Puspa jadi serba salah. Setiap kali papa dan anak bersitegang, itu karena dirinya. Apa dia salah jika menegur? Hari ini memang ada acara bebas di sekolahan Vanya. Acara bazar di hari ulang tahun sekolahan itu.
Kalau bukan dia yang menegur, pasti di sekolah nanti akan ditegur juga oleh gurunya. Justru orang tua yang malu kalau begini. Dikira tidak mendidik anak dengan baik. "Mas, sehabis nganterin Sony ke sekolah. Aku mampir ke rumah ibu." Puspa bicara sambil menyiapkan piring untuk suami dan anak-anak di meja. "Iya," jawab Bram singkat. "Jangan lupa, aku ingin ngomong serius dengan, Mas." Bram diam memandangi istrinya yang sedang menyiapkan sarapan. Kemudian Sony yang menyeret tas sekolahnya datang dan duduk di kursi. Disusul Vanya yang sudah berganti memakai kaus longgar. Saat Bram menasehati anak-anaknya, Puspa diam. Di matanya, Bram adalah seorang ayah yang baik. Selalu mengajarkan anak-anak untuk sopan dan jujur. Makanya Bram tak terima saat Puspa tidak mau jujur padanya. ***L*** Puspa terkejut saat melihat beberapa poster berukuran 1X1 meter dengan foto seorang laki-laki berada di meja panjang ruang pertemuan di rumah orang tuanya. Melihat wajah itu, darahnya mendidih sekaligus kembali terpuruk. Luka yang tak pernah kering, kembali berdarah-darah dan terasa sangat perih. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya. "Nduk, ayo masuk. Kenapa berdiri di situ." Bu Rukayah yang lebih kerap dipanggil Bu Lurah muncul dari dalam rumah dan tergopoh menghampiri putrinya. "Ini posternya Nak Dikri yang dikirim tadi malam." Bu Lurah memandangi gambar lelaki yang masih terbungkus plastik di atas meja. "Rencananya Mbak Indah sama Mas Irwan mau menemui suamimu." "Untuk apa, Bu?" Puspa melangkah duduk di kursi berukir di ruang pertemuan itu. "Mau dirangkul untuk diajak mendukung Nak Dikri. Nak Bram kan punya karyawan dan relasi yang banyak." "Nggak usah, Bu. Bahkan aku pun nggak akan mendukungnya." Ucapan Puspa datar dan dingin. "Kenapa? Kita sudah lama kenal keluarga Pak Maksum. Mereka orang-orang yang amanah. Pak Maksum sudah beberapa kali menjadi anggota dewan, menjabat camat." "Zaman sekarang uang yang bicara. Bisa membuat orang mendapatkan apa saja yang diinginkan. Uang bisa untuk mendapatkan jabatan, kedudukan, bahkan bisa membeli harga diri orang lain." "Puspa," tegur Bu Lurah lembut sambil menyentuh lengan putrinya. "Tapi bener kan, Bu?" Bu Lurah tidak memungkiri hal itu. Benar, politik adalah uang. Uang untuk berpolitik. "Pak Maksum kan omnya Irwan. Sebagai kerabat, apa salahnya kita memberikan dukungan. Semoga saja Nak Dikri benar-benar amanah." Puspa menggeleng. "Aku nggak akan mendukungnya. Bilang ke Mbak Indah atau Mas Irwan, nggak usah datang ke rumah untuk bertemu Mas Bram, Bu." Wanita anggun dengan hijab lebar itu tertegun memandangi putrinya. Heran dengan sikap Puspa. Bukankah Puspa dan Dikri kenal dengan baik. "Bu Lurah, dicari Bu Marto di belakang." Seorang asisten rumah tangga memberitahu Bu Lurah. Wanita itu bangkit berdiri. "Ibu masak sup iga kesukaanmu. Ayo, masuk ke dalam. Ibu mau nemui Bu Marto dulu." Setelah ibunya berlalu, Puspa pun berdiri melempar setumpuk poster itu ke lantai dan menginjak-injaknya. "Mati, mati kamu," desisnya lirih. Puas mengacak-acak, walaupun plastiknya hanya kusut sedikit karena cukup tebal membungkus poster itu. Puspa masuk rumah dan langsung ke kamarnya. Mengunci diri dan menangis di lantai. "Aku menyukaimu sejak dulu. Apa alasanmu menolakku? Katakan Puspa. Apa kamu punya pacar? Siapa dia? Apa lebih tampan dariku, lebih kaya? Dia teman kuliahmu?" "Lihatlah, bagaimana aku akan memilikimu dengan caraku. Dan kamu akan menyesali itu, Puspa." Terbayang bagaimana cowok itu menyeringai sinis tepat di depan wajahnya. Dan peristiwa kelam itu berputar-putar di kepala. Puspa mendesis untuk menghalaunya. Next .... Selamat membaca 🥰PERNIKAHAN - Khawatir Benda-benda tajam, darah, dan penjara. Menjadi sesuatu yang menakutkan bagi