"Mungkin dalam perjalanan, Ma. Biasa ponsel papa di silent, kan?" Tidak mungkin Dikri memberitahu sang mama dalam situasi seperti ini.Dikri yang gelisah, naik ke lantai dua dan duduk di balkon. Entah sudah berapa batang rokok dihabiskan dalam sekali duduk. Mereka memang sudah semaksimal mungkin dalam kampanye. Mulai dari berkeliling ke desa-desa hingga menjanjikan program-program yang menguntungkan rakyat."Papa yakin, kamu bakalan menang. Fokus dulu pada pemilihan. Adikmu sudah ada yang mengurusnya. Setelah kamu berhasil duduk di kursi dewan, segerakan pernikahanmu dengan Maya. Mereka pun sudah keluar uang banyak untuk mensupport kita." Tadi pagi sang papa bicara seperti itu padanya.Namun sore ini Dikri gelisah bukan main. Terlebih setelah memergoki papanya. Ia mulai mempertanyakan setiap langkah yang telah diambil selama masa kampanye. Apakah janji-janjinya cukup menarik? Apakah tim kampanyenya bekerja dengan baik? Ia juga menyadari bahwa lawan-lawannya adalah politisi yang lebih
Selesai menelepon ayahnya, ponsel Indah kembali berpendar. Ada panggilan masuk dari Denik. Gadis yang tengah hamil itu pun terisak-isak waktu bicara dengan istri sepupunya. Dia sudah tahu kabar itu. Indah berusaha menenangkan. "Aku hanya sedih mikirin mama, Mbak. Gimana mama sekarang?""Dia di kamar. Di tenangkan sama masmu. Kamu fokus saja sama kehamilanmu. Tante Ira bersama kami di sini.""Iya, Mbak. Aku hanya mikirin kondisi mama saja. Terserah dengan papa. Aku nggak peduli," ujar Denik. "Sudah tahu aku diperkosa, papa bukannya simpati, tapi malah sibuk dengan nama baiknya sendiri. Sekarang papa sendiri yang merusak reputasinya," lanjut Denik berapi-api.Indah mendengarkan sambil mengucap syukur. Memiliki ayah seperti Pak Fathir yang selalu melindungi anak-anaknya. Sikap ayahnya dan Pak Maksum sungguh jauh berbeda dalam menghadapi musibah yang sama, yang menimpa putri mereka. ***L***"Sayang, kenapa melamun?" tegur Bram sambil duduk di samping sang istri, yang termenung di ruang
PERNIKAHAN- Tidak Tahu MaluIrwan memandang mertuanya dengan perasaan tidak sabar. Dia benar-benar kecewa, kenapa satu pun tidak ada suara Dikri. Kalau warga tidak memilih karena sudah tahu kasus Pak Maksum, setidaknya keluarga mertuanya punya empati pada Dikri.Kerabat Pak Lurah sebagian besar tinggal di desa itu. Tapi kenapa satu pun tidak ada suara untuk Dikri. Padahal mereka tahu kalau Dikri ini saudaranya. Dan mereka telah kompak memberikan dukungan sebelum kasus viral Pak Maksum.Pak Lurah menarik napas dalam-dalam, sambil mengisap rokok di sela jemarinya. Indah yang duduk di sofa bersebelahan dengan sang ibu, juga tidak sabar dan ikut geram. Tapi ia paham, kalau ayahnya tidak mungkin bicara seperti itu tanpa alasan. Apa yang ayahnya ketahui?"Apa kesalahan Dikri, Yah? Masa iya tidak ada satu pun suara Dikri di desa ini. Uang sudah keluar banyak semenjak awal tim sukses dibentuk dan setiap warga pun menerima amplop dua hari yang lalu." Irwan benar-benar tidak sabar dan menahan
