Home / Lain / PERKARA UANG 300 RIBU / Didatangi Bu Rt

Share

Didatangi Bu Rt

Author: Arvinwarda
last update Last Updated: 2023-03-28 04:40:43

"Mbak, kembalikan uangku!" ucapku. Jika tak bisa dengan cara baik-baik, cara lain pun kuladeni.

Wajah Mbak Ida seketika merah padam. Ia menatapku dengan tajam. Biar sekalian malu dia pada Mas kurir.

"Heh, Mbak Lilis! jangan kurang ajar kamu, ya! aku gak punya urusan sama kamu!" cecarnya berkacak pinggang sembari menatapku nyalang.

"Begitu ya, kalo Mbak Ida susah begini. Terpaksa aku menagih pada suamimu!" ancamku. Mas kurir terlihat bingung, memandangku dan Mbak Ida bergantian.

"Coba saja kalo bisa! wong hutang wes dibayar kok tetep minta lagi. Kalo memang butuh uang, bilang! gak usah pakek bohong segala! kali miskin itu minimal yang jujur, Mbak! biar hidupnya berkah!" Mbak Ida semakin keras mengeluarkan caciannya padaku. Detik kemudian, Bu Rt dan beberapa tetangga menghampiri kami, mungkin karena mendengar keributan. Bisa kulihat Mbak Ida terkejut saat melihat kedatangan tetangga. Jelas saja, selama ini, Mbak Ida dikenal dengan Istri yang lemah lembut, dan sabar seperti di sosial media. Sukurin! akhirnya ada tetangga yang melihat tabiat aslinya.

Mbak Ida langsung merubah ekspresi wajahnya yang tadinya kejam menjadi datar. Ia lantas masuk dan keluar membawa uang 300 ribu sebelum kemudian memberikannya padaku. Ia seolah berakting di depan Ibu-Ibu tetangga.

"Ada apa sih, ini Mbak, kok ribut-ribut," tanya Bu Rt.

"Ini, lo, Bu. saya kan kemarin pinjam uang sama Mbak Lilis karena gak ada uang cash. Nah, pdahal uangnya sudah saya bayar, tapi dia malah minta lagi. Katanya belum dibayar." Aku terkejut mendengar pernyataan Mbak Ida. Tentu saja aku tak terima. Bu Rt dan lainnya sampai memandangku aneh.

"Ya Allah, Mbak! bisa-bisanya kamu fitnah aku gini. Aku cuma mau hakku kembali, karena memang gak ada bukti transfer dan uang masuk di rekening!" Bu RT dan Ibu-Ibu lainnya memandangku dan Mbak Ida bergantian, seolah mencari kebenaran.

"Sudah, Mbak. Jadi ini masalah transferan gak masuk?" tanya Bu RT. Baru saja aku ingin membalas, tapi Mbak Ida mendahului membicaraanku.

"Sudah masuk, kok, Bu! gak mungkin saya bohong. Lagipula, ngapain saya perkarain uang 300 ribu. 300 ribu gak ada apa-apanya bagi saya. Biarlah saya bayar lagi, mungkin Mbak Lilis memang lagi butuh," tukasnya membela diri. Mbak Ida bicara begitu tenang, aura gelapnya hilang seketika, tidak seperti dia mencaciku saat tetangga belum datang tadi.

"Enggak Bu Rt! gak ada uang masuk, makanya saya sampai datengin gini karena Mbak Ida sudah memblokir nomor saya!"

"Jangan fitnah, kamu, Mbak!" sahut Mbak Ida.

"Mau cari pembelaan apa lagi, Mbak. Apa perlu saya posting percakapan kita di WA supaya orang sekampung tahu masalah kita? atau biar sekalian follower Mbak Ida tau tabiat Mbak yang sebenarnya," ucapku, wajah Mbak Ida langsung berubah pias. Dia seketika bungkam seribu bahasa.

