Bu Dewi memberikan barang bawaannya pada Bu Lurah. Setelah menyalami besannya, wanita memeluk sang menantu. Air matanya tidak bisa ditahan. Puspa pun berkaca-kaca. "Maafkan saya, Ma," ucap Puspa lirih."Nggak, Nduk. Kamu nggak salah." Bu Dewi menyeka air matanya. "Mama bawain kamu puding waluh sama ayam bakar. Siti yang masak tadi. Nyuruh orang di gudang untuk nyembelih ayam.""Makasih, Ma."Bu Rukayah mempersilakan besannya untuk duduk. Bram duduk di kursi sebelah tempat tidurnya Puspa setelah meletakkan tas berisi baju ganti untuk istrinya yang tadi baru dibelinya.Disaat mereka tengah berbincang, seorang perawat masuk mendorong kursi roda hendak mengajak Puspa ke ruang USG untuk pemeriksaan. Dokter sudah menunggunya.Dengan cekatan, Bu Lurah memakaikan jilbab. Bram berdiri untuk membantunya pindah ke kursi roda, tapi dengan halus Puspa menolak. Justru Puspa berpegangan pada ayahnya.Perawat yang mendorong Puspa keluar paviliun, sedangkan Bu Lurah dan Bram mengikuti di belakang. Pak
PERNIKAHAN - Titik Terang "Untuk, Bunda." Sony memberikan buket pada Puspa sambil berkata lirih setelah melihat Bu Lurah tidur. "Ada coklatnya, Bun.""Makasih, ya." Puspa mencium serangkaian bunga yang beraroma wangi. Ada bunga Peony kegemarannya.Sony duduk di kursi sebelah brankar dan Bram meletakkan roti bolen di atas meja, kemudian duduk di sebelah sang anak."Bunda, sakit apa?" "Bunda hanya kecapekan.""Oh. Habis Bunda perginya lama. Sony telepon juga nggak bisa. Ponsel Bunda rusak, ya?""Hmm, i-iya," jawab Puspa gagap setelah melihat isyarat mata yang ditunjukkan suaminya. "Sony, salim dulu sama Uti Rukayah." Bram menyuruh putranya untuk bersalaman dengan Bu Lurah yang terbangun.Bocah itu turun dan menghampiri ibunya Puspa. Bu Lurah mengusap lembut rambut Sony sambil tersenyum. Anak lelaki ini sangat sopan. Berbeda dengan kakaknya yang pendiam tapi terlihat judes. Namun begitu, Puspa tidak pernah cerita padanya tentang bagaimana perlakuan Vanya terhadapnya."Maaf, ibu tingg
Dua hari dirawat di rumah sakit, Puspa sudah terlihat segar. Tidak pucat lagi seperti kemarin. Dia juga tidak tiduran saja di hospital bed, kalau bosan ia mondar-mandir duduk di kursi dekat jendela kamar. Ini hari ketiga dan berharap bisa pulang. Tapi pulang ke mana? Kemantapannya pulang ke rumah orang tua mulai goyah oleh sikap Sony. Bocah itu selalu membesuknya setelah pulang sekolah. Sedangkan Vanya hanya sekali saja datang sehabis salat maghrib. Itu pun tidak lama terus pamitan pulang. "Bu, hari ini aku sudah bisa pulang, kan?" tanya Puspa pada sang ibu yang menemani siang itu."Besok, Nduk. Hari ini kamu masih ada jadwal konsultasi dengan psikiater. Jadwalmu jam satu siang ini. Kamu bisa meluapkan apa yang kamu rasakan pada dokter. Jangan ditutup-tutupi. Mengobati itu harus tahu apa penyakitnya. Kamu harus jujur juga. Ibu pengen kamu kembali seperti dulu. Anak ibu yang manis dan ceria.""Konsultasi ini sangat penting buatmu, Pus," tambah sang ayah. "Masa depanmu masih panjang.
