"Lihat tuh, anakmu Mbak Lis! makanya kalo punya anak diajarin tatakrama di rumah orang! kalo sudah begini, mau pakek apa kamu gantinya, wong hutang sudah bayar aja ngaku belum dibayar!"
...Aku melotot mendengar kalimat terakhir Mbak Ida."Bilang apa kamu, tadi, Mbak! coba ulangin!" Dalam keadaan emosi, aku membalas Mbak Ida. Masih saja ia membahas perihal uang 300 itu. Padahal, guci keramik yang katanya dipecahkan Lina tak ada sangkut pautnya dengan masalah hutang itu, tapi Mbak Ida seolah ingin menjelekkan namaku di depan Bu Hamzah."Kalo Mbak Ida membenciku karena kutagih hutang itu, silahkan! gak ada ruginya buat aku! tapi kalo Mbak Ida terus bicara seolah aku menerima uangmu dua kali, lihat saja besok! akan kubuat viral bukti percakapan kita di WA!" napasku kembang kempis menahan emosi."Nantang, kamu, Mbak? sudah salah, nyolot lagi!" cecar Mbak Ida tak mau kalah. Ia berkata sembari mencondongkan wajahnya ke arahku."Bu, sudah, Bu," sahut Bu Hamzah menengahi kami. Jika saja Mbak Ida tak memancing emosiku, aku tak kan berlaku demikian di rumah orang.Lina masih menangis menatapku. Ia berdiri di antara guci yang pecah.Dalam keadaan masih panik, aku mengecek kaki dan tangan Lina, melihat ada yang terluka atau tidak."Bu Hamzah, maafkan anak saya, saya akan ganti rugi untuk guci yang pecah ini," pintaku menyesal."Lina, ayo minta maaf, sama Bu Hamzah," imbuhku.Belum sempat Lina membalas ucapanku, di sofa ruang tamu, Rara tiba-tiba menangis karena tangannya berdarah."Mamaaaa ..." rintihnya sembari menunjukkan tangannya. Mbak Ida lantas menghampiri putrinya, begitupun juga Bu Hamzah, dan disusul aku yang menggendong Lina.Aku melihat tangan Rara yang terluka menjadi curiga, tangannya seperti tergores benda tajam. Mataku beralih menatap pecahan keramik di lantai ujung sana. Atau jangan-jangan yang memecahkan guci itu memang Rara, dan Mbak Ida malah menuduh Lina untuk menutupi kesalahan putrinya. Mengingat tadi Mbak Ida yang terlebih dulu berjalan mendahuluiku dan Bu Hamzah."Kok bisa sih, Ra!" seru Mbak Ida panik."Bu Hamzah, saya pamit, ya," ucap Mbak Ida kemudian."Boleh minta tasnya gak, Bu. Buat masukin baju yang tadi Bu Hamzah kasih," imbuhnya lagi. Bu Hamzah mengangguk, lantas ke belakang, dan kembali membawa tas kain berukuran besar sebelum kemudian memberikannya pada Mbak Ida."O iya, Bu. Nanti habis maghrib dateng, ya, ke rumah saya. Ada acara selamatan, karena saya baru beli mobil baru cash! satu kampung saya undang. Dateng, ya, Bu!" jelas Mbak Ida sembari melipat satu persatu baju pemberian Bu Hamzah dan memasukkannya ke dalam tas."Tapi maaf, Bu Ida, suami saya belum pulang.""Ini khusus Ibu-Ibu saja kok, Bu. Bukan buat para suami!" sahut Mbak Ida. Akhirnya, dengan berat hati, Bu Hamzah mengiyakan undangan Mbak Ida. Terlihat dari raut wajahnya.Rara semakin kencang dengan tangisnya, karena kesakitan."Gak diobatin dulu itu tangan Rara, Bu. Saya ambilin obat merah dulu, ya!" ucap Bu Hamzah."Eh, gak usah Bu Hamzah. Biar saya obatin di rumah saja," balas Mbak Ida. Mbak Ida lantas keluar menggendong