Aku tidak menyangka, bahwa cintaku akan kembali. Aku tidak percaya, bahwa duniaku telah bersamaku lagi. Hampir putus asa, bahkan mungkin aku sudah putus asa karena telah memutuskan untuk pergi jauh dari kota ini. Berniat pergi dan tinggal di Belanda saja. Menjual semua aset yang ada di sini. Namun, takdir Tuhan berkata lain. Tuhan ternyata mengabulkan keinginanku. Mas Rafka kembali padaku dan kami bersama lagi untuk merajut jalinan cinta ini.
Setelah menyusulku ke Bandara yang pada akhirnya aku membatalkan penerbangan dan menghanguskan tiket pesawatnya. Kini aku telah kembali ke rumah. Rumahku bersama Mas Rafka, dan tentunya ada Belfania di tengah-tengah kami.Anak perempuan yang ternyata anak kandung Abangku itu, kini telah lelap. Dia tidur menempati kamar kedua di rumah. Aku menemaninya sejak setengah jam yang lalu sampai akhirnya ia tertidur.Seperti yang aku bilang, jika dengan hadirnya seorang anak bisa membuat Mas Rafka tetap bersamaku30.Mobil Mas Rafka melaju membelah jalanan terik kota Bandung. Aku bersama Belfania mengisi kursi tengah dan Mas Rafka sendirian di kursi depan sebagai supir. Tadinya aku hendak pergi berdua saja dengan Belfania, tapi ternyata Mas Rafka ingin ikut. Jadilah kami pergi bertiga. Hingga sekitar tiga puluh menit perjalanan, akhirnya mobil berhenti di parkiran satu mall besar di kota ini.Kami bertiga bersama-sama memasuki gedung mall. Mengunjungi store pakaian, membiarkan Belfania untuk memilih pakaian yang dia inginkan. Aku dan Mas Rafka menemani di belakangnya, Namun sudah hampir dua putaran mengelilingi store yang kami datangi, belum ada satupun pakaian yang Belfania ambil.“Sayang, tidak ada pakaian yang cocok di sini?” tanyaku ketika Belfania mneghentikan langkahnya di display pakaian anak lima tahun.Anak berambut ikal itu menggeleng pelan. “Bajunya bagus-bagus, Tante. Emm … nanti kalau mahal bagaimana?” ungkapnya terdengar lirih.
Sudah satu minggu Belfania bersekolah. Duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Meski katanya dia tidak pernah masuk taman kanak-kanak, tapi dia sudah bisa menulis, membaca dan berhitung dasar. Sepertinya, Purnama memang telah mengajarkan itu pada putrinya.Sudah satu Minggu juga aku selalu mengantarnya ke sekolah. Kemudian pergi ke butik lalu menjemputnya setelah masuk jam pulang. Setelah itu, aku bersama-sama pulang dengannya dan menghabiskan waktu bersama di rumah. Jika sebelumnya aku bisa seharian berada di butik, mengurus ini dan itu, tapi setelah adanya Belfania, aku menjadi rindu rumah.Adanya Belfania, memberiku peran baru yakni menjadi seorang Bunda. Mulai dari bangun tidur hingga waktunya tidur lagi, dialah yang kulihat. Menyiapkannya pakaian sekolah, sarapan, makan siang hingga makan malam. Menemaninya belajar juga bermain. Pantas saja Mas Rafka menyayanginya, karena ternyata memiliki anak bukanlah hal yang menakutkan.Setelah di
Tiga hari berikutnya ....Keadaan Belfania berangsur membaik. Dia sudah bisa keluar dari kamarnya. Makan dan juga minum seperti biasa lagi. Namun, memang dia belum masuk sekolah lagi.Pagi ini, setelah menyelesaikan sarapan pagi. Kami justru akan pergi menuju pondok. Semua perlengkapan sudah siap untuk menempuh perjalanan hampir sembilan jam lamanya.Mobil Mas Rafka sudah menjauh dari rumah. Menebus jalan raya hingga akhirnya mulai memasuki jalan tol. Mobil melaju tanpa hambatan berarti. Berjalan mulus dan sudah begitu jauh dari rumah.Dua jam sekali, Mas Rafka selalu menepi dan beristirahat lebih dulu di rest area. Beristirahat lima belas sampai dua puluh menit agar bisa berkendara dengan baik kembali. Hingga setelah melewati perjalanan panjang, sampai lah kami di pondok pada sore hari. Sebuah tempat yang berada di satu desa yang masih sangat asri dan sejuk.Kami semua turun dari mobil, berjalan memasuki gapura pondok