Wajah Irwan merah padam. Semua hasil dari desa-desa lain anjlok parah. Membuat lelaki itu tampak lemas. Jelas Dikri kalah telak.Dengan tergesa Irwan melangkah ke dalam. "In, aku mau pulang." Irwan juga bicara pada mertuanya. "Ayah, Ibu, maaf saya nggak bisa makan bareng, saya harus pulang."Pak Lurah memandang sang menantu yang tampak tergesa-gesa. "Hati-hati, Nak Irwan.""Yah, aku juga ikut pulang Mas Irwan. Sebentar aku ngambil tas di kamar." Indah masuk kamar, kemudian mencium tangan kedua orang tuanya. Setelah itu tergesa mengikuti suaminya keluar rumah. Keduanya masuk mobil dan langsung pergi."Tampaknya Nak Irwan kecewa, Yah." Bu Lurah berkata sambil mengambilkan nasi untuk suaminya."Irwan masih tegang-tegangnya sekarang ini, Bu. Nanti kalau dia sudah tenang, pasti bisa menyadarinya.""Ibu khawatir, kalau hubungan mereka terganggu.""Semoga saja tidak. Kita nggak sedang mengada-ada, masa iya Nak Irwan nggak paham. Lha wong adik sepupunya juga mengalami nasib seperti Puspa. Keb
"Sejak awal aku sudah ngomong kan, kalau aku nggak setuju Mas mengeluarkan uang untuk membiayai kampanye Dikri. Waktu itu aku belum tahu apa yang terjadi. Tapi aku mikirnya, kita sendiri butuh menabung, Mas. Untuk usaha atau investasi. Tapi Mas ngeyel. "Satu lagi, aku percaya kalau ayahku nggak makan sepeserpun uang kalian. Jangan curigai ayahku. Dia lelaki paling jujur yang kukenal selama ini. Kalau ayahku tipe serakah, dana desa sudah banyak masuk ke kantong pribadinya, Mas. "Hasil pertanian ayah, lebih dari cukup untuk hidup kami. Bahkan untuk daftar haji ayah dan ibu. Meski untuk berangkat ke tanah suci mesti nunggu bertahun-tahun lagi."Indah membuka lemari dan membuka laci di dalamnya. Di keluarkan kota perhiasan berwarna merah. "Akan kujual perhiasanku untuk mengganti uangmu dan uang papa. Kalau nggak cukup, aku akan bilang ke ayah. Kalau nggak cukup lagi, aku akan bicara sama Bram. Aku yakin ayah dan Bram mau mengganti uangmu dan uang papa. Kalau Mas merasa, ayahku memanfaat
PERNIKAHAN - Gerimis dan Romantis Bu Maksum terduduk lemas di lantai. Dalam dekapan Dikri yang berusaha menenangkannya. "Kita sudah nggak memiliki apa-apa lagi, Dik," ucapnya di antara isak tangis."Kalau itu cara untuk menebus kesalahan kita, biar saja, Ma. Kita bisa tinggal di rumah yang lain. Lebih kecil dan sederhana juga nggak apa-apa." Mereka masih memiliki rumah bangunan lama, milik nenek mereka dulu. "Atau kita bisa tinggal bersama Denik di Malang.""Kamu nggak kecewa dengan kekalahan ini?" Dikri menarik napas panjang. "Kecewa nggak seberapa. Karena papa sendiri yang menghancurkannya. Kalau aku kalah karena permasalahan lain, mungkin papa akan menyalahkanku. Papa yang keluar uang, yang memaksaku menjadi anggota dewan. Tapi papa sendiri yang akhirnya menghancurkan. Jadi untuk apa aku kecewa. Yang kupikirkan sekarang hanya Denik. Sejak awal aku sudah pesimis untuk menang.""Kamu bisa sesantai itu." Bu Maksum seolah tidak terima atas sikap putranya."Terus aku harus bagaimana,
Tiba-tiba hujan campur angin turun dengan deras pagi itu, seakan mewakili kekacauan yang berkecamuk di dalam hati Dikri. "Bagaimana tanggapan Mbak Indah, Mas?""Kami sempat bertengkar tadi malam.""Karena apa?"Irwan menceritakan perselisihannya dengan sang istri. Kemudian Dikri beranjak dan masuk ke dalam untuk mengambil sertifikat tanah yang disembunyikan di laci kamarnya. Lahan itu cukup untuk mengganti uang Dikri dan papanya.Namun alangkah terkejutnya, ketika tidak menemukan apa yang dicarinya. Di ubek-ubek seluruh kamar, ruang kerja, kamar papanya, tapi tetap tidak ketemu. Tidak mungkin dia salah menyimpan."Cari apa, Dik?" tanya sang mama."Mama, tahu sertifikat tanah di Gondang, nggak?""Dibawa papamu seminggu yang lalu."Dikri langsung lemas. "Bagaimana Mama bisa tahu di mana aku menyimpan sertifikat itu?""Maafkan mama. Waktu mama masuk kamarmu, mama melihat sertifikat itu. Kalau tahu bakalan begini, mama nggak akan memberikan sertifikat pada papamu." Bu Maksum sangat meny