"Bu, ini gimana paketnya. Saya buru-buru! daripada berdebat gak ada ujung, lebih baik Bu Lilis ke Bank, minta cetak transaksi keluar masuk uang. Beres, deh! nanti kan, kelihatan siapa yang benar, dan siapa yang salah," tutur Mas Kurir. Aku yang mendengar itu seakan mendapat angin segar, kenapa gak kepikiran dari awal, ya.

"Nah, bener, itu. Lebih baik begitu," sahut Bu Ramlah. Tetangga sebelah Mbak Ida.

"Baik, Bu. Besok saya akan ke Bank, dan menyelesaikan perselisihan ini," balasku.

Mbak Ida masih diam, ia terlihat bingung namun berusaha menutupinya. Sampai suara Mas kurir membuyarkan lamunannya.

"Bu, paketnya gimana? totalnya seratus lima puluh delapan ribu sama ongkir," jelasnya.

"Eh, iya, Mas. Tunggu sebentar, ya, saya ambil uang dulu!" Mbak Ida masuk ke dalam. Sedang aku masih berbincang ringan dengan Ibu-Ibu. Entah kenapa Mbak Ida lama sekali mengambil uang, hingga Mas kurir beberapa kali celingukan dan melihat jam tangannya. Sampai akhirnya, Mbak Ida keluar dengan tangan kosong.

"Mas, saya gak ada uang cash. Tuh, uangnya sudah kukasih ke Ibu itu tadi!" ucap Mbak Ida sembari menunjukku, membuatku kembali geram. Berulangkali dia mengatakan seolah aku yang meminta uangnya. Tentu saja aku diam, tak menawarkan uang 300 milikku yang sudah susah payah kudapatkan kembali.

"Lah, terus gimana ini, Bu!" ucap Mas kurir.

"Kalo, Mas mau nungguin saya ambil uang dulu di ATM!" balas Mbak Ida.

"Kelamaan, Bu! saya buru-buru. Sia-sia dong saya nunggu Ibu disini daritadi!"

"Yaudah, Mas, cancel saja!"

"Ya Allah Bu, pinjam saja dulu!"

Ibu-Ibu menatapku seolah menyuruhku untuk meminjamkan kembali pada Mbak Ida.

"Maaf, uang ini mau saya buat bayar seragam anak saya," ucapku.

"Lagian siapa yang mau uangku kembali, Mbak!" sahut Mbak Ida. Dia tetap ngotot bahwa ini uangnya.

"Kalo Mbak Ida masih ngotot ini uang milikmu. Buka blokirannya, biar aku kasih liat bukti print dari Bank besok!" Aku tahu Mbak Ida menahan emosi. Hanya saja, dia masih mempertahankan citra baiknya di depan Ibu-Ibu.

"Sudah, sudah! biar pake uang saya dulu," Bu Ramlah menyela. Ia lantas pulang mengambil uang dan memberikannya pada Mas Kurir.

"Berapa tadi, Mas?" tanyanya.

"158 ribu, Buk," jelasnya.

"Ini, 160, kembaliannya ambil saja!" ucap Bu Ramlah dibalas Mas Kurir dengan senyuman dan ucapan terimakasih sebelum akhirnya ia pergi melanjutkan pekerjaannya.

"Bu Ramlah, makasih, ya. Nanti malem aku ganti. Maaf ngrepotin. O iya, saya ada oleh-oleh dari bali untuk Ibu-Ibu semua," ucap Mbak Ida, ia lantas masuk ke dalam dan kembali membawa empat bungkusan kotak kue pie susu khas Bali. Dalam hati, bukannya waktu itu dia bilang ke rumah mertuanya karena acara pernikahan. Ah, sudahlah, memang apa peduliku.

Aku pamitan pada Ibu-Ibu untuk pulang saat Mbak Ida masuk ke dalam, namun, teriakan Mbak Ida membuatku menghentikan langkah, dan membuatku kembali menghampirinya karena tak enak dilihat Ibu-Ibu.

Aku berterimakasih pada Mbak Ida karena mendapat bagian, meski kurasa, dia tak ikhlas saat memberikannya padaku. Bisa kutangkap wajah tak sukanya saat mata kami bertemu. Setelahnya, semua pulang ke rumah masing-masing.

