BAB 28 Pagi yang hangat. Cahaya matahari menyorot dari timur. Di hari libur ini, rumah lebih ramai dari biasanya. Halaman pun diisi banyak mobil, menandakan orang rumah semua ada. Kak Daffa berlari memutari taman. Kaus hitam yang cukup ketat di bagian lengannya itu mulai terlihat basah. Sesekali d
Setelah lama bercengkerama, aku menelpon pekerja. Sekarang udah gak pake sopan-sopan lagi. Tanpa kata “tolong” apalagi “maaf”. “Lima menit lagi meja makan siap, ya. Mama saya mau makan!” “Tapi, Nona—” “Tidak ada tapi. Papi sudah mau turun.” Aku lantas menutup telepon. Melanjutkan panggilan pada
BAB 29Karena Kak Daffa bagi-bagi uang, semua mahasiswa jadi sangat care. Di akhir mata kuliah, banyak yang bertanya ini dan itu. Aku mau apa? Mau ke mana? Butuh apa? Ada juga yang sengaja mengajak ngobrol. Bertanya lebih jauh tentang aku dan Kak Daffa.Sebagaimana teman-teman yang lain, Andre pun i
“Oke, gue gak akan pergi, tapi bisa gak lo nyenengin gue malam ini?” Kak Daffa bicara serius. Dari lo guenya, aku paham ini bukan akting. “Nyenengin gimana maksudnya?” Aku mulai menciut. “Nyenengin layaknya suami istri. Kita panas-panasan bareng.” Tanganku yang merentang mulai turun. “Temenin gu
BAB 30 Pria tinggi berdada bidang ini menarik tanganku keluar diskotek. Baru saja dia memukuli pria mabuk secara membabi buta. Kalau bukan ditahan sekuriti, pria yang menggangguku tadi mungkin sudah mati. Sambil mengikuti langkahnya, aku menunduk takut. Ya, takut karena melihat keributan, ya, taku
Sejak saat itu, aku tidak berani pake baju pendek lagi di dalam kamar. Selalu celana panjang dan atasan panjang. Aku benar-benar menjaga gerak, tapi bercanda tetap setiap waktu. Ribut tiap saat: saling ledek, saling cubit, saling ngeprank. Pada satu sore, Kak Daffa menarik koper di sudut ruang paka
BAB 31 Aku menubruk Kak Daffa dan memeluknya. “Eh, ini kenapa?” “Kangen .…” “Yah, baru ditinggal tiga hari.” Dia tersenyum. Mengusap punggungku. “Kakak bawa kejutan,” bisiknya pelan. “Apa?” “Nanti saja. Kamu pasti suka.” Baru sadar kalau Om Handri juga ada di sini, aku melepaskan Kak Daffa da
Tante Sovia, dan Om Handri datang, diikuti Fania beberapa langkah di belakang. “Mana makanannya? Kenapa meja masih kosong?” “Habis,” jawabku pendek saja. “Habis? Apa maksudnya? Jangan bilang kamu tidak bisa mengatur konsumsi anggota rumah ini.” Aku menghela napas. “Aku sudah masak banyak, tapi me