Puspa tersenyum. Ini kode dari suaminya. Bram sering mengirimkan pesan demikian ketika tidak ada di rumah. Biar Puspa bisa menyambutnya dengan istimewa di peraduan mereka.Obat dari segala rasa letih dan stres karena berbagai permasalahan seorang suami adalah istri dan anak-anaknya. Jadi bagi Puspa, hal ini bukan sesuatu yang berlebihan diminta oleh suaminya. Toh, dirinya tidak disuruh banting tulang membantu mencari nafkah. Hanya ingin dilayani saja. Mendengar dia bercerita dan menghabiskan beberapa waktu untuk bercinta. Apa itu memberatkan? Tidak. Karena itu juga kewajibannya sebagai seorang istri.Lagi pula Bram juga tidak banyak permintaan. Hanya sesekali saja mengirimkan pesan demikian. Biasanya dilakukan kalau dia sangat sibuk dengan pekerjaan."Sudah pas, Bun." Vanya muncul dan Puspa meletakkan kembali ponselnya.Gadis itu menunjukkan gamis yang dikenakannya. Sambil berputar-putar di depan Puspa. Wajahnya begitu ceria. Ternyata Puspa semenyenangkan itu. Dia tidak hanya sebagai
"Bagaimana, May?" teriak Dikri. Tidak sabar menyambut Maya yang keluar dari kamar mandi malam itu."Bentar!"Dikri mondar-mandir menunggu. Dia berharap ada kabar bahagia malam ini. Sudah membayangkan memiliki anak perempuan yang cantik. Biar terobati rindunya pada Denik.Maya keluar dari kamar mandi."Bagaimana?" "Aku hamil," ucap Maya dengan suara bergetar dan netra berkaca-kaca. Menunjukkan testpack dengan garis dua di tangannya.Mata Dikri membelalak dan langsung memeluk Maya dengan erat, hampir tak percaya dengan kabar bahagia itu meski harapannya begitu besar. "Alhamdulillah."Akhirnya setelah dua bulan menikah, Maya baru hamil. Biar menepis dugaan sebagian orang kalau mereka menikah diam-diam karena Maya hamil duluan.Tidak adanya resepsi dan nikah dadakan membuat beberapa orang berprasangka buruk. Apalagi Maya seorang janda."Besok kita cek ke dokter, Mas. Baru ngasih tahu orang tua kita.""Iya." Dikri masih speechless. Tak henti ia mengucap syukur. Masih diberikan kesempatan
"Sampai sekarang Rayyan belum tahu kalau akulah yang menghancurkan harapannya. Semoga sampai kapanpun dia nggak akan pernah tahu, Ma.""Baiklah kalau gitu. Kita nggak usah ngadain resepsi saja." Bu Ira mengelus punggung putranya sambil tersenyum. Dalam hati berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja. Dikri dan Maya bahagia.***L***Dua bulan sudah Dikri dan Maya menjadi pasangan suami istri. Mereka tinggal di rumah orang tua Maya karena Bu Anang di Surabaya menunggui Mika yang hendak bersalin. Tiap akhir pekan mereka menginap di rumah orang tua Dikri atau berkunjung ke Surabaya.Maya membuka jendela dapur saat matahari pagi sudah menerobos masuk. Tiap selesai salat subuh, ia akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Selalu memastikan pagi mereka dimulai dengan sarapan bersama sebelum berangkat kerja. Meski sama-sama sibuk. Salah satu kebiasaan mereka adalah mengatur makan siang bersama setidaknya dua kali seminggu. Kalau Dikri ada acara di luar kantor, ia akan menjemput Maya untu