Aku kembali menaiki motor yang berada di pinggir jalan, dan pulang ke rumah. Belum sempat aku mendudukkan bokong, namun suara anak kecil memanggilku, membuatku kembali keluar.

"Bude ... Bude Lilis!" teriaknya.

"Ya, sebentar!"

"Rara? ada apa sayang," tanyaku. Rara tak langsung menjawab, dia menunduk sembari memainkan jemarinya seolah takut.

"Rara, bilang saja," ucapku meyakinkan.

"Em, Rara suruh ambil kue yang tadi Mama kasih!"

Astaghfirulloh!

Related chapters

  • PERKARA UANG 300 RIBU   Ketemu Mbak Ida

    "Em, Rara suruh ambil kue yang tadi Mama kasih!" Astaghfirulloh! batinku. Jadi dia tak ikhlas memberiku oleh-olehnya. Atau mungkin Mbak Ida memberiku hanya agar terlihat baik di depan Ibu-Ibu. Ah, aku jadi berburuk sangka gini kan. "Tunggu sebentar, ya Rara." Aku masuk ke dalam, mengambil kotak kue itu dan memberikannya pada Rara."Ini, bilang sama Mama, terimakasih," ucapku. Aku menghela napas berat. Jika saja tak ingat tangisan Rara tadi, ingin aku berpesan padanya "Bilang sama Mama, kalo gak ikhlas, gak usah ngasih!" Tapi, rasanya aku tak pantas berkata demikian di depan anak kecil seperti Rara. Nanti dia malah kembali disalahkan kembali oleh mamanya."Uangnya mana, Bude?" tanyanya polos. Mata bening tak berdosanya menatapku.Hah, maksudnya uang 300 yang dia beri tadi. Benar-benar ngajak ribut Mbak Ida. Udah gak mau maju sendiri, malah anaknya yang disuruh. Jika ini maunya, baik, akan kuladeni! "Bilang sama Mama Rara, kalo mau uangnya, suruh ambil sendiri kesini, ya," ucapku k

    Last Updated : 2023-03-28
  • PERKARA UANG 300 RIBU   Kelakuan tak tahu malu Mbak Ida

    Mataku menyipit melihat seseorang turun bersama anaknya. Dia, Mbak Ida dan putrinya Rara! mau ngapain kesini? ...Bu Hamzah sampai urung berdiri dari duduknya, kala melihat Mbak Ida semakin mendekati terasnya."Ada tamu, Bu Lilis. Sebentar, ya," ucap Bu Hamzah karena urung mengajakku ke belakang."Iya, Bu, gak papa," balasku tersenyum."Assalamualaikum!" ucap Mbak Ida uluk salam."Waalaikumsalam, mari masuk, Bu!" balas Bu Hamzah. Mbak Ida tersenyum, bisa kulihat dia sekilas melirikku tak suka.Ekspresi Mbak Ida sama sepertiku saat baru masuk ke dalam rumah Bu Hamzah. Kagum, itu yang aku tangkap. Rumah Bu Hamzah memang selalu tertutup. Selain jauh dari tetangga, mungkin jarang juga orang bertamu ke rumah ini karena segan. Apalagi Bu Hamzah termasuk orang baru di tempat ini. Dia baru pindah kesini tiga tahun lalu saat pandemi. Jadi, rumah ini dulunya kosong, sampai dikabarkan angker karena kesan kunonya, dan banyaknya pohon besar yang mengelilingi rumah Bu Hamzah. Terlebih di kebun b

