Indah tidak tertarik sama sekali dengan wajah memelas yang ditunjukkan oleh suaminya. Kalau dulu dirinya gampang sekali luluh, tapi sekarang hatinya membeku. Sakit sekali ayahnya dituduh Irwan dengan prasangka menjijikan."Aku memang salah. Aku terlalu terbawa masalah keluargaku, tapi aku nggak pernah bermaksud meremehkan apa yang terjadi sama Puspa. Aku benar-benar minta maaf. Sekarang Dikri pun ingin meminta maaf."Mereka semua menoleh ke arah pintu rumah saat Pak Lurah sudah berdiri di sana. Lelaki sepuh itu pun terkejut melihat siapa yang datang. Tatapannya tajam dan menyala seolah hendak menikam dan membakar dua lelaki yang kini ada di hadapannya."Yah." Irwan menghampiri ayah mertua dan mencium tangan. Sedangkan Dikri benar-benar seperti arca yang kaku. Tak menyangka sore itu kedatangan mereka membawa ketegangan baru. Suasana langsung berubah. Ketegangan menjalar di antara mereka.Pak Lurah mengepalkan kedua tangan saat memandang Dikri. Tatapannya penuh kemarahan. "Kamu bernyali
Dikri masih menunduk. "Saya tahu nggak ada yang bisa menghapus apa yang telah saya dan keluarga saya lakukan pada Puspa, Pak. Saya sudah menghancurkan kehormatannya. Tapi waktu itu saya benar-benar ingin bertanggung jawab atas kesalahan ini. Saya mencintai Puspa dan ingin menikahinya sebagai bentuk tanggungjawab. Tapi orang tua saya melarang. Sekarang, kalau Pak Lurah dan Puspa ingin saya mengakui semuanya di depan hukum, saya siap."Tidak hanya Pak Lurah, darah Bram ikutan mendidih ketika mendengar pengakuan cinta lelaki itu. Namun itu cerita tentang sebelum ia menikahi Puspa. Bram pun harus berpikir waras dan cerdas. Bukan memperkeruh keadaan dengan menghakimi masa lalunya, tapi menerima Puspa apa adanya. Sekarang Puspa sudah menjadi miliknya. Jika kembali Dikri mengganggu, Bram baru bertindak. Suasana panas begini, Bram harus bersikap bijaksana dan bisa menahan diri. Kalau sampai terjadi keributan, aib Puspa tentang pemerkosaan itu pasti akan diketahui banyak orang.Bu Lurah memeg
PERNIKAHAN- Semua PergiBu Lurah tergesa dari dalam untuk menghampiri sang cucu, tapi keduluan Irwan yang akhirnya menggendong Naina. Dihapusnya air mata bocah perempuan yang merambat di pipi. Indah juga menghampiri putrinya.Sedangkan Dikri sedih menyaksikan itu semua. Dia sebagai anak juga menjadi korban keegoisan orang tuanya. Tak sampai hati melihat anak sekecil Naina akan mengalami hal yang serupa."Kenapa Papa dan Mama bertengkar?" tanya Naina di sela isaknya."Kami nggak bertengkar," jawab Irwan dengan suara lembut."Tadi itu apa? Naina melihat papa sama mama bertengkar sejak di depan sana." Naina melihat ke arah joglo. Rupanya sang anak sudah memperhatikan sejak tadi. Indah menghela nafas panjang. Kenapa dia tidak kepikiran kalau Naina bisa saja mengintip meski sudah menyuruh anaknya masuk ke dalam rumah. Indah memegang lengan putrinya. "Sini, sama mama. Mama nggak bertengkar tadi." Indah bicara sambil memeluk Naina. Bagaimana ia harus menjelaskan pada sang anak. Yang pasti
