POV RARA
Apa yang bisa aku lakukan di kliniknya dokter Bagas ini . Sudah satu jam aku duduk disini, dan tak berbuat apa-apa selain melihat Bagas, yang sibuk dengan pasiennya,
“Apa aku bisa konsul sekarang?”tanyaku, Bagas tersenyum sembari menutup kembali menggapai knop pintu ruangannya yang baru saja menemui pasiennya.
“Tunggu sebentar ya, Lagian kamu akan disini sampai sore, Feri bilang nitip kamu sama aku, katanya dia bakal jemput kamu sore, jadi santai aja kita punya banyak waktu.”ujarnya aku manyun dan kembali bersandar di sofa sembari mengotak atik ponselku. Menghubungi mas Feri tapi malah mas Feri meriject dan bahkan dia mematikan ponselnya,“Nitip, emangnya barang.’ujarku, Dokter Bagas tampak terkekeh, dan kembali menemui pasien di ruangan sebelah.
“Is mas Feri nyebelin, banget sih.’’ Gerutuku aku menghela nafas berat, satu jam setelahnya Dokter BagasMataku terbuka dan membulat saat fikiranku mengartikan sesuatu, bayangan malam-malam dengan mas Feri yang memang terkadang terasa ganjil, mataku lebih membulat hebat, akan susu yang di berikan mas Feri jika kami bersama.“Kenapa? Haruskah aku mempercayai, apa yang ada dalam fikiranku sekarang.”batinku dihati, air mataku sontak saja merintik.“Tidak, ini tidak mungkin.”gerutuku bicara dengan nanar. aku menangis dan memilih menunggu mas Feri untuk pulang.Entah berapa jam aku nanar dirumah ini, berharap mas Feri akan kembali namun sepertinya tidak mataku membulat saat mendengar suara mba Ina di garasi memarkirkan mobilnya aku mendegup dan coba berdiri, bukannya mas Feri dengan mba Ina yang ada hanya Aldo bersamnnya kedua orang itu terheran saat melihatku akupun berdiri. Nafas Aldo tampak tersengal dan berdesih,,“Kamu masih disiini?”tanyanya, aku mendegup dan melirik wajah Mba Ina yang datar.
Dua hari berlalu, tak bisa aku pungkiri jauh dalam lubuk hatiku aku sangat mengkhawatirkan mas Feri yang tidak ada kabar, tapi saat aku mengingat Rara mengatakan kalau dia hamil hatiku terasa hancur berkeping-keping,Tak mau selalu dalam rasa penasaran ini akhirnya aku putuskan untuk cari tau, terakhir kali mas Feri sedang tidak sehat, jika dia tidak bersama Rara lalu dia kemana, aku coba menghubunginya namun kudapati nomornya tidak aktif, tanpa pikir panjagpun aku berdiri mengambil tas dan kunci mobil. Namun aku tersintak saat mendengar ponselku berdering reflek aku menyambar dan mengangkatnya.“Ya mas? Kamu dimana?”ucapku saat menempelkan ponsel didaun telingaku.“Mas?”tanyanya, reflek aku menoleh ke laayar ponsel dan aku terkejut melihat Aldo yang telpon,“Maaf Al, aku fikir mas Feri.”ucapku terbata,“Kenapa, apa penting ya kalau ada telfon dari Feri,” aku menggigit bibir bawah dan bing
Aldo berdesih tampak sulit untuk menggetarkkan bibirnya hanya ada gundah yang tampak menyelimuti matanya , dia tertunduk dengan mengusap berkali-kali wajah hingga mulutnya , sedikit dia hela nafas dan menjauh dariku. Ia menghenyak di sofa dan kembali menoleh padaku.“Sekarang apa rencanamu?”tanyanya aku mendegup. Pertanyaan itu terdengar menyudutkan tadinya aku berfikir Aldo akan menerima anak ini dan aku rasa tidak. Walaupun dia inginpun aku juga tak bisa meneruskan hubungan ini.“Aku tidak bisa meneruskan rencana kita.”ucapku. Aldo mendegup dan berdesih“Aku tidak bisa, membebankan ini padamu Aldo. Maaf, rencana pernikahan kita lupakan saja.”ujarku. Kembali, pria itu berdesih menyibak belahan rambutnya, dia tampak pusing.“Tapi Ina, aku udah terlanjur bilang sama papa kalo aku, akan menikah.’ujarnya. aku mendegup dan tertunduk.“lupakan saja Aldo.”tegasku 
POV FERI“Ya udah kamu tidur ya ini sudah malam,”ujarku, Rara tersenyum dan sedikit beringsut mendekat. Aku diam saat dia mengelus pipiku lembut.“Mas, selama kita menikah,Gimana kesannya kamu bermalam denganku.”ujarnya, sedikit aku menautkan alis dan berkata,“Humm.. ya gimana ya, ya biasa aja sih, nikmat.”bisikku dengan sedikit memainkan wajah, Rara mendekat dan coba mengecup bibirku dan sama seperti sebelumnya aku masih diam.“Rara terlalu terbuai, atau gimana ya mas, kok Rara gak ingat?’’ujarnya sedikit aku garuk tengkukku dan berkata.“Masa sih.. ngawur kamu.”ujarku, kembali wanita itu mengendus leherku yang membuat aku bergidik sedikit aku hela nafas sedikit dalam dan membuangnya pelan,“Ra, aku capek. Kamu tidur ya. Beneran deh mas gak mood banget sekarang,”ujarku dia tampak kesal mendorong hingga naik keatas badanku, sedikit ritme nafasku tak beraturan saat