Puspa selama ini. Andai semua terungkap, itulah yang akan terjadi.Puspa tahu ayahnya seperti apa. Kalau sampai ia menceritakan semuanya. Habis sudah. Keluarganya hancur berantakan. Rumah tangga kakaknya dipertaruhkan. Lalu apa dia sanggup diam menahan semua luka dan penderitaan ini sendirian?Jika sang ayah masuk penjara, apa tega Puspa melihat lelaki itu menghabiskan masa tuanya di sana. Tidak. Puspa sangat sayang dengan ayahnya. Lalu sampai kapan dia sanggup diam, sedangkan lelaki yang telah menghalalkannya sekarang mempertanyakan kesuciannya, kejujurannya. Puspa tersedu-sedu. Nafasnya sampai serasa tercekik mengingat bayangan peristiwa kelam itu. Lelaki kejam itu tanpa ampun mengambil paksa kesuciannya. Hanya karena tidak terima saat cintanya ditolak.Ditutupnya wajah dengan telapak tangan. Tak sanggup mengingat kembali kejadian itu.***L***"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." B
Tentu saja Bram kaget dengan permintaan mamanya Sandra. Sedikit pun dia tidak punya pikiran untuk menikahi kerabat dari Sandra. Entah itu Santi atau keluarga yang lainnya."Maaf, Ma. Saya belum kepikiran hendak menikah lagi. Saya fokus ke pekerjaan sama anak-anak saja dulu," tolak Bram halus."Sandra sudah dua tahun lebih meninggal. Anak-anak pasti butuh sosok ibu. Tapi mama harap, Nak Bram bisa mempertimbangkan hal ini. Supaya hubungan kita nggak terputus."Bram tersenyum dan tidak berkata apapun. Setahun kemudian ia ditanyai lagi, jawaban Bram tetap sama. Dan tahun depannya, ia mengabari kalau hendak menikah dengan Puspa. Mereka semua kecewa. Bahkan mamanya Sandra sempat marah. Namun setelah itu mereda dan minta maaf.Mereka masih tinggal di kota yang sama. Hanya saja beda wilayah.Lamunan Bram terganggu oleh ponsel yang berpendar. Temannya menelepon."Halo.""Hai, Bro. Kamu sudah berangkat?" Pertanyaan teman di seberang membuat Bram spontan berdiri. Kenapa dia sampai lupa kalau ada
PERNIKAHAN - PergiBram mengambil ponsel di saku celana untuk menelepon. Puspa pasti masih di rumah orang tuanya. Ternyata nomernya tidak aktif. Kenapa dia mematikan ponselnya?Tergesa Bram masuk ke kamar. Keringat sudah mengering, dia bisa langsung mandi dan menyusul Puspa. Hanya beberapa menit, Bram sudah selesai. Ketika hendak membuka lemari, ia melihat sebuah buku dan cincin milik Puspa menumpang di atasnya. Di meja rias.Melihat cincin yang tergeletak begitu saja membuat perasaannya sudah tak enak. Ada juga kartu ATM di sana. Dibukanya buku harian bersampul abu-abu. Langsung dibacanya tulisan di halaman paling depan.Assalamu'alaikum, Mas. Maaf, saat membaca tulisan ini. Aku sudah pergi dari kota ini. Maafkan kalau aku hanya mampu pamitan lewat coretan.Aku udah nggak sanggup berhadapan dengan Mas lagi. Rasanya aku sudah tidak memiliki harga diri, di hadapanmu.Mas, juga sangat sibuk sampai nggak punya waktu untuk mendengarkanku. Makanya kuputuskan saja menulis surat ini. Supa
Jantung Bram seolah berhenti berdetak. Ditariknya napas dalam-dalam untuk melonggarkan dada. Perihnya tembus ke mana-mana.Sudah terlalu banyak aku menulis, Mas. Maafkan kalau menyita waktumu. Jangan lupa segera urusi perceraian kita. Aku yakin Mas bisa membereskannya. Supaya jika terjadi apapun denganku, entah aku mati atau berakhir di penjara, kita sudah nggak memiliki hubungan apa-apa lagi. Biar Mas nggak terseret putaran kegelapan dalam kehidupanku. Segera diurus, Mas. Aku nggak bisa menunggu lama. Aku ingin segera menyelesaikan urusanku dengan lelaki yang telah menghancurkan hidupku.Aku nggak punya bukti kejahatannya, karena peristiwa itu sudah setahun yang lalu. Hukum nggak akan mempan bagi mereka. Aku akan menyelesaikan dengan caraku sendiri.Kukembalikan cincin dan ATM darimu. Terima kasih untuk kebersamaan yang singkat ini. Terima kasih untuk sebulan yang indah, sebelum malam di mana Mas mendapatiku tak lagi perawan. Sekali lagi maafkan aku.Wassalamu'alaikum wr.wb.DariPus
