POV FERI
Setelah mencoba menghentikan Ina aku kembali lagi menemui Rara dirumah sakit.
“Ra, Kenapa Ina bisa pergi.”tanyaku, Rara menolehku dengan wajah biasa dan sedikit mengangkat bahunya,aku berdesih dan mengusaap wajahku gundah, rencanaku gagal aku yang tadinya mau periksa kandungan Ina sekaligus melanjutkan program hamilnya jadi gagal begitu saja karna dia pergi, bagaimanapun aku masih menunggu kabar bahagia darinya aku berharap dia hamil. karna memang jika aku jujur, dia akan sangat menolak Ini, tapi malah sekarang dia pergi, kembali aku masuk kerumah sakit dan bertanya pada Rara.
“Apa yang kamu katakan padanya?’’ujarku kembali Rara mencibir. Dan berkata“Abis aku kesel mas, kamu kok bisa-bisanya ngekambing hitamkan aku agar bisa bawa mba Ina untuk program. Emang kamu cuman mau anak sama mba Ina aja, sama aku gak?”tanyanya aku berdesih dan coba beranjak ke mobil. Rara membuntutiku,
“Ra, kalo
POV RARAApa yang bisa aku lakukan di kliniknya dokter Bagas ini . Sudah satu jam aku duduk disini, dan tak berbuat apa-apa selain melihat Bagas, yang sibuk dengan pasiennya,“Apa aku bisa konsul sekarang?”tanyaku, Bagas tersenyum sembari menutup kembali menggapai knop pintu ruangannya yang baru saja menemui pasiennya.“Tunggu sebentar ya, Lagian kamu akan disini sampai sore, Feri bilang nitip kamu sama aku, katanya dia bakal jemput kamu sore, jadi santai aja kita punya banyak waktu.”ujarnya aku manyun dan kembali bersandar di sofa sembari mengotak atik ponselku. Menghubungi mas Feri tapi malah mas Feri meriject dan bahkan dia mematikan ponselnya,“Nitip, emangnya barang.’ujarku, Dokter Bagas tampak terkekeh, dan kembali menemui pasien di ruangan sebelah.“Is mas Feri nyebelin, banget sih.’’ Gerutuku aku menghela nafas berat, satu jam setelahnya Dokter Bagas
Mataku terbuka dan membulat saat fikiranku mengartikan sesuatu, bayangan malam-malam dengan mas Feri yang memang terkadang terasa ganjil, mataku lebih membulat hebat, akan susu yang di berikan mas Feri jika kami bersama.“Kenapa? Haruskah aku mempercayai, apa yang ada dalam fikiranku sekarang.”batinku dihati, air mataku sontak saja merintik.“Tidak, ini tidak mungkin.”gerutuku bicara dengan nanar. aku menangis dan memilih menunggu mas Feri untuk pulang.Entah berapa jam aku nanar dirumah ini, berharap mas Feri akan kembali namun sepertinya tidak mataku membulat saat mendengar suara mba Ina di garasi memarkirkan mobilnya aku mendegup dan coba berdiri, bukannya mas Feri dengan mba Ina yang ada hanya Aldo bersamnnya kedua orang itu terheran saat melihatku akupun berdiri. Nafas Aldo tampak tersengal dan berdesih,,“Kamu masih disiini?”tanyanya, aku mendegup dan melirik wajah Mba Ina yang datar.
