"Bapak, Ibu, saya bisa bantu menjelaskan yang sebenarnya seperti apa," ucapku kemudian."Menjelaskan apalagi? Menjelaskan kalau Purnama hanya khilaf?" tuding si Ibu terlihat murka."Tidak, Bu. Tidak seperti itu. Purnama hamil pun itu karena musibah yang menimpanya. Dia hanya korban. Dia korban rudapaksa," jelasku tak tahan lagi.Nampak kedua orang tua itu membelalakan mata. Terlihat syok dengan apa yang baru saja kukatakan."Astaghfirullah ... kami tidak menyangka sama sekali." Si Ibu berkata lirih."Bu, kehamilan Purnama dulu itu bukan atas dasar suka sama suka, tetapi karena musibah. Purnama kehilangan mahkotanya akibat rudapaksa. Purnama tidak seburuk itu. Saya bisa menjamin." Bukan hanya aku, Mas Rafka pun turut menjelaskan.Terdengar si ibu dari lelaki itu mendecak. "Saya tidak menyangka, di balik penampilannya yang begitu tertutup dan alim, ternyata masa lalunya begitu kelam dan buruk. Pantas s
"Pingsan? Apa yang terjadi?" Mas Rafka bahkan sudah berdiri di belakangku dan bertanya pada Belfania, padahal tadi ia masih bergelung di balik selimutnya.Belfania nampak menggeleng. "Tidak tahu, Yah. Tadi aku lihat Ibu sedang sholat Subuh, tapi tiba-tiba tubuhnya ambruk. Aku coba bangunkan tapi Ibu masih gak sadar juga." Ia bercerita dengan panik."Ayok mas buruan kita lihat!" titahku cepat. Buru-buru aku pun keluar kamar. Bersama Mas Rafka dan Belfania memasuki kamarnya."Astaghfirullahaladzim, Purnama!" Aku memekik saat melihat tubuh itu tergolek di atas sajadah."Purnama, Purnama?" Aku menepuk-nepuk pipi perempuan yang masih memakai mukena itu, sama sepertiku juga."Purnama? Are you oke, Purnama?" Aku masih berusaha menyadarkannya. Namun, tidak berhasil."Mas, gimana ini, Mas?" tanyaku khawatir pada suamiku."Tenang, Dek, tenang dulu. Kita pindahkan dulu Purnama ke kasur. Ayok," pinta Mas Rafka.Aku mengangguk setuju. "Kamu angkat, Mas. Bawa ke kasur," tukasku segera. Menurunkan k
"Aku berangkat sekolah dulu, Bunda." Belfania sudah siap dengan seragam sekolahnya.Belfania datang bersama Mas Rafka, menyusulku dan Bang Elang yang sedang berada di tanah belakang."Hati-hati, Sayang," pesanku usai Belfania mencium tanganku dengan takdzim.Belfania mengangguk seraya tersenyum. Tanpa diperintah, ia melakukan hal yang sama kepada Bang Elang."Kamu sudah besar," ujar Bang Elang sembari membelai wajah Belfania. Kemudian memeluk gadis berseragam itu. Mendekap dan membelai rambutnya."Dek, mas pergi dulu, ya?" Mas Rafka turut berpamitan.Aku mencium tangannya, lalu suamiku itu mengajak Belfania untuk segera berangkat. Bang Elang melepaskan dekapannya pada Belfania. Kemudian mereka berangkat bersama-sama. Meninggalkanku bersama Bang Elang di taman belakang."Kelas berapa Belfania sekarang?" tanya bang Elang."Kelas lima, Bang.""Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin Abang bertemu dia di rumah sakit dan dia masih kecil."Iya, Bang. Sebentar lagi, Belfania akan m
