Share

Ketemu Mbak Ida

Penulis: Arvinwarda
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-28 04:42:15

"Em, Rara suruh ambil kue yang tadi Mama kasih!"

Astaghfirulloh! batinku. Jadi dia tak ikhlas memberiku oleh-olehnya. Atau mungkin Mbak Ida memberiku hanya agar terlihat baik di depan Ibu-Ibu. Ah, aku jadi berburuk sangka gini kan.

"Tunggu sebentar, ya Rara." Aku masuk ke dalam, mengambil kotak kue itu dan memberikannya pada Rara.

"Ini, bilang sama Mama, terimakasih," ucapku.

Aku menghela napas berat. Jika saja tak ingat tangisan Rara tadi, ingin aku berpesan padanya "Bilang sama Mama, kalo gak ikhlas, gak usah ngasih!" Tapi, rasanya aku tak pantas berkata demikian di depan anak kecil seperti Rara. Nanti dia malah kembali disalahkan kembali oleh mamanya.

"Uangnya mana, Bude?" tanyanya polos. Mata bening tak berdosanya menatapku.

Hah, maksudnya uang 300 yang dia beri tadi. Benar-benar ngajak ribut Mbak Ida. Udah gak mau maju sendiri, malah anaknya yang disuruh. Jika ini maunya, baik, akan kuladeni!

"Bilang sama Mama Rara, kalo mau uangnya, suruh ambil sendiri kesini, ya," ucapku kemudian. Aku bicara selembut mungkin, meski nyatanya aku tengah menahan emosi.

"Siapa, Buk?" tanya Mas Abas menghampiriku.

"Rara, anaknya Mbak Ida," jelasku.

"Loh, gak ngaji dia. Ngapain kesini, cari Lina, ya?" tanyanya lagi.

"Dulu pernah ikut ngaji, tapi terus mogok gak mau berangkat," balasku.

Aku belum bercerita pada Mas Abas tentang masalahku dan Mbak Ida.

"Mas, pantas gak sih, orang ngasih terus diminta lagi," tanyaku.

"Ada-ada saja. Ya gak pantes to Buk. Lagian ngapain ngasih kalo ujung-ujungnya diminta lagi, bikin malu saja!" tukasnya. Akhirnya, aku bercerita pada Mas Abas, tentang pertengkaranku dengan Mbak Ida, tentang kue pemberianya yang diminta lagi, juga uang 300 ribu yang ingin ia ambil kembali dariku melalui Rara.

"Astaghfirulloh, kenapa Ibu gak bilang. Pantesan semalam kamu tidurnya gak nyenyak, gerak terus," tukasnya.

"Aku sakit hati, Mas. Aku sakit hati Mbak Ida mengataiku pelit sembari membawa-bawa status kita yang miskin. Aku juga punya harga diri, Mas! apalagi Mbak Ida masih tak mau mengakui jika dia salah! terlebih tadi di depan Ibu-Ibu, dia berlagak seolah aku yang meminta uangnya." Kembang kempis aku berucap. Dadaku kembali sesak mengingat caciannya. Jika aku pelit, tak mungkin aku selalu memberikannya sayuran segar saat Mbak Ida meminta ke rumah. Tak jarang aku menyuruhnya memetik sendiri di kebun belakang agar dia bisa memilihnya.

"Sabar Bu, semua kan sudah terlanjur. Lebih baik besok kita ke Bank. Minta print riwayat transaksi, biar kalo masalah ini masih dibesarkan, tinggal tunjukin aja bukunya." Aku hanya mengangguk menanggapi.

Waktu sudah menunjukkan jam 5 sore. Aku bermaksud menjemput Lina. Biasanya, Lina akan pulang bersama kakaknya Rumi, tapi karena mau membayar seragamnya, jadi kali ini, aku menjemput biar sekalian beres.

"Ibuuuuk! teriak Lina girang saat melihat motorku menghampirinya. Rumi dan Lina sudah setengah perjalanan pulang.

"Tumben Ibu jemput," ucap Lina.

"Iya, mau bayar seragam adikmu. Bu ustazahnya udah pulang belum, ya?" tanyaku.