Dua hari berlalu, tak bisa aku pungkiri jauh dalam lubuk hatiku aku sangat mengkhawatirkan mas Feri yang tidak ada kabar, tapi saat aku mengingat Rara mengatakan kalau dia hamil hatiku terasa hancur berkeping-keping,Tak mau selalu dalam rasa penasaran ini akhirnya aku putuskan untuk cari tau, terakhir kali mas Feri sedang tidak sehat, jika dia tidak bersama Rara lalu dia kemana, aku coba menghubunginya namun kudapati nomornya tidak aktif, tanpa pikir panjagpun aku berdiri mengambil tas dan kunci mobil. Namun aku tersintak saat mendengar ponselku berdering reflek aku menyambar dan mengangkatnya.“Ya mas? Kamu dimana?”ucapku saat menempelkan ponsel didaun telingaku.“Mas?”tanyanya, reflek aku menoleh ke laayar ponsel dan aku terkejut melihat Aldo yang telpon,“Maaf Al, aku fikir mas Feri.”ucapku terbata,“Kenapa, apa penting ya kalau ada telfon dari Feri,” aku menggigit bibir bawah dan bing
Aldo berdesih tampak sulit untuk menggetarkkan bibirnya hanya ada gundah yang tampak menyelimuti matanya , dia tertunduk dengan mengusap berkali-kali wajah hingga mulutnya , sedikit dia hela nafas dan menjauh dariku. Ia menghenyak di sofa dan kembali menoleh padaku.“Sekarang apa rencanamu?”tanyanya aku mendegup. Pertanyaan itu terdengar menyudutkan tadinya aku berfikir Aldo akan menerima anak ini dan aku rasa tidak. Walaupun dia inginpun aku juga tak bisa meneruskan hubungan ini.“Aku tidak bisa meneruskan rencana kita.”ucapku. Aldo mendegup dan berdesih“Aku tidak bisa, membebankan ini padamu Aldo. Maaf, rencana pernikahan kita lupakan saja.”ujarku. Kembali, pria itu berdesih menyibak belahan rambutnya, dia tampak pusing.“Tapi Ina, aku udah terlanjur bilang sama papa kalo aku, akan menikah.’ujarnya. aku mendegup dan tertunduk.“lupakan saja Aldo.”tegasku 
POV FERI“Ya udah kamu tidur ya ini sudah malam,”ujarku, Rara tersenyum dan sedikit beringsut mendekat. Aku diam saat dia mengelus pipiku lembut.“Mas, selama kita menikah,Gimana kesannya kamu bermalam denganku.”ujarnya, sedikit aku menautkan alis dan berkata,“Humm.. ya gimana ya, ya biasa aja sih, nikmat.”bisikku dengan sedikit memainkan wajah, Rara mendekat dan coba mengecup bibirku dan sama seperti sebelumnya aku masih diam.“Rara terlalu terbuai, atau gimana ya mas, kok Rara gak ingat?’’ujarnya sedikit aku garuk tengkukku dan berkata.“Masa sih.. ngawur kamu.”ujarku, kembali wanita itu mengendus leherku yang membuat aku bergidik sedikit aku hela nafas sedikit dalam dan membuangnya pelan,“Ra, aku capek. Kamu tidur ya. Beneran deh mas gak mood banget sekarang,”ujarku dia tampak kesal mendorong hingga naik keatas badanku, sedikit ritme nafasku tak beraturan saat
POV FERI“Ina bangun sayang.”bisikku mengenggam tangan Ina, istriku itu terbaring pucat tak sadarkan diri, aku terus saja merintikkan air mata karna tak sanggup menerima kenyataan ini.“Anakku..’’teriak Ina yang tiba-tiba sadar dan menangis histeris reflek aku memeluk dan coba menenangkan.‘’Tenang, sayang.”lirihku.“Mas, bagaimana dengan anak kita?’’tangisnya, aku menghela nafas sesak dan coba menatap mata istriku itu dalam. Aku bingung bagaimana katakanya, harapan kami yang besar sebelumya harus pupus, tak tega hatiku melihat wajah Ina yang tampak menunggu jawaban dariku.“Kamu…, yang sabar ya.”lirihku terbata dahi Ina berkerut dan reflek merintikkan air matanya yang menghujan.“Gak… kamu bilang apa sih mas, tolong yang jelas. Janinku baik-baik saja kan hiks?”tangisnya menangis sesegukan, aku miris dan hanya bisa memeluk Ina erat. Janinn