Puspa menelan saliva. Nyeri menusuk relung hati mendengar kalimat terakhir suaminya. Mata Bram yang selalu menyorot tajam penuh ketegasan, kini terlihat tenang. Bram mengetuk pintu. Puspa masuk sedangkan dia menunggu di luar.Dokter Anggi sangat ramah, tenang, dan sabar. Khas sikap seorang psikiater. Di mulai dari perkenalan, ngobrol ringan, kemudian menanyakan tentang kondisi kesehatannya, lalu mendengarkan Puspa bercerita tentang apa yang dialaminya.Wanita setengah baya yang memakai hijab putih itu mendengarkan dengan seksama. Mencatat di buku tentang poin yang dianggap penting."Saya sangat memahami perasaan Mbak Puspa. Anda masih muda. Perjalanan masih panjang. Dari pribadi yang ceria, kemudian berubah drastis oleh peristiwa yang merenggut kesucian. Sekarang apa yang harus Mbak Puspa pulihkan? Pertama, rasa percaya diri."Self love. Dengan kembali mencintai diri sendiri apa adanya setelah apa yang Anda alami. Ini akan membantu Anda menjaga kesehatan mental. Mengobati rasa sesal.
PERNIKAHAN- Bunga untuk PuspaSebelum ke rumah sakit, Bram mampir dulu di florist. Kali ini dia tidak membeli buket bunga. Tapi memilih bunga primrose yang ada di pot kecil. Kebetulan sudah ada tiga kelopak bunganya yang mekar. Sengaja memilih bunga itu supaya awet. Puspa bisa menyimpan dan merawatnya. Kalau buket, setelah layu pasti di buang. Primrose di pot, bisa hidup jika terus dirawat. Sekalipun mungkin, Puspa tidak kembali ke rumahnya."Kenapa papa pilih bunga ini? Nggak kayak yang kemarin?" tanya Sony heran."Biar lebih awet. Bunga ini akan terus hidup jika bunda merawatnya."Bocah lelaki itu manggut-manggut."Ini ada pot yang lebih besar, Mas." Pemilik florist menunjuk pot warna putih. Dengan rimbunan bunga yang lebih banyak."Saya pilih yang ini saja, Mbak," jawab Bram. Sesuai dengan orang yang hendak diberi. Puspa yang mungil dan cantik. Katanya primrose melambangkan bunga cinta yang tulus dan sempurna. Puspa bisa melihatnya setiap hari jika menyiraminya nanti."Kalau pot
Puspa mengangguk. Bram segera bangkit untuk membawakan tasnya Puspa. Pak Lurah dan Bu Lurah membawa barang-barang lainnya, sedangkan Sony menggandeng bundanya.Bram meletakkan semua barang-barang di bagasi, kemudian membuka pintu mobil untuk istri dan anaknya. Setelah itu dia menghampiri dan bicara dengan mertua. "Yah, saya izin membawa Puspa kembali ke rumah. Saya janji akan menjaganya dengan baik."Pak Lurah memandang putrinya yang sudah duduk di dalam mobil. Antara tega dan tidak. Puspa itu anak yang paling dekat dengannya semenjak kecil daripada sang kakak. Indah lebih dekat ke ibunya."Saya titip Puspa, Nak Bram. Kalau sampai dia membuat Nak Bram kecewa, pulangkan saja secara baik-baik pada kami. Sebagaimana Nak Bram mengambilnya secara baik-baik dari kami dulu." Ucapan dengan intonasi tenang dari Pak Lurah, membuat Bram serba salah."Saya paham, Yah. Maafkan saya atas permasalahan kemarin. Saya janji akan menjaga dan melindungi Puspa setelah ini."Pak Lurah menepuk bahu sang men
Namun Dahlan juga heran. Di tahun-tahun sebelumnya, Bram menolak berkecimpung dalam dunia politik. Dia tidak pernah menunjukkan siapa calon yang didukungnya saat pemilihan lurah, bupati, gubernur, presiden, dan para caleg begini. Bram juga menolak tegas saat ada calon yang datang melobinya."Ini butuh info secepatnya, Bos?" tanya Dahlan."Lebih cepat lebih baik.""Oke." Dahlan beranjak keluar dari kantor Bram saat mendengar suara truk memasuki halaman.Bram meraih ponsel untuk menelepon dokter Anggi."Ya, Mas Bram. Pasti udah nggak sabar mau mendengar hasil konsultasi kemarin.""Maaf, kalau saya mengganggu dokter siang-siang begini.""Nggak apa-apa. Tapi hari ini Mbak Puspa sudah boleh pulang, kan?""Alhamdulillah, kami sekarang sudah di rumah, Dok.""Oh, syukurlah. Dua hari lagi jadwal konsultasi untuk Mbak Puspa. Jam delapan pagi ya, Mas Bram.""Iya, Dok. Bagaimana dengan konsultasi kemarin?""Mbak Puspa menceritakan semuanya. Yang jelas istri Anda sangat insecure saat berhadapan de
