Dua hari dirawat di rumah sakit, Puspa sudah terlihat segar. Tidak pucat lagi seperti kemarin. Dia juga tidak tiduran saja di hospital bed, kalau bosan ia mondar-mandir duduk di kursi dekat jendela kamar. Ini hari ketiga dan berharap bisa pulang. Tapi pulang ke mana? Kemantapannya pulang ke rumah orang tua mulai goyah oleh sikap Sony. Bocah itu selalu membesuknya setelah pulang sekolah. Sedangkan Vanya hanya sekali saja datang sehabis salat maghrib. Itu pun tidak lama terus pamitan pulang. "Bu, hari ini aku sudah bisa pulang, kan?" tanya Puspa pada sang ibu yang menemani siang itu."Besok, Nduk. Hari ini kamu masih ada jadwal konsultasi dengan psikiater. Jadwalmu jam satu siang ini. Kamu bisa meluapkan apa yang kamu rasakan pada dokter. Jangan ditutup-tutupi. Mengobati itu harus tahu apa penyakitnya. Kamu harus jujur juga. Ibu pengen kamu kembali seperti dulu. Anak ibu yang manis dan ceria.""Konsultasi ini sangat penting buatmu, Pus," tambah sang ayah. "Masa depanmu masih panjang.
Puspa menelan saliva. Nyeri menusuk relung hati mendengar kalimat terakhir suaminya. Mata Bram yang selalu menyorot tajam penuh ketegasan, kini terlihat tenang. Bram mengetuk pintu. Puspa masuk sedangkan dia menunggu di luar.Dokter Anggi sangat ramah, tenang, dan sabar. Khas sikap seorang psikiater. Di mulai dari perkenalan, ngobrol ringan, kemudian menanyakan tentang kondisi kesehatannya, lalu mendengarkan Puspa bercerita tentang apa yang dialaminya.Wanita setengah baya yang memakai hijab putih itu mendengarkan dengan seksama. Mencatat di buku tentang poin yang dianggap penting."Saya sangat memahami perasaan Mbak Puspa. Anda masih muda. Perjalanan masih panjang. Dari pribadi yang ceria, kemudian berubah drastis oleh peristiwa yang merenggut kesucian. Sekarang apa yang harus Mbak Puspa pulihkan? Pertama, rasa percaya diri."Self love. Dengan kembali mencintai diri sendiri apa adanya setelah apa yang Anda alami. Ini akan membantu Anda menjaga kesehatan mental. Mengobati rasa sesal.
PERNIKAHAN- Bunga untuk PuspaSebelum ke rumah sakit, Bram mampir dulu di florist. Kali ini dia tidak membeli buket bunga. Tapi memilih bunga primrose yang ada di pot kecil. Kebetulan sudah ada tiga kelopak bunganya yang mekar. Sengaja memilih bunga itu supaya awet. Puspa bisa menyimpan dan merawatnya. Kalau buket, setelah layu pasti di buang. Primrose di pot, bisa hidup jika terus dirawat. Sekalipun mungkin, Puspa tidak kembali ke rumahnya."Kenapa papa pilih bunga ini? Nggak kayak yang kemarin?" tanya Sony heran."Biar lebih awet. Bunga ini akan terus hidup jika bunda merawatnya."Bocah lelaki itu manggut-manggut."Ini ada pot yang lebih besar, Mas." Pemilik florist menunjuk pot warna putih. Dengan rimbunan bunga yang lebih banyak."Saya pilih yang ini saja, Mbak," jawab Bram. Sesuai dengan orang yang hendak diberi. Puspa yang mungil dan cantik. Katanya primrose melambangkan bunga cinta yang tulus dan sempurna. Puspa bisa melihatnya setiap hari jika menyiraminya nanti."Kalau pot
Puspa mengangguk. Bram segera bangkit untuk membawakan tasnya Puspa. Pak Lurah dan Bu Lurah membawa barang-barang lainnya, sedangkan Sony menggandeng bundanya.Bram meletakkan semua barang-barang di bagasi, kemudian membuka pintu mobil untuk istri dan anaknya. Setelah itu dia menghampiri dan bicara dengan mertua. "Yah, saya izin membawa Puspa kembali ke rumah. Saya janji akan menjaganya dengan baik."Pak Lurah memandang putrinya yang sudah duduk di dalam mobil. Antara tega dan tidak. Puspa itu anak yang paling dekat dengannya semenjak kecil daripada sang kakak. Indah lebih dekat ke ibunya."Saya titip Puspa, Nak Bram. Kalau sampai dia membuat Nak Bram kecewa, pulangkan saja secara baik-baik pada kami. Sebagaimana Nak Bram mengambilnya secara baik-baik dari kami dulu." Ucapan dengan intonasi tenang dari Pak Lurah, membuat Bram serba salah."Saya paham, Yah. Maafkan saya atas permasalahan kemarin. Saya janji akan menjaga dan melindungi Puspa setelah ini."Pak Lurah menepuk bahu sang men
