POV ELANG~Aku berjalan lunglai meninggalkan rumah mungil yang ditempati Rafka dan Purnama. Dadaku sesak, karena keinginan yang tak bersambut.Di malam yang gelap juga sepi hanya bertemankan cahaya rembulan. Aku menyusuri jalanan perumahan ini.Apa yang harus kuperbuat setelah ini? Aku bahkan tidak bisa membujuk Rafka untuk kembali pada Fanisa.Bagaimana nasib adik perempuanku satu-satunya nanti tanpa Rafka? Aku tahu, saat dia telah berhasil mengusir Rafka, itu tidak sepenuhnya dia lakukan.Itu hanyalah luapan dari kekecewaannya semata.Membiarkan Rafka pergi dan meninggalkannya sendiri, sama saja dengan membiarkan separuh nyawa Fanisa turut pergi.Aku mendengkus lemah. Melewati taman komplek, aku lantas mendaratkan bokong di kursi kayu sejenak ditemani semilir angin yang bersiul di gendang telinga.Kuhembus napas dalam-dalam. Menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan tenggelam dalam pikiranku sendiri.Aku bahkan sudah menghindar entah berapa lama dari adikku sendiri. Rasanya aku
POV ELANG~"Aku memang bukan ayah kandung Belfania. Pemeriksaan di tiga rumah sakit berbeda memvonis bahwa aku ini tidak bisa memiliki anak. Tapi akulah yang mengadzani Belfania saat ia baru saja lahir. Aku yang menyaksikannya terlahir ke dunia ini. Aku yang turut merawat dan membesarkan dia hingga seperti sekarang, meski aku tahu itu sudah melanggar kesepakatan dari perjanjian kita. Tapi aku melakukannya karena rasa kemanusiaan bukan cinta. Aku tidak pernah membagi cinta dan ragaku dengan Purnama, kami harus tahu itu!"Rafka menjelaskan semuanya pada Fanisa. Aku masih bergeming di tempatku. Semua sudah terbongkar. Fanisa sudah mengetahuinya. Entah bagaimana dia menilai diriku setelah ini."Aku bukanlah ayah biologis Belfania, sedikit pun tidak ada darahku yang mengalir dalam dirinya. Tetapi Abang kamulah, Elang Arif Yunanda, ayah biologis Belfania! Dia yang sudah menodai Purnama. Memperk0sa Purnama hingga Purnama hamil. Abang kamu pelakunya!" tegas Rafka dengan jari telunjuk mengar
POV RAFKA.Tok tok tok!"Mas buka pintunya? Jangan begini! Aku mohon. Tarik kata-kata kamu itu, Mas. Kamu tidak sungguh-sungguh menceraikan aku 'kan Mas?!" "Mas Rafka! Buka pintunya, Mas! Jangan libatkan aku dalam kesalahan ini, Mas! Kumohon!"Suara Fanisa jelas terdengar. Teriakannya masih menggema di balik pintu yang telah kututup dan kini terkunci rapat.Mataku terpejam dengan punggung yang menempel pada daun pintu. Tubuhku perlahan merosot hingga kini terduduk di lantai. Kepalaku terangkat, menengadah dengan pandangan tertuju pada sorot lampu.Hingga suara Fanisa mulai hanya sayup terdengar lalu kemudian hening. Hanya hembusan napasku yang terdengar.Tidak bisa kupungkiri. Jika rasanya begitu sakit saat aku mengakhiri ikatan ini bersama Fanisa, perempuan yang berhasil menawan hatiku sejak kami sekolah SMA.Kebersamaan kami yang hampir dua puluh tahun lamanya, malam ini harus berakhir. Karena aku sudah mengkhianatinya meski dengan alasan kuat."Apa yang kamu lakukan, Raf?" Suara
POV RAFKA*"Kita mau ke mana, Yah?" tanya Belfania yang duduk di sampingku. Tubuh mungilnya berada dalam dekapanku. Kudekap erat dan kuciumi puncak kepalanya."Ke rumah Ayah," jawabku seraya memamerkan senyum padanya.Kening Belfania melipat. "Rumah Ayah?"Aku mengangguk kecil. "Iya. Ayah memiliki dua rumah. Satu, rumah bersama Ibu kamu. Dan satu lagi ... di kota yang lain."Belfania nampak mengangguk pelan. Meski di wajahnya tersirat kebingungan. "Tapi kenapa ibu tidak mau ikut?" tanyanya kemudian.Aku menggeleng patah-patah. "Karena ibu ... ingin beristirahat. Dia kan belum lama sembuh dari sakitnya waktu itu. Jadinya, Ibu tidak mau ikut dengan kita. Hanya kita berdua yang pergi. Nanti ... kita akan bertemu dengan Tante yang waktu itu kamu temukan dompetnya.""Apa Tante itu teman Ayah?"Aku mengangguk dengan cepat. "Iya, dia teman ayah, Nak.""Teman hidup," lanjutku namun hanya dalam hati."Apa Ayah akan memarahi Tante? Dia waktu itu memukul Ibu, Yah. Pipi ibu dipukul tapi ibu tida
