“Aku harus kuat, aku tidak boleh lemah.”bisikku meyakinkan diri sendiri hingga aku terlelap.
Mentari pagi datang mengusik aku terbangun tanpa semangat lagi, kejadian semalam membuat moodku turun drastis setelah sebelumnya aku terasa sangat membaik. Kuhela nafas berat dan beringsut turun dari tempat tidur untuk kekamar mandi dan habis itu kekantor.Setelah selesai mandi dan selesai dengan pakaiananku aku menyeduh segelas teh untuk menemaniku sebelum kekantor, susah aku coba tata hatiku, entah bagaimana caranya dadaku tidak sesak berkali-kali aku buang nafas dan menatap lanPOV ALDO.Pagi ini aku sangat bersemangat sekali untuk menemui mba Ina, karna setelah ngantor rencananya aku mau ngajak dia ke studio, beruntung sekarang papa lagi keluar negri jadi aku bebas, buat kemana-mana sekarang, dengan semangatnya dan hati yang girang aku menghidupkan klakson mobil. Di depan rumahnya, tak lama setelahnya mba Ina keluar dan aku turun menyambutnya datang, bisa aku lihat dia belum rapi dengan baju kantor. Baju yang di kenakannya simple tapi masih tetep keliatan manis. Entahlah sepertinya sekarang aku sangat menyukai mba Ina. Apapun dan bagaimanapun keadaanya dia sangat terlihat menarik.“Mba, kok belum rapi, kita akan kekantor dan sesuai janji. Sore ini kita akan kestudio.”ujarku. mba Ina tampak mendekat dan melirik ke garasi.“Kamu lihat, mobilnya mas Feri di garasi?’ucapnya pelan, aku menoleh sebentar dan kembali melihat wajahnya, apa mba Ina fikir aku takut dengan suaminya.“Trus kenapa mb
Sudah dua hari mas Feri tidak datangi Rara, Walau bisa aku lihat dia sudah berangsur pulih, tapii tampaknya dia masih ingin istirahat.“Mas aku harus kekantor, kamu gak apa kan tinggal dirumah, Ina dah masak kalo mas lapar turun aja kebawah.”ujarku, Mas Feri tampak mengangguk. Dia berdiri hendak kekamar mandi“Mas mau mandi, apa? air hangatnya udah siap?”tanyanya, aku mengangguk“Udah mas,”Dan disaat mas Feri di kamar mandi aku mengemasi barang-barangku untuk berangkat, namun gerakku terhenti saat ponsel mas Feri berdering, reflek aku angkat tanpa bicara.“Mas, ini sudah dua hari, kamu gak pulang kesini. Pulang ya mas, Rara nungguin.”ujar Rara, aku diam tak menyahut kata-katanya“Mas, kamu denger aku kan? Mba Ina gak akan segampang itu, memberikan bagian kamu mas. Kamu pulang ya. Kita pikirkan cara lain.”ujarnya, aku mendegup dan meremas ponsel itu dengan air mata merinti
Dua jam kemudian setelah permaian futsal berjalan di babak pertama, aku sangat bersemangat dan terhibur sekali karna Aldo sangat ahli dan pintar mencetak gawang hingga pertandingan itu sengit. Permainan itu berakhir pada skor 02 Gol dan nol untuk lawan main Aldo, bocah itu tampak girang mendekat padaku dengan berlari-lari kecil berkeringat banyak mengucuri wajah hingga lehernya.“Keren kan beb, aku cetak dua gol,”“Iya semangat,”ucapku mengambilkan air minum Aldo duduk bersandar di sampingku dan langsung meneguk habis setengah isi botol.“Handuknya sayang..”ujarnya aku terdiam mendengar Aldo memanggilku dengan sebutan sayang.“Iiih, handuknya bawa sini.”ujarnya, aku tersintak dari bengongku dan mengambilkan handuk itu lalu memberikan padanya,“Ini..’’ucapku, Aldo tersenyum mendekat merebahkan badannya diatas pahaku dan berkata.“Bantu lap-in keringatnya,”uca
POV FERIHari sudah mulai malam, namun aku belum juga melihat mobil Ina memasuki gerbang, aku cemas dan sangat mengkhawatirkannya. Jujur aku bingung kenapa setiap keputusan yang aku ambil selalu menjeratku hingga aku tak bisa berkutik seperti ini.“Mas,”rengek Rara, datang mendekat padaku aku menoleh dan menghela nafas sedikit berat.“Kamu belum tidur.”ucapku, Rara menggeleng dan mendekat padaku dengan wajah manyun gadis itu merebahkan wajahnya kedadaku yang duduk bersandar di sofa, aku hanya bisa mengelus-ngelus lembut rambutnya. Sempat terfifkir dia kenapa belum tidur juga, apa dia belum minum susu, yang aku bikin barusan.“Sayang, kamu dah minum susunya belom?’’tanyaku sedikit melihat wajahnya, dia manyun dan coba meggeleng.“Ya abis kamu belum nyamperin aku kekamar?”ujarnya“Mas kamu nunggu mba Ina ya?”tanyanya lagi“Ya iyalah aku nungguin, khawatir aja
