BAB 103“Apa? Gak bisa gitu dong! Istri gue masih dirawat di rumah sakit, kalau kondisinya jadi drop lagi gimana?!”Daffa menggeram kesal, meremas telepon di genggamannya. Pagi ini Daffa benar-benar dibuat kesal dengan kabar yang dibawa oleh pengacarannya.Persidangan yang telah berlangsung sejak be
“Hadirin diharapkan tenang, putusan akan segera dibacakan,” ucap hakim sembari mengetuk palunya.Mendadak ruang sidang menjadi hening. Para wartawan telah menyiapkan kameranya untuk merekam. Sementara keluarga Klarisa yang menemaninya kini tengah khusyuk memanjatkan doa, berharap keinginan mereka di
“Ayo dong, Ris!” “Ih, kagak.” “Please ....” “Ogah!” “Sekali aja.” “Sekali gue bilang kagak. Berarti kagak. Paham!” Kakakku memutar kursi kerjanya. Merogoh sesuatu dari kantong celana jeans dengan sedikit kesusahan. “Padahal gue mau kasih duit!” serunya sambil menghitung lembaran-lembaran mera
Hamil? OMG! Emang bikin anak kek ngupil. Sedetik langsung dapet. Aku mencubit paha Kak Daffa. Bisa kupastikan, di balik kain hitam ini, lapisan kulitnya sedang meradang. Kak Daffa menyembunyikan sakit dengan sedikit meringis dan senyum yang dipaksakan. “Kenapa, Sayang? It's oke, no problem. Keh
Kak Daffa berlari mendekat. Dia membuka pintu mobil dan sedikit mendorong tubuhku. Detik kemudian, terdengar suara kendaraan terkunci. Aku duduk gusar. Nengok ke belakang melihat keadaan. Tampak dua wanita yang turun dari Lamborghini—Tamara dan maminya Kak Daffa. Tamara pasti sudah bilang kejadian
“Andre!” Aku melambaikan tangan dan segera menghampiri pria yang baru saja mendekati gedung fakultas. Andre tersenyum manis dan memelankan langkah. “Hai, Risa.” Lima langkah, aku mendekatinya. “Aku udah ngerjain yang kemarin, loh.” “Oke nanti aku cek.” “Udah dapat ide film yang mau kita garap?”
“Gak mau.” Aku menggetok Kak Daffa dengan gagang sapu. “Eh!” Pria tinggi itu mengusap ubun-ubunnya. “Dikasih yang enak gak mau.” Kak Daffa balik kanan. Dia mendekati meja dapur lalu buat kopi sendiri. Emang dasar, tamu kurang asem. “Ngapain ke sini. Kak Mandala aja belum pulang.” “Mau nginep gue
BAB 6 Gara-gara gak bisa nebeng. Aku harus berangkat naik angkot lalu pindah ke busway. Dua kali naik turun busway, barulah sampai halte dekat kampus. Dari sini, jarak masih 200 meter. Itu baru sampai gerbang depannya saja, belum masuk fakultas. Jam delapan lebih sepuluh menit, aku terengah-engah