Anak-anak masuk dan mencium tangan kedua orang tuanya. Vanya mencomot satu udang krispi lalu di cocolkan ke saus sambal. "Enak, Bun," pujinya sambil mengunyah."Besok pagi aku bawain bekal udang krispi aja, Bun," lanjutnya."Kamu dapat jatah makan siang di sekolah kan, Kak," ujar Bram."Iya, Pa. Tapi kan boleh juga bawa lauk dari rumah.""Oke. Besok pagi Bunda bikinkan udang krispi.""Makasih, Bun." Vanya berlalu menaiki tangga."Aku juga mau, Bun." Sony ikut nimbrung . "Oke, Sayang.""Makasih ya, Bun." Sony mengambil lagi satu udang kemudian beranjak ke depan televisi, karena tidak ingin ketinggalan film kartun kesukaannya.Kemudian Puspa membawa sepiring ubi rebus, Bram membawa minumnya dan mereka naik ke kamar dan duduk di balkon. Menikmati gerimis yang masih turun dan menguarkan hawa dingin."Mas sebenarnya khawatir denganmu tadi. Tapi mas lega setelah melihatmu ceria." Bram bicara sambil makan ubi ungu yang dipanen Mak Sri di kebun belakang gudang."Nggak ada alasan aku nggak ba
"Mereka bisa bertahan dengan membuka komunikasi dua arah dengan baik. Toh mereka sudah menjalani pernikahan selama sembilan tahun. Berteman dan pacaran saja sudah bertahun-tahun juga. Kalau kamu diajak ngobrol sama kakakmu, tolong sarankan supaya mereka berdua mengikuti konseling pernikahan. Dengan bantuan profesional, mereka bisa menyelamatkan pernikahan. Sebab tidak semua permasalahan rumah tangga, harus diselesaikan dengan perceraian, Puspa. Apalagi permasalahan ini, bukan karena perselingkuhan. "Mas juga marah, saat ayah dicurigai Irwan tentang dana kampanye. Namun masih bisa dibicarakan kalau Irwan ada itikad baik untuk meminta maaf dan berubah. Sekalipun ayah sangat keras, tapi beliau orang tua yang bijaksana.""Iya, kalau nanti Mbak Indah ngajak ngobrol, aku bilang gitu, Mas.""Itu hanya saran. Kita tidak tahu pasti apa yang terjadi dalam rumah tangga mereka.""Hu um. Makasih banyak, Mas.""Sudah berapa kali kamu bilang terima kasih?""Aku belajar darimu, kan? Mas, selalu bila
PERNIKAHAN - Hadiah Anniversary "Makasih banyak sudah bantuin saya tadi. Mas, mau pulang ke mana?" Dikri menyalami Rayyan."Ke Kediri, Mas. Saya asli Surabaya tapi saya kerja di Kediri. Mas, mau ke mana?""Rumah saya di Nganjuk sini saja. Berapa nomor ponselnya, kalau saya ke Kediri saya hubungi dan kita bisa ketemuan." Dikri mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Mencatat nomer yang disebutkan oleh Rayyan."Kapan-kapan kita ketemu, Mas," ujar Dikri.Rayyan tersenyum kemudian pamitan. "Saya pergi dulu ya, Mas."Dikri mengangguk. Mereka masuk mobil masing-masing dan akhirnya berpisah di pertigaan. Rayyan belok ke kiri, jalan ke arah Kediri. Sementara Dikri mengambil jalan lurus untuk mampir ke rumah pengacara papanya. Ingin rasanya tidak peduli lagi pada sang papa, tapi hati kecilnya pun tak tega. Seburuk apapun Pak Maksum adalah papanya. Orang yang pernah mendekapnya dengan kasih sayang, entah setulus apa cinta itu untuknya. Dia juga seorang papa yang membiayai hidupnya selama in
"Saya mengerti. Bagaimana kalau saya menemui Pak Hendra, Pak. Walaupun mungkin akan sia-sia, tapi setidaknya saya sudah berusaha.""Oke. Saya salut sama Anda, Mas Dikri. Dalam keadaan sudah hancur begini, masih berpikir keras untuk memulihkan keadaan."Dikri tersenyum tipis. Mungkin dengan cara seperti ini, dia bisa menebus kesalahannya. Tetap berbakti sebagai anak, terlepas dari sifat egois kedua orang tuanya.***L***Sabtu jam sepuluh pagi, Dikri sudah sampai di alamat yang diberikan oleh Pak Ali tadi malam. Dikri sadar, mungkin ini kesempatan terakhirnya untuk mencoba berbicara dari hati ke hati dengan suami dari wanita yang menjadi selingkuhan sang papa. Dengan tekad yang kuat, ia melangkah ke rumah besar dan megah yang kini seolah menjadi simbol kehancuran sebuah keluarga.Setelah bicara dengan ART yang menemuinya, tidak lama kemudian muncul seorang laki-laki pendek berperut buncit. Wajahnya menunjukkan ketegasan dan kemarahan yang belum reda. Mata mereka bertemu."Punya keberan
