[Assalamualaikum, Mbak. saya mau minta uang yang Mbak pinjam bulan lalu ditransfer saja, kalo Mbak Ida gak bisa anter]
kuketik pesan lewat WA pada Mbak Ida--tetanggaku yang sudah seminggu ini menginap di rumah mertuanya karena katanya, mertuanya ada hajatan, mantu adik iparnya yang bungsu. Bukan apa, aku sedang butuh uang untuk membayar seragam ngaji Lina, putriku. Lagipula, Mbak Ida berjanji mengembalikannya 2 hari kemudian, tapi dia malah pergi dari rumah.Mbak Ida langsung membuka pesan yang kukirim. Detik kemudian, ia membalasnya.[Lo, Mbak Lis, uangnya sudah kutransfer dari sehari setelah aku pinjam ke sampean] Aku yang membaca balasan Mbak Ida tentu saja kaget. Sedari Mbak Ida pinjam, sama sekali tak ada notif dari Bank B*I masuk ke pesan ponselku. Lagian, kenapa Mbak Ida gak ada bilang kalo udah bayar hutangnya. Bahkan ia sama sekali tak mengabariku mengenai transfer.[Maaf, Mbak. Kok gak ada notif dari Bank, ya, kalo ada uang masuk.] balasku kemudian.Kali ini, Mbak Ida tak langsung membalas wa-ku. Aku terus menunggu hingga sore, tapi tetap saja pesanku masih centang dua abu. Sampai akhirnya, aku kembali mengirim pesan karena perasaanku sangat tak enak.[Mbak, gimana?] pesanku. Kali ini, Mbak Ida langsung membuka dan membalasku.[Lah, ya mana kutahu, Mbak Lis!] balasnya. Aku sampai terbengong melihat balasannya yang seolah ngengas.[Kalo emang Mbak, udah transfer, bisa minta buktinya, Mbak. Nanti biar ku-cek ke ATM. Aku butuh uangnya paling lambat besok][Buktinya udah hilang, lah, Mbak. Struknya hancur kena air waktu bajunya dicuci] balasnya lagi. Aku tak membalas Mbak Ida. Aku langsung keluar menaiki motor butut Mas Abas suamiku, bermaksud ke ATM yang tak jauh dari rumah untuk melihat saldonya. Jika memang benar ada transfer masuk, maka uang tiga ratus ribu itu pasti ada, karena terakhir sebulan yang lalu aku mengambil uang dari ATM dan saldonya hanya 65 ribu.Menunggu antrian, pikiranku tak tenang. Tidak mungkin Mbak Ida bohong karena selama ini kami bertetangga baik. Bahkan hampir setiap hari Mbak Ida main ke rumah sekedar basa-basi menanyakan masak apa hari ini. Sering juga ia meminta sayuran dan lainnya saat ketinggalan Kang Sayur karena bangun kesiangan. Aku tak keberatan akan hal itu, karena sayuran yang kumasak tiap hari kudapat dari metik di kebun belakang yang kutanami berbagai jenis agar tidak bosan jika yang dimasak itu-itu saja. Sedang untuk lauk, kami sering goreng tempe dagangan Mas Abas yang tidak habis. Kadang aku juga masak telur dan ikan jika ada rezeki lebih. Mas Abas bekerja sebagai buruh tani dan berdagang tempe yang mengambil dari juragan Ishaq dengan untung 500 rupiah untuk penjualan 1 tempe. Kadang, jika habis dagangan, suamiku itu mendapat untung 50 ribu dari hasil menjual 100 biji tempe. Meski hidup sederhana, dan tak bisa seperti teman-temannya, beruntung kedua anakku tak pernah rewel dan meminta yang memberatkan orangtuanya.Beberapa saat kemudian, aku membuka pintu BANK dan memasukkan benda pipih ke dalam mesin ATM. Dadaku sesak saat melihat saldoku tak bertambah. Uang 300 ribu yang katanya sudah ditransfer Mbak Ida tak ada di dalamnya. Bagaimana caranya aku bilang pada Mbak Ida tanpa menyinggungnya? aku benar-benar butuh uang itu karena peganganku hanya tinggal 20 ribu, sedang seragam Lina harus dibayar besok karena aku sudah berjanji pada gurunya.Aku kembali ke rumah dan mengirim pesan pada Mbak Ida lagi.[Maaf, Mbak. Aku habis dari ATM, dan gak ada uang 300 itu. Apa mungkin Mbak salah transfer?] Lagi, Mbak Ida tak kunjung membalas pesannya. Wa ku baru dibuka esok paginya.