Tiga tahun kemudian ........Drrt Drrrt Drrrt.Dering serta vibrasi ponsel di atas nakas membangunkan tidurku. Mataku mengerjap, mengumpulkan sejenak kesadaran yang telah melambung ke nirwana. Barulah Kuraih benda pipih yang masih terus berbunyi itu."Assalamualaikum, Fan?" Suara Purnama terdengar lembut mengucap salam begitu panggilannya kuterima."Wa'alaikumussalam.""Fan, maaf aku mengganggu, aku ingin bicara."Aku mengucek mata yang terasa lengket hingga benar-benar bisa terbuka sempurna. "Iya, kenapa?"Purnama lalu bercerita dan aku mendengarkannya. Hingga cerita itu usai dan panggilan pun diakhiri. Kusimpan ponsel seiring dengan Mas Rafka yang terbangun di sampingku. Ia masih bertelanjang dada, di bawah selimut yang sama denganku."Sayang? Siapa yang menelpon?" tanyanya dengan suara parau khas orang baru bangun tidur."Purnama.""Kenapa?""Hari ini dia mau ke mari, Mas. Dia baru saja berangkat untuk ke sini.""Oh, ya? Ada apa?""Nanti aku jelaskan. Sekarang kamu bangun, dan
"Bapak, Ibu, saya bisa bantu menjelaskan yang sebenarnya seperti apa," ucapku kemudian."Menjelaskan apalagi? Menjelaskan kalau Purnama hanya khilaf?" tuding si Ibu terlihat murka."Tidak, Bu. Tidak seperti itu. Purnama hamil pun itu karena musibah yang menimpanya. Dia hanya korban. Dia korban rudapaksa," jelasku tak tahan lagi.Nampak kedua orang tua itu membelalakan mata. Terlihat syok dengan apa yang baru saja kukatakan."Astaghfirullah ... kami tidak menyangka sama sekali." Si Ibu berkata lirih."Bu, kehamilan Purnama dulu itu bukan atas dasar suka sama suka, tetapi karena musibah. Purnama kehilangan mahkotanya akibat rudapaksa. Purnama tidak seburuk itu. Saya bisa menjamin." Bukan hanya aku, Mas Rafka pun turut menjelaskan.Terdengar si ibu dari lelaki itu mendecak. "Saya tidak menyangka, di balik penampilannya yang begitu tertutup dan alim, ternyata masa lalunya begitu kelam dan buruk. Pantas s
"Pingsan? Apa yang terjadi?" Mas Rafka bahkan sudah berdiri di belakangku dan bertanya pada Belfania, padahal tadi ia masih bergelung di balik selimutnya.Belfania nampak menggeleng. "Tidak tahu, Yah. Tadi aku lihat Ibu sedang sholat Subuh, tapi tiba-tiba tubuhnya ambruk. Aku coba bangunkan tapi Ibu masih gak sadar juga." Ia bercerita dengan panik."Ayok mas buruan kita lihat!" titahku cepat. Buru-buru aku pun keluar kamar. Bersama Mas Rafka dan Belfania memasuki kamarnya."Astaghfirullahaladzim, Purnama!" Aku memekik saat melihat tubuh itu tergolek di atas sajadah."Purnama, Purnama?" Aku menepuk-nepuk pipi perempuan yang masih memakai mukena itu, sama sepertiku juga."Purnama? Are you oke, Purnama?" Aku masih berusaha menyadarkannya. Namun, tidak berhasil."Mas, gimana ini, Mas?" tanyaku khawatir pada suamiku."Tenang, Dek, tenang dulu. Kita pindahkan dulu Purnama ke kasur. Ayok," pinta Mas Rafka.Aku mengangguk setuju. "Kamu angkat, Mas. Bawa ke kasur," tukasku segera. Menurunkan k