"MasyaAllah, terima kasih, Ma." Bram merangkul mamanya. Ganti Puspa pula yang memeluk sang mertua. Mendapatkan mertua yang baik, merupakan rezeki yang tiada terkira. "Kami berangkat dulu ya, Ma. Titip anak-anak.""Hati-hati ya kalian. Jangan khawatirkan anak-anak di rumah.""Makasih, Ma," jawab Puspa.Bu Dewi memperhatikan anak dan menantunya melangkah pergi. Baru kembali fokus pada tanaman bunganya setelah mobil Bram berderu meninggalkan rumah.Perjalanan ini sangat panjang. Sebab Bram menepati janjinya untuk membawa Puspa ke pantai. Pilihannya adalah Pantai Balekambang yang berada di pesisir Malang Selatan. 4 jam 15 menit melewati tiga kota. Bram berhenti dua kali untuk istirahat.Sekarang mereka sudah memasuki sebuah hotel yang akan menjadi tempat menginap untuk tiga hari dua malam.Puspa langsung melepaskan jilbab, membersihkan diri, salat zhuhur, baru kemudian berbaring di ranjang."Capek?" Bram mendekat."Hmm, jauh juga ya, Mas?""Lumayan.""Kamu tampak tegang di perjalanan tadi
PERNIKAHAN - Nikah, yuk!Dikri memperhatikan seorang perempuan yang memakai setelan kantoran warna abu-abu berdiri di seberang jalan. Segera disusulnya Maya untuk diseberangkan. Karena lalu lintas sangat ramai."Kamu istirahat sampai jam berapa?" tanya Dikri saat mereka berjalan beriringan masuk ke rumah makan."Jam satu lebih tiga puluh lima menit. Tapi aku harus salat zhuhur juga."Mereka duduk dan langsung memesan makanan. "Kamu biasa makan siang di sini?" tanya Dikri."Nggak. Biasanya aku bawa bekal atau makan di kantin. Kebetulan hari ini aku nggak bawa karena tadi aku dan mama bangun kesiangan. Siang ini pas banget dapat traktiran." Maya terkekeh. Dia terlihat ceria daripada saat bertemu Dikri beberapa waktu yang lalu. "Oh ya, tadi kamu bertemu klien di mana?""Di Kertosono.""Setelah ini nanti langsung kembali ke kantor?""Iya. Kamu pulang jam berapa?""Jam empat. Kalau banyak kerjaan, kadang jam tujuh malam baru nyampe rumah.""Makan dulu, May." Dikri mempersilakan saat pra
Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Maya memandangi suasana alun-alun yang selalu ramai di Minggu pagi.Meski mereka sudah berbincang-bincang, tapi Dikri tidak memberitahu bahwa ia pernah melihat mantan suami Maya bersama wanita lain di dalam mobil."Oh ya, kamu belum punya anak?""Pernikahanku sebenarnya dibilang baik-baik saja hanya dua bulan, Dik. Selebihnya kami pisah rumah hingga bercerai. Dia sudah membawa wanita lain ke rumah semenjak ketahuan selingkuh. Mungkin ini balasanku karena ninggalin kamu disaat sedang butuh dukungan.""Nggak, May. Jangan punya pikiran seperti itu. Anggap semuanya takdir." Dikri tidak ingin Maya punya pikiran demikian, karena dirinya juga bukan tunangan yang baik. "Nomer teleponmu masih sama?""Aku sudah ganti nomer semenjak menikah.""Boleh minta?""Iya."Keduanya menyimpan nomer masing-masing. Dilanjut berbincang hingga hari beranjak siang. "Sudah siang, aku mau pulang dulu, Dik. Kapan-kapan ketemuan lagi.""Kamu naik apa?"
