Aldo berdesih tampak sulit untuk menggetarkkan bibirnya hanya ada gundah yang tampak menyelimuti matanya , dia tertunduk dengan mengusap berkali-kali wajah hingga mulutnya , sedikit dia hela nafas dan menjauh dariku. Ia menghenyak di sofa dan kembali menoleh padaku.
“Sekarang apa rencanamu?”tanyanya aku mendegup. Pertanyaan itu terdengar menyudutkan tadinya aku berfikir Aldo akan menerima anak ini dan aku rasa tidak. Walaupun dia inginpun aku juga tak bisa meneruskan hubungan ini.
“Aku tidak bisa meneruskan rencana kita.”ucapku. Aldo mendegup dan berdesih
“Aku tidak bisa, membebankan ini padamu Aldo. Maaf, rencana pernikahan kita lupakan saja.”ujarku. Kembali, pria itu berdesih menyibak belahan rambutnya, dia tampak pusing.“Tapi Ina, aku udah terlanjur bilang sama papa kalo aku, akan menikah.’ujarnya. aku mendegup dan tertunduk.
“lupakan saja Aldo.”tegasku
 POV FERI“Ya udah kamu tidur ya ini sudah malam,”ujarku, Rara tersenyum dan sedikit beringsut mendekat. Aku diam saat dia mengelus pipiku lembut.“Mas, selama kita menikah,Gimana kesannya kamu bermalam denganku.”ujarnya, sedikit aku menautkan alis dan berkata,“Humm.. ya gimana ya, ya biasa aja sih, nikmat.”bisikku dengan sedikit memainkan wajah, Rara mendekat dan coba mengecup bibirku dan sama seperti sebelumnya aku masih diam.“Rara terlalu terbuai, atau gimana ya mas, kok Rara gak ingat?’’ujarnya sedikit aku garuk tengkukku dan berkata.“Masa sih.. ngawur kamu.”ujarku, kembali wanita itu mengendus leherku yang membuat aku bergidik sedikit aku hela nafas sedikit dalam dan membuangnya pelan,“Ra, aku capek. Kamu tidur ya. Beneran deh mas gak mood banget sekarang,”ujarku dia tampak kesal mendorong hingga naik keatas badanku, sedikit ritme nafasku tak beraturan saat
POV FERI“Ina bangun sayang.”bisikku mengenggam tangan Ina, istriku itu terbaring pucat tak sadarkan diri, aku terus saja merintikkan air mata karna tak sanggup menerima kenyataan ini.“Anakku..’’teriak Ina yang tiba-tiba sadar dan menangis histeris reflek aku memeluk dan coba menenangkan.‘’Tenang, sayang.”lirihku.“Mas, bagaimana dengan anak kita?’’tangisnya, aku menghela nafas sesak dan coba menatap mata istriku itu dalam. Aku bingung bagaimana katakanya, harapan kami yang besar sebelumya harus pupus, tak tega hatiku melihat wajah Ina yang tampak menunggu jawaban dariku.“Kamu…, yang sabar ya.”lirihku terbata dahi Ina berkerut dan reflek merintikkan air matanya yang menghujan.“Gak… kamu bilang apa sih mas, tolong yang jelas. Janinku baik-baik saja kan hiks?”tangisnya menangis sesegukan, aku miris dan hanya bisa memeluk Ina erat. Janinn
Hari berlalu perlahan Ina sudah mulai membaik, dia sudah bisa melewati masa-masa kritisnya, namun sekaranng dia kembali murung dan menyendiri.“Ina,, masuk yuk, nanti kamu bisa masuk angin kalau duduk disini.’’ujarku menghampirinya yang duduk diatas ayunan dibalkon kamar kami ini.“Ina mau disini dulu mas,”lirihnya, aku mendekat dan merangkulnya.“Tapi ini sudah malam sayang?”ucapku lagi, dia tampak sedikit berdengus dan berkata.“Ya udah,”ujarnya, aku menuntunnya untuk masuk.“Kamu istirahat ya, Ina butuh apa? Biar mas ambilkan.”dia menggeleng perlahan dengan melihat wajahku dalam, aku mengelus pipinya hingga membelai rambutnya,“Taka pa sayang, kehilangan itu juga bagian dari hidup. Kamu gak boleh kayak gini, kita pasti bakal punya anak lagi nanti”ujarku, Rara mendegup dengan tatapan mata berkaca-kaca.“Apa kemungkinan yang lainnya mas tentang hidup,
POV ALDOPagi ini aku bersiap berangkat kantor dan harus menjalaani pekerjaanku secara professional aku sudah terlanjur bekerja sama dengan perusahaan Ina production. Benar kata papa perusahaan ini harus aku kembangkan dengan baik, walau awalnya aku mau menjalaninya tak lain hanya karna aku ingin masuk kedalam kehidupan mereka, tapi malah sekarang aku yang terasa terasuki akan mba Ina jadi akun harus perbaiku satu persatu msalahku. karna faktanya di marahin papa itu lebih serem dari apapun, di atas ranjangku aku terdiam sejenak melihat kalung mba Ina yang ketinggalan dalam saku jasku tersimpan dalam dompet mini setelan gaunnya waktu itu. Aku terfikir tentang cincin yang aku beri akankah dia masih memakainya, lalu kenapa dia melepas kalung ini, kalung yang katanya hadiah pernikahannya bersama Feri, aku berdiri hendak pergi sembari memasukkan kalung itu ke dalam saku jasku.Tuuuuut Tuuuut…Bunyi panggilan tersambung pada asistenku. Tak butuh waktu