"Dek?"Aku tergeragap. Terkejut saat sentuhan lembut mendarat di pundak. Sontak aku menoleh dan mendapati Mas Rafka sudah berdiri di belakang sofa yang kududuki."Eh, Mas? Kamu udah pulang?" tanyaku bingung. Aku bahkan tidak mendengar deru mesin mobilnya. Punggungku yang semula menempel pada badan sofa, kini sudah tegap.Nampak Mas Rafka berjalan memutari sofa sampai akhirnya duduk tepat di sebelahku. Dia tiba-tiba saja mengulurkan tangan lalu menyentuh wajahku. Meraba-raba pipi serta kening. Raut khawatir dan lelah, tergambar jelas di wajahnya."Kamu kenapa? Kamu sakit? Kenapa dari tadi melamun aja? Kamu mikirin apa? Atau kamu lagi gak enak badan?" Ia memberondong dengan pertanyaan yang membuatku kebingungan."Melamun? Masa'? Enggak kok, aku emang cuma lagi di sini aja," jawabku kemudian.Terdengar helaan napas berat dari Mas Rafka. "Dari tadi mas itu manggil-manggil kamu, lho. Mas juga nanyain Belfania sudah tidur atau belum. Tapi kamu diem aja. Kamu gak jawab, bahkan kamu gak denge
POV Purnama.Satu bulan berlalu setelah lamaran itu dibatalkan.Aku tidak merasa kecewa. Aku justru lega dengan apa yang sudah kuputuskan. Sejatinya, pernikahan adalah ibadah paling lama yang dijalani. Kejujuran dan keterbukaan sangat diperlukan. Jika dari awal aku tidak jujur, aku tidak tahu resiko apa kedepannya yang akan terjadi. Bisa saja justru akan menjadi bumerang yang menghancurkan rumah tanggaku nantinya. Dan aku tidak mau itu terjadi. Meski harus berakhir dengan penolakan dan batalnya lamaran, aku tidak masalah.Aku percaya, takdir Allah itu adalah yang terbaik.Sejak batalnya lamaranku dan Risyad di rumah Fanisa hari itu. Aku tetap menjalani hidupku dengan normal di pondok. Tidak ada yang berubah. Tidak ada patah hati atau lainnya. Hari-hariku berjalan seperti biasa.Aku tetaplah aku yang terus berbenah diri, memperbaiki kualitas ibadah dan makin mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Tidak ada sandaran dan pegangan yang nyata, selain berserah dan berpasrah pada Sang Pemilik
7.Semilir angin sore berembus syahdu. Menemaniku yang sedang duduk di bangku kayu di bawah pohon angsana yang rindang. Terhampar halaman yang luas di depanku, dan kurang lebih limapuluh meter dari sini merupakan gapura pembatas area putra dan putri. Satu tahun sudah berlalu sejka Fanisa mengutarakan keinginan abangnya untuk meminta kesempatan padaku. Sejak hari itu pula kudengar lelaki bernama Elang itu sudah tidak menjadi santri di pondok ini lagi. Setelah tahu bahwa Elang mengikutiku ke mari, tentu aku mencari tahu tentangnya, tetapi pihak pondok mengatakan jika lelaki itu sudah tidak lagi di sini.Entah. Aku tidak tahu alasannya. Hanya saja, aku memang tidak memberikannya kesempatan seperti yang dia minta. Karena untuk apa? Jika untu bertanggungjawab, tentu sudah begitu lama kejadian itu berlalu. Darah dagingnya sudah berusia 12 tahun sekarang. Lalu untuk apa kesempatan yang dia minta? Putrinya bahkan sudah bahagia tinggal bersama Rafk
Acara sudah dimulai. Namun, aku tidak bisa fokus. Perhatianku justru tersita pada lelaki yang duduk tepat di samping Rafka. Lelaki dengan koko putih dan potongan rambut cepak, tak lain ialah Elang.Aku, Fanisa, Rafka dan Elang duduk di deret kursi yang sama. Mengisi kursi di baris kedua dari panggung besar di depan sana. Entah kenapa, aku dibuat penasaran dengan sosok Elang yang baru aku jumpai kembali hari ini.Penampilan lelaki itu sudah jauh berubah. Aku tidak mengerti, kenapa rasanya aku menyukai penampilan barunya.Saat awal tadi, dia juga menyapaku. Suaranya terdengar begitu lembut. Aku hanya membalas dengan anggukan kepala tanpa bisa menjawab. Anehnya aku gugup sendiri. Aku tidak mengerti, rasanya hatiku tidak baik-baik saja sekarang.Diam-diam, aku meliriknya yang ada di sebelah kanan. Meski terhalang Fanisa dan Rafka, tapi aku masih bisa melihatnya. Melihat senyum dan gerak-geriknya sesekali.Hatiku rasanya berdebar.Aku benar-benar tidak mengerti dengan diriku sendiri. Ada p
