[Ada apa sih, Pus? Kita kenal sudah lama. Aku tahu bagaimana kamu. Dari gadis ceria, tiba-tiba menjadi menutup diri. Kamu bukan korban perjodohan dari orang tua, kan? Ayah ibumu bukan orang seperti itu, deh. Mereka sangat terbuka orangnya. Beberapa kali kau ajak aku pulang ke desa dan nginap di sana, Pak Lurah sangat baik.]
[Puspa, apa ada yang kamu rahasiakan dari pertemanan kita?] [Nggak ada, Say. Aku baik-baik saja. Mungkin aku dan Rayyan nggak berjodoh. Itu saja. Btw, kamu kerja di mana sekarang?] [Aku masih nunggu panggilan. Entah diterima apa nggak. Doain diterima ya, Say.] [Iya. Aku doain. Udah ya, Dit. Besok kita sambung lagi.] Buru-buru Puspa menelungkupkan ponsel di nakas tanpa menunggu balasan Dita. Sebab ia mendengar langkah suaminya ke arah kamar. Puspa segera menarik selimut dan meringkuk seperti bayi. Bram tidak boleh curiga lagi. Dan ia juga tidak bisa bicara dengan perasaan kacau begini. Kacau karena mengetahui betapa Rayyan patah hati karenanya. Pintu kamar terbuka. Puspa memejam rapat. Ia merasakan pergerakan di belakang punggungnya. Sang suami sudah merebahkan diri. Tidak lama kemudian terdengar dengkuran halusnya. Puspa menarik napas panjang. Ingatannya tertuju pada pria itu. Rayyan Muhammad Fatih. "Puspa, tunggu!" Rayyan mengejarnya di koridor kampus saat ia tergesa-gesa menghindari pemuda itu. "Aku mencarimu berhari-hari. Kenapa nggak bilang kalau kamu pulang kampung. Ponselmu juga nggak aktif," ucap Rayyan setelah berhasil menjajari langkahnya. "Apa ayah atau ibumu sakit?" Puspa yang terus melangkah menuruni tangga menggeleng. "Lalu?" "Aku yang sakit, Ray." "Sakit apa?" Rayyan menghentikan langkah Puspa dengan berdiri tepat di depan gadis dengan wajah memucat. Rayyan khawatir. "Wajahmu pucat. Kuantar ke dokter." "Nggak usah. Aku sudah baikan sekarang." Rayyan mengajaknya makan di kafe depan kampus. Tatapannya penuh rasa penasaran saat melihat perubahan drastis pada Puspa. Gadis periang yang sangat dicintainya, terlihat sangat berbeda. Sendu, kusam, dan diam. Biasanya Puspa makan dengan lahap. Tapi saat itu hanya mengacak-acak nasi dalam piringnya. "Puspa, kamu sakit apa? Kamu ceritakan saja padaku. Kuantar kamu berobat." "Aku udah baikan, kok. Beberapa hari lagi pasti dah pulih," jawab Puspa sambil memaksakan tersenyum pada Rayyan. "Beneran?" "Iya." Hening. Mereka menikmati makanan yang dipesan. Rayyan menyuap nasi sambil memperhatikan gadis di hadapannya. "Ray." Puspa mengangkat wajah setelah diam cukup lama. "Ya." "Aku mau fokus ke skipsi dulu. Tinggal dikit lagi selesai. Untuk sementara kita jangan keseringan bertemu. Aku mau fokus dulu. Nggak apa-apa, kan?" Perkataan itu membuat Rayyan terkejut. Ada raut kecewa juga. Kenapa tiba-tiba Puspa berkata demikian setelah dua mingguan menghilang. "Aku mengganggumu?" Puspa menggeleng. Mati-matian dia menahan tangisnya. "Tapi kenapa? Kamu nggak bermaksud menjauhiku kan? Puspa, kalau kamu ada masalah. Bisa kamu bagi denganku." Rayyan serius memandangi Puspa. Sementara gadis itu sibuk menghindari tatapan Rayyan. Apa yang harus dibaginya. Semua yang terjadi sungguh memalukan dan penuh ancaman. Dia sudah kehilangan segala-galanya. Harga diri pun sudah tidak ada. Apa yang bisa