Rara yang terus menangis. Namun Mbak Ida kembali setelah meletakkan Rara di atas motor."Saya lupa, Bu. Akun sosmed Bu Hamzah namanya siapa, ya. Biar kita saling follow, kayaknya kita cocok jadi bestie," tanya Mbak Ida tak tahu malu. Bisa-bisanya dia kembali hanya untuk menanyakan ini.Bu Ida terlihat bingung menanggapi. Sepertinya ia tak berkenan memberikan jawaban."Maaf, Bu. Saya tidak bisa memberi jawaban. Maaf sekali," balas Bu Hamzah kemudian. Mbak Ida terlihat kecewa, mulutnya sedikit mencebik meremehkan. Aku tahu karena aku memperhatikannya."Ah, mungkin lain kali bisa, ya, Bu! biar kita makin akrab gitu lo, Bu! ya udah, saya pamit!""Mbak Lilis, bersihin tuh pecahan gucinya, akibat ulah anakmu yang pecicilan!" Mbak Ida beralih menatapku sinis."Bu Hamzah, jangan lupa minta ganti rugi, ya, Bu!" imbuhnya lagi. Aku semakin geram dibuatnya. Memang benar kata pepatah, sifat asli seseorang akan terlihat jika sudah berurusan dengan uang. Buktinya, Mbak Ida baru bersikap begini padaku setelah kutagih hutangnya.Seperginya Mbak Ida, aku menurunkan Lina yang sudah berhenti dengan tangisnya."Bu Hamzah, saya minta maaf, sekali. Saya akan ganti rugi, Bu!" ucapku."Gak usah, Bu Lilis. Saya ada banyak kok, yang begituan. Di toko suami saya banyak. Saya gak merasa di rugikan, Kok," ucapnya. Aku yang merasa tak enak tetap memaksa Bu Hamzah menyebutkan harganya. Meski tak bisa membayar sekarang, setidaknya aku bisa menabung untuk sebuah tanggung jawab.Sampai kemudian, Bu Hamzah menyebutkan nominal seratus ribu, tapi aku yakin bukan segitu harganya. Saat aku masih memaksa Bu Hamzah mengatakan harga yang sebenarnya, Bu Hamzah tetap tak mau mengaku, membuatku merasa tak enak.Akhirnya, aku mengeluarkan uang seratus ribu dari saku dasterku, dan memberikannya pada Bu Hamzah."Ini, Bu. Sekali lagi, saya minta maaf," ucapku."Uangnya saya terima, ya, Bu Lilis. Jadi, uang ini sudah jadi milik saya, kan?" tanya Bu Hamzah, dan aku mengangguk."Sekarang, saya berikan ini pada Lina," imbuh Bu Hamzah."Loh, kok gitu, Bu. Beneran, gak usah Bu!" Aku terus menolak uang seratus ribu yang akan diberikan pada Lina, namun Bu Hamzah malah mengatakan akan mengantarkan uang itu ke rumah jika aku tak mau menerima disini."Ya Allah, Bu. Saya jadi gak enak," ucapku."Lina, bilang apa sama Bu ustazah?" tanyaku pada Lina."Terimakasih, Bu Hamzah ..." ucap Lina yang dibalas elusan sayang dari Bu Hamzah.Walau Bu Hamzah melarangku untuk membersihkan pecahan guci di lantai, namun aku tetap melakukannya.Saat aku mau pamit pulang, Bu Hamzah malah memberiku paket sembako, dan buah-buahan yang sangat banyak. Bahkan, satu baju yang tadi aku pilih malah ditambah entah berapa potong oleh Bu Hamzah, karena baju itu sudah dimasukkan ke dalam tas."MasyaAllah, Bu ... banyak sekali. Saya gak bisa bawanya," ucapku."Bisa, bajunya suruh dipangku Lina. Sembakonya ditaroh di depan. Sebentar, saya ambilkan karung supaya bisa dijadikan satu."Bu Hamzah membatu menaikkan tas baju ke pangkuan Lina yang berada di atas motor. Sekali lagi, aku mengucapkan terimakasih banyak