PERNIKAHAN - Janji Puspa membuka handle pintu kamar, tapi urung keluar saat mendengar suara Vanya dan seorang wanita di dekat tangga. Ketika diintip, Puspa tahu siapa perempuan berbaju ungu yang bersama putri tirinya. Mereka sempat bertemu ketika Santi menghadiri pernikahannya dengan Bram."Makasih banyak, Tan. Cepet banget ya penjahitnya." Vanya membentang seragam baru di tangannya. Mereka juga melangkah duduk di sofa."Memang tante yang nyuruh supaya dikerjain duluan. Hari Senin kan mau kamu pakai. Kamu jadi nginap di rumah nenek, nggak? Sekalian bareng tante saja.""Iya, aku males di rumah. Perempuannya papa sudah pulang." Jawaban Vanya cukup mencubit dada Puspa. Sakit sekali. Perempuan. Itu sebutan Vanya untuknya, tidak ada sopan-sopannya. Diucapkan dengan nada sinis pula."Jadi dia sudah pulang?" Santi bertanya dengan suara berbisik. Namun Puspa masih bisa mendengarnya karena ruang lantai dua cukup hening. Perasaannya yang sedikit tenang, kini terkoyak kembali."Iya. Main kabur
"Bagaimana, May?" teriak Dikri. Tidak sabar menyambut Maya yang keluar dari kamar mandi malam itu."Bentar!"Dikri mondar-mandir menunggu. Dia berharap ada kabar bahagia malam ini. Sudah membayangkan memiliki anak perempuan yang cantik. Biar terobati rindunya pada Denik.Maya keluar dari kamar mandi."Bagaimana?" "Aku hamil," ucap Maya dengan suara bergetar dan netra berkaca-kaca. Menunjukkan testpack dengan garis dua di tangannya.Mata Dikri membelalak dan langsung memeluk Maya dengan erat, hampir tak percaya dengan kabar bahagia itu meski harapannya begitu besar. "Alhamdulillah."Akhirnya setelah dua bulan menikah, Maya baru hamil. Biar menepis dugaan sebagian orang kalau mereka menikah diam-diam karena Maya hamil duluan.Tidak adanya resepsi dan nikah dadakan membuat beberapa orang berprasangka buruk. Apalagi Maya seorang janda."Besok kita cek ke dokter, Mas. Baru ngasih tahu orang tua kita.""Iya." Dikri masih speechless. Tak henti ia mengucap syukur. Masih diberikan kesempatan
"Sampai sekarang Rayyan belum tahu kalau akulah yang menghancurkan harapannya. Semoga sampai kapanpun dia nggak akan pernah tahu, Ma.""Baiklah kalau gitu. Kita nggak usah ngadain resepsi saja." Bu Ira mengelus punggung putranya sambil tersenyum. Dalam hati berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja. Dikri dan Maya bahagia.***L***Dua bulan sudah Dikri dan Maya menjadi pasangan suami istri. Mereka tinggal di rumah orang tua Maya karena Bu Anang di Surabaya menunggui Mika yang hendak bersalin. Tiap akhir pekan mereka menginap di rumah orang tua Dikri atau berkunjung ke Surabaya.Maya membuka jendela dapur saat matahari pagi sudah menerobos masuk. Tiap selesai salat subuh, ia akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Selalu memastikan pagi mereka dimulai dengan sarapan bersama sebelum berangkat kerja. Meski sama-sama sibuk. Salah satu kebiasaan mereka adalah mengatur makan siang bersama setidaknya dua kali seminggu. Kalau Dikri ada acara di luar kantor, ia akan menjemput Maya untu