dibanggakan dihadapan lelaki yang mencintainya, jika kehormatan yang menjadi kebanggaan seorang perempuan sudah tidak dimiliki lagi. Dada Puspa seperti dihimpit bongkahan batu. Rayyan berterus terang sebulan yang lalu setelah menyimpan perasaannya sekian lama. Ternyata cowok itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama semenjak mereka dipertemukan di kampus. "Puspa, ada apa? Kamu jatuh cinta pada cowok lain?" "Nggak. Bukan itu. Tapi ada sesuatu yang nggak bisa kuceritakan pada siapapun. Termasuk pada kedua orang tuaku." "Tapi aku ingin tahu. Nggak bisa kamu menjauhiku tanpa memberikan alasan." "Alasannya jelas, Ray. Aku ingin menyelesaikan skripsiku dulu. Kamu pun sama, kan. Kita fokus dulu di akhir perkuliahan kita." "Oke. Nggak apa-apa. Tapi sesekali kita bisa keluar makan, kan?" Puspa mengangguk. Kemudian meraih tali tasnya. "Aku pergi dulu, ya. Mau pulang ke kosan." "Kuantar." "Nggak usah. Aku bareng Dita." Dan semenjak hari itu, Puspa benar-benar menghindari Rayyan. Tidak menerima dan membalas telepon hingga wisuda. Dan pada suatu hari ia mengabarkan kalau akan menikah. Rayyan datang bersama teman-temannya dengan perasaan yang hancur lebur. Mata itu menunjukkan luka yang teramat dalam. Puspa tidak bisa berkata apa-apa, bahkan untuk mengucapkan kata maaf. Hanya dalam diam ia mendoakan, semoga Rayyan akan mendapatkan gadis salehah. Puspa masih ingat betul tatapan cowok itu seperti apa? Dia juga kembali mengingat kejadian di mana dia kehilangan segala-galanya. Next .... Selamat membaca 🥰 Cuplikan bab 7 "Aku mencintaimu sejak dulu. Apa alasanmu menolakku? Katakan Puspa. Apa kamu punya pacar?"PERNIKAHAN - MalamSuara gedebug mengagetkan Bram. Spontan pria itu meloncat dari tempat tidur. Puspa merintih sambil memegangi lengannya yang sakit."Puspa, kamu kenapa?""A-aku nggak apa-apa." Puspa tergagap sambil bangkit. Bram berusaha meraihnya. "Aku bisa sendiri, Mas. Jangan sentuh. Aku kotor untukmu." Puspa menghindari tangan yang hendak membantunya.DEG. Bram terkesiap oleh kalimat itu. Sejenak terpaku menatap Puspa yang terlihat sangat berantakan. Ucapan Puspa terasa nyeri di dadanya. Dalam remang lampu kamar, Bram melihat wajah istrinya yang sembab. Rambutnya masai terurai sebagian menutupi wajah."Kenapa bisa jatuh?""Nggak apa-apa," jawab Puspa canggung. Entahlah, kenapa dia bisa jatuh. Dia tadi hendak bangun, perasaan kaki sudah menapak di lantai, ternyata masih jauh dan akhirnya dia tersungkur."Kamu mau ke mana?""Aku mau ngambil air minum." Tak ada lagi kata saya, yang ada sebutan aku.Bram mengikuti istrinya yang keluar kamar dan mengambil air minum dari dispenser ya
Puspa jadi serba salah. Setiap kali papa dan anak bersitegang, itu karena dirinya. Apa dia salah jika menegur? Hari ini memang ada acara bebas di sekolahan Vanya. Acara bazar di hari ulang tahun sekolahan itu.Kalau bukan dia yang menegur, pasti di sekolah nanti akan ditegur juga oleh gurunya. Justru orang tua yang malu kalau begini. Dikira tidak mendidik anak dengan baik."Mas, sehabis nganterin Sony ke sekolah. Aku mampir ke rumah ibu." Puspa bicara sambil menyiapkan piring untuk suami dan anak-anak di meja."Iya," jawab Bram singkat."Jangan lupa, aku ingin ngomong serius dengan, Mas."Bram diam memandangi istrinya yang sedang menyiapkan sarapan.Kemudian Sony yang menyeret tas sekolahnya datang dan duduk di kursi. Disusul Vanya yang sudah berganti memakai kaus longgar.Saat Bram menasehati anak-anaknya, Puspa diam. Di matanya, Bram adalah seorang ayah yang baik. Selalu mengajarkan anak-anak untuk sopan dan jujur. Makanya Bram tak terima saat Puspa tidak mau jujur padanya.***L***
