7.
Semilir angin sore berembus syahdu. Menemaniku yang sedang duduk di bangku kayu di bawah pohon angsana yang rindang. Terhampar halaman yang luas di depanku, dan kurang lebih limapuluh meter dari sini merupakan gapura pembatas area putra dan putri.Satu tahun sudah berlalu sejka Fanisa mengutarakan keinginan abangnya untuk meminta kesempatan padaku. Sejak hari itu pula kudengar lelaki bernama Elang itu sudah tidak menjadi santri di pondok ini lagi. Setelah tahu bahwa Elang mengikutiku ke mari, tentu aku mencari tahu tentangnya, tetapi pihak pondok mengatakan jika lelaki itu sudah tidak lagi di sini.Entah. Aku tidak tahu alasannya. Hanya saja, aku memang tidak memberikannya kesempatan seperti yang dia minta. Karena untuk apa? Jika untu bertanggungjawab, tentu sudah begitu lama kejadian itu berlalu. Darah dagingnya sudah berusia 12 tahun sekarang. Lalu untuk apa kesempatan yang dia minta? Putrinya bahkan sudah bahagia tinggal bersama RafkAcara sudah dimulai. Namun, aku tidak bisa fokus. Perhatianku justru tersita pada lelaki yang duduk tepat di samping Rafka. Lelaki dengan koko putih dan potongan rambut cepak, tak lain ialah Elang.Aku, Fanisa, Rafka dan Elang duduk di deret kursi yang sama. Mengisi kursi di baris kedua dari panggung besar di depan sana. Entah kenapa, aku dibuat penasaran dengan sosok Elang yang baru aku jumpai kembali hari ini.Penampilan lelaki itu sudah jauh berubah. Aku tidak mengerti, kenapa rasanya aku menyukai penampilan barunya.Saat awal tadi, dia juga menyapaku. Suaranya terdengar begitu lembut. Aku hanya membalas dengan anggukan kepala tanpa bisa menjawab. Anehnya aku gugup sendiri. Aku tidak mengerti, rasanya hatiku tidak baik-baik saja sekarang.Diam-diam, aku meliriknya yang ada di sebelah kanan. Meski terhalang Fanisa dan Rafka, tapi aku masih bisa melihatnya. Melihat senyum dan gerak-geriknya sesekali.Hatiku rasanya berdebar.Aku benar-benar tidak mengerti dengan diriku sendiri. Ada p
Acara makan siang bersama akhirnya selesai. Aku bersama yang lainnya bergegas keluar dari dalam resto. Masuk ke dalam mobil milik Rafka kembali untuk pulang ke rumahnya. Mobil sudah melaju, meninggalkan parkiran resto dan tiba di jalan besar.Sepanjang jalan, aku hanya menjadi pendengar obrolan di antar mereka bertiga. Sekarang, putri kecilku itu lebih dekat dengan Fanisa. Aku berbesar hati menerimanya. Karena semua itu adalah konsekuensi dari keputusanku sendiri.Selama perjalanan pulang menuju rumah Fanisa, aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Entah kenapa, aku terus saja teringat akan sosok Elang. Terlebih, dia tidak ikut makan bersama tadi. Membuatku merasa, jika dia ingin menghindar dariku. Harusnya, aku tak perlu ambil pusing. Harusnya, aku tak perlu memikirkan itu. Tapi, hatiku berkata lain. Lebih-lebih, penampilannya sekarang sudah jauh berbeda. Aku sendiri tidak bisa menghilangkannya dari dalam pikiran.Lima belas menit perjalanan, akhirnya mobil berhenti tepat di depan pagar
"Aku berjanji. Ini terakhir kalinya aku mengatakan hal seperti ini pada kamu, Purnama. Jika kesempatan itu benar-benar tidak ada untukku. Jika kesempatan untuk bersama dengan kamu tidak pernah bisa kamu berikan, aku tidak akan lagi memintanya. Aku tidak akan pernah mengganggu hidupmu lagi. Jika kamu tetap menolak dan tidak pernah bisa memberikan kesempatan itu, tidak apa-apa. Aku sadar diri, dan tidak ada yang akan kulakukan lagi selain terus berbenah dan memperbaiki diri sendirian," ucap Elang lagi yang masih berlutut di hadapanku.Aku tidak tahu apa yang kurasa. Namun hari ini, semua terasa berbeda. Aku masih terdiam, terpaku dengan bibir kelu. Bingung dengan perasaanku sendiri."Purnama?" Fanisa menyenggol lenganku, aku tergeragap dan akhirnya menyadari kebekuan yang menimpaku."Bisa berikan jawaban untuk Bang Elang?" tanya Fanisa dengan lembut serta tatapan teduhnya. Sontak pandanganku tertuju pada Elang yang belum juga berdiri.