Acara makan siang bersama akhirnya selesai. Aku bersama yang lainnya bergegas keluar dari dalam resto. Masuk ke dalam mobil milik Rafka kembali untuk pulang ke rumahnya. Mobil sudah melaju, meninggalkan parkiran resto dan tiba di jalan besar.Sepanjang jalan, aku hanya menjadi pendengar obrolan di antar mereka bertiga. Sekarang, putri kecilku itu lebih dekat dengan Fanisa. Aku berbesar hati menerimanya. Karena semua itu adalah konsekuensi dari keputusanku sendiri.Selama perjalanan pulang menuju rumah Fanisa, aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Entah kenapa, aku terus saja teringat akan sosok Elang. Terlebih, dia tidak ikut makan bersama tadi. Membuatku merasa, jika dia ingin menghindar dariku. Harusnya, aku tak perlu ambil pusing. Harusnya, aku tak perlu memikirkan itu. Tapi, hatiku berkata lain. Lebih-lebih, penampilannya sekarang sudah jauh berbeda. Aku sendiri tidak bisa menghilangkannya dari dalam pikiran.Lima belas menit perjalanan, akhirnya mobil berhenti tepat di depan pagar
"Kenapa, Dek?" Mas Rafka datang menyusul. Suaranya pun terdengar khawatir karena aku memang berteriak memanggilnya tadi.Aku menggeleng dengan air mata yang sudah berjatuhan. Tanganku terulur menunduk pada Bang Elang yang berada di atas tempat tidurnya. Tidak mampu untuk bersuara, hanya bisa menunjuk sambil terus menangis. Berharap apa yang kulihat, hanya sebuah mimpi buruk saja.Mas Rafka sudah mendekat dan berdiri di samping kasur., sedangkan aku terduduk di depan lemari. Kulihat Mas Rafka memeriksa kondisi Bang Elang. Mulai dari menempatkan jarinya di ujung hidung Bang Elang. Memeriksa denyut pada lehernya, kemudian pergelangan tangan.Terlihat suamiku itu menggeleng sembari menghela napas. Kemudian mengambil cermin kecil dari selama laci nakas. Menempelkan pada wajah terutama bagian hidung Bang Elang beberapa saat. Lalu menariknya dan mengangkat ke atas."Innalilahi wa Inna ilaihi rooji'un ... tidak ada jejak napas, artinya bang Elang sudah tiada," ucap Mas Rafka sembari mengusap
POV Fanisa 💞💞💞Seratus hari berlalu sejak meninggalnya Purnama, kesedihan dan kehampaan atas kepergiannya kian terasa. Apalagi sore tadi, baru saja selesai acara pengajian memperingati seratus harinya. Luka ini kian dalam terasa. Mengingatkan pada sosok Purnama yang begitu shalehah semasa hidup. Benar-benar perhiasan dunia yang dimiliki Bang Elang.Tidak ada yang baik-baik saja usia kepergiannya hari itu. Kepergian yang dirasa mendadak dan begitu tiba-tiba, karena Bang Elang mengatakan bahwa perempuan jelita itu sudah sembuh dari sakit yang pernah diderita. Tapi ternyata, kematian itu benar-benar sebuah rahasia yang paling dekat pada setiap makhluk yang bernyawa.Hari-hari setelah Purnama tiada, kami semua merasa benar-benar terpuruk. Aku dan Belfania seperti kehilangan gairah hidup. Kami sangat bersedih tetapi Mas Rafka mampu menguatkan dan menghibur kamu.Sementara Bang Elang, bahkan hingga hari ini, dia tidak lagi seperti Abang yang kukenal. Dia tidka banyak bicara padaku dan M