    Last Updated : 2023-03-28
  • PERKARA UANG 300 RIBU   Pemberian Bu Hamzah

    "Lihat tuh, anakmu Mbak Lis! makanya kalo punya anak diajarin tatakrama di rumah orang! kalo sudah begini, mau pakek apa kamu gantinya, wong hutang sudah bayar aja ngaku belum dibayar!"...Aku melotot mendengar kalimat terakhir Mbak Ida."Bilang apa kamu, tadi, Mbak! coba ulangin!" Dalam keadaan emosi, aku membalas Mbak Ida. Masih saja ia membahas perihal uang 300 itu. Padahal, guci keramik yang katanya dipecahkan Lina tak ada sangkut pautnya dengan masalah hutang itu, tapi Mbak Ida seolah ingin menjelekkan namaku di depan Bu Hamzah. "Kalo Mbak Ida membenciku karena kutagih hutang itu, silahkan! gak ada ruginya buat aku! tapi kalo Mbak Ida terus bicara seolah aku menerima uangmu dua kali, lihat saja besok! akan kubuat viral bukti percakapan kita di WA!" napasku kembang kempis menahan emosi. "Nantang, kamu, Mbak? sudah salah, nyolot lagi!" cecar Mbak Ida tak mau kalah. Ia berkata sembari mencondongkan wajahnya ke arahku."Bu, sudah, Bu," sahut Bu Hamzah menengahi kami. Jika saja M

    Last Updated : 2023-03-28
  • PERKARA UANG 300 RIBU   Nagih utang berujung blokir

    [Assalamualaikum, Mbak. saya mau minta uang yang Mbak pinjam bulan lalu ditransfer saja, kalo Mbak Ida gak bisa anter] kuketik pesan lewat WA pada Mbak Ida--tetanggaku yang sudah seminggu ini menginap di rumah mertuanya karena katanya, mertuanya ada hajatan, mantu adik iparnya yang bungsu. Bukan apa, aku sedang butuh uang untuk membayar seragam ngaji Lina, putriku. Lagipula, Mbak Ida berjanji mengembalikannya 2 hari kemudian, tapi dia malah pergi dari rumah.Mbak Ida langsung membuka pesan yang kukirim. Detik kemudian, ia membalasnya.[Lo, Mbak Lis, uangnya sudah kutransfer dari sehari setelah aku pinjam ke sampean] Aku yang membaca balasan Mbak Ida tentu saja kaget. Sedari Mbak Ida pinjam, sama sekali tak ada notif dari Bank B*I masuk ke pesan ponselku. Lagian, kenapa Mbak Ida gak ada bilang kalo udah bayar hutangnya. Bahkan ia sama sekali tak mengabariku mengenai transfer.[Maaf, Mbak. Kok gak ada notif dari Bank, ya, kalo ada uang masuk.] balasku kemudian.Kali ini, Mbak Ida tak l

    Last Updated : 2023-03-28
  • PERKARA UANG 300 RIBU   Nagih ke rumah, siapa takut?

    Detik kemudian setelah centang abu itu berubah biru, profil Mbak Ida jadi hilang. Aku diblokir! .."Buk, kenapa bau gosong?" tanya Rumi tiba-tiba. Putri pertamaku yang berusia 13 tahun itu tergopoh menghampiriku, ia lekas menurunkan wajan yang berada di atas tungku menggunakan selongket kayu."Astaghfirulloh," gumamku. Kuusap air mataku agar Lina tak melihat jika aku habis menangis."Ibu, lupa Rum. Keasyikan main H*!" kilahku."Dibu*ng saja Rum. Goreng yang baru, kebetulan Ibu beli setengah kilo kemarin," imbuhku."Ada-ada sih, Buk. Gak papa deh, gosong, masih bisa dimakan, kok, ini," ucapnya sembari mencicipi ikan Asin yang sudah berubah hitam pekat itu."Ibu kenapa, kok matanya merah?" Rumi bertanya kala menatapku, karena sedari tadi, ia masih fokus pada ikan asin itu."Kenapa, enggak, Kok Rum. Mata Ibu merah karena kena asap dapur," kilahku. Rumi diam, seperti curiga, ia melirik H* yang kupegang, kemudian kembali melihatku. "Yaudah, panggil adikmu, kita sarapan. Hari ini Ibu mas