[Maksud, Mbak Lilis itu apa. Secara gak langsung, Mbak Lilis nuduh aku itu nipu! lagian gak percaya banget sama aku. Kita udah kenal berapa lama sih, Mbak! tanya dulu suamimu, pasti dia udah ngambil di ATM tanpa bilang-bilang!] tuduhnya.Mendengar suara pesan masuk, aku yang tengah menggoreng ikan asin lantas menghentikannya. Kuraih ponselku yang sudah pecah layarnya itu dan membaca pesan dari Mbak Ida. Demi apapun, hatiku langsung panas melihatnya. Dengan emosi yang tak dapat ditahan, kubalas Mbak Ida.[Mbak, gak usah ngegas kalo emang Mbak Ida gak salah. Lagian kenapa Mbak gak ngasih bukti transfer itu ke aku. Kan aneh, Mbak. Kalo udah gini, siapa yang mau tanggung jawab ngembaliin uangnya? Mas Abas gak mungkin bisa ngambil uangnya karena dia gak pernah mau ke ATM. sandinya aja dia gak tahu] balasku. Memang benar, suamiku itu jadul. Dia tak bisa berurusan dengan mesin ATM. Ribet, katanya. Dulu, aku pernah menyuruhnya sekali, tapi dia malah salah memasukkan sandi hingga 3 kali dan berakhir ATM nya terblokir. Akhirnya, aku mengurusnya pada petugas Bank.[Ya mana kutahu, Lis! yang penting aku udah bayar dan gak ada urusan lagi sama kamu! jadi, gak usah ngotot!][Ya Allah Mbak. Tolong, aku bener-bener butuh uang hari ini untuk bayar seragam Lina. Mbak Ida harus tanggung jawab, karena bukti transfer itu gak ada, apalagi uang masuk!" balasku geram. Tak kusangka Mbak Ida seperti ini. Jika saja bukti transfernya ada, aku tak akan ngeyel seperti ini. Uang 300 ribu sangatlah berarti bagiku. Butuh berbulan-bulan aku mengumpulkannya dari sisa uang belanja dapur dan uang saku kedua putriku, tapi, uang itu malah lenyap tak kembali karena Mbak Ida. Menyesal waktu itu aku meminjamkannya.[Terserah! urusan kita udah selesai, ya, Mbak. Lagian uang 300 aja dibikin panjang, kok ya kebangeten kamu, Mbak, Mbak! pantes aja hidupmu sulit gak ada kemajuan, wong medit itu rezekinya sempit!] Mbak Ida kembali membalas dengan kata-kata yang begitu menyakitkan. Aku sampai menangis saat membaca kalimat itu. Prasangkaku semakin kuat jika benar dia yang bohong. Padahal, Mbak Ida hidup berkecukupan. Suaminya bekerja sebagai karyawan di pabrik dengan gaji UMR, tak jarang katanya juga sering mendapat bonus lemburan, ditambah dia juga masih dapat uang bulanan dari orang tuanya yang katanya kaya, aku tahu karena Mbak Ida sendiri yang cerita. Waktu itu, ia meminjam uang padaku untuk membayar paket sistem COD karena tak ada uang cash.Kubalas pesan Mbak Ida dengan dada bergemuruh hebat dan emosi. Demi Allah aku tak akan ikhlas![Astaghfirulloh aku sudah minta baik-baik. Tak kusangka mulut Mbak Ida ternyata seperti ini. Kalo emang uang segitu gak ada artinya, kenapa ditagih malah ngeles. Pakek ngomong udah ditransfer segala. Sampai kapanpun, aku gak akan ikhlas jika Mbak Ida tak membayar hutang itu padaku! semoga kamu merasakan apa yang aku rasakan saat ini Mbak!] Detik kemudian setelah centang abu itu berubah biru, profil Mbak Ida jadi hilang. Aku diblokir!Detik kemudian setelah centang abu itu berubah biru, profil Mbak Ida jadi hilang. Aku diblokir! .."Buk, kenapa bau gosong?" tanya Rumi tiba-tiba. Putri pertamaku yang berusia 13 tahun itu tergopoh menghampiriku, ia lekas menurunkan wajan yang berada di atas tungku menggunakan selongket kayu."Astaghfirulloh," gumamku. Kuusap air mataku agar Lina tak melihat jika aku habis menangis."Ibu, lupa Rum. Keasyikan main H*!" kilahku."Dibu*ng saja