Hari berlalu perlahan Ina sudah mulai membaik, dia sudah bisa melewati masa-masa kritisnya, namun sekaranng dia kembali murung dan menyendiri.“Ina,, masuk yuk, nanti kamu bisa masuk angin kalau duduk disini.’’ujarku menghampirinya yang duduk diatas ayunan dibalkon kamar kami ini.“Ina mau disini dulu mas,”lirihnya, aku mendekat dan merangkulnya.“Tapi ini sudah malam sayang?”ucapku lagi, dia tampak sedikit berdengus dan berkata.“Ya udah,”ujarnya, aku menuntunnya untuk masuk.“Kamu istirahat ya, Ina butuh apa? Biar mas ambilkan.”dia menggeleng perlahan dengan melihat wajahku dalam, aku mengelus pipinya hingga membelai rambutnya,“Taka pa sayang, kehilangan itu juga bagian dari hidup. Kamu gak boleh kayak gini, kita pasti bakal punya anak lagi nanti”ujarku, Rara mendegup dengan tatapan mata berkaca-kaca.“Apa kemungkinan yang lainnya mas tentang hidup,
POV ALDOPagi ini aku bersiap berangkat kantor dan harus menjalaani pekerjaanku secara professional aku sudah terlanjur bekerja sama dengan perusahaan Ina production. Benar kata papa perusahaan ini harus aku kembangkan dengan baik, walau awalnya aku mau menjalaninya tak lain hanya karna aku ingin masuk kedalam kehidupan mereka, tapi malah sekarang aku yang terasa terasuki akan mba Ina jadi akun harus perbaiku satu persatu msalahku. karna faktanya di marahin papa itu lebih serem dari apapun, di atas ranjangku aku terdiam sejenak melihat kalung mba Ina yang ketinggalan dalam saku jasku tersimpan dalam dompet mini setelan gaunnya waktu itu. Aku terfikir tentang cincin yang aku beri akankah dia masih memakainya, lalu kenapa dia melepas kalung ini, kalung yang katanya hadiah pernikahannya bersama Feri, aku berdiri hendak pergi sembari memasukkan kalung itu ke dalam saku jasku.Tuuuuut Tuuuut…Bunyi panggilan tersambung pada asistenku. Tak butuh waktu
POV AZZAM“ Pihak Shanum sama sekali tidak mengubris.” Ucap Naira melempar ponselnya ke atas ranjang, sejenak aku abaikan itu dan mencari pakaianku di lemari. Naira terus saja mendumel.“Udah ya Nai, jangan terlalu di pikirkan, ngabisin tenaga tau lebih baik kita bahas yang lain.’’“Tapi Kak,kayaknya kakak itu jauh lebih santai menghadapi ini?’’ Ucapnya tak habis pikir, sedikit aku menoleh pada Naira dan mengenakan piyama tidur.“Ya ampun Nai, kamu juga ngapain terlalu di pikirin? Lagi pula ini bisa di selesaikan, tanpa harus kamu buang-buang tenaga, karna kan kenyataannya, bayi itu bukan tanggung jawabku.’’ Geramku tak habis pikir, Naira terdiam sejenak dan tertunduk dengan manyun, aku menghela nafas panjang dan membuangnya, melihat istriku terdiam begitu aku mendekat padanya dan duduk di sampingnya.“Aku ak