PLAK…Tamparan tangan melayang sekeras mungkin ke pipinya, tatapan mataku terasa berkaca-kaca dan sangat kesal sekali padanya, dia menghakimi kami seolah dia yang paling suci saja, mas Feri bungkam melihat wajah kesal yang tertoreh diwajahku.“Apa hakmu menghakimiku seperti ini?”lirihku dengan air mata merintik. Mas Feri bungkam tampak ada yang sakit dalam kerongkongannya hingga bisa aku lihat, jakunnya mendegup gundah.“Bukannya seharusnya kamu pergi ya? Kamu masih disini bersama perempuan itu, sekarang mana suratnya? Apa kamu sudah tangan?”tanyaku. Mas Feri mendegup kesal saat melepas tanganku aku berdengus dan kembali beranjak pada Aldo,“Kamu gak apa kan?, ayo kita pergi.”ujarku membawa Aldo kembali ke mobil."Kamu Ikut bersamaku ya?''bisiikk Aldo beranjak masuk kemobil akupun membuntuti dan membuka pintu namun aku tersintak saat mas Feri menghardik.&ldqu
POV FERISetelah mencoba menghentikan Ina aku kembali lagi menemui Rara dirumah sakit.“Ra, Kenapa Ina bisa pergi.”tanyaku, Rara menolehku dengan wajah biasa dan sedikit mengangkat bahunya,aku berdesih dan mengusaap wajahku gundah, rencanaku gagal aku yang tadinya mau periksa kandungan Ina sekaligus melanjutkan program hamilnya jadi gagal begitu saja karna dia pergi, bagaimanapun aku masih menunggu kabar bahagia darinya aku berharap dia hamil. karna memang jika aku jujur, dia akan sangat menolak Ini, tapi malah sekarang dia pergi, kembali aku masuk kerumah sakit dan bertanya pada Rara.“Apa yang kamu katakan padanya?’’ujarku kembali Rara mencibir. Dan berkata“Abis aku kesel mas, kamu kok bisa-bisanya ngekambing hitamkan aku agar bisa bawa mba Ina untuk program. Emang kamu cuman mau anak sama mba Ina aja, sama aku gak?”tanyanya aku berdesih dan coba beranjak ke mobil. Rara membuntutiku,“Ra, kalo
POV RARAApa yang bisa aku lakukan di kliniknya dokter Bagas ini . Sudah satu jam aku duduk disini, dan tak berbuat apa-apa selain melihat Bagas, yang sibuk dengan pasiennya,“Apa aku bisa konsul sekarang?”tanyaku, Bagas tersenyum sembari menutup kembali menggapai knop pintu ruangannya yang baru saja menemui pasiennya.“Tunggu sebentar ya, Lagian kamu akan disini sampai sore, Feri bilang nitip kamu sama aku, katanya dia bakal jemput kamu sore, jadi santai aja kita punya banyak waktu.”ujarnya aku manyun dan kembali bersandar di sofa sembari mengotak atik ponselku. Menghubungi mas Feri tapi malah mas Feri meriject dan bahkan dia mematikan ponselnya,“Nitip, emangnya barang.’ujarku, Dokter Bagas tampak terkekeh, dan kembali menemui pasien di ruangan sebelah.“Is mas Feri nyebelin, banget sih.’’ Gerutuku aku menghela nafas berat, satu jam setelahnya Dokter Bagas
Mataku terbuka dan membulat saat fikiranku mengartikan sesuatu, bayangan malam-malam dengan mas Feri yang memang terkadang terasa ganjil, mataku lebih membulat hebat, akan susu yang di berikan mas Feri jika kami bersama.“Kenapa? Haruskah aku mempercayai, apa yang ada dalam fikiranku sekarang.”batinku dihati, air mataku sontak saja merintik.“Tidak, ini tidak mungkin.”gerutuku bicara dengan nanar. aku menangis dan memilih menunggu mas Feri untuk pulang.Entah berapa jam aku nanar dirumah ini, berharap mas Feri akan kembali namun sepertinya tidak mataku membulat saat mendengar suara mba Ina di garasi memarkirkan mobilnya aku mendegup dan coba berdiri, bukannya mas Feri dengan mba Ina yang ada hanya Aldo bersamnnya kedua orang itu terheran saat melihatku akupun berdiri. Nafas Aldo tampak tersengal dan berdesih,,“Kamu masih disiini?”tanyanya, aku mendegup dan melirik wajah Mba Ina yang datar.