Rum. Goreng yang baru, kebetulan Ibu beli setengah kilo kemarin," imbuhku."Ada-ada sih, Buk. Gak papa deh, gosong, masih bisa dimakan, kok, ini," ucapnya sembari mencicipi ikan Asin yang sudah berubah hitam pekat itu."Ibu kenapa, kok matanya merah?" Rumi bertanya kala menatapku, karena sedari tadi, ia masih fokus pada ikan asin itu."Kenapa, enggak, Kok Rum. Mata Ibu merah karena kena asap dapur," kilahku. Rumi diam, seperti curiga, ia melirik H* yang kupegang, kemudian kembali melihatku. "Yaudah, panggil adikmu, kita sarapan. Hari ini Ibu mas
"Mbak, kembalikan uangku!" ucapku. Jika tak bisa dengan cara baik-baik, cara lain pun kuladeni.Wajah Mbak Ida seketika merah padam. Ia menatapku dengan tajam. Biar sekalian malu dia pada Mas kurir."Heh, Mbak Lilis! jangan kurang ajar kamu, ya! aku gak punya urusan sama kamu!" cecarnya berkacak pinggang sembari menatapku nyalang."Begitu ya, kalo Mbak Ida susah begini. Terpaksa aku menagih pada suamimu!" ancamku. Mas kurir terlihat bingung, memandangku dan Mbak Ida bergantian. "Coba saja kalo bisa! wong hutang wes dibayar kok tetep minta lagi. Kalo memang butuh uang, bilang! gak usah pakek bohong segala! kali miskin itu minimal yang jujur, Mbak! biar hidupnya berkah!" Mbak Ida semakin keras mengeluarkan caciannya padaku. Detik kemudian, Bu Rt dan beberapa tetangga menghampiri kami, mungkin karena mendengar keributan. Bisa kulihat Mbak Ida terkejut saat melihat kedatangan tetangga. Jelas saja, selama ini, Mbak Ida dikenal dengan Istri yang lemah lembut, dan sabar seperti di sosial me
"Em, Rara suruh ambil kue yang tadi Mama kasih!" Astaghfirulloh! batinku. Jadi dia tak ikhlas memberiku oleh-olehnya. Atau mungkin Mbak Ida memberiku hanya agar terlihat baik di depan Ibu-Ibu. Ah, aku jadi berburuk sangka gini kan. "Tunggu sebentar, ya Rara." Aku masuk ke dalam, mengambil kotak kue itu dan memberikannya pada Rara."Ini, bilang sama Mama, terimakasih," ucapku. Aku menghela napas berat. Jika saja tak ingat tangisan Rara tadi, ingin aku berpesan padanya "Bilang sama Mama, kalo gak ikhlas, gak usah ngasih!" Tapi, rasanya aku tak pantas berkata demikian di depan anak kecil seperti Rara. Nanti dia malah kembali disalahkan kembali oleh mamanya."Uangnya mana, Bude?" tanyanya polos. Mata bening tak berdosanya menatapku.Hah, maksudnya uang 300 yang dia beri tadi. Benar-benar ngajak ribut Mbak Ida. Udah gak mau maju sendiri, malah anaknya yang disuruh. Jika ini maunya, baik, akan kuladeni! "Bilang sama Mama Rara, kalo mau uangnya, suruh ambil sendiri kesini, ya," ucapku k
Mataku menyipit melihat seseorang turun bersama anaknya. Dia, Mbak Ida dan putrinya Rara! mau ngapain kesini? ...Bu Hamzah sampai urung berdiri dari duduknya, kala melihat Mbak Ida semakin mendekati terasnya."Ada tamu, Bu Lilis. Sebentar, ya," ucap Bu Hamzah karena urung mengajakku ke belakang."Iya, Bu, gak papa," balasku tersenyum."Assalamualaikum!" ucap Mbak Ida uluk salam."Waalaikumsalam, mari masuk, Bu!" balas Bu Hamzah. Mbak Ida tersenyum, bisa kulihat dia sekilas melirikku tak suka.Ekspresi Mbak Ida sama sepertiku saat baru masuk ke dalam rumah Bu Hamzah. Kagum, itu yang aku tangkap. Rumah Bu Hamzah memang selalu tertutup. Selain jauh dari tetangga, mungkin jarang juga orang bertamu ke rumah ini karena segan. Apalagi Bu Hamzah termasuk orang baru di tempat ini. Dia baru pindah kesini tiga tahun lalu saat pandemi. Jadi, rumah ini dulunya kosong, sampai dikabarkan angker karena kesan kunonya, dan banyaknya pohon besar yang mengelilingi rumah Bu Hamzah. Terlebih di kebun b