    Last Updated : 2023-03-28

Latest chapter

  • PERKARA UANG 300 RIBU   Pemberian Bu Hamzah

    "Lihat tuh, anakmu Mbak Lis! makanya kalo punya anak diajarin tatakrama di rumah orang! kalo sudah begini, mau pakek apa kamu gantinya, wong hutang sudah bayar aja ngaku belum dibayar!"...Aku melotot mendengar kalimat terakhir Mbak Ida."Bilang apa kamu, tadi, Mbak! coba ulangin!" Dalam keadaan emosi, aku membalas Mbak Ida. Masih saja ia membahas perihal uang 300 itu. Padahal, guci keramik yang katanya dipecahkan Lina tak ada sangkut pautnya dengan masalah hutang itu, tapi Mbak Ida seolah ingin menjelekkan namaku di depan Bu Hamzah. "Kalo Mbak Ida membenciku karena kutagih hutang itu, silahkan! gak ada ruginya buat aku! tapi kalo Mbak Ida terus bicara seolah aku menerima uangmu dua kali, lihat saja besok! akan kubuat viral bukti percakapan kita di WA!" napasku kembang kempis menahan emosi. "Nantang, kamu, Mbak? sudah salah, nyolot lagi!" cecar Mbak Ida tak mau kalah. Ia berkata sembari mencondongkan wajahnya ke arahku."Bu, sudah, Bu," sahut Bu Hamzah menengahi kami. Jika saja M

  • PERKARA UANG 300 RIBU   Kelakuan tak tahu malu Mbak Ida

    Mataku menyipit melihat seseorang turun bersama anaknya. Dia, Mbak Ida dan putrinya Rara! mau ngapain kesini? ...Bu Hamzah sampai urung berdiri dari duduknya, kala melihat Mbak Ida semakin mendekati terasnya."Ada tamu, Bu Lilis. Sebentar, ya," ucap Bu Hamzah karena urung mengajakku ke belakang."Iya, Bu, gak papa," balasku tersenyum."Assalamualaikum!" ucap Mbak Ida uluk salam."Waalaikumsalam, mari masuk, Bu!" balas Bu Hamzah. Mbak Ida tersenyum, bisa kulihat dia sekilas melirikku tak suka.Ekspresi Mbak Ida sama sepertiku saat baru masuk ke dalam rumah Bu Hamzah. Kagum, itu yang aku tangkap. Rumah Bu Hamzah memang selalu tertutup. Selain jauh dari tetangga, mungkin jarang juga orang bertamu ke rumah ini karena segan. Apalagi Bu Hamzah termasuk orang baru di tempat ini. Dia baru pindah kesini tiga tahun lalu saat pandemi. Jadi, rumah ini dulunya kosong, sampai dikabarkan angker karena kesan kunonya, dan banyaknya pohon besar yang mengelilingi rumah Bu Hamzah. Terlebih di kebun b

  • PERKARA UANG 300 RIBU   Ketemu Mbak Ida

    "Em, Rara suruh ambil kue yang tadi Mama kasih!" Astaghfirulloh! batinku. Jadi dia tak ikhlas memberiku oleh-olehnya. Atau mungkin Mbak Ida memberiku hanya agar terlihat baik di depan Ibu-Ibu. Ah, aku jadi berburuk sangka gini kan. "Tunggu sebentar, ya Rara." Aku masuk ke dalam, mengambil kotak kue itu dan memberikannya pada Rara."Ini, bilang sama Mama, terimakasih," ucapku. Aku menghela napas berat. Jika saja tak ingat tangisan Rara tadi, ingin aku berpesan padanya "Bilang sama Mama, kalo gak ikhlas, gak usah ngasih!" Tapi, rasanya aku tak pantas berkata demikian di depan anak kecil seperti Rara. Nanti dia malah kembali disalahkan kembali oleh mamanya."Uangnya mana, Bude?" tanyanya polos. Mata bening tak berdosanya menatapku.Hah, maksudnya uang 300 yang dia beri tadi. Benar-benar ngajak ribut Mbak Ida. Udah gak mau maju sendiri, malah anaknya yang disuruh. Jika ini maunya, baik, akan kuladeni! "Bilang sama Mama Rara, kalo mau uangnya, suruh ambil sendiri kesini, ya," ucapku k