POV ELANG*************Senja menggelayut di langit barat. Matahari hampir tenggelam sempurna. Hari kian beranjak siap untuk berganti malam. Namun, hingga detik ini pula, tak juga ada kabar yang datang.Kuhembus napas kasar. Kusudahi merenung dan bangkit dari kursi rotan di teras rumah. Menghembus napas kasar kemudian berjalan menuju pintu rumahnya. Menutup serta menguncinya. Aku akan pergi ke masjid untuk bersiap shalat magrib, daripada terus merenung dan memikirkan Purnama. Hari ini, tepat sudah empat puluh hari berlalu, dan jawaban itu belum juga kudapatkan.Mungkin seharusnya aku sadar diri, jika Purnama tidak pernah benar-benar meminta waktu tetapi hanya ingin mengulur waktu. Seharusnya aku sadar, jika kesempatan itu tidak mungkin Purnama berikan.Siapa aku yang begitu berharap bisa bersanding dengannya?Sepertinya, aku memang harus menyudahi harapan ini dan belajar untuk sadar diri. Dengan begitu, mungkin per
"Saya terima nikah dan kawinnya Purnama Intania binti Ahmad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas seberat dua puluh gram dibayar tunai!""Saksi?""SAHHH!""Alhamdulillah ... Barakallahu ...."Kuhembus napas lega. Benar-benar lega. Dilanjut mendengar dan mengaminkan doa pernikahan yang dibaca oleh Abah, selaku pemimpin pondok. Hingga doa selesai lalu aku mengusap wajah dengan kedua tangan. Meyakinkan diri jika semua ini bukan mimpi, tetapi nyata.Menarik kedua tanganku lalu menoleh dengan leher terasa kaku pada sosok Purnama yang duduk di sebelah. Entah bagaimana reaksinya, karena wajahnya tertutup oleh cadar dan aku hanya bisa menatapnya, tanpa tahu harus apalagi. Hingga muncul instruksi, agar Purnama mencium tanganku dan aku mengecup keningnya.Gemetaran, aku pun mengulurkan tangan, hingga Purnama meraihnya, lalu mencium takdzim punggung tangan ini.Huh, aliran darahku tera
Keesokan harinya, aku memboyong Purnama untuk tinggal di rumahku. Diantar Rafka dan Fanisa yang telah kembali ke rumah mereka setengah jam yang lalu. Sehingga tinggalah aku dan Purnama di rumah ini. Rumah yang tidak seberapa besar dan sempat kosong selama aku mondok beberapa tahun. Setelah Fanisa menikah. Aku dan dia sepakat untuk menjual rumah almarhumah Ibu yang sebelumnya kami tempati. Hasilnya kami bagi dua. Fanisa dan aku lalu menggunakan uang itu untuk mengontrak ruko dan membuka usaha.Fanisa dan Rafka merintis sebuah toko pakaian yang kemudian berkembang menjadi butik. Sementara aku merintis usaha konveksi. Aku dan Fanisa menjual rumah almarhumah Ibu, demi mengubur segala kenangan buruk dan pahit yang pernah kami alami. Kemudian membuka lembaran hidup di tempat yang baru. Fanisa bersama Rafka, dan aku hanya sendirian.Pahit getir kehidupan sudah banyak aku lalui. Dan menyakiti Purnama adalah hal terbej*t yang pernah aku lakukan. Mem
14.Sejenak hening menyelimuti. Aku terpaku menatap sepasang mata sebening embun milik Purnama itu.Aku berdehem pelan. “Tapi kalau kamu keberatan, aku tidak memaksa. Kamu tetap pakai saja meskipun di rumah. Kita akan jalani pernikahan ini pelan-pelan,” ujarku seraya tersenyum padanya.Purnama mengedipkan kedua matanya. Meski tidak jelas, tapi bisa terlihat kedua pipinya naik yang mungkin ia juga sedang tersenyum.“Aku tidak keberatan. Kita sudah menikah. Sudah mahrom. Sudah berada dalam ikatan yang halal dan sah. Kamu berhak melihat wajahku,” sahutnya membuat mulutku membentuk huruf O. Ada rasa tidak percaya, tapi sungguh jawaban yang Purnama terdengar begitu indah.Purnama menairk tangannya yang semula bertengger di atas punggung tanganku. Ia menunduk. Mengarahkan kedua tangannya ke belakang. Perlahan-lahan, kain cadarnya diturunkan dari wajah.Maka untuk pertama kalinya, aku bisa melihat wajah itu lagi.Aku terpaku. Mataku bahkan berat untuk berkedip. Melihat wajah bak bulan purnam