PERNIKAHAN - SesalBram masih diam di dalam mobilnya. Mengendalikan perasaan campur aduk yang melanda dada. Sesal, perih, khawatir. Matanya juga terasa memanas dan pedih. Bayangan wajah pucat Puspa begitu jelas di pelupuk mata, yang dikira hanya sakit biasa.Andai waktu itu dia mengantar hingga masuk ruang pemeriksaan, pasti tahu apa yang dialami istrinya. Dan hari ini Puspa tidak akan pergi.Lantas apa yang harus dikatakannya pada mertua tentang putri kesayangan mereka. Bram merasa sungguh picik. Namun sesalnya melebihi rasa kebingungan berhadapan dengan mertua.Dia siap, andai dihajar oleh bapak mertuanya.Pria itu menarik napas panjang, kemudian turun dari mobil. Dia harus jujur menceritakan semuanya.Suasana sepi sore itu. Bram lewat samping ruang pertemuan, terus ke rumah utama. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bu Lurah tergopoh menjawab salam dan menerima uluran tangan sang menantu. "Loh, Puspa nggak ikut?""Tidak, Bu. Ayah ada? Saya ingin bicara dengan Ayah dan Ibu.""A
"Ayah atau Ibu, tahu siapa teman dekatnya Puspa? Biar saya mencarinya ke sana," kata Bram."Puspa memiliki banyak teman. Tapi Ibu nggak tahu alamat mereka," jawab Bu Lurah datar. Sebagai ibu, rasanya sangat sakit putrinya sampai diperlakukan seperti itu oleh suaminya. Puspa memang salah, tapi apakah Bram tidak bisa bijaksana terhadapnya. Bahkan keguguran pun tidak berani memberitahu.Meski dengan hati lara, Pak Lurah dan istrinya tetap berbincang bersama Bram untuk mencari solusi mencari Puspa. Lelaki yang biasanya langsung bertindak jika ada yang mengusik putri-putrinya, kini berusaha menjaga emosi karena ingat tulisan Puspa tadi. Puspa memilih diam, demi ayahnya. Karena terlalu sayang dengan ayahnya. Begitu dalam makna cinta di sini. Pak Lurah benar-benar terpukul."Siapa yang tega berbuat keji pada anakku?" rintih lelaki itu sambil menekan kedua matanya yang berair."Saya janji, akan mencari Puspa dan membawanya kembali, Yah," ucap Bram."Kembalikan Puspa pada kami saja, Nak Bram.
PERNIKAHAN- Di Mana Puspa ?[Ayah, terima kasih banyak.] Balas Bram, tapi tidak ada respon apapun dari ayah mertuanya setelah tulisannya dibaca. Ia sangat mengerti bagaimana perasaan lelaki itu padanya.Bram tahu daerah tempat kos Puspa setelah membaca alamatnya. Dulu dia juga kuliah di Surabaya dan pekerjaannya yang sekarang juga sering membuatnya bolak-balik ke kota itu. Jadi tidak asing lagi baginya. Besok usai salat subuh dia akan berangkat. Via tol tidak akan lama. Dia berharap akan menemukan Puspa di sana.Lelaki yang duduk di sofa memandangi ranjang yang masih rapi. Biasa Puspa akan meringkuk di tepi dan menghadap ke dinding. Semalaman dia betah dalam posisi itu, setelah hubungan mereka menjadi dingin. Sebenarnya bukan mereka berdua, tapi hanya Bram saja yang dingin. Sedangkan Puspa masih melayani urusannya, anak-anak, dan rumah dengan baik. Meski sejak malam itu, dia menghindari tatapan matanya.Dia tidak pernah mengeluh tentang sikap Vanya yang sinis. Pun tidak memuji perila
"Waktu aku mencari-cari di rak buku dan lemari kamarnya, nggak ada satu pun benda atau tulisan yang memberikan petunjuk," lanjut Indah."Ke mana adikmu pergi, In. Ibu khawatir dia akan bertindak nekat." Bu Lurah menyeka air mata dengan ujung jilbabnya. Sementara Pak Lurah diam, menatap jauh ke luar pintu. Irwan juga diam."Kamu nggak punya nomer temannya?""Dulu punya, Bu. Tapi ada di hapeku yang rusak.""Gimana, Yah? Kita cari Puspa ke mana?" tanya Bu Lurah memandang sang suami. "Apa Ayah ikut Bram saja besok pagi ke kosan Puspa?" saran wanita itu."Kalau mau ke sana kita pergi sendiri saja, Bu. Nggak usah nebeng," jawab Pak Lurah datar. Tatap kecewa itu masih tampak di sorot matanya."Kapan rencana mau pergi? Saya bisa nganterin Ayah." Irwan yang sejak tadi diam saja, menawarkan diri."Boleh. Tapi besok ayah belum bisa. Ada rapat jam sembilan pagi di balai desa. Itu tanggungjawab ayah, Nak Irwan. Apa kata warga kalau ayah nggak datang dan diwakili oleh perangkat lain. Rapat ini sud