pada Bu Hamzah. Semua pemberiannya merupakan rezeki besar untukku sekeluarga."Buk, Bu Hamzah baik sekali, ya. Kak Rumi sama Bapak pasti seneng liat kita pulang bawa ini. Pokoknya nanti aku langsung makan apel merah yang aku lihat di kresek tadi!" ucap Lina polos, saat baru keluar dari halaman rumah Bu Hamzah. Membuaku terkekeh karena ucapannya.Aku dan Lina sampai rumah saat hampir maghrib. Mas Abas yang kebetulan sedang berada di teras, lantas menghampiriku, membantu menurunkan karung dan tas besar di pangkuan Lina."Apa, ini, Buk," tanya Mas Abas."Kita buka di dalam, Mas," balasku.Lina berlari kecil kegirangan masuk ke dalam sembari memanggil kakaknya."Kak Rumi ... lihat, adek bawa apa!" Rumi dengan semangat keluar dari dalam kamar dan menghampiri kami di ruang tengah."Alhamdulillah, banyak sekali. Dari siapa ini, Bu?" tanya Mas Abas."Dikasih Bu Hamzah, Mas. Guru ngaji Lina!""Wah, Buk! lihat, deh, baju ini, pas buat Lina!" ucap Lina kegirangan sembari menempelkan baju gamis anak di badannya. Mataku mengembun melihat itu. Lina terlihat sangat bahagia, teringat dengan hari raya lebaran kemarin dia tak kubelikan baju.Belum sempat kujawab ucapan Lina. Mbak Ida tiba-tiba nyelonong masuk ke dalam, dan berkata "Bawa apa kamu dari rumah Bu Hamzah?"[Assalamualaikum, Mbak. saya mau minta uang yang Mbak pinjam bulan lalu ditransfer saja, kalo Mbak Ida gak bisa anter] kuketik pesan lewat WA pada Mbak Ida--tetanggaku yang sudah seminggu ini menginap di rumah mertuanya karena katanya, mertuanya ada hajatan, mantu adik iparnya yang bungsu. Bukan apa, aku sedang butuh uang untuk membayar seragam ngaji Lina, putriku. Lagipula, Mbak Ida berjanji mengembalikannya 2 hari kemudian, tapi dia malah pergi dari rumah.Mbak Ida langsung membuka pesan yang kukirim. Detik kemudian, ia membalasnya.[Lo, Mbak Lis, uangnya sudah kutransfer dari sehari setelah aku pinjam ke sampean] Aku yang membaca balasan Mbak Ida tentu saja kaget. Sedari Mbak Ida pinjam, sama sekali tak ada notif dari Bank B*I masuk ke pesan ponselku. Lagian, kenapa Mbak Ida gak ada bilang kalo udah bayar hutangnya. Bahkan ia sama sekali tak mengabariku mengenai transfer.[Maaf, Mbak. Kok gak ada notif dari Bank, ya, kalo ada uang masuk.] balasku kemudian.Kali ini, Mbak Ida tak l
Detik kemudian setelah centang abu itu berubah biru, profil Mbak Ida jadi hilang. Aku diblokir! .."Buk, kenapa bau gosong?" tanya Rumi tiba-tiba. Putri pertamaku yang berusia 13 tahun itu tergopoh menghampiriku, ia lekas menurunkan wajan yang berada di atas tungku menggunakan selongket kayu."Astaghfirulloh," gumamku. Kuusap air mataku agar Lina tak melihat jika aku habis menangis."Ibu, lupa Rum. Keasyikan main H*!" kilahku."Dibu*ng saja Rum. Goreng yang baru, kebetulan Ibu beli setengah kilo kemarin," imbuhku."Ada-ada sih, Buk. Gak papa deh, gosong, masih bisa dimakan, kok, ini," ucapnya sembari mencicipi ikan Asin yang sudah berubah hitam pekat itu."Ibu kenapa, kok matanya merah?" Rumi bertanya kala menatapku, karena sedari tadi, ia masih fokus pada ikan asin itu."Kenapa, enggak, Kok Rum. Mata Ibu merah karena kena asap dapur," kilahku. Rumi diam, seperti curiga, ia melirik H* yang kupegang, kemudian kembali melihatku. "Yaudah, panggil adikmu, kita sarapan. Hari ini Ibu mas