15.Aku mendecih pelan. “Denda?”Aku mengulang tanya dan Purnama mengangguk cepat.“Berapa?” tanyaku lagi.Jari Purnama mengetuk-ngetuk dagunya. “Emm, satu piring satu juta, deh,” ucapnya sambil tertawa kecil.Aku pun mengulum senyum dengan kepala terangguk. “Boleh … tapi kalau bersih, kamu yang didenda gimana?”Purnama menggeleng. “Enggak mau. Aku pengawas, masa' kena denda juga?” Suaranya terdengar manja persis anak kecil merengek, dan aku sangat menyukainya.Aku terkekeh pelan. “Ya gak adil dong kalau kamu gak ikut kena dendanya,” ucapku menimpali.Terdengar helaan napas berat darinya. “Ya udah, aku ikut,” balasnya lesu dan seperti terpaksa.Sambil mengulum senyum, aku manggut-manggut. Setuju dengan kesepakatan ini. Entah lah ide dari mana, tapi ternyata Purnama sangat mengasyikkan. Tidak kaku dan tidak membuat pernikahan kami ini berjarak. Selagi tanganku berg
"Kenapa, Dek?" Mas Rafka datang menyusul. Suaranya pun terdengar khawatir karena aku memang berteriak memanggilnya tadi.Aku menggeleng dengan air mata yang sudah berjatuhan. Tanganku terulur menunduk pada Bang Elang yang berada di atas tempat tidurnya. Tidak mampu untuk bersuara, hanya bisa menunjuk sambil terus menangis. Berharap apa yang kulihat, hanya sebuah mimpi buruk saja.Mas Rafka sudah mendekat dan berdiri di samping kasur., sedangkan aku terduduk di depan lemari. Kulihat Mas Rafka memeriksa kondisi Bang Elang. Mulai dari menempatkan jarinya di ujung hidung Bang Elang. Memeriksa denyut pada lehernya, kemudian pergelangan tangan.Terlihat suamiku itu menggeleng sembari menghela napas. Kemudian mengambil cermin kecil dari selama laci nakas. Menempelkan pada wajah terutama bagian hidung Bang Elang beberapa saat. Lalu menariknya dan mengangkat ke atas."Innalilahi wa Inna ilaihi rooji'un ... tidak ada jejak napas, artinya bang Elang sudah tiada," ucap Mas Rafka sembari mengusap
POV Fanisa 💞💞💞Seratus hari berlalu sejak meninggalnya Purnama, kesedihan dan kehampaan atas kepergiannya kian terasa. Apalagi sore tadi, baru saja selesai acara pengajian memperingati seratus harinya. Luka ini kian dalam terasa. Mengingatkan pada sosok Purnama yang begitu shalehah semasa hidup. Benar-benar perhiasan dunia yang dimiliki Bang Elang.Tidak ada yang baik-baik saja usia kepergiannya hari itu. Kepergian yang dirasa mendadak dan begitu tiba-tiba, karena Bang Elang mengatakan bahwa perempuan jelita itu sudah sembuh dari sakit yang pernah diderita. Tapi ternyata, kematian itu benar-benar sebuah rahasia yang paling dekat pada setiap makhluk yang bernyawa.Hari-hari setelah Purnama tiada, kami semua merasa benar-benar terpuruk. Aku dan Belfania seperti kehilangan gairah hidup. Kami sangat bersedih tetapi Mas Rafka mampu menguatkan dan menghibur kamu.Sementara Bang Elang, bahkan hingga hari ini, dia tidak lagi seperti Abang yang kukenal. Dia tidka banyak bicara padaku dan M