"Kayaknya belum, Buk. Belum ada lewat," jawab Rumi.

"Kamu mau terus pulang atau ikut Ibu."

" Rumi pulang aja deh, Bu."

"Aku ikut Ibuk!" sahut Lina. Ia lantas menaiki motor dan berpegangan.

"Assalamualaikum, Bu Hamzah." Aku menghampiri guru ngaji Lina. Ia baru saja keluar dari kelas dan mengunci pintunya.

"Waalaikumsalam. Eh, Bu Lilis, ada apa Bu?" tanyanya.

"Ini, mau bayar sergam Lina," jelasku.

"Loh, katanya tadi masih gak ada uang Bu. Gak papa kalo uangnya masih kepake. Saya sudah talangin dari dulu Bu. Jadi, bisa kapan-kapan bayarnya." Aku hanya tersenyum sungkan. Tadi, aku memang bilang saat mengantarkan Lina jika uangnya belum ada. Bu Hamzah ini ustazah paling sabar menurutku. Nada bicaranya lembut, pembawaannya kalem. Dia menikah sudah 17 tahun dan belum memiliki anak. Mungkin usianya tak jauh beda denganku. Kalo utazahnya Rumi, bukannya tegas lagi, malah terkesan galak. Ya, begitulah, dalam pendidikan, harus ada guru yang ditakuti para murid, agar mereka nurut.

"Aduh, jadi gak enak, saya sama Ibu. Sekarang uangnya sudah ada kok, Bu. Makanya saya buru-buru kesini, takut kepake lagi," jelasku. Bu Hamzah mengangguk, aku lantas memberikan uang 150 ribu padanya.

Setelah itu, aku berpamitan. Belum sampai aku menjalankan motorku, Bu Hamzah memanggil, hingga membuatku lantas mematikan motor.

"Bu Lilis!" panggilnya, ia lantas menghampiriku.

"Iya, Bu. Ada apa? uangnya kurang, ya?" tanyaku memastikan. Siapa tahu memang ada uang tambahan.

"Enggak Bu. Sebenarnya, saya mau ngasih sesuatu sama Bu Lilis, itupun kalo Bu Lilis mau," tukasnya.

"Saya pasti mau, Bu. Apapun akan saya terima dengan senang hati," balasku tersenyum.

"Kalo begitu, mari mampir ke rumah saya dulu. Lina biar saya bonceng, mau ya, Lin?" Bu Hamzah beralih menatap Lina, Lina tampak malu dan bersembunyi di belakangku.

"Ayo, Lina," ajak Bu Hamzah meraih tangan Lina dan memboncengnya di depan, karena motor Bu Hamzah motor matic, tidak seperti motor bebekku yang akan berbahaya jika Lina kubonceng di depan.

Sesampainya di rumah Bu Hamzah, aku bergegas turun. Bu Hamzah mempersilahkanku masuk, membuatku terkejut saat melihat isi di dalamnya. Dari luar, rumah Bu Hamzah terlihat sangat sederhana, rumah kuno seperti rumahku, bedanya, rumah kuno yang kutempati atapnya sudah lapuk, bahkan sebagian kayunya telah jatuh hingga membuat lubang di beberapa tempat. Jangan ditanya kalo hujan, pasti bocor. Apalagi kalo ada angin kencang, aku sampai membawa anak-anaku keluar rumah karena takut akan roboh.

Aku masih terpaku menatap sekeliling dalam rumah Bu Hamzah, begitu mewah dan tertata rapi. Lantainya menggunakan marmer putih, dengan pernak-pernik yang mengkilat. Bahkan ada akuarium raksasa dengan berbagai jenis ikan berukuran besar yang kutahu harganya mencapai jutaan seperti yang kulihat di TV.

"Silahkan duduk, Bu Lilis!" ucap Bu Hamzah mempersilahkan. Aku sampai malu, karena baru sadar.

"Eh, iya, Bu!" Bu Hamzah lantas ke belakang, membawa nampan berisi tiga toples kue kering dan minuman instant sebelum kemudian meletakkannya di meja dan menawarkannya padaku dan Lina.

"Rumahnya bagus, ya, Buk!" bisik Lina, namun masih terdengar keras, hingga membuat Bu Hamzah tersenyum.