  • PERKARA UANG 300 RIBU   Didatangi Bu Rt

    "Mbak, kembalikan uangku!" ucapku. Jika tak bisa dengan cara baik-baik, cara lain pun kuladeni.Wajah Mbak Ida seketika merah padam. Ia menatapku dengan tajam. Biar sekalian malu dia pada Mas kurir."Heh, Mbak Lilis! jangan kurang ajar kamu, ya! aku gak punya urusan sama kamu!" cecarnya berkacak pinggang sembari menatapku nyalang."Begitu ya, kalo Mbak Ida susah begini. Terpaksa aku menagih pada suamimu!" ancamku. Mas kurir terlihat bingung, memandangku dan Mbak Ida bergantian. "Coba saja kalo bisa! wong hutang wes dibayar kok tetep minta lagi. Kalo memang butuh uang, bilang! gak usah pakek bohong segala! kali miskin itu minimal yang jujur, Mbak! biar hidupnya berkah!" Mbak Ida semakin keras mengeluarkan caciannya padaku. Detik kemudian, Bu Rt dan beberapa tetangga menghampiri kami, mungkin karena mendengar keributan. Bisa kulihat Mbak Ida terkejut saat melihat kedatangan tetangga. Jelas saja, selama ini, Mbak Ida dikenal dengan Istri yang lemah lembut, dan sabar seperti di sosial me

  • PERKARA UANG 300 RIBU   Nagih ke rumah, siapa takut?

    Detik kemudian setelah centang abu itu berubah biru, profil Mbak Ida jadi hilang. Aku diblokir! .."Buk, kenapa bau gosong?" tanya Rumi tiba-tiba. Putri pertamaku yang berusia 13 tahun itu tergopoh menghampiriku, ia lekas menurunkan wajan yang berada di atas tungku menggunakan selongket kayu."Astaghfirulloh," gumamku. Kuusap air mataku agar Lina tak melihat jika aku habis menangis."Ibu, lupa Rum. Keasyikan main H*!" kilahku."Dibu*ng saja Rum. Goreng yang baru, kebetulan Ibu beli setengah kilo kemarin," imbuhku."Ada-ada sih, Buk. Gak papa deh, gosong, masih bisa dimakan, kok, ini," ucapnya sembari mencicipi ikan Asin yang sudah berubah hitam pekat itu."Ibu kenapa, kok matanya merah?" Rumi bertanya kala menatapku, karena sedari tadi, ia masih fokus pada ikan asin itu."Kenapa, enggak, Kok Rum. Mata Ibu merah karena kena asap dapur," kilahku. Rumi diam, seperti curiga, ia melirik H* yang kupegang, kemudian kembali melihatku. "Yaudah, panggil adikmu, kita sarapan. Hari ini Ibu mas

  • PERKARA UANG 300 RIBU   Nagih utang berujung blokir

    [Assalamualaikum, Mbak. saya mau minta uang yang Mbak pinjam bulan lalu ditransfer saja, kalo Mbak Ida gak bisa anter] kuketik pesan lewat WA pada Mbak Ida--tetanggaku yang sudah seminggu ini menginap di rumah mertuanya karena katanya, mertuanya ada hajatan, mantu adik iparnya yang bungsu. Bukan apa, aku sedang butuh uang untuk membayar seragam ngaji Lina, putriku. Lagipula, Mbak Ida berjanji mengembalikannya 2 hari kemudian, tapi dia malah pergi dari rumah.Mbak Ida langsung membuka pesan yang kukirim. Detik kemudian, ia membalasnya.[Lo, Mbak Lis, uangnya sudah kutransfer dari sehari setelah aku pinjam ke sampean] Aku yang membaca balasan Mbak Ida tentu saja kaget. Sedari Mbak Ida pinjam, sama sekali tak ada notif dari Bank B*I masuk ke pesan ponselku. Lagian, kenapa Mbak Ida gak ada bilang kalo udah bayar hutangnya. Bahkan ia sama sekali tak mengabariku mengenai transfer.[Maaf, Mbak. Kok gak ada notif dari Bank, ya, kalo ada uang masuk.] balasku kemudian.Kali ini, Mbak Ida tak l

DMCA.com Protection Status