"Mbak, kembalikan uangku!" ucapku. Jika tak bisa dengan cara baik-baik, cara lain pun kuladeni.Wajah Mbak Ida seketika merah padam. Ia menatapku dengan tajam. Biar sekalian malu dia pada Mas kurir."Heh, Mbak Lilis! jangan kurang ajar kamu, ya! aku gak punya urusan sama kamu!" cecarnya berkacak pinggang sembari menatapku nyalang."Begitu ya, kalo Mbak Ida susah begini. Terpaksa aku menagih pada suamimu!" ancamku. Mas kurir terlihat bingung, memandangku dan Mbak Ida bergantian. "Coba saja kalo bisa! wong hutang wes dibayar kok tetep minta lagi. Kalo memang butuh uang, bilang! gak usah pakek bohong segala! kali miskin itu minimal yang jujur, Mbak! biar hidupnya berkah!" Mbak Ida semakin keras mengeluarkan caciannya padaku. Detik kemudian, Bu Rt dan beberapa tetangga menghampiri kami, mungkin karena mendengar keributan. Bisa kulihat Mbak Ida terkejut saat melihat kedatangan tetangga. Jelas saja, selama ini, Mbak Ida dikenal dengan Istri yang lemah lembut, dan sabar seperti di sosial me
"Em, Rara suruh ambil kue yang tadi Mama kasih!" Astaghfirulloh! batinku. Jadi dia tak ikhlas memberiku oleh-olehnya. Atau mungkin Mbak Ida memberiku hanya agar terlihat baik di depan Ibu-Ibu. Ah, aku jadi berburuk sangka gini kan. "Tunggu sebentar, ya Rara." Aku masuk ke dalam, mengambil kotak kue itu dan memberikannya pada Rara."Ini, bilang sama Mama, terimakasih," ucapku. Aku menghela napas berat. Jika saja tak ingat tangisan Rara tadi, ingin aku berpesan padanya "Bilang sama Mama, kalo gak ikhlas, gak usah ngasih!" Tapi, rasanya aku tak pantas berkata demikian di depan anak kecil seperti Rara. Nanti dia malah kembali disalahkan kembali oleh mamanya."Uangnya mana, Bude?" tanyanya polos. Mata bening tak berdosanya menatapku.Hah, maksudnya uang 300 yang dia beri tadi. Benar-benar ngajak ribut Mbak Ida. Udah gak mau maju sendiri, malah anaknya yang disuruh. Jika ini maunya, baik, akan kuladeni! "Bilang sama Mama Rara, kalo mau uangnya, suruh ambil sendiri kesini, ya," ucapku k
Mataku menyipit melihat seseorang turun bersama anaknya. Dia, Mbak Ida dan putrinya Rara! mau ngapain kesini? ...Bu Hamzah sampai urung berdiri dari duduknya, kala melihat Mbak Ida semakin mendekati terasnya."Ada tamu, Bu Lilis. Sebentar, ya," ucap Bu Hamzah karena urung mengajakku ke belakang."Iya, Bu, gak papa," balasku tersenyum."Assalamualaikum!" ucap Mbak Ida uluk salam."Waalaikumsalam, mari masuk, Bu!" balas Bu Hamzah. Mbak Ida tersenyum, bisa kulihat dia sekilas melirikku tak suka.Ekspresi Mbak Ida sama sepertiku saat baru masuk ke dalam rumah Bu Hamzah. Kagum, itu yang aku tangkap. Rumah Bu Hamzah memang selalu tertutup. Selain jauh dari tetangga, mungkin jarang juga orang bertamu ke rumah ini karena segan. Apalagi Bu Hamzah termasuk orang baru di tempat ini. Dia baru pindah kesini tiga tahun lalu saat pandemi. Jadi, rumah ini dulunya kosong, sampai dikabarkan angker karena kesan kunonya, dan banyaknya pohon besar yang mengelilingi rumah Bu Hamzah. Terlebih di kebun b