POV FERI“Ina bangun sayang.”bisikku mengenggam tangan Ina, istriku itu terbaring pucat tak sadarkan diri, aku terus saja merintikkan air mata karna tak sanggup menerima kenyataan ini.“Anakku..’’teriak Ina yang tiba-tiba sadar dan menangis histeris reflek aku memeluk dan coba menenangkan.‘’Tenang, sayang.”lirihku.“Mas, bagaimana dengan anak kita?’’tangisnya, aku menghela nafas sesak dan coba menatap mata istriku itu dalam. Aku bingung bagaimana katakanya, harapan kami yang besar sebelumya harus pupus, tak tega hatiku melihat wajah Ina yang tampak menunggu jawaban dariku.“Kamu…, yang sabar ya.”lirihku terbata dahi Ina berkerut dan reflek merintikkan air matanya yang menghujan.“Gak… kamu bilang apa sih mas, tolong yang jelas. Janinku baik-baik saja kan hiks?”tangisnya menangis sesegukan, aku miris dan hanya bisa memeluk Ina erat. Janinn
Hari berlalu perlahan Ina sudah mulai membaik, dia sudah bisa melewati masa-masa kritisnya, namun sekaranng dia kembali murung dan menyendiri.“Ina,, masuk yuk, nanti kamu bisa masuk angin kalau duduk disini.’’ujarku menghampirinya yang duduk diatas ayunan dibalkon kamar kami ini.“Ina mau disini dulu mas,”lirihnya, aku mendekat dan merangkulnya.“Tapi ini sudah malam sayang?”ucapku lagi, dia tampak sedikit berdengus dan berkata.“Ya udah,”ujarnya, aku menuntunnya untuk masuk.“Kamu istirahat ya, Ina butuh apa? Biar mas ambilkan.”dia menggeleng perlahan dengan melihat wajahku dalam, aku mengelus pipinya hingga membelai rambutnya,“Taka pa sayang, kehilangan itu juga bagian dari hidup. Kamu gak boleh kayak gini, kita pasti bakal punya anak lagi nanti”ujarku, Rara mendegup dengan tatapan mata berkaca-kaca.“Apa kemungkinan yang lainnya mas tentang hidup,
POV ALDOPagi ini aku bersiap berangkat kantor dan harus menjalaani pekerjaanku secara professional aku sudah terlanjur bekerja sama dengan perusahaan Ina production. Benar kata papa perusahaan ini harus aku kembangkan dengan baik, walau awalnya aku mau menjalaninya tak lain hanya karna aku ingin masuk kedalam kehidupan mereka, tapi malah sekarang aku yang terasa terasuki akan mba Ina jadi akun harus perbaiku satu persatu msalahku. karna faktanya di marahin papa itu lebih serem dari apapun, di atas ranjangku aku terdiam sejenak melihat kalung mba Ina yang ketinggalan dalam saku jasku tersimpan dalam dompet mini setelan gaunnya waktu itu. Aku terfikir tentang cincin yang aku beri akankah dia masih memakainya, lalu kenapa dia melepas kalung ini, kalung yang katanya hadiah pernikahannya bersama Feri, aku berdiri hendak pergi sembari memasukkan kalung itu ke dalam saku jasku.Tuuuuut Tuuuut…Bunyi panggilan tersambung pada asistenku. Tak butuh waktu
“Ini apa sayang? Kenapa kamu masih memakai cincin ini?’ujarnya aku bungkam dan gemetar, perlahan aku elus leherku taka da kalung pemberian mas Feri dan sialnya aku lupa tarok dimana, malah cincin Aldo aku pakai. Tanpa menjawab sepatah katapun aku mengibas tanganku dan berlalu pergi,Aku tidak banyak bicara bicara setelah kejadian tadi, sepanjang jalan aku kalud entah bagaimana caranya agar tidak terbawa perasaan saat bersama Aldo,“Ina kamu kenapa?”Tanya mas Feri yang tengah fokus menyetiir mobil melaju hendak pulang. Aku menoleh dan sedikit menyunggingkan senyum pada mas Feri.“Ina rasanya gak enak badan aja mas.”ujarku lirih. Mas Feri mengelus pipiku sedikit dan berkata.“Ya udah kamu sabar ya, sebentar lagi akan kita istirahat.”ujarnya aku mengangguk dengan senyumSesampai dirumah, aku langsung merogoh semua tasku dan laci untuk mencari sesuatu aku coba ingat lagi waktu