POV INA.“Papa…,” panggilku saat mencari mas Feri di kamar, karna sibuk dengan urusan rumah, aku jadi sedikit mengabaikannya, aku melihat berkas dan laptop mas Feri di atas kasur namun bunyi mobilnya terdengar melaju keluar pagar.“Loh mas Feri mau kemana?’’ bisikku membuka jendela aku menoleh ke barang-barangnya di kasur mendekat dan menghenyak di kasur,“Mungkin mas Feri keluar sebentar, kalau ke kantor gak mungkin dia tinggalkan barang-barangnya.” Bisikku, aku memeriksa tas dan dan dompetnya, sedikit aku menautkan alis melihat ada kartu nama dokter spesialis,“Mas Feri, konsul pada dokter spesialis penyakit dalam buat apa?’’ bisikku coba mengotak atik semua berkas dan tasnya, namun aku tidak temukan apa-apa selain kartu nama itu, aku mulai cemas dan coba menghubunginya.Tuuuuuuut…..Panggilan itu tersambung dan
POV AZZAM.Ting nong…Bunyi bel bergema, Aku yang tengah menunggu Naira di ruang keluarga itu sedikit beringsut dan menoleh kea rah pintu, bisa aku lihat Art bergegas membukakan pintu. Aku juga menyusul karna aku tau itu papa, mama dan yang lainnya.“Siang papa..” sambutku pada keluargaku, dengan girang dua adik gadisku mengejar, akupun bersimpuh mendekap keduannya, mungkin mereka sangat merindukannku karna sudah beberapa minggu tidak bertemu.“Bang Azzam, Tata sangat merindukan bang Azzam.’’ Ucap bibir mungil salah satu dari mereka. Aku tersenyum manis dan mengacak rambut keduanya.“Abang Azzam, juga sangat merindukan kalian.”“Papa mama, ayo semua masuk.” Ajak Naira yang telaah turun dari kamarnya, aku berdiri dan mengajak mama masuk.“Ayo pa..”
POV RARA.Dengan langkah gontai aku temui mas Bagas di kliniknya, semenjak pertikaian itu dia tidak pernnah menemuiku kerumah tidak mau bicara denganku atau bahkan mengusirku, langkahku terhenti saat mendengar chanel televise yang di tonton mas Bagas adalah berita terbaru tentang Shanum, tampak media mengkrumini apartemen anakku itu, aku mendegup dan berniat hendak kembali mas Bagas pasti tidak senang dengan berita ini.“Kamu lihat, anak yang besar karna asuhanmu.”ucapnya tanpa menoleh akupun menghentikan langkahku dan menoleh padanya.“Dia hanya bisa buat malu keluarga.”geramnya, aku menghela nafas dan bersiap hendak pergi lagi, mengajak bicara mas Bagas dalam kondisi seperti ini juga tampaknya sia-sia lebih baik aku pergi sekarang.“ Kamu mau kemana?” cegatnya, langkahku kembali terhenti dan enggan menoleh.“
POV INA.Aku sangat di buat sibuk dengan acara yang akan mendatang, tapi tak mengapa demi Azzura aku harus lakukan semua ini, pesta pernikahan yang terbaik yang sesuai dengan impiannya."Mama sayang, mama dari mana sih."sambut putriku itu mendekap dan mencium pipi, sedikit aku berdengus dan tersenyum hangat."Mama habis dari gedung, dan kamu tau semua gedung itu bagus-bagus, mama jadi bingung mau sewa yang mana." ucapku, Zura sedikit manyun dan menghenyak di sofa."Kok mama gak ngajak?" aku menggeleng dan ikut juga menghenyak."Memang harus ya bawa kamu?""Ya iyalah, oh iya, mama tadi kekantor papa, papa mana?" tanyaku, aku sedikit melapas blezer dan meletakkan tas. 'papa lagi sibuk jadi mama pulang duluan oh iya, aanak-anak mana. Mama capek mau langsung istiraahat.""Ya udah mama istirahat aja, ma kalau baju pengantinyaya boleh gak Zura aja yang pilih bareng Vano?"tanya anakku, aku te