PERNIKAHAN - Bidadari Kecil "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Di depan pintu ada Rayyan bersama Najiya yang tengah hamil besar."Hai, Ray. Ayo, masuk!" Dikri bangkit dan menyambut tamunya. Mereka jarang sekali bertemu dan berkomunikasi lewat telepon. Rayyan pasti lebih sibuk setelah menikah.Maya memperhatikan pasangan itu. Dia belum pernah melihatnya. Karena hampir kenal semua teman-teman Dikri."Nikah nggak ngabarin sih, Mas," protes Rayyan sambil bersalaman. Kemudian ia dan Najiya menyalami Maya, Pak Maksum, dan Bu Ira. Dikri mengenalkan Maya pada Rayyan dan Najiya."Mari silakan duduk," ujar Bu Ira."Maaf, rencananya kan mau tunangan dulu. Tapi kami langsung nikah siri atas saran keluarga. Baru nanti mendaftarkan pernikahan ke KUA. Kapan kalian datang?""Tadi pagi. Dan kami dikasih tahu sama Budhe. Alhamdulilah, saat berulang kali kutanyai Mas Dikri bilang nggak punya pacar. Eh tiba-tiba saja nikah. Rupanya main rahasia selama ini."Dikri tertawa. "Tanyakan ke Budhe, giman
"Apa dulu itu, kamu menyukai gadis lain, Dik? Makanya dengan berbagai alasan kamu menunda pernikahan kita?" Namun pertanyaan itu hanya terucap dalam dada. Dia tidak akan menanyakannya dan tidak usah tahu. Yang penting mereka sekarang berkomitmen untuk melangkah beriringan membina masa depan. Lupakan masa lalu. Sepahit apapun itu. Dirinya sudah menerima Dikri dan menerima seluruh kisahnya."Kita akan saling mencintai sampai kapanpun, May." Dikri mengecup puncak kepala istrinya. Ia menyadari betapa beruntungnya memiliki Maya. Dikri berjanji dalam hati untuk selalu menjaga Maya, melindunginya, dan menjadi suami yang setia.Maya mengeratkan pelukan. Keduanya terhanyut dalam perasaan dan tuntutan kebutuhan ragawi. Ternyata Maya sudah mengenakan gaun istimewa untuk suaminya. Membuat mereka tidak sabar untuk segera tenggelam menikmati malam pernikahan.Sarangan menjadi saksi keduanya untuk menyempurnakan hubungan. Maya tidak pernah tahu, bahwa dia bukan yang pertama bagi Dikri. "Dik, kita
"Setelah ini kamu dan Dikri harus mulai membahas mau tinggal di mana, May. Sebab Dikri pun sekarang menjadi anak tunggal. Jangan sampai hal begini akan jadi masalah. Kalau Mas, maunya kamu nemenin Mama," kata Bayu."Mas Bayu, nggak usah khawatir deh. Mama akan ikut aku ke Surabaya. Nungguin aku lahiran. Jangan khawatir, ada ART di rumah jadi Mama hanya duduk mengawasi saja saat kami tinggal kerja. Iya kan, Ma?" Si bungsu merangkul bahu mamanya.Sejak menikah, Mika memang mau mengajak mamanya tinggal bersama. Tapi Bu Anang menolak dengan alasan, kasihan Maya sendirian."Sekarang Mbak Maya kan sudah menikah, Ma. Ada suami yang jagain. Jadi Mama nggak perlu khawatir lagi."Bu Anang memandang Maya. Anak yang paling dekat dengannya. Dibanding dengan kedua saudaranya. Maya yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung. Itu pun karena ada andil orang tua yang memaksakan kehendak."Nggak apa-apa Mama ikut ke Surabaya. Kalau pengen pulang ke Nganjuk kan bisa kami jemput. Pengen ke Surabaya bisa