"Lihat tuh, anakmu Mbak Lis! makanya kalo punya anak diajarin tatakrama di rumah orang! kalo sudah begini, mau pakek apa kamu gantinya, wong hutang sudah bayar aja ngaku belum dibayar!"...Aku melotot mendengar kalimat terakhir Mbak Ida."Bilang apa kamu, tadi, Mbak! coba ulangin!" Dalam keadaan emosi, aku membalas Mbak Ida. Masih saja ia membahas perihal uang 300 itu. Padahal, guci keramik yang katanya dipecahkan Lina tak ada sangkut pautnya dengan masalah hutang itu, tapi Mbak Ida seolah ingin menjelekkan namaku di depan Bu Hamzah. "Kalo Mbak Ida membenciku karena kutagih hutang itu, silahkan! gak ada ruginya buat aku! tapi kalo Mbak Ida terus bicara seolah aku menerima uangmu dua kali, lihat saja besok! akan kubuat viral bukti percakapan kita di WA!" napasku kembang kempis menahan emosi. "Nantang, kamu, Mbak? sudah salah, nyolot lagi!" cecar Mbak Ida tak mau kalah. Ia berkata sembari mencondongkan wajahnya ke arahku."Bu, sudah, Bu," sahut Bu Hamzah menengahi kami. Jika saja M
"Lihat tuh, anakmu Mbak Lis! makanya kalo punya anak diajarin tatakrama di rumah orang! kalo sudah begini, mau pakek apa kamu gantinya, wong hutang sudah bayar aja ngaku belum dibayar!"...Aku melotot mendengar kalimat terakhir Mbak Ida."Bilang apa kamu, tadi, Mbak! coba ulangin!" Dalam keadaan emosi, aku membalas Mbak Ida. Masih saja ia membahas perihal uang 300 itu. Padahal, guci keramik yang katanya dipecahkan Lina tak ada sangkut pautnya dengan masalah hutang itu, tapi Mbak Ida seolah ingin menjelekkan namaku di depan Bu Hamzah. "Kalo Mbak Ida membenciku karena kutagih hutang itu, silahkan! gak ada ruginya buat aku! tapi kalo Mbak Ida terus bicara seolah aku menerima uangmu dua kali, lihat saja besok! akan kubuat viral bukti percakapan kita di WA!" napasku kembang kempis menahan emosi. "Nantang, kamu, Mbak? sudah salah, nyolot lagi!" cecar Mbak Ida tak mau kalah. Ia berkata sembari mencondongkan wajahnya ke arahku."Bu, sudah, Bu," sahut Bu Hamzah menengahi kami. Jika saja M
Mataku menyipit melihat seseorang turun bersama anaknya. Dia, Mbak Ida dan putrinya Rara! mau ngapain kesini? ...Bu Hamzah sampai urung berdiri dari duduknya, kala melihat Mbak Ida semakin mendekati terasnya."Ada tamu, Bu Lilis. Sebentar, ya," ucap Bu Hamzah karena urung mengajakku ke belakang."Iya, Bu, gak papa," balasku tersenyum."Assalamualaikum!" ucap Mbak Ida uluk salam."Waalaikumsalam, mari masuk, Bu!" balas Bu Hamzah. Mbak Ida tersenyum, bisa kulihat dia sekilas melirikku tak suka.Ekspresi Mbak Ida sama sepertiku saat baru masuk ke dalam rumah Bu Hamzah. Kagum, itu yang aku tangkap. Rumah Bu Hamzah memang selalu tertutup. Selain jauh dari tetangga, mungkin jarang juga orang bertamu ke rumah ini karena segan. Apalagi Bu Hamzah termasuk orang baru di tempat ini. Dia baru pindah kesini tiga tahun lalu saat pandemi. Jadi, rumah ini dulunya kosong, sampai dikabarkan angker karena kesan kunonya, dan banyaknya pohon besar yang mengelilingi rumah Bu Hamzah. Terlebih di kebun b