PERNIKAHAN - Bidadari Kecil "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Di depan pintu ada Rayyan bersama Najiya yang tengah hamil besar."Hai, Ray. Ayo, masuk!" Dikri bangkit dan menyambut tamunya. Mereka jarang sekali bertemu dan berkomunikasi lewat telepon. Rayyan pasti lebih sibuk setelah menikah.Maya memperhatikan pasangan itu. Dia belum pernah melihatnya. Karena hampir kenal semua teman-teman Dikri."Nikah nggak ngabarin sih, Mas," protes Rayyan sambil bersalaman. Kemudian ia dan Najiya menyalami Maya, Pak Maksum, dan Bu Ira. Dikri mengenalkan Maya pada Rayyan dan Najiya."Mari silakan duduk," ujar Bu Ira."Maaf, rencananya kan mau tunangan dulu. Tapi kami langsung nikah siri atas saran keluarga. Baru nanti mendaftarkan pernikahan ke KUA. Kapan kalian datang?""Tadi pagi. Dan kami dikasih tahu sama Budhe. Alhamdulilah, saat berulang kali kutanyai Mas Dikri bilang nggak punya pacar. Eh tiba-tiba saja nikah. Rupanya main rahasia selama ini."Dikri tertawa. "Tanyakan ke Budhe, giman
"Apa dulu itu, kamu menyukai gadis lain, Dik? Makanya dengan berbagai alasan kamu menunda pernikahan kita?" Namun pertanyaan itu hanya terucap dalam dada. Dia tidak akan menanyakannya dan tidak usah tahu. Yang penting mereka sekarang berkomitmen untuk melangkah beriringan membina masa depan. Lupakan masa lalu. Sepahit apapun itu. Dirinya sudah menerima Dikri dan menerima seluruh kisahnya."Kita akan saling mencintai sampai kapanpun, May." Dikri mengecup puncak kepala istrinya. Ia menyadari betapa beruntungnya memiliki Maya. Dikri berjanji dalam hati untuk selalu menjaga Maya, melindunginya, dan menjadi suami yang setia.Maya mengeratkan pelukan. Keduanya terhanyut dalam perasaan dan tuntutan kebutuhan ragawi. Ternyata Maya sudah mengenakan gaun istimewa untuk suaminya. Membuat mereka tidak sabar untuk segera tenggelam menikmati malam pernikahan.Sarangan menjadi saksi keduanya untuk menyempurnakan hubungan. Maya tidak pernah tahu, bahwa dia bukan yang pertama bagi Dikri. "Dik, kita
"Setelah ini kamu dan Dikri harus mulai membahas mau tinggal di mana, May. Sebab Dikri pun sekarang menjadi anak tunggal. Jangan sampai hal begini akan jadi masalah. Kalau Mas, maunya kamu nemenin Mama," kata Bayu."Mas Bayu, nggak usah khawatir deh. Mama akan ikut aku ke Surabaya. Nungguin aku lahiran. Jangan khawatir, ada ART di rumah jadi Mama hanya duduk mengawasi saja saat kami tinggal kerja. Iya kan, Ma?" Si bungsu merangkul bahu mamanya.Sejak menikah, Mika memang mau mengajak mamanya tinggal bersama. Tapi Bu Anang menolak dengan alasan, kasihan Maya sendirian."Sekarang Mbak Maya kan sudah menikah, Ma. Ada suami yang jagain. Jadi Mama nggak perlu khawatir lagi."Bu Anang memandang Maya. Anak yang paling dekat dengannya. Dibanding dengan kedua saudaranya. Maya yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung. Itu pun karena ada andil orang tua yang memaksakan kehendak."Nggak apa-apa Mama ikut ke Surabaya. Kalau pengen pulang ke Nganjuk kan bisa kami jemput. Pengen ke Surabaya bisa
PERNIKAHAN- Semalam di Telaga Sarangan "Mbak, dulu dia mengulur-ulur waktu nikahin aku. Sekarang dia maunya buru-buru. Kami nikah secepat kilat kayak habis di gropyok hansip saja.""Sssttt, jangan ngomong begitu. Memang takdir jodoh kalian baru sekarang," jawab sang kakak ipar seraya mengaplikasikan bedak di wajah Maya. "Apapun yang pernah terjadi, Mbak salut kalian bisa kembali bersama. Ini jodoh yang sempat belok arah namanya." Nafa, istrinya Bayu terkekeh. "Mbak aja kaget waktu dikabari mama.""Aku sendiri rasanya nggak percaya. Padahal aku sudah mengubur dalam-dalam harapan itu.""Kalian ini jodoh yang tertunda. Mbak doain kalian bahagia. Jangan tunda, segeralah punya momongan. Usiamu sudah tiga puluh tiga tahun, kan?"Maya mengangguk. Make up sudah selesai. Maya membuka lemarinya dan mengambil kebaya warna putih tulang. Itu baju yang ia pakai di hari pernikahan adik perempuannya. Mika. Baru setahun yang lalu, pasti masih muat. Modelnya simple, masih mewah kebaya pengantin saat
