BAB 43 Mandala Aku duduk merenung di kursi besi ruang tunggu rumah sakit. Orang-orang berlalu lalang di depanku. Ramai. Namun, aku merasa sepi. Serupa dibuang ke gua sendiri. Kalimat dokter tadi berdengung-dengung di telinga. “Hamil ... pendarahan ... rawan keguguran ... harus bed rest ....” Pen
Aku membuka pintu ruang rawat. Mama duduk di samping Klarisa sambil menggenggam tangannya. Ikut pecah juga tangis Mama hari ini. Risa tidur miring kanan dengan lutut sedikit ditekuk. Itu posisi yang diharuskan dokter untuk saat ini. Wajah pucat itu masih meneteskan air mata sesekali. “Dek, mau apa
BAB 44 Mandala Klarisa bisa pulang ke rumah setelah menginap di rumah sakit sekitar seminggu. Dia sudah tak membicarakan Daffa lagi, tapi raut wajahnya masih sama kacau. Tak pernah tersenyum apa lagi bercanda. Dibawa ngobrol pun hanya menyahut sesekali. Walau sudah diperbolehkan pulang, Klarisa h
Malam sebelum kepergian Klarisa ke Jawa. Aku mendatangi salah satu tongkrongan anak muda. Melihat danau indah dikelilingi lampu kerlap-kerlip pada bagian sisinya. Lampu itu tersebar juga pada pohon-pohon di sepanjang jalanan berpaving. Pandanganku tiba-tiba gelap. Tertutupi tangan lembut seorang wa
BAB 45 Jangan kira mudah untuk melupakannya. Tatapan matanya, senyumannya, candaannya, bahkan setiap sentuhannya menjadi linangan air mata ketika teringat. Jika tidak ada harga diri Kak Mandala di depanku, mungkin merangkak pun aku mau. Memohonnya untuk kembali hadir dalam kehidupanku. Cinta ini,
“Cila.” “Hai, Cila.” “Pagi, Cila.” Anak-anak SD yang berjalan di pinggir sawah menyapa. Mereka mau berangkat sekolah. Selokan drainase itu kiri-kanannya dibenteng tembok. Jadi, cukup nyaman untuk pejalan kaki. Anak-anak itu melewati jalan ini sebagai jalan pintas menuju sekolah. Mereka tinggal d
BAB 46 “Andre?” “Risa, ‘kan?” tanyanya mendekat. Andre udah beda penampilannya. Lebih modis dan stylish. Sepatunya sudah bukan sepatu anak sekolahan kusam lagi, melainkan sepatu kulit. Kacamatanya juga bukan kaca mata tebal yang lebar, tapi kacamata besi lebar yang warna kacanya agak buram. Dia l
Kami ngobrol lama sampai Arsyla terbangun. Anakku kenalan dengan Andre lalu temanku ini mengantarkanku turun. “Hai, gadis kecil. Sini, om, gendong. Ibumu terlihat kelelahan,” ajak Andre saat kami menuruni tangga. “Jangan Andre, Cila berat.” “Ayo, sini sama, Om. Nanti kita beli mainan di bawah.”