PERNIKAHAN- Semalam di Telaga Sarangan "Mbak, dulu dia mengulur-ulur waktu nikahin aku. Sekarang dia maunya buru-buru. Kami nikah secepat kilat kayak habis di gropyok hansip saja.""Sssttt, jangan ngomong begitu. Memang takdir jodoh kalian baru sekarang," jawab sang kakak ipar seraya mengaplikasikan bedak di wajah Maya. "Apapun yang pernah terjadi, Mbak salut kalian bisa kembali bersama. Ini jodoh yang sempat belok arah namanya." Nafa, istrinya Bayu terkekeh. "Mbak aja kaget waktu dikabari mama.""Aku sendiri rasanya nggak percaya. Padahal aku sudah mengubur dalam-dalam harapan itu.""Kalian ini jodoh yang tertunda. Mbak doain kalian bahagia. Jangan tunda, segeralah punya momongan. Usiamu sudah tiga puluh tiga tahun, kan?"Maya mengangguk. Make up sudah selesai. Maya membuka lemarinya dan mengambil kebaya warna putih tulang. Itu baju yang ia pakai di hari pernikahan adik perempuannya. Mika. Baru setahun yang lalu, pasti masih muat. Modelnya simple, masih mewah kebaya pengantin saat
"Sudah kubilang kalau itu bukan masalah bagiku. Kamu nggak harus berkata panjang lebar, May. Cukup bilang, ya atau tidak. Aku sudah mengerti." Dikri memandang Maya. Sedangkan Maya memandang gerimis di hadapannya. Pemandangan sore ini begitu indah. Wanita itu menoleh pada lelaki di sebelahnya. "Ya," ucapnya pasti.Senyum Dikri merekah,terlihat sangat lega. Kali ini sesuai seperti apa yang ia harapkan. "Aku akan membicarakannya dengan papa dan mama. Sudah pasti dalam waktu dekat ini, aku akan datang untuk melamarmu.""Aku ingin acara yang sederhana saja.""Aku setuju. Bagaimana kalau hari Minggu ini kami ke rumahmu.""Minggu ini?" Maya kaget. Dia pikir tidak akan secepat ini meski pun sudah mengiyakan."Iya.""Dik, aku belum ngabarin Mas Bayu. Belum tentu kalau dadakan gini dia bisa pulang. Dia yang sekarang menjadi waliku setelah papa tiada.""Ya, aku ngerti. Kalau gitu, kutunggu kabar darimu. Tapi nanti aku ingin ketemu mamamu sebentar saja.""Oke." Keduanya saling pandang. Kemudian
"Kita bisa berjuang bersama-sama, May. Jangan lagi menyesali masa lalu. Kita buka lembaran baru.""Dik, kasih aku waktu untuk bicara dengan mamaku.""Apa aku perlu bicara langsung dengan beliau sekarang.""Jangan. Biar aku saja. Besok sepulang kerja kita bisa ketemuan. Aku sudah merasa lebih baik, jadi besok bisa masuk kerja."Dikri mengangguk. "Baiklah. Kalau gitu, aku pamit pulang. Aku mau pamitan sama mamamu." Dikri memandang pintu tengah yang menghubungkan dengan ruang belakang."Bentar." Maya bangkit dari duduknya dan mencari mamanya di belakang.Bu Anang muncul seraya tersenyum. "Mau balik, Nak Dikri?""Ya, Bu. Terima kasih untuk makan malamnya. Saya ke sini malah ngerepotin.""Nggak ngerepotin. Hati-hati ya! Salam buat Pak Maksum dan Bu Ira.""Iya, Bu." Dikri mencium tangan Bu Anang, kemudian melangkah keluar di antar oleh Maya hingga ke teras. "Besok pagi kujemput. Kuantar ke tempat kerjamu. Biar sorenya kita bisa ketemuan.""Nggak usah. Aku bisa berangkat bareng temanku.""Ok
PERNIKAHAN - Mendadak NikahMaya spontan membeku dan bertambah pucat. Apa dia tidak salah dengar. Namun lelaki di hadapannya ini tampak sangat serius. Maya menghela nafas panjang untuk menghilangkan debaran dalam dada."Dik, kemarin dokter bilang aku hanya kecapekan, sekarang kamu ingin membuatku jantungan? Jangan bercanda, deh!""Aku nggak bercanda, May. Sumpah!"Suhu tubuh Maya yang mulai normal, kini rasanya kembali panas dingin. Sama sekali dia tidak kepikiran lagi bisa kembali bersama Dikri, meski hubungan mereka membaik belakangan ini."Aku serius, May."Maya serasa menggigil. Dia memang mencintai Dikri, tapi sejak putusnya pertunangan mereka dan Maya menikah dengan laki-laki lain, ia berusaha melupakan perasaan itu. Mengubur harapannya. Ada hal-hal yang tidak dipahami oleh Maya tentang Dikri. Di mana lelaki itu tidak begitu peduli dengan hubungan mereka disaat masih terikat pertunangan. Maya pun sebenarnya merasakan hal itu, meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mengun