"Lina kalo mau, boleh main kesini. Minta antar Ibu, nanti pulangnya dianterin sama Bu Guru!"

"Saya sering kesepian, Bu. Ya, namanya gak ada anak, ya begitu deh," ucapnya sedih.

"Yang sabar, ya, Bu. Mungkin memang belum waktunya. Semua kan, ada saatnya. Itu tandanya Bu Hamzah dikasih waktu yang panjang untuk berduaan sama Suami," jelasku hati-hati. Dalam hati, 'pantas, gak ya, aku ngomong gitu?' karena aku sendiri bingung menanggapi.

"O Iya, Bu. Saya sampe lupa, mari ikut saya ke belakang. Biar saya tunjukin sesuatu," ajaknya. Belum sempat kami berdiri, suara motor terdengar memasuki halaman rumah Bu Hamzah yang luas, kemudian berhenti tepat di samping motorku.

Mataku menyipit melihat seseorang turun bersama anaknya. Dia, Mbak Ida dan putrinya Rara! mau ngapain kesini?

Bab terkait

  • PERKARA UANG 300 RIBU   Kelakuan tak tahu malu Mbak Ida

    Mataku menyipit melihat seseorang turun bersama anaknya. Dia, Mbak Ida dan putrinya Rara! mau ngapain kesini? ...Bu Hamzah sampai urung berdiri dari duduknya, kala melihat Mbak Ida semakin mendekati terasnya."Ada tamu, Bu Lilis. Sebentar, ya," ucap Bu Hamzah karena urung mengajakku ke belakang."Iya, Bu, gak papa," balasku tersenyum."Assalamualaikum!" ucap Mbak Ida uluk salam."Waalaikumsalam, mari masuk, Bu!" balas Bu Hamzah. Mbak Ida tersenyum, bisa kulihat dia sekilas melirikku tak suka.Ekspresi Mbak Ida sama sepertiku saat baru masuk ke dalam rumah Bu Hamzah. Kagum, itu yang aku tangkap. Rumah Bu Hamzah memang selalu tertutup. Selain jauh dari tetangga, mungkin jarang juga orang bertamu ke rumah ini karena segan. Apalagi Bu Hamzah termasuk orang baru di tempat ini. Dia baru pindah kesini tiga tahun lalu saat pandemi. Jadi, rumah ini dulunya kosong, sampai dikabarkan angker karena kesan kunonya, dan banyaknya pohon besar yang mengelilingi rumah Bu Hamzah. Terlebih di kebun b

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-28
  • PERKARA UANG 300 RIBU   Pemberian Bu Hamzah

    "Lihat tuh, anakmu Mbak Lis! makanya kalo punya anak diajarin tatakrama di rumah orang! kalo sudah begini, mau pakek apa kamu gantinya, wong hutang sudah bayar aja ngaku belum dibayar!"...Aku melotot mendengar kalimat terakhir Mbak Ida."Bilang apa kamu, tadi, Mbak! coba ulangin!" Dalam keadaan emosi, aku membalas Mbak Ida. Masih saja ia membahas perihal uang 300 itu. Padahal, guci keramik yang katanya dipecahkan Lina tak ada sangkut pautnya dengan masalah hutang itu, tapi Mbak Ida seolah ingin menjelekkan namaku di depan Bu Hamzah. "Kalo Mbak Ida membenciku karena kutagih hutang itu, silahkan! gak ada ruginya buat aku! tapi kalo Mbak Ida terus bicara seolah aku menerima uangmu dua kali, lihat saja besok! akan kubuat viral bukti percakapan kita di WA!" napasku kembang kempis menahan emosi. "Nantang, kamu, Mbak? sudah salah, nyolot lagi!" cecar Mbak Ida tak mau kalah. Ia berkata sembari mencondongkan wajahnya ke arahku."Bu, sudah, Bu," sahut Bu Hamzah menengahi kami. Jika saja M

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-28
  • PERKARA UANG 300 RIBU   Nagih utang berujung blokir

