Bram menanyakan kondisi sang mama. Wanita itu mengeluhkan beberapa hal. Membuat Bram khawatir. Semakin hari, kesehatan sang mama kian menurun. Tapi wanita itu tetap keukeh tidak mau diajak tinggal di rumahnya. Bertahan di rumah joglo mereka yang berarsitektur klasik. Rumah yang menerapkan nilai-nilai filosofi Jawa pada setiap bagian rumah. Sangat kontras dengan rumah yang dibangun oleh Bram. Rumah bergaya modern dengan sedikit sentuhan scandinavian. Almarhumah sang istri yang menentukan konsep rumahnya.
Menjelang salat magrib, Bram dan Puspa kembali ke rumah. Mereka melangkah tanpa percakapan apa-apa. Makan malam di dominasi cerita anak-anak tentang kegiatan mereka selama papanya tidak di rumah. Puspa hanya mendengarkan sambil memaksa diri untuk menelan makanan. Sesaknya dada, membuat tidak berselera untuk makan. Seharian tadi lebih banyak minum air putih dan melewatkan makan siang. Setelah selesai makan malam, Bram menghampiri Puspa yang baru selesai mengemas meja. "Kutunggu di luar. Kita ke dokter sekarang," ucap Bram tanpa memandang istrinya. Lantas melangkah cepat sambil menyambar kunci mobil. Puspa terpaku sejenak. Kemudian menyusul sang suami. "Nggak usah, Mas. Aku nggak apa-apa." "Selama kamu di sini, kamu tanggungjawabku." "Aku nggak apa-apa kok." "Kutunggu di mobil." Bram tidak mengindahkan penolakan sang istri. Akhirnya Puspa ke kamar untuk mengambil tas dan menyisir rambut. Jika pergi ke dokter, Bram akan tahu kalau dia habis keguguran. Biar saja tahu. Yang gugur itu memang anaknya. Terserah dia percaya atau tidak. Puspa menarik napas dalam-dalam, lantas keluar kamar. "Pa, Sony ikut." Tiba-tiba Sony muncul dari dalam. "Adek duduk di depan saja," kata Puspa pada Sony yang hendak membuka pintu mobil belakang. "Bunda, saja yang di depan." Sony menolak dan langsung masuk ke mobil. Dengan canggung Puspa duduk di samping suaminya. Jarak rumah dan tempat praktek dokter hanya lima belas menit perjalanan. Dokter langganan keluarga tutup, makanya Bram membawa Puspa ke dokter lain. "Kutunggu di sini!" kata Bram setelah mobil berhenti di parkiran. Itu pun tidak menoleh sama sekali. "Iya." Puspa turun dan melangkah ke meja pendaftaran pasien. Ia tampak ragu. Seharusnya dia ke dokter kandungan, bukan ke dokter umum. Tapi kalau tidak periksa pun, Bram tidak akan tahu. Apa pura-pura saja menunggu di sana. Kebetulan masih ada beberapa orang yang mengantri. Belum sempat mundur, petugas yang berjaga menyapanya. Puspa akhirnya mendaftar. Mungkin lebih baik periksa saja. Semoga dokter umum ini bisa memberikan obat untuk pemulihan tanpa merujuknya untuk datang ke dokter kandungan. Tidak lama kemudian, Sony menyusul dan duduk di sebelahnya. "Semoga besok Bunda sudah sembuh. Biar bisa lihat Sony tanding." Puspa tersenyum sambil merangkul bahu anak tirinya. Sony menunggu di luar saat Puspa dipanggil masuk ruang pemeriksaan. Benar saja, Puspa disarankan periksa ke dokter kandungan untuk memastikan kondisinya sekarang ini. Namun ia tidak ada kepikiran kembali ke dokter kandungan. Sebab Puspa sudah diberitahu kalau janinnya sudah luruh dan tinggal menghabiskan obatnya saja. Tergesa Puspa kembali ke mobil setelah selesai menebus obat di apotek yang bersebelahan dengan ruang praktek dokter. "Dokter bilang Bunda sakit apa?" Sony yang bertanya. "Hanya masuk angin." Baru saja hendak menyalakan mesin mobil, ponsel Bram berdering. Ketegangan tercipta sesaat setelah pria itu menjawab telepon. "Kembalikan semua barang-barang itu. Sebanyak apapun saya tidak peduli. Sudah saya tekankan diperjanjian awal. Saya berani membayar