BAB 38 Sejak zaman gadis dulu, haidku memang tidak jelas. Kadang maju kadang mundur. Bisa maju seminggu, bisa mundur seminggu. Jadi, tentang hitungan masa subur itu, aku tak paham, berhubung siklusnya pun tidak jelas. Aku dan Kak Daffa mengikuti program kehamilan. Seminggu dua kali kami cek, diber
“Ibu ... Bapak ....” Kak Daffa mengernyit. Aku mengawasi ekspresi wajah suami, sepertinya dia kenal dengan orang-orang yang baru datang itu. Mereka dua orang pasangan paruh baya yang ditemani tiga lainnya. Berjalan cepat dengan kondisi cukup kacau. “Bu ... Pak ....” Kak Daffa bicara lagi. Kali ini
BAB 39 Malam sampai pagi, bahkan sampai jam masuk kantor, Kak Daffa tak terlihat batang hidungnya. Tanpa kabar. Aku tahu, ponselku memang tak ada, tapi apa tak bisa menghubungi lewat call center hotel? Jam delapan, aku diam di balkon menatap jalanan padat di bawah. Tak ada aktivitas yang kulakuka
Kak Mandala membawaku ke taman kota. Memberi sebuah minuman dingin. Dengan perasaan kacau, aku meneguknya. Kami duduk di kursi yang terbuat dari limbah derum. Pohon rindang menaungi. Menghalau sinar matahari yang masih ada di atas kepala. “Sekarang jelaskan. Siapa wanita itu, Kak?” Kak Mandala me
BAB 40 Dengan bantuan Kak Mandala, Kak Daffa pulang juga. Suamiku itu membuka pintu kamar hotel dengan raut kusut. Aku segera memeluknya. Bergelayut manja. Tak kupedulikan semua tanya dalam kepala. Tak kuhiraukan perih yang menghantam dada. Aku ingin semua baik-baik saja. Kembali seperti sebelumn
Membiarkan Kak Daffa berolah raga, aku turun ke dapur untuk cek keperluan rumah. Setelah Tante Sovia lebih banyak pergi menemani Papi, aku yang handle semua. “Stok makanan sudah banyak yang kurang, Non.” “Oke, nanti catat saja.” “Non kurang sehat?” “Enggak. Kenapa gitu, Mbak?” “Tidak seceria bi
BAB 41 “Sebagai istrimu, aku tidak menizinkan Kakak pergi. Aku meminta hak nafkahku malam ini.” Kak Daffa memandang lekat. Irisnya tajam tanpa ekspresi. Dia sempat membuang muka sedetik dan langsung menatapku lagi. “Mau sekarang?!” Aku sedikit menciut. Mengerti kalau dia mulai marah, tapi aku ti
Di rumah, Mama menyambut. Melihat sosok itu, aku langsung lemas sehingga jatuh tepat di depan lulut Mama. Aku sudah mencoba memendam semuanya sendiri. Mencoba lebih dewasa, tapi Risa gak bisa, Ma. Risa gak bisa menahan semua ini sendirian. Tangan Mama meraup pipiku. “Risa kenapa?” Aku tak bisa be