Bersama linangan airmata, aku memetik mawar-mawar indah yang bermekaran pagi hari ini. Mawar yang mekar sempurna dan begitu cantik ini tidak bisa dilihat lagi oleh Purnama. Mawar-mawar ini justru akan mengantarnya ke pemakaman."Bang, kita harus segera ke makam." Rafka merangkul pundakku.Aku pun hanya bisa mengangguk. Kelopak mawar sudah selesai aku kumpulkan meski hanya dalam kresek. Gegas aku masuk ke dalam rumah dan keranda mayat sudah siap untuk diangkat.Hatiku hancur dan air mata tak hentinya luruh membasahi wajahku."Kalau Abang tidak sanggup, biar aku dan remaja mesjid saja yang menggotong kerandanya, Bang." Rafka kembali berucap.Namun aku cepat-cepat menggeleng. "Jangan, Raf. Biar abang saja." Aku pun melangkah gontai mendekati keranda. Mengumpulkan segenap kekuatan untuk turut serta menggotong keranda berisikan jasad istriku.Purnama wafat. Dia menghembuskan napas terakhir saat sedang bersujud. Setelah aku memanggil d
Dua Minggu berlalu, masa penyembuhan pasca operasi yang dilakukan Purnama terbilang cepat. Perempuan berstatus istriku itu sekarang sudah bisa beraktifitas di rumah walau terbatas. Bukan, bukan terbatas. Tetapi aku lah yang membatasi. Andai tidak kucegah, Purnama tidak lah mau diam.Seperti pagi ini, karena pekerjaan rumah sudah selesai kukerjakan, Purnama pasti berada di halaman. Merawat mawar-mawar yang sempat layu dan kering karena tak tersentuh olehku. Hingga kini, tanaman-tanaman itu mulai segar kembali."Kasihan, bunga-bunga ini hampir mati. Pasti kamu tidak merawatnya 'kan?" ucap Purnama yang sedang membongkar satu tanaman dalam pot berukuran kecil.Aku yang berdiri di sampingnya tak ayal mengangguk. "Bagaimana lagi? Kamu lebih penting dari sekedar bunga-bunga ini," jawabku cepat.Hanya helaan napas yang terdengar dari Purnama. Tangannya masih sibuk dengan tanaman yang sudah kering kerontang karena telah mati itu. Hingga satu pot sudah kos
Lampu ruangan operasi menyala. Artinya, sebuah tindakan sedang berlangsung di dalam sana. Setelah tiga hari menunggu, operasi Purnama pun dijadwalkan malam ini. Setelah sebelumnya menjalani puasa selama delapan jam, kini Purnama menjalani operasi yang sudah kami sepakati.Fanisa menemaniku. Duduk di samping kananku mengisi ruang tunggu. Sedangkan Rafka, harus menemani Belfania dalam pagelaran seni yang diikutinya.Detik demi detik berlalu, dan tindakan operasi belum juga selesai. Hatiku rasanya tak karuan selama menunggu. Fanisa berulangkali menepuk pahaku, karena aku tak bisa diam. Terus menggerakkan kaki sebagai luapan rasa gelisahku."Abang mau ke mushola. Kamu jaga di sini, ya?" ucapku seraya berdiri dengan cepat."Iya, Bang."Aku pun melangkah pergi. Menuju mushola yang terpisah dengan gedung rumah sakit tetapi masih satu area. Mengambil wudhu, cepat-cepat aku menunaikan shalat hajat. Zikir dan wirid tak henti kulafalkan seiring deng
Hari demi hari aku lalui bersama Purnama. Hingga berganti bulan dan aku dengan setia menemani berikhtiar untuk mencapai kesembuhannya. Namun, sudah hampir enam bulan kami jalani, kondisi Purnama tidak kunjung membaik. Bobot tubuhnya justru kian menyusut. Badannya yang mungil makin terlihat kurus. Pasca kemo, helaian demi helaian rambutnya berjatuhan. Rambutnya yang pendek, kian tipis saja sekarang. Satu bulan terakhir, ia bahkan harus memakai kursi roda saat berada di rumah. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda akan kesembuhannya.Hari ini, pemeriksaan kembali dilakukan. Aku dan Purnama berada di ruangan dokter untuk mengetahui hasil pemeriksaannya."Jaringan kankernya semakin meluas. Kemo yang dilakukan tidak begitu efektif, karena sejak penyakit ini diketahui, sudah masuk stadium empat yang artinya sudah cukup parah," jelas sang dokter membuat hati ini rasanya tercabik-cabik."Kalau operasi bagaimana, Dok?" tanyaku lemas.Dokter berkacamata di ha