POV AZZAMPagi hari ini, kami tegah bersantai di ruang keluarga, selain menghibur mbak natsya yang tengah bersedih karna pengkhianatan Arga, Naira juga sedikit kurang enak badan, dan aku tak bisa kekantor melihat kondisinya."Selamat siang tuan nyonya." ucap Art, kemi semua menoleh."Ya ijah?""Itu nyonya, aden Arga pulang, dan dia-"ucapan Inem berhenti karna mbak Natsya berdiri, Naira yang tiduran di pahaku dari tadi juga beringsut untuk duduk"Apa mas Arga, membawa wanita itu?"bisiknya aku juga penasaran dan menoleh ke pintu, papa dan mama mertua juga tampak menyimak, hingga tak butuh waktu lama mereka bertiga masuk, dan tentunya bersama Shanum. Aku mendegup. Naira menggertakkan rahangnya dan berdiri, namun aku cegat dengan mencengkram lengannya."Sayang, jangan. Kita cukup nyimak saja."bisikku."Berani sekali dia, d
POV NAIRA.Kak Azzam tega sekali padaku, dia menyalahkan sikapku dan memperdulikan Shanum. Apa aku salah kalau aku menamparnya,“Ah sudahlah, aku bisa setres. Lebih baik sekarang aku temui mbak Natsya dulu di kamar.”bisikku sembari berjalan kekamar mbak natsya walau kesal dengan tingak dua pria dirumah ini yakni kak Azzam dan mas Arga, aku harus kasih perhatian pada mbakku, bagaimanapun sekarang dia sangat terpuruk sekali“Mbak….,’’ panggilku saat sudah sampai di pintu kamarnya, sedikit aku terheran karna kamarnya sunyi, aku mengerinyitkan dahi dan coba berfikir.“Apa mbak Nats, menemui mas Arga sekarang?”bisikku, aku membalik bergegas menuruni anak tangga dan berpapasan dengan papa dan mama di bawah.“Nai, kamu bukannya baru pulang ya kok pergi lagi?” tanya mama, aku sedikit menghela nafas dan berkata.
POV RARA.Sudah lelah aku mencari Shanum kemanapun, semalam dia pergi dari rumah karna marah padaku dan sekarang ini sudah hendak malam lagi,, nomornya belum lagi aktif aku sangat bingung sekali. Mana sekarang papinya sudah tidak peduli lagi padanya aku harus cari anakku kemana bahkan aku gak tau sekarang dia diimana, terkahir yang aku tau dia dekat dengan seorang pengusaha iparnya nya Azzam, mungkin aku bisa menghubungi Azzam?“Semoga saja aku masih punya kontaknya.”bisikku mengotak atik ponsel, namun aku kesal karna aku tidak punya kontak Azzam selain mas Feri.“Apa aku hubungi mas Feri? Tapikan nanti aku tanya apa? Mungkin aku bisa tanyakan nomor Azzam? Tapi apa nanti aku tidak dianggap sok akrab? Ah sialan sekali..”gerutuku sendiri akhirnya dengan ragu aku menghubungi juga nomor iitu.Tuuuuuuut.Aku gemetar saat panggilan itu tersambung
POV INA.Bahagia tak terhingga saat mas Feri rangkul dan peluk aku, menyaksikan kebahagian putrinya setelah sekian lama ia tampak merelakan Zura dengan orang yang tepat.“Akhirnya Zura menemukan seseorang yang sangat mencintainya,”lirihnya, bisa aku lihat ada yang terbendung di sudut matanya, aku terharu bersandar di bahu bidang suamiku itu.“Semoga selamanya kita akan tetap dapatkan kebahagiaan, jangan ada kesedihan lagi pah.”lirihku, mas Feri mengusap kepalaku dan mengecup keningku.“Hidup akan terus berjalan mama, suka duka itu pasti ada, hanya saja bagaimana kita menghadapinya.’’tuturnya aku tersenyum simpul dan berkata.“Dan aku ingin menjalani suka duka itu bersama Papa selamanya.’’ujarku mas Feri terkekeh kembali mendekapku erat.“Jangan manja, kamu ini tidak muda lagi. coba biasakan tanpa diriku.&rsq