mahal karena ingin kualitas yang bagus. Kalau sudah begini, berarti mereka sengaja mau menipu. "Return saja. Saya paling tidak suka dengan partner kerja yang tidak jujur. Padahal jelas semua kriteria barang yang kita beli dengan harga tinggi. Kalau mereka tidak terima, suruh tunggu saya pulang. Saya masih di tempat dokter dan ini mau perjalanan pulang." Bram meletakkan ponselnya di dashboard. Mendengar ucapan suaminya, Puspa ikut tegang. Sepertinya ada masalah di gudang. Bukan tentang permasalahan itu yang ia pikirkan, tapi kata-kata Bram yang mengusik perasaan. Kalimatnya serupa sindiran untuk Puspa. Niatnya ingin segera mengajak suaminya berbincang jadi mengendur. Sebab di gudang sepertinya ada permasalahan serius. Hingga mobil berhenti di garasi, Bram tidak menanyakan tentang hasil pemeriksaan. Benar, dia mengantarkan ke dokter hanya bentuk tanggungjawab bukan kepedulian. Karena Bram tidak ingin tahu tentang kondisinya. Sebutan 'mas' pun sudah berganti 'aku'. Sony terus masuk kamar, sedangkan Puspa masih duduk merenung di ruang santai. Bram langsung ke gudang. Entah gudang yang mana. Gudang belakang rumah atau ke gudangnya yang berada sekitar lima ratus meter dari rumah utama. Puspa menghela napas panjang. Dalam situasi apapun, dirinya tidak bisa tenang. ***L*** Jam sebelas malam, Bram baru kembali ke rumah. Saat masuk kamar, ia tidak mendapati istrinya ada di sana. Mereka masih tidur di kamar yang sama meski bicara dikala sangat terpaksa. Namun malam itu kamar kosong dan masih rapi. Next .... Selamat membaca 🥰PERNIKAHAN- Tidak Percaya Diri "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Bram yang mendapati Puspa duduk sambil menulis sesuatu di buku. Namun setelah menyadari kehadirannya, Puspa buru-buru menutup bukunya. Tentu Puspa sangat terkejut. Apalagi dia hanya menyalakan lampu belajar yang menyinari meja saja. Kehadiran Bram yang berdiri menjulang di belakangnya membuat kaget."Nggak apa-apa," jawab Puspa gugup."Sudah malam. Tidurlah. Kamu sedang sakit, kan? Jangan tidur di luar. Aku tidak ingin anak-anak terganggu dengan permasalahan antara aku dan kamu." Bram kembali melangkah ke kamarnya setelah selesai bicara.Untuk beberapa saat, Puspa diam menatap dinding yang gelap di depannya. Lantas berdiri dan masuk kamar yang sama. Berbaring miring seperti biasa.Bram memikirkan perasaan anak-anaknya, bukan perasaannya. Wajar bukan, dirinya hanya orang baru yang saat ini dianggap sebagai penipu.***L***"Kita tahu kan Pak Bos gimana orangnya. Dia paling nggak suka dicurangi seperti semalam. Bisa-
Puspa meletakkan piring di depan suaminya. Dia juga duduk untuk sarapan. Kalau tidak ingat harus minum obat, rasanya malas untuk makan."Mas, aku minta waktu untuk bicara. Nggak harus sekarang, selonggarnya mas saja." Puspa bicara pelan dan hati-hati. Sekarang atau nanti, ia harus memberikan penjelasan. Entah diterima atau tidak. Namun Puspa sangat pesimis melihat sikap Bram yang dingin. Bram hanya mengangguk tanpa bersuara apapun. Makan belum selesai, seorang karyawan kantor muncul dari pintu dapur dengan wajah tegang. Tampaknya ada yang urgent.Pria kepercayaan Bram masuk setelah dipanggil. Ternyata truk yang mengirimkan barang ke pelabuhan mengalami kerusakan di jalan tol. Bram langsung meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan nasinya.Puspa menghela nafas panjang. Nasi serasa enggan untuk ditelan. Apakah Bram akan mendengarkannya nanti? Apa dia akan ditinggalkan atau dirinya yang harus pergi dengan kerelaan hati. Masih terbayang kemegahan pernikahan mereka dua bulan yang lalu.