"Purnama kenapa? Sakit apa?" tanya Fanisa yang baru saja datang. Dia adalah orang pertama yang kuhubungi, setelah Purnama masuk ruang IGD lima belas menit lalu.Aku menggeleng pelan. "Masih ditangani," jawabku lesu.Fanisa menghempas bobotnya di sebelahku. Dia menepuk-nepuk pundakku. Seolah menyalurkan ketenangan. Aku menunduk. Mengusap wajah dengan kedua tangan seraya menarik napas panjang. Sebelum kemudian aku menoleh pada Fanisa."Apa kamu tahu sebelumnya, Purnama mengidap sakit apa?" tanyaku kepada Fanisa.Adik perempuanku itu nampak diam seolah tengah berpikir, sampai kemudian ia menggeleng. "Aku dan Mas Rafka gak tahu, Bang. Tapi sempat Purnama juga pingsan saat dia menginap di rumah kami waktu itu. Setelah sholat Subuh. Saat itu dia menolak untuk diperiksa. Meskipun aku dan Mas Rafka terus membujuk dan memaksa. Sampai akhirnya dia kembali ke pondok dan aku gak pernah tahu Purnama itu sakit apa," jelasnya kemudian.Aku pun terdiam.
19.Tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Namun tanpa aba-aba, mataku seketika ringan terbuka. Tersadar dan melihat Purnama masih berada di atas dadaku.Aku menoleh untuk melihat jam duduk di atas nakas. Rupanya pukul tiga dini hari. Sejak tinggal di pondok, bangun dini hari seperti ini sudah menjadi kebiasaanku.Purnama nampak masih lelap. Sangat terpaksa aku harus menggeser kepalanya dengan hati-hati sampai akhirnya berpindah ke bantal. Kutatap sejenak wajah cantiknya saat tertidur, hingga bibirku tersenyum karenanya.Pelan-pelan aku bangkit. Gerakanku amat pelan sampai kemudian berhasil turun dari kasur. Karena aku tidak ingin mengganggu tidurnya.Lekas aku ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Berdiam sejenak sebelum kemudian mengambil wudhu. Sehingga wajah ini terasa lebih segar setelah terkena air. Membiarkan wajah ini tetap basah, gegas aku keluar.Langkahku terhenti di depan pintu kamar mandi. Kulihat Purnama ju
18.Aku menarik diri. Namun di luar dugaan, ternyata Purnama sudah membuka matanya kembali. Aku menunduk dan tak ayak pandangan kami pun bertemu. Tanganku yang seharusnya membelai anak rambut di keningnya, kini justru menangkup pipi Purnama.Jarak kami begitu dekat. Aku bahkan tak bisa berkedip menatapnya dari jarak sedekat ini. Hingga kurasakan telapak tangan Purnama menyentuh pipiku. Dia mengusapnya, membuatku kian menundukkan kepala. Aku benar-benar terbawa suasana.Hidung mancungnya bahkan telah beradu dengan ujung hidungku. Pandangan kami masih saling mengunci, aku memiringkan kepala, hingga menemukan posisi yang pas untuk kemudian mendaratkan bibirku di bibirnya.Aku butuh tali, untuk mengikat jantungku yang seperti akan melompat meninggalkan tempatnya.Ini ciuman pertamaku.Rasanya begitu hangat dan menggetarkan hati.Tidak ada hal lebih yang kulakukan. Hanya membiarkan bibir kami saling menempel. Begini saja, ali