"Lihat tuh, anakmu Mbak Lis! makanya kalo punya anak diajarin tatakrama di rumah orang! kalo sudah begini, mau pakek apa kamu gantinya, wong hutang sudah bayar aja ngaku belum dibayar!"...Aku melotot mendengar kalimat terakhir Mbak Ida."Bilang apa kamu, tadi, Mbak! coba ulangin!" Dalam keadaan emosi, aku membalas Mbak Ida. Masih saja ia membahas perihal uang 300 itu. Padahal, guci keramik yang katanya dipecahkan Lina tak ada sangkut pautnya dengan masalah hutang itu, tapi Mbak Ida seolah ingin menjelekkan namaku di depan Bu Hamzah. "Kalo Mbak Ida membenciku karena kutagih hutang itu, silahkan! gak ada ruginya buat aku! tapi kalo Mbak Ida terus bicara seolah aku menerima uangmu dua kali, lihat saja besok! akan kubuat viral bukti percakapan kita di WA!" napasku kembang kempis menahan emosi. "Nantang, kamu, Mbak? sudah salah, nyolot lagi!" cecar Mbak Ida tak mau kalah. Ia berkata sembari mencondongkan wajahnya ke arahku."Bu, sudah, Bu," sahut Bu Hamzah menengahi kami. Jika saja M
Mataku menyipit melihat seseorang turun bersama anaknya. Dia, Mbak Ida dan putrinya Rara! mau ngapain kesini? ...Bu Hamzah sampai urung berdiri dari duduknya, kala melihat Mbak Ida semakin mendekati terasnya."Ada tamu, Bu Lilis. Sebentar, ya," ucap Bu Hamzah karena urung mengajakku ke belakang."Iya, Bu, gak papa," balasku tersenyum."Assalamualaikum!" ucap Mbak Ida uluk salam."Waalaikumsalam, mari masuk, Bu!" balas Bu Hamzah. Mbak Ida tersenyum, bisa kulihat dia sekilas melirikku tak suka.Ekspresi Mbak Ida sama sepertiku saat baru masuk ke dalam rumah Bu Hamzah. Kagum, itu yang aku tangkap. Rumah Bu Hamzah memang selalu tertutup. Selain jauh dari tetangga, mungkin jarang juga orang bertamu ke rumah ini karena segan. Apalagi Bu Hamzah termasuk orang baru di tempat ini. Dia baru pindah kesini tiga tahun lalu saat pandemi. Jadi, rumah ini dulunya kosong, sampai dikabarkan angker karena kesan kunonya, dan banyaknya pohon besar yang mengelilingi rumah Bu Hamzah. Terlebih di kebun b
"Em, Rara suruh ambil kue yang tadi Mama kasih!" Astaghfirulloh! batinku. Jadi dia tak ikhlas memberiku oleh-olehnya. Atau mungkin Mbak Ida memberiku hanya agar terlihat baik di depan Ibu-Ibu. Ah, aku jadi berburuk sangka gini kan. "Tunggu sebentar, ya Rara." Aku masuk ke dalam, mengambil kotak kue itu dan memberikannya pada Rara."Ini, bilang sama Mama, terimakasih," ucapku. Aku menghela napas berat. Jika saja tak ingat tangisan Rara tadi, ingin aku berpesan padanya "Bilang sama Mama, kalo gak ikhlas, gak usah ngasih!" Tapi, rasanya aku tak pantas berkata demikian di depan anak kecil seperti Rara. Nanti dia malah kembali disalahkan kembali oleh mamanya."Uangnya mana, Bude?" tanyanya polos. Mata bening tak berdosanya menatapku.Hah, maksudnya uang 300 yang dia beri tadi. Benar-benar ngajak ribut Mbak Ida. Udah gak mau maju sendiri, malah anaknya yang disuruh. Jika ini maunya, baik, akan kuladeni! "Bilang sama Mama Rara, kalo mau uangnya, suruh ambil sendiri kesini, ya," ucapku k