PERNIKAHAN - Patah Hati Pria itu merokok dengan tatapan menerawang. Mungkin tengah memperhatikan foto keluarga yang berada tepat di dinding depannya. Atau memperhatikan foto mendiang sang istri.Puspa mundur kembali ke kamar dan duduk di tepi pembaringan. Nyalinya menciut. Dia benci dengan situasi seperti ini. Pergi ke mana keberaniannya tadi. Rasa kepercayaan diri benar-benar memudar di hadapan lelaki yang bergelar suami.Ditariknya napas dalam-dalam. Jutaan kata yang terangkai buyar sudah. Yang tersisa hanya embun di kelopak matanya.Beberapa lama hanyut dalam rasa pedih dan sakit, akhirnya ia beranjak meraih ponsel yang berpendar di meja rias. Netranya sedikit berbinar melihat siapa yang mengirim pesan. Dita, teman kuliahnya dari Surabaya.[Apa kabar, Puspa? Waduh yang pengantin baru jarang banget mau nongol di grup sekarang. Lagi nikmatin bulan madu ya, Neng? Cie cie cie.][Hmmm, ganteng banget suamimu. Dewasa dan pasti pengertian kan? Tajir pula tuh. Bisa ngemong kamu. Pantesan
[Ada apa sih, Pus? Kita kenal sudah lama. Aku tahu bagaimana kamu. Dari gadis ceria, tiba-tiba menjadi menutup diri. Kamu bukan korban perjodohan dari orang tua, kan? Ayah ibumu bukan orang seperti itu, deh. Mereka sangat terbuka orangnya. Beberapa kali kau ajak aku pulang ke desa dan nginap di sana, Pak Lurah sangat baik.][Puspa, apa ada yang kamu rahasiakan dari pertemanan kita?][Nggak ada, Say. Aku baik-baik saja. Mungkin aku dan Rayyan nggak berjodoh. Itu saja. Btw, kamu kerja di mana sekarang?][Aku masih nunggu panggilan. Entah diterima apa nggak. Doain diterima ya, Say.][Iya. Aku doain. Udah ya, Dit. Besok kita sambung lagi.] Buru-buru Puspa menelungkupkan ponsel di nakas tanpa menunggu balasan Dita. Sebab ia mendengar langkah suaminya ke arah kamar. Puspa segera menarik selimut dan meringkuk seperti bayi. Bram tidak boleh curiga lagi. Dan ia juga tidak bisa bicara dengan perasaan kacau begini. Kacau karena mengetahui betapa Rayyan patah hati karenanya.Pintu kamar terbuka.
