mereka menyebarkan gosip yang bukan-bukan.""Mama, tidak perlu memikirkan itu. Biar saya yang menanganinya nanti. Mama, harus jaga kesehatan. Pokoknya jangan sampai sakit, Ma.""Iya.""Kalau gitu, saya mau ngecek ke gudang. Setelah itu tiduran sebentar. Jam sembilan nanti kita ke rumah sakit, Ma.""Iya. Mama mau pulang ke rumah dulu. Biar Siti bikinin puding waluh buat Puspa." Bu Dewi beranjak pergi. Jam besuk rumah sakit dibuka jam sepuluh pagi. Masih banyak waktu untuk membuatkan Puspa makanan.***L***Surabaya ....Dita kaget saat menerima pesan dari Bram pagi itu yang mengabari kalau Puspa masuk rumah sakit. [Pokoknya kabari saya bagaimana perkembangan kondisi Puspa, Mas. Saya nggak mungkin chat untuk menanyakannya. Saya khawatir dia akan tahu kalau Mas Bram menemui saya di Surabaya.][Setelah tahu apa yang meni
PERNIKAHAN - Gadis Kecil Itu"Bagaimana keadaan Mbak Puspa, Bos?" tanya Dahlan."Sudah mendingan setelah mendapatkan penanganan dokter. Mungkin dalam beberapa hari ini saya kurang bisa fokus di gudang. Kamu handle semuanya, kalau ada masalah telepon saya.""Siap. Alhamdulillah dalam minggu ini ter-cover semuanya, Bos. Hari ini nanti kalau sesuai jadwal, banyak barang masuk.""Oke.""Mengenai Mbak Puspa yang pergi dari rumah, sebenarnya karyawan kita nggak banyak yang tahu. Mereka malah mengira, Mbak Puspa pergi sama Bos ke luar kota. Hanya orang-orang yang saya suruh mencari saja yang tahu, tapi saya jamin mereka semua bisa dipercaya. Nggak mungkin bocor ke orang luar. Saya bisa mastikan kalau warga tahu bukan dari orang-orang kita, Bos.""Tidak apa-apa. Abaikan saja. Mengenai pergunjingan mereka itu, tidak penting bagi saya.""Hanya beberapa orang saja, Bos. Sedangkan yang lain setengah nggak percaya Mbak Puspa pergi."Bram tidak menanggapi. Dia melangkah ke luar gudang. Berdiri men
PERNIKAHAN - Nikah, yuk!Dikri memperhatikan seorang perempuan yang memakai setelan kantoran warna abu-abu berdiri di seberang jalan. Segera disusulnya Maya untuk diseberangkan. Karena lalu lintas sangat ramai."Kamu istirahat sampai jam berapa?" tanya Dikri saat mereka berjalan beriringan masuk ke rumah makan."Jam satu lebih tiga puluh lima menit. Tapi aku harus salat zhuhur juga."Mereka duduk dan langsung memesan makanan. "Kamu biasa makan siang di sini?" tanya Dikri."Nggak. Biasanya aku bawa bekal atau makan di kantin. Kebetulan hari ini aku nggak bawa karena tadi aku dan mama bangun kesiangan. Siang ini pas banget dapat traktiran." Maya terkekeh. Dia terlihat ceria daripada saat bertemu Dikri beberapa waktu yang lalu. "Oh ya, tadi kamu bertemu klien di mana?""Di Kertosono.""Setelah ini nanti langsung kembali ke kantor?""Iya. Kamu pulang jam berapa?""Jam empat. Kalau banyak kerjaan, kadang jam tujuh malam baru nyampe rumah.""Makan dulu, May." Dikri mempersilakan saat pra
Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Maya memandangi suasana alun-alun yang selalu ramai di Minggu pagi.Meski mereka sudah berbincang-bincang, tapi Dikri tidak memberitahu bahwa ia pernah melihat mantan suami Maya bersama wanita lain di dalam mobil."Oh ya, kamu belum punya anak?""Pernikahanku sebenarnya dibilang baik-baik saja hanya dua bulan, Dik. Selebihnya kami pisah rumah hingga bercerai. Dia sudah membawa wanita lain ke rumah semenjak ketahuan selingkuh. Mungkin ini balasanku karena ninggalin kamu disaat sedang butuh dukungan.""Nggak, May. Jangan punya pikiran seperti itu. Anggap semuanya takdir." Dikri tidak ingin Maya punya pikiran demikian, karena dirinya juga bukan tunangan yang baik. "Nomer teleponmu masih sama?""Aku sudah ganti nomer semenjak menikah.""Boleh minta?""Iya."Keduanya menyimpan nomer masing-masing. Dilanjut berbincang hingga hari beranjak siang. "Sudah siang, aku mau pulang dulu, Dik. Kapan-kapan ketemuan lagi.""Kamu naik apa?"