“Ini apa sayang? Kenapa kamu masih memakai cincin ini?’ujarnya aku bungkam dan gemetar, perlahan aku elus leherku taka da kalung pemberian mas Feri dan sialnya aku lupa tarok dimana, malah cincin Aldo aku pakai. Tanpa menjawab sepatah katapun aku mengibas tanganku dan berlalu pergi,Aku tidak banyak bicara bicara setelah kejadian tadi, sepanjang jalan aku kalud entah bagaimana caranya agar tidak terbawa perasaan saat bersama Aldo,“Ina kamu kenapa?”Tanya mas Feri yang tengah fokus menyetiir mobil melaju hendak pulang. Aku menoleh dan sedikit menyunggingkan senyum pada mas Feri.“Ina rasanya gak enak badan aja mas.”ujarku lirih. Mas Feri mengelus pipiku sedikit dan berkata.“Ya udah kamu sabar ya, sebentar lagi akan kita istirahat.”ujarnya aku mengangguk dengan senyumSesampai dirumah, aku langsung merogoh semua tasku dan laci untuk mencari sesuatu aku coba ingat lagi waktu
“Katakan sayang? Apa kamu mencintainya?”Ina tampak tertunduk dengan meremas tanganku erat,, sedikit aku lirik jari manisnya yang tlah di hiasi cincin mahal berpermatakan berlian itu.“Aldo sudah melamarmu kah?”tanyaku, Ina mendegup dan coba menghela nafas untuk bicara.“Aku tidak yakin dengan perasaanku waktu itu, yang jelas, aku nyaman bersamanya, aku berharap itu tidak cinta.”ucapnya, aku menatap lekat wajahnya dengan seksama.“Benarkah hanya sebatas itu?”tanyaku, Inan menghapus air matanya dan mengangguk pasti. Nafasku tersengal dan coba teringat sesuatu yang mengganjal lagi di hatiku. Karna memaang Aku pernah melihat secara langsung bahwa Ina sangat nyaman di cumbui Aldo. Walau hatiku tersayat, aku kembali tegar dan bertanya.“Sudah berapa jauh, hubungan itu..”lirihku menatap matanya, mata Ina sayu tak sanggup untuk menatap mataku dia menggeleng pelan, namun aku mengar
Diatas mobil aku kacau dan pusing sekali entah apa yang membuat pikiranku jadi runyam begini ,ini benar-benar menyedihkan, apa aku akan hidup dalam rasa bersalah ini selaamanya, bagaimana caranya aku mengusir seluruh keresahan ini, aku bahkan tak punya tempat untuk berkeluh kesah sekarang, dan bahkan tidak bisa manangis dalam pelukan mas Feri atas kesalahanku ini.“sepertinya aku telah membayar kesalahanku sendiri untuk keputusanku di awal dulu,”bisikku menyibak belahan rambutku gundah sembari menyetir mobil menuju pulang, namun sebelum itu aku singgah dulu di mall untuk membeli beberapa kebutuhan sebelum pulang, aku sangat setres mungkin sedikit belanja bisa menghibur diriku,Aku masuk kedalam mall dan langsung mencari barang-barang yang aku butuhkan setelah semua selesai aku menjinjing barang belanjaan keluar, melangkah pasti namun aku terkejut di cegat oleh seseorang wanita paruh baya, yang tampak lusuh, wajahya pucat dan keriput, matanya
POV FERIEntah berapa lama aku tertidur diatas sofa ini, saat aku bangun, kudapati Ina sedang tertidur didadaku, sedikit aku elus pipinya dan beringsut duduk.“Sayang, ini sudah sore,kamu ikutan tidur juga disini. Gimana makananya”lirihku mengelus pipinya, Ina terbangun dan sedikit beriyak melihat wajahku dengan senyum.“Abis kamu tidurnya nyenyak banget sih mas, aku gak tega banguninya,”rengeknya dengan sedikit mannyun, aku menggeleng dengan mencubit pipinya,“Eh kok bisa gitu? Keburu dingin donk makanannya”geramku, Ina terkekeh,“Ya udah di panasin lagi ayok.”titahnya, menarik lenganku, aku mengikuti langkahnya kemeja makan. Dan menunggu Ina memanaskan sebentar makanannya, kami mulai menyantap hidangan itu dengan riang hati hingga, aku gagal fokus sama cincin di tangan Ina.“Kamu masih pake cincinya?”tanyaku, sejenak Ina diam dan melirik jemarinya. Ia menghela nafas berat da