Bersama linangan airmata, aku memetik mawar-mawar indah yang bermekaran pagi hari ini. Mawar yang mekar sempurna dan begitu cantik ini tidak bisa dilihat lagi oleh Purnama. Mawar-mawar ini justru akan mengantarnya ke pemakaman."Bang, kita harus segera ke makam." Rafka merangkul pundakku.Aku pun hanya bisa mengangguk. Kelopak mawar sudah selesai aku kumpulkan meski hanya dalam kresek. Gegas aku masuk ke dalam rumah dan keranda mayat sudah siap untuk diangkat.Hatiku hancur dan air mata tak hentinya luruh membasahi wajahku."Kalau Abang tidak sanggup, biar aku dan remaja mesjid saja yang menggotong kerandanya, Bang." Rafka kembali berucap.Namun aku cepat-cepat menggeleng. "Jangan, Raf. Biar abang saja." Aku pun melangkah gontai mendekati keranda. Mengumpulkan segenap kekuatan untuk turut serta menggotong keranda berisikan jasad istriku.Purnama wafat. Dia menghembuskan napas terakhir saat sedang bersujud. Setelah aku memanggil d
Dua Minggu berlalu, masa penyembuhan pasca operasi yang dilakukan Purnama terbilang cepat. Perempuan berstatus istriku itu sekarang sudah bisa beraktifitas di rumah walau terbatas. Bukan, bukan terbatas. Tetapi aku lah yang membatasi. Andai tidak kucegah, Purnama tidak lah mau diam.Seperti pagi ini, karena pekerjaan rumah sudah selesai kukerjakan, Purnama pasti berada di halaman. Merawat mawar-mawar yang sempat layu dan kering karena tak tersentuh olehku. Hingga kini, tanaman-tanaman itu mulai segar kembali."Kasihan, bunga-bunga ini hampir mati. Pasti kamu tidak merawatnya 'kan?" ucap Purnama yang sedang membongkar satu tanaman dalam pot berukuran kecil.Aku yang berdiri di sampingnya tak ayal mengangguk. "Bagaimana lagi? Kamu lebih penting dari sekedar bunga-bunga ini," jawabku cepat.Hanya helaan napas yang terdengar dari Purnama. Tangannya masih sibuk dengan tanaman yang sudah kering kerontang karena telah mati itu. Hingga satu pot sudah kos
Lampu ruangan operasi menyala. Artinya, sebuah tindakan sedang berlangsung di dalam sana. Setelah tiga hari menunggu, operasi Purnama pun dijadwalkan malam ini. Setelah sebelumnya menjalani puasa selama delapan jam, kini Purnama menjalani operasi yang sudah kami sepakati.Fanisa menemaniku. Duduk di samping kananku mengisi ruang tunggu. Sedangkan Rafka, harus menemani Belfania dalam pagelaran seni yang diikutinya.Detik demi detik berlalu, dan tindakan operasi belum juga selesai. Hatiku rasanya tak karuan selama menunggu. Fanisa berulangkali menepuk pahaku, karena aku tak bisa diam. Terus menggerakkan kaki sebagai luapan rasa gelisahku."Abang mau ke mushola. Kamu jaga di sini, ya?" ucapku seraya berdiri dengan cepat."Iya, Bang."Aku pun melangkah pergi. Menuju mushola yang terpisah dengan gedung rumah sakit tetapi masih satu area. Mengambil wudhu, cepat-cepat aku menunaikan shalat hajat. Zikir dan wirid tak henti kulafalkan seiring deng
Hari demi hari aku lalui bersama Purnama. Hingga berganti bulan dan aku dengan setia menemani berikhtiar untuk mencapai kesembuhannya. Namun, sudah hampir enam bulan kami jalani, kondisi Purnama tidak kunjung membaik. Bobot tubuhnya justru kian menyusut. Badannya yang mungil makin terlihat kurus. Pasca kemo, helaian demi helaian rambutnya berjatuhan. Rambutnya yang pendek, kian tipis saja sekarang. Satu bulan terakhir, ia bahkan harus memakai kursi roda saat berada di rumah. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda akan kesembuhannya.Hari ini, pemeriksaan kembali dilakukan. Aku dan Purnama berada di ruangan dokter untuk mengetahui hasil pemeriksaannya."Jaringan kankernya semakin meluas. Kemo yang dilakukan tidak begitu efektif, karena sejak penyakit ini diketahui, sudah masuk stadium empat yang artinya sudah cukup parah," jelas sang dokter membuat hati ini rasanya tercabik-cabik."Kalau operasi bagaimana, Dok?" tanyaku lemas.Dokter berkacamata di ha