Maya diam sejenak. Ada jeda yang panjang, Maya tidak tahu harus mulai dari mana. Wajah Maya tertunduk. Sejujurnya, sejak ia bercerai, ia kerap membayangkan jika takdir membawanya bertemu Dikri lagi. Namun itu sungguh tidak tahu diri. Dia yang tega memutuskan pertunangan mereka disaat Dikri sedang terpuruk."Dikri, aku …" Maya menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Banyak hal yang terjadi dalam hidupku setelah kita ....""Setelah kamu menikah?" potong Dikri seolah tidak ada beban. Dia sudah melupakan dan tidak pernah dendam pada Maya setelah ditinggalkan.Maya mengangguk, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya. "Iya. Pernikahan itu nggak seperti yang kubayangkan. Setelah beberapa bulan, suamiku mulai berubah. Dia kasar, dan ternyata dia juga selingkuh. Aku malu cerita seperti ini sama kamu. Aku merasa sangat bersalah telah meninggalkanmu di saat-saat sulit demi menuruti keinginan orang tuaku."Kami memutuskan hubungan pertunangan waktu itu juga
PERNIKAHAN- Teman Lama"Kamu pakai baju seperti itu?" seloroh Bu Ira saat melihat Dikri keluar kamar hanya memakai kaus dan celana pendek."Iya, Ma. Memangnya kenapa?"Bu Ira tampak termangu sejenak. Kalau sang anak memakai baju seperti itu, berarti dia tidak sedang janjian sama cewek. "Oh, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan. Kamu mau ketemuan sama temanmu di mana?""Di car free day, Ma.""Jam segini car free day sudah buyar, Dik." Bu Ira memandang jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan."Kami cuman mau ngopi sama ngobrol. Siapa tahu ada prospek bisnis yang bisa kujadikan sampingan.""Ya sudah.""Aku pergi dulu, Ma. Motornya kubawa. Assalamu'alaikum.""Iya, hati-hati. Wa'alaikumsalam," jawab Bu Ira seraya membereskan meja makan. Kecewa. Ternyata belum ada tanda-tanda Dikri dekat dengan perempuan.Motor Dikri melaju pelan di jalan desa pinggir sawah. Sinar matahari semakin terang, membuat embun di dedaunan perlahan-lahan menguap dan menghilang. Namun, kesejukan pagi masih
"Semoga kamu selalu sehat sampai lahiran. Mbak ikut bahagia, Pus." Netra Indah berkaca-kaca. "Aamiin." Puspa merangkul sang kakak. Sekali pun sudah ikhlas menerima kondisinya, tapi dalam hati Indah, pasti berharap bisa hamil lagi. Untung ada Denny yang sangat menghiburnya.Dalam kesempatan itu, mereka foto bersama-sama dengan seluruh keluarga. Bram menggendong A'im seraya memeluk pinggang sang istri. Di samping kiri dan kanan berdiri Vanya, Sony, orang tua mereka dan kerabat yang lain. Angin yang semilir dan bulan purnama di angkasa sana, seolah menjadi saksi kebagian Bram dan keluarganya.***L***"Siapa yang ngasih lapis Surabaya ini, Ma?" tanya Dikri yang baru keluar dari kamarnya. Mencomot satu potong kue dan memakannya. Biasa kalau libur kerja, habis salat subuh kembali tidur dan bangun sekitar jam delapan pagi."Jiya yang ngasih. Semalam baru datang. Tadi Rayyan juga mencarimu ke sini. Mama bilang kalau kamu belum bangun.""Dia masih di sini?" Bram melihat ke luar lewat pintu.