"Em, Rara suruh ambil kue yang tadi Mama kasih!" Astaghfirulloh! batinku. Jadi dia tak ikhlas memberiku oleh-olehnya. Atau mungkin Mbak Ida memberiku hanya agar terlihat baik di depan Ibu-Ibu. Ah, aku jadi berburuk sangka gini kan. "Tunggu sebentar, ya Rara." Aku masuk ke dalam, mengambil kotak kue itu dan memberikannya pada Rara."Ini, bilang sama Mama, terimakasih," ucapku. Aku menghela napas berat. Jika saja tak ingat tangisan Rara tadi, ingin aku berpesan padanya "Bilang sama Mama, kalo gak ikhlas, gak usah ngasih!" Tapi, rasanya aku tak pantas berkata demikian di depan anak kecil seperti Rara. Nanti dia malah kembali disalahkan kembali oleh mamanya."Uangnya mana, Bude?" tanyanya polos. Mata bening tak berdosanya menatapku.Hah, maksudnya uang 300 yang dia beri tadi. Benar-benar ngajak ribut Mbak Ida. Udah gak mau maju sendiri, malah anaknya yang disuruh. Jika ini maunya, baik, akan kuladeni! "Bilang sama Mama Rara, kalo mau uangnya, suruh ambil sendiri kesini, ya," ucapku k
"Mbak, kembalikan uangku!" ucapku. Jika tak bisa dengan cara baik-baik, cara lain pun kuladeni.Wajah Mbak Ida seketika merah padam. Ia menatapku dengan tajam. Biar sekalian malu dia pada Mas kurir."Heh, Mbak Lilis! jangan kurang ajar kamu, ya! aku gak punya urusan sama kamu!" cecarnya berkacak pinggang sembari menatapku nyalang."Begitu ya, kalo Mbak Ida susah begini. Terpaksa aku menagih pada suamimu!" ancamku. Mas kurir terlihat bingung, memandangku dan Mbak Ida bergantian. "Coba saja kalo bisa! wong hutang wes dibayar kok tetep minta lagi. Kalo memang butuh uang, bilang! gak usah pakek bohong segala! kali miskin itu minimal yang jujur, Mbak! biar hidupnya berkah!" Mbak Ida semakin keras mengeluarkan caciannya padaku. Detik kemudian, Bu Rt dan beberapa tetangga menghampiri kami, mungkin karena mendengar keributan. Bisa kulihat Mbak Ida terkejut saat melihat kedatangan tetangga. Jelas saja, selama ini, Mbak Ida dikenal dengan Istri yang lemah lembut, dan sabar seperti di sosial me
Detik kemudian setelah centang abu itu berubah biru, profil Mbak Ida jadi hilang. Aku diblokir! .."Buk, kenapa bau gosong?" tanya Rumi tiba-tiba. Putri pertamaku yang berusia 13 tahun itu tergopoh menghampiriku, ia lekas menurunkan wajan yang berada di atas tungku menggunakan selongket kayu."Astaghfirulloh," gumamku. Kuusap air mataku agar Lina tak melihat jika aku habis menangis."Ibu, lupa Rum. Keasyikan main H*!" kilahku."Dibu*ng saja Rum. Goreng yang baru, kebetulan Ibu beli setengah kilo kemarin," imbuhku."Ada-ada sih, Buk. Gak papa deh, gosong, masih bisa dimakan, kok, ini," ucapnya sembari mencicipi ikan Asin yang sudah berubah hitam pekat itu."Ibu kenapa, kok matanya merah?" Rumi bertanya kala menatapku, karena sedari tadi, ia masih fokus pada ikan asin itu."Kenapa, enggak, Kok Rum. Mata Ibu merah karena kena asap dapur," kilahku. Rumi diam, seperti curiga, ia melirik H* yang kupegang, kemudian kembali melihatku. "Yaudah, panggil adikmu, kita sarapan. Hari ini Ibu mas
[Assalamualaikum, Mbak. saya mau minta uang yang Mbak pinjam bulan lalu ditransfer saja, kalo Mbak Ida gak bisa anter] kuketik pesan lewat WA pada Mbak Ida--tetanggaku yang sudah seminggu ini menginap di rumah mertuanya karena katanya, mertuanya ada hajatan, mantu adik iparnya yang bungsu. Bukan apa, aku sedang butuh uang untuk membayar seragam ngaji Lina, putriku. Lagipula, Mbak Ida berjanji mengembalikannya 2 hari kemudian, tapi dia malah pergi dari rumah.Mbak Ida langsung membuka pesan yang kukirim. Detik kemudian, ia membalasnya.[Lo, Mbak Lis, uangnya sudah kutransfer dari sehari setelah aku pinjam ke sampean] Aku yang membaca balasan Mbak Ida tentu saja kaget. Sedari Mbak Ida pinjam, sama sekali tak ada notif dari Bank B*I masuk ke pesan ponselku. Lagian, kenapa Mbak Ida gak ada bilang kalo udah bayar hutangnya. Bahkan ia sama sekali tak mengabariku mengenai transfer.[Maaf, Mbak. Kok gak ada notif dari Bank, ya, kalo ada uang masuk.] balasku kemudian.Kali ini, Mbak Ida tak l