PERNIKAHAN - Khawatir Benda-benda tajam, darah, dan penjara. Menjadi sesuatu yang menakutkan bagi Puspa selama ini. Andai semua terungkap, itulah yang akan terjadi.Puspa tahu ayahnya seperti apa. Kalau sampai ia menceritakan semuanya. Habis sudah. Keluarganya hancur berantakan. Rumah tangga kakaknya dipertaruhkan. Lalu apa dia sanggup diam menahan semua luka dan penderitaan ini sendirian?Jika sang ayah masuk penjara, apa tega Puspa melihat lelaki itu menghabiskan masa tuanya di sana. Tidak. Puspa sangat sayang dengan ayahnya. Lalu sampai kapan dia sanggup diam, sedangkan lelaki yang telah menghalalkannya sekarang mempertanyakan kesuciannya, kejujurannya. Puspa tersedu-sedu. Nafasnya sampai serasa tercekik mengingat bayangan peristiwa kelam itu. Lelaki kejam itu tanpa ampun mengambil paksa kesuciannya. Hanya karena tidak terima saat cintanya ditolak.Ditutupnya wajah dengan telapak tangan. Tak sanggup mengingat kembali kejadian itu.***L***"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." B
Tentu saja Bram kaget dengan permintaan mamanya Sandra. Sedikit pun dia tidak punya pikiran untuk menikahi kerabat dari Sandra. Entah itu Santi atau keluarga yang lainnya."Maaf, Ma. Saya belum kepikiran hendak menikah lagi. Saya fokus ke pekerjaan sama anak-anak saja dulu," tolak Bram halus."Sandra sudah dua tahun lebih meninggal. Anak-anak pasti butuh sosok ibu. Tapi mama harap, Nak Bram bisa mempertimbangkan hal ini. Supaya hubungan kita nggak terputus."Bram tersenyum dan tidak berkata apapun. Setahun kemudian ia ditanyai lagi, jawaban Bram tetap sama. Dan tahun depannya, ia mengabari kalau hendak menikah dengan Puspa. Mereka semua kecewa. Bahkan mamanya Sandra sempat marah. Namun setelah itu mereda dan minta maaf.Mereka masih tinggal di kota yang sama. Hanya saja beda wilayah.Lamunan Bram terganggu oleh ponsel yang berpendar. Temannya menelepon."Halo.""Hai, Bro. Kamu sudah berangkat?" Pertanyaan teman di seberang membuat Bram spontan berdiri. Kenapa dia sampai lupa kalau ada
PERNIKAHAN - PergiBram mengambil ponsel di saku celana untuk menelepon. Puspa pasti masih di rumah orang tuanya. Ternyata nomernya tidak aktif. Kenapa dia mematikan ponselnya?Tergesa Bram masuk ke kamar. Keringat sudah mengering, dia bisa langsung mandi dan menyusul Puspa. Hanya beberapa menit, Bram sudah selesai. Ketika hendak membuka lemari, ia melihat sebuah buku dan cincin milik Puspa menumpang di atasnya. Di meja rias.Melihat cincin yang tergeletak begitu saja membuat perasaannya sudah tak enak. Ada juga kartu ATM di sana. Dibukanya buku harian bersampul abu-abu. Langsung dibacanya tulisan di halaman paling depan.Assalamu'alaikum, Mas. Maaf, saat membaca tulisan ini. Aku sudah pergi dari kota ini. Maafkan kalau aku hanya mampu pamitan lewat coretan.Aku udah nggak sanggup berhadapan dengan Mas lagi. Rasanya aku sudah tidak memiliki harga diri, di hadapanmu.Mas, juga sangat sibuk sampai nggak punya waktu untuk mendengarkanku. Makanya kuputuskan saja menulis surat ini. Supa