"Aku berangkat sekolah dulu, Bunda." Belfania sudah siap dengan seragam sekolahnya.Belfania datang bersama Mas Rafka, menyusulku dan Bang Elang yang sedang berada di tanah belakang."Hati-hati, Sayang," pesanku usai Belfania mencium tanganku dengan takdzim.Belfania mengangguk seraya tersenyum. Tanpa diperintah, ia melakukan hal yang sama kepada Bang Elang."Kamu sudah besar," ujar Bang Elang sembari membelai wajah Belfania. Kemudian memeluk gadis berseragam itu. Mendekap dan membelai rambutnya."Dek, mas pergi dulu, ya?" Mas Rafka turut berpamitan.Aku mencium tangannya, lalu suamiku itu mengajak Belfania untuk segera berangkat. Bang Elang melepaskan dekapannya pada Belfania. Kemudian mereka berangkat bersama-sama. Meninggalkanku bersama Bang Elang di taman belakang."Kelas berapa Belfania sekarang?" tanya bang Elang."Kelas lima, Bang.""Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin Abang bertemu dia di rumah sakit dan dia masih kecil."Iya, Bang. Sebentar lagi, Belfania akan m
"Dek?"Aku tergeragap. Terkejut saat sentuhan lembut mendarat di pundak. Sontak aku menoleh dan mendapati Mas Rafka sudah berdiri di belakang sofa yang kududuki."Eh, Mas? Kamu udah pulang?" tanyaku bingung. Aku bahkan tidak mendengar deru mesin mobilnya. Punggungku yang semula menempel pada badan sofa, kini sudah tegap.Nampak Mas Rafka berjalan memutari sofa sampai akhirnya duduk tepat di sebelahku. Dia tiba-tiba saja mengulurkan tangan lalu menyentuh wajahku. Meraba-raba pipi serta kening. Raut khawatir dan lelah, tergambar jelas di wajahnya."Kamu kenapa? Kamu sakit? Kenapa dari tadi melamun aja? Kamu mikirin apa? Atau kamu lagi gak enak badan?" Ia memberondong dengan pertanyaan yang membuatku kebingungan."Melamun? Masa'? Enggak kok, aku emang cuma lagi di sini aja," jawabku kemudian.Terdengar helaan napas berat dari Mas Rafka. "Dari tadi mas itu manggil-manggil kamu, lho. Mas juga nanyain Belfania sudah tidur atau belum. Tapi kamu diem aja. Kamu gak jawab, bahkan kamu gak denge
"Kenapa, Dek?" Mas Rafka datang menyusul. Suaranya pun terdengar khawatir karena aku memang berteriak memanggilnya tadi.Aku menggeleng dengan air mata yang sudah berjatuhan. Tanganku terulur menunduk pada Bang Elang yang berada di atas tempat tidurnya. Tidak mampu untuk bersuara, hanya bisa menunjuk sambil terus menangis. Berharap apa yang kulihat, hanya sebuah mimpi buruk saja.Mas Rafka sudah mendekat dan berdiri di samping kasur., sedangkan aku terduduk di depan lemari. Kulihat Mas Rafka memeriksa kondisi Bang Elang. Mulai dari menempatkan jarinya di ujung hidung Bang Elang. Memeriksa denyut pada lehernya, kemudian pergelangan tangan.Terlihat suamiku itu menggeleng sembari menghela napas. Kemudian mengambil cermin kecil dari selama laci nakas. Menempelkan pada wajah terutama bagian hidung Bang Elang beberapa saat. Lalu menariknya dan mengangkat ke atas."Innalilahi wa Inna ilaihi rooji'un ... tidak ada jejak napas, artinya bang Elang sudah tiada," ucap Mas Rafka sembari mengusap
POV Fanisa 💞💞💞Seratus hari berlalu sejak meninggalnya Purnama, kesedihan dan kehampaan atas kepergiannya kian terasa. Apalagi sore tadi, baru saja selesai acara pengajian memperingati seratus harinya. Luka ini kian dalam terasa. Mengingatkan pada sosok Purnama yang begitu shalehah semasa hidup. Benar-benar perhiasan dunia yang dimiliki Bang Elang.Tidak ada yang baik-baik saja usia kepergiannya hari itu. Kepergian yang dirasa mendadak dan begitu tiba-tiba, karena Bang Elang mengatakan bahwa perempuan jelita itu sudah sembuh dari sakit yang pernah diderita. Tapi ternyata, kematian itu benar-benar sebuah rahasia yang paling dekat pada setiap makhluk yang bernyawa.Hari-hari setelah Purnama tiada, kami semua merasa benar-benar terpuruk. Aku dan Belfania seperti kehilangan gairah hidup. Kami sangat bersedih tetapi Mas Rafka mampu menguatkan dan menghibur kamu.Sementara Bang Elang, bahkan hingga hari ini, dia tidak lagi seperti Abang yang kukenal. Dia tidka banyak bicara padaku dan M