    [Assalamualaikum, Mbak. saya mau minta uang yang Mbak pinjam bulan lalu ditransfer saja, kalo Mbak Ida gak bisa anter] kuketik pesan lewat WA pada Mbak Ida--tetanggaku yang sudah seminggu ini menginap di rumah mertuanya karena katanya, mertuanya ada hajatan, mantu adik iparnya yang bungsu. Bukan apa, aku sedang butuh uang untuk membayar seragam ngaji Lina, putriku. Lagipula, Mbak Ida berjanji mengembalikannya 2 hari kemudian, tapi dia malah pergi dari rumah.Mbak Ida langsung membuka pesan yang kukirim. Detik kemudian, ia membalasnya.[Lo, Mbak Lis, uangnya sudah kutransfer dari sehari setelah aku pinjam ke sampean] Aku yang membaca balasan Mbak Ida tentu saja kaget. Sedari Mbak Ida pinjam, sama sekali tak ada notif dari Bank B*I masuk ke pesan ponselku. Lagian, kenapa Mbak Ida gak ada bilang kalo udah bayar hutangnya. Bahkan ia sama sekali tak mengabariku mengenai transfer.[Maaf, Mbak. Kok gak ada notif dari Bank, ya, kalo ada uang masuk.] balasku kemudian.Kali ini, Mbak Ida tak l

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-28
  • PERKARA UANG 300 RIBU   Nagih ke rumah, siapa takut?

    Detik kemudian setelah centang abu itu berubah biru, profil Mbak Ida jadi hilang. Aku diblokir! .."Buk, kenapa bau gosong?" tanya Rumi tiba-tiba. Putri pertamaku yang berusia 13 tahun itu tergopoh menghampiriku, ia lekas menurunkan wajan yang berada di atas tungku menggunakan selongket kayu."Astaghfirulloh," gumamku. Kuusap air mataku agar Lina tak melihat jika aku habis menangis."Ibu, lupa Rum. Keasyikan main H*!" kilahku."Dibu*ng saja Rum. Goreng yang baru, kebetulan Ibu beli setengah kilo kemarin," imbuhku."Ada-ada sih, Buk. Gak papa deh, gosong, masih bisa dimakan, kok, ini," ucapnya sembari mencicipi ikan Asin yang sudah berubah hitam pekat itu."Ibu kenapa, kok matanya merah?" Rumi bertanya kala menatapku, karena sedari tadi, ia masih fokus pada ikan asin itu."Kenapa, enggak, Kok Rum. Mata Ibu merah karena kena asap dapur," kilahku. Rumi diam, seperti curiga, ia melirik H* yang kupegang, kemudian kembali melihatku. "Yaudah, panggil adikmu, kita sarapan. Hari ini Ibu mas

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-28
  • PERKARA UANG 300 RIBU   Didatangi Bu Rt

    "Mbak, kembalikan uangku!" ucapku. Jika tak bisa dengan cara baik-baik, cara lain pun kuladeni.Wajah Mbak Ida seketika merah padam. Ia menatapku dengan tajam. Biar sekalian malu dia pada Mas kurir."Heh, Mbak Lilis! jangan kurang ajar kamu, ya! aku gak punya urusan sama kamu!" cecarnya berkacak pinggang sembari menatapku nyalang."Begitu ya, kalo Mbak Ida susah begini. Terpaksa aku menagih pada suamimu!" ancamku. Mas kurir terlihat bingung, memandangku dan Mbak Ida bergantian. "Coba saja kalo bisa! wong hutang wes dibayar kok tetep minta lagi. Kalo memang butuh uang, bilang! gak usah pakek bohong segala! kali miskin itu minimal yang jujur, Mbak! biar hidupnya berkah!" Mbak Ida semakin keras mengeluarkan caciannya padaku. Detik kemudian, Bu Rt dan beberapa tetangga menghampiri kami, mungkin karena mendengar keributan. Bisa kulihat Mbak Ida terkejut saat melihat kedatangan tetangga. Jelas saja, selama ini, Mbak Ida dikenal dengan Istri yang lemah lembut, dan sabar seperti di sosial me