PERNIKAHAN - MalamSuara gedebug mengagetkan Bram. Spontan pria itu meloncat dari tempat tidur. Puspa merintih sambil memegangi lengannya yang sakit."Puspa, kamu kenapa?""A-aku nggak apa-apa." Puspa tergagap sambil bangkit. Bram berusaha meraihnya. "Aku bisa sendiri, Mas. Jangan sentuh. Aku kotor untukmu." Puspa menghindari tangan yang hendak membantunya.DEG. Bram terkesiap oleh kalimat itu. Sejenak terpaku menatap Puspa yang terlihat sangat berantakan. Ucapan Puspa terasa nyeri di dadanya. Dalam remang lampu kamar, Bram melihat wajah istrinya yang sembab. Rambutnya masai terurai sebagian menutupi wajah."Kenapa bisa jatuh?""Nggak apa-apa," jawab Puspa canggung. Entahlah, kenapa dia bisa jatuh. Dia tadi hendak bangun, perasaan kaki sudah menapak di lantai, ternyata masih jauh dan akhirnya dia tersungkur."Kamu mau ke mana?""Aku mau ngambil air minum." Tak ada lagi kata saya, yang ada sebutan aku.Bram mengikuti istrinya yang keluar kamar dan mengambil air minum dari dispenser ya
Puspa jadi serba salah. Setiap kali papa dan anak bersitegang, itu karena dirinya. Apa dia salah jika menegur? Hari ini memang ada acara bebas di sekolahan Vanya. Acara bazar di hari ulang tahun sekolahan itu.Kalau bukan dia yang menegur, pasti di sekolah nanti akan ditegur juga oleh gurunya. Justru orang tua yang malu kalau begini. Dikira tidak mendidik anak dengan baik."Mas, sehabis nganterin Sony ke sekolah. Aku mampir ke rumah ibu." Puspa bicara sambil menyiapkan piring untuk suami dan anak-anak di meja."Iya," jawab Bram singkat."Jangan lupa, aku ingin ngomong serius dengan, Mas."Bram diam memandangi istrinya yang sedang menyiapkan sarapan.Kemudian Sony yang menyeret tas sekolahnya datang dan duduk di kursi. Disusul Vanya yang sudah berganti memakai kaus longgar.Saat Bram menasehati anak-anaknya, Puspa diam. Di matanya, Bram adalah seorang ayah yang baik. Selalu mengajarkan anak-anak untuk sopan dan jujur. Makanya Bram tak terima saat Puspa tidak mau jujur padanya.***L***
PERNIKAHAN - Khawatir Benda-benda tajam, darah, dan penjara. Menjadi sesuatu yang menakutkan bagi Puspa selama ini. Andai semua terungkap, itulah yang akan terjadi.Puspa tahu ayahnya seperti apa. Kalau sampai ia menceritakan semuanya. Habis sudah. Keluarganya hancur berantakan. Rumah tangga kakaknya dipertaruhkan. Lalu apa dia sanggup diam menahan semua luka dan penderitaan ini sendirian?Jika sang ayah masuk penjara, apa tega Puspa melihat lelaki itu menghabiskan masa tuanya di sana. Tidak. Puspa sangat sayang dengan ayahnya. Lalu sampai kapan dia sanggup diam, sedangkan lelaki yang telah menghalalkannya sekarang mempertanyakan kesuciannya, kejujurannya. Puspa tersedu-sedu. Nafasnya sampai serasa tercekik mengingat bayangan peristiwa kelam itu. Lelaki kejam itu tanpa ampun mengambil paksa kesuciannya. Hanya karena tidak terima saat cintanya ditolak.Ditutupnya wajah dengan telapak tangan. Tak sanggup mengingat kembali kejadian itu.***L***"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." B
Tentu saja Bram kaget dengan permintaan mamanya Sandra. Sedikit pun dia tidak punya pikiran untuk menikahi kerabat dari Sandra. Entah itu Santi atau keluarga yang lainnya."Maaf, Ma. Saya belum kepikiran hendak menikah lagi. Saya fokus ke pekerjaan sama anak-anak saja dulu," tolak Bram halus."Sandra sudah dua tahun lebih meninggal. Anak-anak pasti butuh sosok ibu. Tapi mama harap, Nak Bram bisa mempertimbangkan hal ini. Supaya hubungan kita nggak terputus."Bram tersenyum dan tidak berkata apapun. Setahun kemudian ia ditanyai lagi, jawaban Bram tetap sama. Dan tahun depannya, ia mengabari kalau hendak menikah dengan Puspa. Mereka semua kecewa. Bahkan mamanya Sandra sempat marah. Namun setelah itu mereda dan minta maaf.Mereka masih tinggal di kota yang sama. Hanya saja beda wilayah.Lamunan Bram terganggu oleh ponsel yang berpendar. Temannya menelepon."Halo.""Hai, Bro. Kamu sudah berangkat?" Pertanyaan teman di seberang membuat Bram spontan berdiri. Kenapa dia sampai lupa kalau ada