Bersama linangan airmata, aku memetik mawar-mawar indah yang bermekaran pagi hari ini. Mawar yang mekar sempurna dan begitu cantik ini tidak bisa dilihat lagi oleh Purnama. Mawar-mawar ini justru akan mengantarnya ke pemakaman."Bang, kita harus segera ke makam." Rafka merangkul pundakku.Aku pun hanya bisa mengangguk. Kelopak mawar sudah selesai aku kumpulkan meski hanya dalam kresek. Gegas aku masuk ke dalam rumah dan keranda mayat sudah siap untuk diangkat.Hatiku hancur dan air mata tak hentinya luruh membasahi wajahku."Kalau Abang tidak sanggup, biar aku dan remaja mesjid saja yang menggotong kerandanya, Bang." Rafka kembali berucap.Namun aku cepat-cepat menggeleng. "Jangan, Raf. Biar abang saja." Aku pun melangkah gontai mendekati keranda. Mengumpulkan segenap kekuatan untuk turut serta menggotong keranda berisikan jasad istriku.Purnama wafat. Dia menghembuskan napas terakhir saat sedang bersujud. Setelah aku memanggil d
Dua Minggu berlalu, masa penyembuhan pasca operasi yang dilakukan Purnama terbilang cepat. Perempuan berstatus istriku itu sekarang sudah bisa beraktifitas di rumah walau terbatas. Bukan, bukan terbatas. Tetapi aku lah yang membatasi. Andai tidak kucegah, Purnama tidak lah mau diam.Seperti pagi ini, karena pekerjaan rumah sudah selesai kukerjakan, Purnama pasti berada di halaman. Merawat mawar-mawar yang sempat layu dan kering karena tak tersentuh olehku. Hingga kini, tanaman-tanaman itu mulai segar kembali."Kasihan, bunga-bunga ini hampir mati. Pasti kamu tidak merawatnya 'kan?" ucap Purnama yang sedang membongkar satu tanaman dalam pot berukuran kecil.Aku yang berdiri di sampingnya tak ayal mengangguk. "Bagaimana lagi? Kamu lebih penting dari sekedar bunga-bunga ini," jawabku cepat.Hanya helaan napas yang terdengar dari Purnama. Tangannya masih sibuk dengan tanaman yang sudah kering kerontang karena telah mati itu. Hingga satu pot sudah kos
Lampu ruangan operasi menyala. Artinya, sebuah tindakan sedang berlangsung di dalam sana. Setelah tiga hari menunggu, operasi Purnama pun dijadwalkan malam ini. Setelah sebelumnya menjalani puasa selama delapan jam, kini Purnama menjalani operasi yang sudah kami sepakati.Fanisa menemaniku. Duduk di samping kananku mengisi ruang tunggu. Sedangkan Rafka, harus menemani Belfania dalam pagelaran seni yang diikutinya.Detik demi detik berlalu, dan tindakan operasi belum juga selesai. Hatiku rasanya tak karuan selama menunggu. Fanisa berulangkali menepuk pahaku, karena aku tak bisa diam. Terus menggerakkan kaki sebagai luapan rasa gelisahku."Abang mau ke mushola. Kamu jaga di sini, ya?" ucapku seraya berdiri dengan cepat."Iya, Bang."Aku pun melangkah pergi. Menuju mushola yang terpisah dengan gedung rumah sakit tetapi masih satu area. Mengambil wudhu, cepat-cepat aku menunaikan shalat hajat. Zikir dan wirid tak henti kulafalkan seiring deng