Maya diam sejenak. Ada jeda yang panjang, Maya tidak tahu harus mulai dari mana. Wajah Maya tertunduk. Sejujurnya, sejak ia bercerai, ia kerap membayangkan jika takdir membawanya bertemu Dikri lagi. Namun itu sungguh tidak tahu diri. Dia yang tega memutuskan pertunangan mereka disaat Dikri sedang terpuruk."Dikri, aku …" Maya menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Banyak hal yang terjadi dalam hidupku setelah kita ....""Setelah kamu menikah?" potong Dikri seolah tidak ada beban. Dia sudah melupakan dan tidak pernah dendam pada Maya setelah ditinggalkan.Maya mengangguk, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya. "Iya. Pernikahan itu nggak seperti yang kubayangkan. Setelah beberapa bulan, suamiku mulai berubah. Dia kasar, dan ternyata dia juga selingkuh. Aku malu cerita seperti ini sama kamu. Aku merasa sangat bersalah telah meninggalkanmu di saat-saat sulit demi menuruti keinginan orang tuaku."Kami memutuskan hubungan pertunangan waktu itu juga
PERNIKAHAN- Teman Lama"Kamu pakai baju seperti itu?" seloroh Bu Ira saat melihat Dikri keluar kamar hanya memakai kaus dan celana pendek."Iya, Ma. Memangnya kenapa?"Bu Ira tampak termangu sejenak. Kalau sang anak memakai baju seperti itu, berarti dia tidak sedang janjian sama cewek. "Oh, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan. Kamu mau ketemuan sama temanmu di mana?""Di car free day, Ma.""Jam segini car free day sudah buyar, Dik." Bu Ira memandang jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan."Kami cuman mau ngopi sama ngobrol. Siapa tahu ada prospek bisnis yang bisa kujadikan sampingan.""Ya sudah.""Aku pergi dulu, Ma. Motornya kubawa. Assalamu'alaikum.""Iya, hati-hati. Wa'alaikumsalam," jawab Bu Ira seraya membereskan meja makan. Kecewa. Ternyata belum ada tanda-tanda Dikri dekat dengan perempuan.Motor Dikri melaju pelan di jalan desa pinggir sawah. Sinar matahari semakin terang, membuat embun di dedaunan perlahan-lahan menguap dan menghilang. Namun, kesejukan pagi masih
"Semoga kamu selalu sehat sampai lahiran. Mbak ikut bahagia, Pus." Netra Indah berkaca-kaca. "Aamiin." Puspa merangkul sang kakak. Sekali pun sudah ikhlas menerima kondisinya, tapi dalam hati Indah, pasti berharap bisa hamil lagi. Untung ada Denny yang sangat menghiburnya.Dalam kesempatan itu, mereka foto bersama-sama dengan seluruh keluarga. Bram menggendong A'im seraya memeluk pinggang sang istri. Di samping kiri dan kanan berdiri Vanya, Sony, orang tua mereka dan kerabat yang lain. Angin yang semilir dan bulan purnama di angkasa sana, seolah menjadi saksi kebagian Bram dan keluarganya.***L***"Siapa yang ngasih lapis Surabaya ini, Ma?" tanya Dikri yang baru keluar dari kamarnya. Mencomot satu potong kue dan memakannya. Biasa kalau libur kerja, habis salat subuh kembali tidur dan bangun sekitar jam delapan pagi."Jiya yang ngasih. Semalam baru datang. Tadi Rayyan juga mencarimu ke sini. Mama bilang kalau kamu belum bangun.""Dia masih di sini?" Bram melihat ke luar lewat pintu.