"Mbak, kembalikan uangku!" ucapku. Jika tak bisa dengan cara baik-baik, cara lain pun kuladeni.Wajah Mbak Ida seketika merah padam. Ia menatapku dengan tajam. Biar sekalian malu dia pada Mas kurir."Heh, Mbak Lilis! jangan kurang ajar kamu, ya! aku gak punya urusan sama kamu!" cecarnya berkacak pinggang sembari menatapku nyalang."Begitu ya, kalo Mbak Ida susah begini. Terpaksa aku menagih pada suamimu!" ancamku. Mas kurir terlihat bingung, memandangku dan Mbak Ida bergantian. "Coba saja kalo bisa! wong hutang wes dibayar kok tetep minta lagi. Kalo memang butuh uang, bilang! gak usah pakek bohong segala! kali miskin itu minimal yang jujur, Mbak! biar hidupnya berkah!" Mbak Ida semakin keras mengeluarkan caciannya padaku. Detik kemudian, Bu Rt dan beberapa tetangga menghampiri kami, mungkin karena mendengar keributan. Bisa kulihat Mbak Ida terkejut saat melihat kedatangan tetangga. Jelas saja, selama ini, Mbak Ida dikenal dengan Istri yang lemah lembut, dan sabar seperti di sosial me
Detik kemudian setelah centang abu itu berubah biru, profil Mbak Ida jadi hilang. Aku diblokir! .."Buk, kenapa bau gosong?" tanya Rumi tiba-tiba. Putri pertamaku yang berusia 13 tahun itu tergopoh menghampiriku, ia lekas menurunkan wajan yang berada di atas tungku menggunakan selongket kayu."Astaghfirulloh," gumamku. Kuusap air mataku agar Lina tak melihat jika aku habis menangis."Ibu, lupa Rum. Keasyikan main H*!" kilahku."Dibu*ng saja Rum. Goreng yang baru, kebetulan Ibu beli setengah kilo kemarin," imbuhku."Ada-ada sih, Buk. Gak papa deh, gosong, masih bisa dimakan, kok, ini," ucapnya sembari mencicipi ikan Asin yang sudah berubah hitam pekat itu."Ibu kenapa, kok matanya merah?" Rumi bertanya kala menatapku, karena sedari tadi, ia masih fokus pada ikan asin itu."Kenapa, enggak, Kok Rum. Mata Ibu merah karena kena asap dapur," kilahku. Rumi diam, seperti curiga, ia melirik H* yang kupegang, kemudian kembali melihatku. "Yaudah, panggil adikmu, kita sarapan. Hari ini Ibu mas
[Assalamualaikum, Mbak. saya mau minta uang yang Mbak pinjam bulan lalu ditransfer saja, kalo Mbak Ida gak bisa anter] kuketik pesan lewat WA pada Mbak Ida--tetanggaku yang sudah seminggu ini menginap di rumah mertuanya karena katanya, mertuanya ada hajatan, mantu adik iparnya yang bungsu. Bukan apa, aku sedang butuh uang untuk membayar seragam ngaji Lina, putriku. Lagipula, Mbak Ida berjanji mengembalikannya 2 hari kemudian, tapi dia malah pergi dari rumah.Mbak Ida langsung membuka pesan yang kukirim. Detik kemudian, ia membalasnya.[Lo, Mbak Lis, uangnya sudah kutransfer dari sehari setelah aku pinjam ke sampean] Aku yang membaca balasan Mbak Ida tentu saja kaget. Sedari Mbak Ida pinjam, sama sekali tak ada notif dari Bank B*I masuk ke pesan ponselku. Lagian, kenapa Mbak Ida gak ada bilang kalo udah bayar hutangnya. Bahkan ia sama sekali tak mengabariku mengenai transfer.[Maaf, Mbak. Kok gak ada notif dari Bank, ya, kalo ada uang masuk.] balasku kemudian.Kali ini, Mbak Ida tak l