Hari demi hari aku lalui bersama Purnama. Hingga berganti bulan dan aku dengan setia menemani berikhtiar untuk mencapai kesembuhannya. Namun, sudah hampir enam bulan kami jalani, kondisi Purnama tidak kunjung membaik. Bobot tubuhnya justru kian menyusut. Badannya yang mungil makin terlihat kurus. Pasca kemo, helaian demi helaian rambutnya berjatuhan. Rambutnya yang pendek, kian tipis saja sekarang. Satu bulan terakhir, ia bahkan harus memakai kursi roda saat berada di rumah. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda akan kesembuhannya.Hari ini, pemeriksaan kembali dilakukan. Aku dan Purnama berada di ruangan dokter untuk mengetahui hasil pemeriksaannya."Jaringan kankernya semakin meluas. Kemo yang dilakukan tidak begitu efektif, karena sejak penyakit ini diketahui, sudah masuk stadium empat yang artinya sudah cukup parah," jelas sang dokter membuat hati ini rasanya tercabik-cabik."Kalau operasi bagaimana, Dok?" tanyaku lemas.Dokter berkacamata di ha
"Purnama kenapa? Sakit apa?" tanya Fanisa yang baru saja datang. Dia adalah orang pertama yang kuhubungi, setelah Purnama masuk ruang IGD lima belas menit lalu.Aku menggeleng pelan. "Masih ditangani," jawabku lesu.Fanisa menghempas bobotnya di sebelahku. Dia menepuk-nepuk pundakku. Seolah menyalurkan ketenangan. Aku menunduk. Mengusap wajah dengan kedua tangan seraya menarik napas panjang. Sebelum kemudian aku menoleh pada Fanisa."Apa kamu tahu sebelumnya, Purnama mengidap sakit apa?" tanyaku kepada Fanisa.Adik perempuanku itu nampak diam seolah tengah berpikir, sampai kemudian ia menggeleng. "Aku dan Mas Rafka gak tahu, Bang. Tapi sempat Purnama juga pingsan saat dia menginap di rumah kami waktu itu. Setelah sholat Subuh. Saat itu dia menolak untuk diperiksa. Meskipun aku dan Mas Rafka terus membujuk dan memaksa. Sampai akhirnya dia kembali ke pondok dan aku gak pernah tahu Purnama itu sakit apa," jelasnya kemudian.Aku pun terdiam.
19.Tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Namun tanpa aba-aba, mataku seketika ringan terbuka. Tersadar dan melihat Purnama masih berada di atas dadaku.Aku menoleh untuk melihat jam duduk di atas nakas. Rupanya pukul tiga dini hari. Sejak tinggal di pondok, bangun dini hari seperti ini sudah menjadi kebiasaanku.Purnama nampak masih lelap. Sangat terpaksa aku harus menggeser kepalanya dengan hati-hati sampai akhirnya berpindah ke bantal. Kutatap sejenak wajah cantiknya saat tertidur, hingga bibirku tersenyum karenanya.Pelan-pelan aku bangkit. Gerakanku amat pelan sampai kemudian berhasil turun dari kasur. Karena aku tidak ingin mengganggu tidurnya.Lekas aku ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Berdiam sejenak sebelum kemudian mengambil wudhu. Sehingga wajah ini terasa lebih segar setelah terkena air. Membiarkan wajah ini tetap basah, gegas aku keluar.Langkahku terhenti di depan pintu kamar mandi. Kulihat Purnama ju
18.Aku menarik diri. Namun di luar dugaan, ternyata Purnama sudah membuka matanya kembali. Aku menunduk dan tak ayak pandangan kami pun bertemu. Tanganku yang seharusnya membelai anak rambut di keningnya, kini justru menangkup pipi Purnama.Jarak kami begitu dekat. Aku bahkan tak bisa berkedip menatapnya dari jarak sedekat ini. Hingga kurasakan telapak tangan Purnama menyentuh pipiku. Dia mengusapnya, membuatku kian menundukkan kepala. Aku benar-benar terbawa suasana.Hidung mancungnya bahkan telah beradu dengan ujung hidungku. Pandangan kami masih saling mengunci, aku memiringkan kepala, hingga menemukan posisi yang pas untuk kemudian mendaratkan bibirku di bibirnya.Aku butuh tali, untuk mengikat jantungku yang seperti akan melompat meninggalkan tempatnya.Ini ciuman pertamaku.Rasanya begitu hangat dan menggetarkan hati.Tidak ada hal lebih yang kulakukan. Hanya membiarkan bibir kami saling menempel. Begini saja, ali