"Sudah kubilang kalau itu bukan masalah bagiku. Kamu nggak harus berkata panjang lebar, May. Cukup bilang, ya atau tidak. Aku sudah mengerti." Dikri memandang Maya. Sedangkan Maya memandang gerimis di hadapannya. Pemandangan sore ini begitu indah. Wanita itu menoleh pada lelaki di sebelahnya. "Ya," ucapnya pasti.Senyum Dikri merekah,terlihat sangat lega. Kali ini sesuai seperti apa yang ia harapkan. "Aku akan membicarakannya dengan papa dan mama. Sudah pasti dalam waktu dekat ini, aku akan datang untuk melamarmu.""Aku ingin acara yang sederhana saja.""Aku setuju. Bagaimana kalau hari Minggu ini kami ke rumahmu.""Minggu ini?" Maya kaget. Dia pikir tidak akan secepat ini meski pun sudah mengiyakan."Iya.""Dik, aku belum ngabarin Mas Bayu. Belum tentu kalau dadakan gini dia bisa pulang. Dia yang sekarang menjadi waliku setelah papa tiada.""Ya, aku ngerti. Kalau gitu, kutunggu kabar darimu. Tapi nanti aku ingin ketemu mamamu sebentar saja.""Oke." Keduanya saling pandang. Kemudian
"Kita bisa berjuang bersama-sama, May. Jangan lagi menyesali masa lalu. Kita buka lembaran baru.""Dik, kasih aku waktu untuk bicara dengan mamaku.""Apa aku perlu bicara langsung dengan beliau sekarang.""Jangan. Biar aku saja. Besok sepulang kerja kita bisa ketemuan. Aku sudah merasa lebih baik, jadi besok bisa masuk kerja."Dikri mengangguk. "Baiklah. Kalau gitu, aku pamit pulang. Aku mau pamitan sama mamamu." Dikri memandang pintu tengah yang menghubungkan dengan ruang belakang."Bentar." Maya bangkit dari duduknya dan mencari mamanya di belakang.Bu Anang muncul seraya tersenyum. "Mau balik, Nak Dikri?""Ya, Bu. Terima kasih untuk makan malamnya. Saya ke sini malah ngerepotin.""Nggak ngerepotin. Hati-hati ya! Salam buat Pak Maksum dan Bu Ira.""Iya, Bu." Dikri mencium tangan Bu Anang, kemudian melangkah keluar di antar oleh Maya hingga ke teras. "Besok pagi kujemput. Kuantar ke tempat kerjamu. Biar sorenya kita bisa ketemuan.""Nggak usah. Aku bisa berangkat bareng temanku.""Ok
PERNIKAHAN - Mendadak NikahMaya spontan membeku dan bertambah pucat. Apa dia tidak salah dengar. Namun lelaki di hadapannya ini tampak sangat serius. Maya menghela nafas panjang untuk menghilangkan debaran dalam dada."Dik, kemarin dokter bilang aku hanya kecapekan, sekarang kamu ingin membuatku jantungan? Jangan bercanda, deh!""Aku nggak bercanda, May. Sumpah!"Suhu tubuh Maya yang mulai normal, kini rasanya kembali panas dingin. Sama sekali dia tidak kepikiran lagi bisa kembali bersama Dikri, meski hubungan mereka membaik belakangan ini."Aku serius, May."Maya serasa menggigil. Dia memang mencintai Dikri, tapi sejak putusnya pertunangan mereka dan Maya menikah dengan laki-laki lain, ia berusaha melupakan perasaan itu. Mengubur harapannya. Ada hal-hal yang tidak dipahami oleh Maya tentang Dikri. Di mana lelaki itu tidak begitu peduli dengan hubungan mereka disaat masih terikat pertunangan. Maya pun sebenarnya merasakan hal itu, meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mengun