Rayyan mengangguk. "Jiya juga asli sini, Mas. Cuman kerjanya di Kediri. Kantornya bersebelahan dengan kantor saya." Rayyan mengulas sedikit kedekatan mereka, juga menyebutkan tempat tinggal Najiya. Bram yang asli kota angin, tahu desa tempat tinggal gadis itu.Pesanan mereka datang dan langsung makan sambil berbincang. Puspa lega, Rayyan sudah menemukan tambatan hatinya. Tidak terbelenggu lagi oleh kisah mereka yang tidak pernah kesampaian.Puspa menghindari bertemu pandang dengan lelaki itu. Karena binarnya masih terlihat ada cinta untuknya. Bram bisa membawa keadaan menjadi sangat nyaman dan hangat. Dia bertanya, juga menceritakan tentang kondisi perekonomian sekarang ini. Berbagi pendapat dengan Rayyan. Bram yang disangkanya kaku oleh Rayyan, bisa seramah itu dan cukup enak diajak berbincang.Tentu saja. Sebab Bram seorang wirausaha yang sering berhadapan dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Tentang cemburu, bukan tidak ada lagi rasa itu. Namun dia tahu bagaimana cara menge
PERNIKAHAN- Masih Normal "Kenapa Mbak Santi itu nggak pernah bersikap ramah sedikit saja sama aku ya, Mas?" Puspa penasaran. Saat itu mereka sudah di perjalanan."Kamu kepikiran tentang hal itu?" "Nggak, sih. Heran saja.""Nggak usah heran. Memang ada orang yang seperti itu. Sudah tabiatnya. Jika nasehat manusia tidak bisa menyadarkannya, biar Allah saja yang menegur dengan cara-Nya."Puspa merinding mendengar ucapan suaminya. Pak Maksum, istrinya, dan Dikri saja bisa menyadari kesalahannya dan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik. Kenapa Santi yang tidak separah mereka, tidak juga mau berubah.Mungkin dia menganggap sikapnya itu hal yang wajar. Jadi tidak pernah merasa keliru. Kalau terlalu fatal seperti keluarga Pak Maksum, sangat kentara dan akhirnya membuat mereka bisa instrospeksi diri.Bram pun sudah tidak mempermasalahkan keluarga mertuanya hendak seperti apa. Bukan urusannya lagi, selagi mereka tidak menghasut Vanya dan Sony. Anak-anak pun sekarang sudah mengerti, mana
"Nggak apa-apa, Pa. Aku sudah bisa menerima semuanya. Setahun ini, aku merasa hidupku jauh lebih tenang. Aku sekarang lebih fokus ke Dikri, memastikan dia segera menikah. Usianya sudah tiga puluh satu tahun.""Papa juga mengingatkan Dikri untuk segera berumahtangga."Kembali keheningan menerpa. Dikri yang diam-diam menajamkan pendengaran dari balik pintu kamar, cukup geram. Kedua orang tuanya masih juga berbelit-belit seperti anak muda."Kalau Papa ingin menikah lagi, monggo. Di usia tua, perlu juga pendamping hidup supaya ada teman. Tapi selesaikan dulu urusan di antara kita." Bu Ira bicara dengan pembawaan yang kalem. Tidak ada amarah dan emosi seperti dulu.Pak Maksum menghela nafas panjang. "Apa papa sudah nggak diberikan kesempatan lagi untuk kembali bersama kalian, Ma? Papa tahu terlalu sering menyakiti. Namun papa sudah menyadari kesalahan itu."Papa ingin menghabiskan masa tua dengan keluarga kita. Biar Dikri tenang dan bisa memikirkan untuk masa depannya."Bu Ira memandang l
Ponsel Bram di atas meja kecil berdering. Puspa melihat siapa yang menelepon. "Mas, ada telepon dari Bu Harso.""Angkat saja.""Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bukan suara Bu Harso, tapi suaranya Santi."Ada apa, Mbak?""Aku mau bicara sama Mas Bram.""Mas Bram lagi sibuk, Mbak. Ada pesan apa nanti saya sampaikan.""Sebentar saja. Bisa nggak?" Wanita di seberang memaksa."Nggak bisa diganggu Mas Bram-nya, Mbak. Jangan khawatir, nanti pasti saya sampaikan." Puspa jadi geram. Memangnya mau bicara apa. Bram pun sudah memberitahu Santi atau Bu Harso, kalau ada urusan yang mungkin perlu disampaikan ke Vanya dan Sony, bisa bicara langsung pada Puspa. Tapi wanita itu sepertinya tidak percaya padanya."Besok malam, ada acara arisan keluarga di rumah mama. Vanya dan Sony disuruh datang atau biar aku yang jemput mereka.""Oke. Nanti aku kasih tahu ke Mas Bram."Panggilan langsung ditutup begitu saja tanpa mengucapkan salam. Bram mendekat sambil mengendong A'im. "Ada apa?""Mbak Sant