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-28

Bab terbaru

  • PERKARA UANG 300 RIBU   Pemberian Bu Hamzah

    "Lihat tuh, anakmu Mbak Lis! makanya kalo punya anak diajarin tatakrama di rumah orang! kalo sudah begini, mau pakek apa kamu gantinya, wong hutang sudah bayar aja ngaku belum dibayar!"...Aku melotot mendengar kalimat terakhir Mbak Ida."Bilang apa kamu, tadi, Mbak! coba ulangin!" Dalam keadaan emosi, aku membalas Mbak Ida. Masih saja ia membahas perihal uang 300 itu. Padahal, guci keramik yang katanya dipecahkan Lina tak ada sangkut pautnya dengan masalah hutang itu, tapi Mbak Ida seolah ingin menjelekkan namaku di depan Bu Hamzah. "Kalo Mbak Ida membenciku karena kutagih hutang itu, silahkan! gak ada ruginya buat aku! tapi kalo Mbak Ida terus bicara seolah aku menerima uangmu dua kali, lihat saja besok! akan kubuat viral bukti percakapan kita di WA!" napasku kembang kempis menahan emosi. "Nantang, kamu, Mbak? sudah salah, nyolot lagi!" cecar Mbak Ida tak mau kalah. Ia berkata sembari mencondongkan wajahnya ke arahku."Bu, sudah, Bu," sahut Bu Hamzah menengahi kami. Jika saja M

  • PERKARA UANG 300 RIBU   Kelakuan tak tahu malu Mbak Ida

    Mataku menyipit melihat seseorang turun bersama anaknya. Dia, Mbak Ida dan putrinya Rara! mau ngapain kesini? ...Bu Hamzah sampai urung berdiri dari duduknya, kala melihat Mbak Ida semakin mendekati terasnya."Ada tamu, Bu Lilis. Sebentar, ya," ucap Bu Hamzah karena urung mengajakku ke belakang."Iya, Bu, gak papa," balasku tersenyum."Assalamualaikum!" ucap Mbak Ida uluk salam."Waalaikumsalam, mari masuk, Bu!" balas Bu Hamzah. Mbak Ida tersenyum, bisa kulihat dia sekilas melirikku tak suka.Ekspresi Mbak Ida sama sepertiku saat baru masuk ke dalam rumah Bu Hamzah. Kagum, itu yang aku tangkap. Rumah Bu Hamzah memang selalu tertutup. Selain jauh dari tetangga, mungkin jarang juga orang bertamu ke rumah ini karena segan. Apalagi Bu Hamzah termasuk orang baru di tempat ini. Dia baru pindah kesini tiga tahun lalu saat pandemi. Jadi, rumah ini dulunya kosong, sampai dikabarkan angker karena kesan kunonya, dan banyaknya pohon besar yang mengelilingi rumah Bu Hamzah. Terlebih di kebun b

  • PERKARA UANG 300 RIBU   Ketemu Mbak Ida

    "Em, Rara suruh ambil kue yang tadi Mama kasih!" Astaghfirulloh! batinku. Jadi dia tak ikhlas memberiku oleh-olehnya. Atau mungkin Mbak Ida memberiku hanya agar terlihat baik di depan Ibu-Ibu. Ah, aku jadi berburuk sangka gini kan. "Tunggu sebentar, ya Rara." Aku masuk ke dalam, mengambil kotak kue itu dan memberikannya pada Rara."Ini, bilang sama Mama, terimakasih," ucapku. Aku menghela napas berat. Jika saja tak ingat tangisan Rara tadi, ingin aku berpesan padanya "Bilang sama Mama, kalo gak ikhlas, gak usah ngasih!" Tapi, rasanya aku tak pantas berkata demikian di depan anak kecil seperti Rara. Nanti dia malah kembali disalahkan kembali oleh mamanya."Uangnya mana, Bude?" tanyanya polos. Mata bening tak berdosanya menatapku.Hah, maksudnya uang 300 yang dia beri tadi. Benar-benar ngajak ribut Mbak Ida. Udah gak mau maju sendiri, malah anaknya yang disuruh. Jika ini maunya, baik, akan kuladeni! "Bilang sama Mama Rara, kalo mau uangnya, suruh ambil sendiri kesini, ya," ucapku k