Namun Dahlan juga heran. Di tahun-tahun sebelumnya, Bram menolak berkecimpung dalam dunia politik. Dia tidak pernah menunjukkan siapa calon yang didukungnya saat pemilihan lurah, bupati, gubernur, presiden, dan para caleg begini. Bram juga menolak tegas saat ada calon yang datang melobinya."Ini butuh info secepatnya, Bos?" tanya Dahlan."Lebih cepat lebih baik.""Oke." Dahlan beranjak keluar dari kantor Bram saat mendengar suara truk memasuki halaman.Bram meraih ponsel untuk menelepon dokter Anggi."Ya, Mas Bram. Pasti udah nggak sabar mau mendengar hasil konsultasi kemarin.""Maaf, kalau saya mengganggu dokter siang-siang begini.""Nggak apa-apa. Tapi hari ini Mbak Puspa sudah boleh pulang, kan?""Alhamdulillah, kami sekarang sudah di rumah, Dok.""Oh, syukurlah. Dua hari lagi jadwal konsultasi untuk Mbak Puspa. Jam delapan pagi ya, Mas Bram.""Iya, Dok. Bagaimana dengan konsultasi kemarin?""Mbak Puspa menceritakan semuanya. Yang jelas istri Anda sangat insecure saat berhadapan de
PERNIKAHAN - Janji Puspa membuka handle pintu kamar, tapi urung keluar saat mendengar suara Vanya dan seorang wanita di dekat tangga. Ketika diintip, Puspa tahu siapa perempuan berbaju ungu yang bersama putri tirinya. Mereka sempat bertemu ketika Santi menghadiri pernikahannya dengan Bram."Makasih banyak, Tan. Cepet banget ya penjahitnya." Vanya membentang seragam baru di tangannya. Mereka juga melangkah duduk di sofa."Memang tante yang nyuruh supaya dikerjain duluan. Hari Senin kan mau kamu pakai. Kamu jadi nginap di rumah nenek, nggak? Sekalian bareng tante saja.""Iya, aku males di rumah. Perempuannya papa sudah pulang." Jawaban Vanya cukup mencubit dada Puspa. Sakit sekali. Perempuan. Itu sebutan Vanya untuknya, tidak ada sopan-sopannya. Diucapkan dengan nada sinis pula."Jadi dia sudah pulang?" Santi bertanya dengan suara berbisik. Namun Puspa masih bisa mendengarnya karena ruang lantai dua cukup hening. Perasaannya yang sedikit tenang, kini terkoyak kembali."Iya. Main kabur
"Papa tidak melarangmu nginap di rumah nenek. Tapi ingat, papa tidak ingin kamu kembali ke rumah ini membawa cerita yang berbeda. Papa belum bisa cerita, Vanya. Tapi kita punya kehidupan sendiri dan privasi di rumah ini, yang orang luar tidak perlu tahu. Sekalipun itu nenek, tante, atau saudara mama yang lain. Kamu paham?""Iya," jawab Vanya pelan."Mama Sandra tidak bakalan bisa tergantikan oleh siapapun sebagai ibu kandung kamu. Tapi kamu juga harus menghormati Bunda. Jika kamu wajib menutupi perihal apapun tentang mama, itu juga yang harus kamu lakukan terhadap bunda. Papa tidak ingin, orang luar tahu apa yang terjadi di rumah ini. Termasuk tentang kepergian bunda beberapa hari kemarin. Kamu tidak mengerti apa yang terjadi dengan permasalahan orang dewasa, Vanya."Satu lagi, kita memang memiliki hubungan keluarga dengan nenek dan Tante Santi. Tapi papa punya kehidupan pribadi yang tidak seharusnya mereka tahu. "Kalau kamu anggap kepergian papa beberapa waktu yang lalu itu karena t
Saat mereka sampai di ruang makan, Sony juga pulang dari bermain. Bocah lelaki itu langsung masuk kamar mandi untuk cuci tangan dan kaki. Kemudian bergabung di meja makan. Puspa senang, ada Sony di antara mereka yang bisa mencairkan suasana.***L***Bulan purnama bulat sempurna menghias langit malam. Cahayanya jatuh pada pucuk-pucuk daun pepohonan rindang dan biasnya menembus menyentuh tanah menampakkan bayang-bayang yang indah, karena diembus angin sepoi-sepoi.Puspa berdiri menikmati malam dari balkon kamar. Sedangkan Bram menerima tamu di lantai bawah.Bagaimana hari esok? Apa dia akan bertahan di sini sebagai istri atau pergi dengan status sebagai mantan. Perkataan Vanya tadi siang masih terngiang di telinga. Jadi sebenarnya Vanya mengharapkan Santi-lah yang akan menjadi pengganti mamanya. Namun justru papa mereka menikahinya. Satu kenyataan yang menambah sesak beban dalam dada."Kalau ada yang mengganjal, tentang apapun itu. Sebaiknya dibahas bersama suami. Mbak Puspa, nggak bisa