Rayyan mengangguk. "Jiya juga asli sini, Mas. Cuman kerjanya di Kediri. Kantornya bersebelahan dengan kantor saya." Rayyan mengulas sedikit kedekatan mereka, juga menyebutkan tempat tinggal Najiya. Bram yang asli kota angin, tahu desa tempat tinggal gadis itu.Pesanan mereka datang dan langsung makan sambil berbincang. Puspa lega, Rayyan sudah menemukan tambatan hatinya. Tidak terbelenggu lagi oleh kisah mereka yang tidak pernah kesampaian.Puspa menghindari bertemu pandang dengan lelaki itu. Karena binarnya masih terlihat ada cinta untuknya. Bram bisa membawa keadaan menjadi sangat nyaman dan hangat. Dia bertanya, juga menceritakan tentang kondisi perekonomian sekarang ini. Berbagi pendapat dengan Rayyan. Bram yang disangkanya kaku oleh Rayyan, bisa seramah itu dan cukup enak diajak berbincang.Tentu saja. Sebab Bram seorang wirausaha yang sering berhadapan dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Tentang cemburu, bukan tidak ada lagi rasa itu. Namun dia tahu bagaimana cara menge
PERNIKAHAN- Masih Normal "Kenapa Mbak Santi itu nggak pernah bersikap ramah sedikit saja sama aku ya, Mas?" Puspa penasaran. Saat itu mereka sudah di perjalanan."Kamu kepikiran tentang hal itu?" "Nggak, sih. Heran saja.""Nggak usah heran. Memang ada orang yang seperti itu. Sudah tabiatnya. Jika nasehat manusia tidak bisa menyadarkannya, biar Allah saja yang menegur dengan cara-Nya."Puspa merinding mendengar ucapan suaminya. Pak Maksum, istrinya, dan Dikri saja bisa menyadari kesalahannya dan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik. Kenapa Santi yang tidak separah mereka, tidak juga mau berubah.Mungkin dia menganggap sikapnya itu hal yang wajar. Jadi tidak pernah merasa keliru. Kalau terlalu fatal seperti keluarga Pak Maksum, sangat kentara dan akhirnya membuat mereka bisa instrospeksi diri.Bram pun sudah tidak mempermasalahkan keluarga mertuanya hendak seperti apa. Bukan urusannya lagi, selagi mereka tidak menghasut Vanya dan Sony. Anak-anak pun sekarang sudah mengerti, mana
"Nggak apa-apa, Pa. Aku sudah bisa menerima semuanya. Setahun ini, aku merasa hidupku jauh lebih tenang. Aku sekarang lebih fokus ke Dikri, memastikan dia segera menikah. Usianya sudah tiga puluh satu tahun.""Papa juga mengingatkan Dikri untuk segera berumahtangga."Kembali keheningan menerpa. Dikri yang diam-diam menajamkan pendengaran dari balik pintu kamar, cukup geram. Kedua orang tuanya masih juga berbelit-belit seperti anak muda."Kalau Papa ingin menikah lagi, monggo. Di usia tua, perlu juga pendamping hidup supaya ada teman. Tapi selesaikan dulu urusan di antara kita." Bu Ira bicara dengan pembawaan yang kalem. Tidak ada amarah dan emosi seperti dulu.Pak Maksum menghela nafas panjang. "Apa papa sudah nggak diberikan kesempatan lagi untuk kembali bersama kalian, Ma? Papa tahu terlalu sering menyakiti. Namun papa sudah menyadari kesalahan itu."Papa ingin menghabiskan masa tua dengan keluarga kita. Biar Dikri tenang dan bisa memikirkan untuk masa depannya."Bu Ira memandang l
Ponsel Bram di atas meja kecil berdering. Puspa melihat siapa yang menelepon. "Mas, ada telepon dari Bu Harso.""Angkat saja.""Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bukan suara Bu Harso, tapi suaranya Santi."Ada apa, Mbak?""Aku mau bicara sama Mas Bram.""Mas Bram lagi sibuk, Mbak. Ada pesan apa nanti saya sampaikan.""Sebentar saja. Bisa nggak?" Wanita di seberang memaksa."Nggak bisa diganggu Mas Bram-nya, Mbak. Jangan khawatir, nanti pasti saya sampaikan." Puspa jadi geram. Memangnya mau bicara apa. Bram pun sudah memberitahu Santi atau Bu Harso, kalau ada urusan yang mungkin perlu disampaikan ke Vanya dan Sony, bisa bicara langsung pada Puspa. Tapi wanita itu sepertinya tidak percaya padanya."Besok malam, ada acara arisan keluarga di rumah mama. Vanya dan Sony disuruh datang atau biar aku yang jemput mereka.""Oke. Nanti aku kasih tahu ke Mas Bram."Panggilan langsung ditutup begitu saja tanpa mengucapkan salam. Bram mendekat sambil mengendong A'im. "Ada apa?""Mbak Sant