"Purnama kenapa? Sakit apa?" tanya Fanisa yang baru saja datang. Dia adalah orang pertama yang kuhubungi, setelah Purnama masuk ruang IGD lima belas menit lalu.Aku menggeleng pelan. "Masih ditangani," jawabku lesu.Fanisa menghempas bobotnya di sebelahku. Dia menepuk-nepuk pundakku. Seolah menyalurkan ketenangan. Aku menunduk. Mengusap wajah dengan kedua tangan seraya menarik napas panjang. Sebelum kemudian aku menoleh pada Fanisa."Apa kamu tahu sebelumnya, Purnama mengidap sakit apa?" tanyaku kepada Fanisa.Adik perempuanku itu nampak diam seolah tengah berpikir, sampai kemudian ia menggeleng. "Aku dan Mas Rafka gak tahu, Bang. Tapi sempat Purnama juga pingsan saat dia menginap di rumah kami waktu itu. Setelah sholat Subuh. Saat itu dia menolak untuk diperiksa. Meskipun aku dan Mas Rafka terus membujuk dan memaksa. Sampai akhirnya dia kembali ke pondok dan aku gak pernah tahu Purnama itu sakit apa," jelasnya kemudian.Aku pun terdiam.
19.Tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Namun tanpa aba-aba, mataku seketika ringan terbuka. Tersadar dan melihat Purnama masih berada di atas dadaku.Aku menoleh untuk melihat jam duduk di atas nakas. Rupanya pukul tiga dini hari. Sejak tinggal di pondok, bangun dini hari seperti ini sudah menjadi kebiasaanku.Purnama nampak masih lelap. Sangat terpaksa aku harus menggeser kepalanya dengan hati-hati sampai akhirnya berpindah ke bantal. Kutatap sejenak wajah cantiknya saat tertidur, hingga bibirku tersenyum karenanya.Pelan-pelan aku bangkit. Gerakanku amat pelan sampai kemudian berhasil turun dari kasur. Karena aku tidak ingin mengganggu tidurnya.Lekas aku ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Berdiam sejenak sebelum kemudian mengambil wudhu. Sehingga wajah ini terasa lebih segar setelah terkena air. Membiarkan wajah ini tetap basah, gegas aku keluar.Langkahku terhenti di depan pintu kamar mandi. Kulihat Purnama ju
18.Aku menarik diri. Namun di luar dugaan, ternyata Purnama sudah membuka matanya kembali. Aku menunduk dan tak ayak pandangan kami pun bertemu. Tanganku yang seharusnya membelai anak rambut di keningnya, kini justru menangkup pipi Purnama.Jarak kami begitu dekat. Aku bahkan tak bisa berkedip menatapnya dari jarak sedekat ini. Hingga kurasakan telapak tangan Purnama menyentuh pipiku. Dia mengusapnya, membuatku kian menundukkan kepala. Aku benar-benar terbawa suasana.Hidung mancungnya bahkan telah beradu dengan ujung hidungku. Pandangan kami masih saling mengunci, aku memiringkan kepala, hingga menemukan posisi yang pas untuk kemudian mendaratkan bibirku di bibirnya.Aku butuh tali, untuk mengikat jantungku yang seperti akan melompat meninggalkan tempatnya.Ini ciuman pertamaku.Rasanya begitu hangat dan menggetarkan hati.Tidak ada hal lebih yang kulakukan. Hanya membiarkan bibir kami saling menempel. Begini saja, ali