Tiba di Bandara, aku menggenggam tangan Belfania. Aku berlari tergesa memasuki bangunan Bandara. Hingga aku mencari informasi mengenai penerbangan internasional. Dan ternyata, pesawat mengalami delay.Aku pun mencari-cari dan mengawasi ke arah boarding area dari jarak beberapa meter. Sebab aku tak memiliki tiket untuk masuk.Hingga aku dapat melihat sosok Fanisa bersama Bang Elang di sana. Mereka sudah bersiap untuk memasuki gate keberangkatan."FANISA!" Aku berteriak namun hanya sia-sia. Fanisa tidak menghentikan langkahnya sama sekali.Langkahku terhalang petugas pemeriksaan. Belum lagi Belfania yang ikut bersamaku."Pak, saya izin masuk. Saya harus menyusul istri saya di sana," ucapku pada petugas bandara.Dua orang lelaki dengan tubuh tinggi tegap di hadapanku ini kompak menggeleng. "Silahkan tunjukan tiket keberangkatan anda terlebih dulu. Baru setelah itu anda bisa masuk.""Saya hanya ingin menyusul dan membatalkan keberangkatan istri saya, Pak. Tolonglah, Pak. Hanya sebentar s
Aku tidak menyangka, bahwa cintaku akan kembali. Aku tidak percaya, bahwa duniaku telah bersamaku lagi. Hampir putus asa, bahkan mungkin aku sudah putus asa karena telah memutuskan untuk pergi jauh dari kota ini. Berniat pergi dan tinggal di Belanda saja. Menjual semua aset yang ada di sini. Namun, takdir Tuhan berkata lain. Tuhan ternyata mengabulkan keinginanku. Mas Rafka kembali padaku dan kami bersama lagi untuk merajut jalinan cinta ini.Setelah menyusulku ke Bandara yang pada akhirnya aku membatalkan penerbangan dan menghanguskan tiket pesawatnya. Kini aku telah kembali ke rumah. Rumahku bersama Mas Rafka, dan tentunya ada Belfania di tengah-tengah kami.Anak perempuan yang ternyata anak kandung Abangku itu, kini telah lelap. Dia tidur menempati kamar kedua di rumah. Aku menemaninya sejak setengah jam yang lalu sampai akhirnya ia tertidur.Seperti yang aku bilang, jika dengan hadirnya seorang anak bisa membuat Mas Rafka tetap bersamaku
30.Mobil Mas Rafka melaju membelah jalanan terik kota Bandung. Aku bersama Belfania mengisi kursi tengah dan Mas Rafka sendirian di kursi depan sebagai supir. Tadinya aku hendak pergi berdua saja dengan Belfania, tapi ternyata Mas Rafka ingin ikut. Jadilah kami pergi bertiga. Hingga sekitar tiga puluh menit perjalanan, akhirnya mobil berhenti di parkiran satu mall besar di kota ini.Kami bertiga bersama-sama memasuki gedung mall. Mengunjungi store pakaian, membiarkan Belfania untuk memilih pakaian yang dia inginkan. Aku dan Mas Rafka menemani di belakangnya, Namun sudah hampir dua putaran mengelilingi store yang kami datangi, belum ada satupun pakaian yang Belfania ambil.“Sayang, tidak ada pakaian yang cocok di sini?” tanyaku ketika Belfania mneghentikan langkahnya di display pakaian anak lima tahun.Anak berambut ikal itu menggeleng pelan. “Bajunya bagus-bagus, Tante. Emm … nanti kalau mahal bagaimana?” ungkapnya terdengar lirih.
Sudah satu minggu Belfania bersekolah. Duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Meski katanya dia tidak pernah masuk taman kanak-kanak, tapi dia sudah bisa menulis, membaca dan berhitung dasar. Sepertinya, Purnama memang telah mengajarkan itu pada putrinya.Sudah satu Minggu juga aku selalu mengantarnya ke sekolah. Kemudian pergi ke butik lalu menjemputnya setelah masuk jam pulang. Setelah itu, aku bersama-sama pulang dengannya dan menghabiskan waktu bersama di rumah. Jika sebelumnya aku bisa seharian berada di butik, mengurus ini dan itu, tapi setelah adanya Belfania, aku menjadi rindu rumah.Adanya Belfania, memberiku peran baru yakni menjadi seorang Bunda. Mulai dari bangun tidur hingga waktunya tidur lagi, dialah yang kulihat. Menyiapkannya pakaian sekolah, sarapan, makan siang hingga makan malam. Menemaninya belajar juga bermain. Pantas saja Mas Rafka menyayanginya, karena ternyata memiliki anak bukanlah hal yang menakutkan.Setelah di