  • PERKARA UANG 300 RIBU   Didatangi Bu Rt

    "Mbak, kembalikan uangku!" ucapku. Jika tak bisa dengan cara baik-baik, cara lain pun kuladeni.Wajah Mbak Ida seketika merah padam. Ia menatapku dengan tajam. Biar sekalian malu dia pada Mas kurir."Heh, Mbak Lilis! jangan kurang ajar kamu, ya! aku gak punya urusan sama kamu!" cecarnya berkacak pinggang sembari menatapku nyalang."Begitu ya, kalo Mbak Ida susah begini. Terpaksa aku menagih pada suamimu!" ancamku. Mas kurir terlihat bingung, memandangku dan Mbak Ida bergantian. "Coba saja kalo bisa! wong hutang wes dibayar kok tetep minta lagi. Kalo memang butuh uang, bilang! gak usah pakek bohong segala! kali miskin itu minimal yang jujur, Mbak! biar hidupnya berkah!" Mbak Ida semakin keras mengeluarkan caciannya padaku. Detik kemudian, Bu Rt dan beberapa tetangga menghampiri kami, mungkin karena mendengar keributan. Bisa kulihat Mbak Ida terkejut saat melihat kedatangan tetangga. Jelas saja, selama ini, Mbak Ida dikenal dengan Istri yang lemah lembut, dan sabar seperti di sosial me

  • PERKARA UANG 300 RIBU   Nagih ke rumah, siapa takut?

    Detik kemudian setelah centang abu itu berubah biru, profil Mbak Ida jadi hilang. Aku diblokir! .."Buk, kenapa bau gosong?" tanya Rumi tiba-tiba. Putri pertamaku yang berusia 13 tahun itu tergopoh menghampiriku, ia lekas menurunkan wajan yang berada di atas tungku menggunakan selongket kayu."Astaghfirulloh," gumamku. Kuusap air mataku agar Lina tak melihat jika aku habis menangis."Ibu, lupa Rum. Keasyikan main H*!" kilahku."Dibu*ng saja Rum. Goreng yang baru, kebetulan Ibu beli setengah kilo kemarin," imbuhku."Ada-ada sih, Buk. Gak papa deh, gosong, masih bisa dimakan, kok, ini," ucapnya sembari mencicipi ikan Asin yang sudah berubah hitam pekat itu."Ibu kenapa, kok matanya merah?" Rumi bertanya kala menatapku, karena sedari tadi, ia masih fokus pada ikan asin itu."Kenapa, enggak, Kok Rum. Mata Ibu merah karena kena asap dapur," kilahku. Rumi diam, seperti curiga, ia melirik H* yang kupegang, kemudian kembali melihatku. "Yaudah, panggil adikmu, kita sarapan. Hari ini Ibu mas

  • PERKARA UANG 300 RIBU   Nagih utang berujung blokir

    [Assalamualaikum, Mbak. saya mau minta uang yang Mbak pinjam bulan lalu ditransfer saja, kalo Mbak Ida gak bisa anter] kuketik pesan lewat WA pada Mbak Ida--tetanggaku yang sudah seminggu ini menginap di rumah mertuanya karena katanya, mertuanya ada hajatan, mantu adik iparnya yang bungsu. Bukan apa, aku sedang butuh uang untuk membayar seragam ngaji Lina, putriku. Lagipula, Mbak Ida berjanji mengembalikannya 2 hari kemudian, tapi dia malah pergi dari rumah.Mbak Ida langsung membuka pesan yang kukirim. Detik kemudian, ia membalasnya.[Lo, Mbak Lis, uangnya sudah kutransfer dari sehari setelah aku pinjam ke sampean] Aku yang membaca balasan Mbak Ida tentu saja kaget. Sedari Mbak Ida pinjam, sama sekali tak ada notif dari Bank B*I masuk ke pesan ponselku. Lagian, kenapa Mbak Ida gak ada bilang kalo udah bayar hutangnya. Bahkan ia sama sekali tak mengabariku mengenai transfer.[Maaf, Mbak. Kok gak ada notif dari Bank, ya, kalo ada uang masuk.] balasku kemudian.Kali ini, Mbak Ida tak l

DMCA.com Protection Status