Jantung Bram seolah berhenti berdetak. Ditariknya napas dalam-dalam untuk melonggarkan dada. Perihnya tembus ke mana-mana.Sudah terlalu banyak aku menulis, Mas. Maafkan kalau menyita waktumu. Jangan lupa segera urusi perceraian kita. Aku yakin Mas bisa membereskannya. Supaya jika terjadi apapun denganku, entah aku mati atau berakhir di penjara, kita sudah nggak memiliki hubungan apa-apa lagi. Biar Mas nggak terseret putaran kegelapan dalam kehidupanku. Segera diurus, Mas. Aku nggak bisa menunggu lama. Aku ingin segera menyelesaikan urusanku dengan lelaki yang telah menghancurkan hidupku.Aku nggak punya bukti kejahatannya, karena peristiwa itu sudah setahun yang lalu. Hukum nggak akan mempan bagi mereka. Aku akan menyelesaikan dengan caraku sendiri.Kukembalikan cincin dan ATM darimu. Terima kasih untuk kebersamaan yang singkat ini. Terima kasih untuk sebulan yang indah, sebelum malam di mana Mas mendapatiku tak lagi perawan. Sekali lagi maafkan aku.Wassalamu'alaikum wr.wb.DariPus
PERNIKAHAN - SesalBram masih diam di dalam mobilnya. Mengendalikan perasaan campur aduk yang melanda dada. Sesal, perih, khawatir. Matanya juga terasa memanas dan pedih. Bayangan wajah pucat Puspa begitu jelas di pelupuk mata, yang dikira hanya sakit biasa.Andai waktu itu dia mengantar hingga masuk ruang pemeriksaan, pasti tahu apa yang dialami istrinya. Dan hari ini Puspa tidak akan pergi.Lantas apa yang harus dikatakannya pada mertua tentang putri kesayangan mereka. Bram merasa sungguh picik. Namun sesalnya melebihi rasa kebingungan berhadapan dengan mertua.Dia siap, andai dihajar oleh bapak mertuanya.Pria itu menarik napas panjang, kemudian turun dari mobil. Dia harus jujur menceritakan semuanya.Suasana sepi sore itu. Bram lewat samping ruang pertemuan, terus ke rumah utama. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bu Lurah tergopoh menjawab salam dan menerima uluran tangan sang menantu. "Loh, Puspa nggak ikut?""Tidak, Bu. Ayah ada? Saya ingin bicara dengan Ayah dan Ibu.""A
"Ayah atau Ibu, tahu siapa teman dekatnya Puspa? Biar saya mencarinya ke sana," kata Bram."Puspa memiliki banyak teman. Tapi Ibu nggak tahu alamat mereka," jawab Bu Lurah datar. Sebagai ibu, rasanya sangat sakit putrinya sampai diperlakukan seperti itu oleh suaminya. Puspa memang salah, tapi apakah Bram tidak bisa bijaksana terhadapnya. Bahkan keguguran pun tidak berani memberitahu.Meski dengan hati lara, Pak Lurah dan istrinya tetap berbincang bersama Bram untuk mencari solusi mencari Puspa. Lelaki yang biasanya langsung bertindak jika ada yang mengusik putri-putrinya, kini berusaha menjaga emosi karena ingat tulisan Puspa tadi. Puspa memilih diam, demi ayahnya. Karena terlalu sayang dengan ayahnya. Begitu dalam makna cinta di sini. Pak Lurah benar-benar terpukul."Siapa yang tega berbuat keji pada anakku?" rintih lelaki itu sambil menekan kedua matanya yang berair."Saya janji, akan mencari Puspa dan membawanya kembali, Yah," ucap Bram."Kembalikan Puspa pada kami saja, Nak Bram.