POV ALDO.
Pagi ini aku sangat bersemangat sekali untuk menemui mba Ina, karna setelah ngantor rencananya aku mau ngajak dia ke studio, beruntung sekarang papa lagi keluar negri jadi aku bebas, buat kemana-mana sekarang, dengan semangatnya dan hati yang girang aku menghidupkan klakson mobil. Di depan rumahnya, tak lama setelahnya mba Ina keluar dan aku turun menyambutnya datang, bisa aku lihat dia belum rapi dengan baju kantor. Baju yang di kenakannya simple tapi masih tetep keliatan manis. Entahlah sepertinya sekarang aku sangat menyukai mba Ina. Apapun dan bagaimanapun keadaanya dia sangat terlihat menarik.
“Mba, kok belum rapi, kita akan kekantor dan sesuai janji. Sore ini kita akan kestudio.”ujarku. mba Ina tampak mendekat dan melirik ke garasi.
“Kamu lihat, mobilnya mas Feri di garasi?’ucapnya pelan, aku menoleh sebentar dan kembali melihat wajahnya, apa mba Ina fikir aku takut dengan suaminya.
“Trus kenapa mb
Sudah dua hari mas Feri tidak datangi Rara, Walau bisa aku lihat dia sudah berangsur pulih, tapii tampaknya dia masih ingin istirahat.“Mas aku harus kekantor, kamu gak apa kan tinggal dirumah, Ina dah masak kalo mas lapar turun aja kebawah.”ujarku, Mas Feri tampak mengangguk. Dia berdiri hendak kekamar mandi“Mas mau mandi, apa? air hangatnya udah siap?”tanyanya, aku mengangguk“Udah mas,”Dan disaat mas Feri di kamar mandi aku mengemasi barang-barangku untuk berangkat, namun gerakku terhenti saat ponsel mas Feri berdering, reflek aku angkat tanpa bicara.“Mas, ini sudah dua hari, kamu gak pulang kesini. Pulang ya mas, Rara nungguin.”ujar Rara, aku diam tak menyahut kata-katanya“Mas, kamu denger aku kan? Mba Ina gak akan segampang itu, memberikan bagian kamu mas. Kamu pulang ya. Kita pikirkan cara lain.”ujarnya, aku mendegup dan meremas ponsel itu dengan air mata merinti
Dua jam kemudian setelah permaian futsal berjalan di babak pertama, aku sangat bersemangat dan terhibur sekali karna Aldo sangat ahli dan pintar mencetak gawang hingga pertandingan itu sengit. Permainan itu berakhir pada skor 02 Gol dan nol untuk lawan main Aldo, bocah itu tampak girang mendekat padaku dengan berlari-lari kecil berkeringat banyak mengucuri wajah hingga lehernya.“Keren kan beb, aku cetak dua gol,”“Iya semangat,”ucapku mengambilkan air minum Aldo duduk bersandar di sampingku dan langsung meneguk habis setengah isi botol.“Handuknya sayang..”ujarnya aku terdiam mendengar Aldo memanggilku dengan sebutan sayang.“Iiih, handuknya bawa sini.”ujarnya, aku tersintak dari bengongku dan mengambilkan handuk itu lalu memberikan padanya,“Ini..’’ucapku, Aldo tersenyum mendekat merebahkan badannya diatas pahaku dan berkata.“Bantu lap-in keringatnya,”uca
POV FERIHari sudah mulai malam, namun aku belum juga melihat mobil Ina memasuki gerbang, aku cemas dan sangat mengkhawatirkannya. Jujur aku bingung kenapa setiap keputusan yang aku ambil selalu menjeratku hingga aku tak bisa berkutik seperti ini.“Mas,”rengek Rara, datang mendekat padaku aku menoleh dan menghela nafas sedikit berat.“Kamu belum tidur.”ucapku, Rara menggeleng dan mendekat padaku dengan wajah manyun gadis itu merebahkan wajahnya kedadaku yang duduk bersandar di sofa, aku hanya bisa mengelus-ngelus lembut rambutnya. Sempat terfifkir dia kenapa belum tidur juga, apa dia belum minum susu, yang aku bikin barusan.“Sayang, kamu dah minum susunya belom?’’tanyaku sedikit melihat wajahnya, dia manyun dan coba meggeleng.“Ya abis kamu belum nyamperin aku kekamar?”ujarnya“Mas kamu nunggu mba Ina ya?”tanyanya lagi“Ya iyalah aku nungguin, khawatir aja
PLAK…Tamparan tangan melayang sekeras mungkin ke pipinya, tatapan mataku terasa berkaca-kaca dan sangat kesal sekali padanya, dia menghakimi kami seolah dia yang paling suci saja, mas Feri bungkam melihat wajah kesal yang tertoreh diwajahku.“Apa hakmu menghakimiku seperti ini?”lirihku dengan air mata merintik. Mas Feri bungkam tampak ada yang sakit dalam kerongkongannya hingga bisa aku lihat, jakunnya mendegup gundah.“Bukannya seharusnya kamu pergi ya? Kamu masih disini bersama perempuan itu, sekarang mana suratnya? Apa kamu sudah tangan?”tanyaku. Mas Feri mendegup kesal saat melepas tanganku aku berdengus dan kembali beranjak pada Aldo,“Kamu gak apa kan?, ayo kita pergi.”ujarku membawa Aldo kembali ke mobil."Kamu Ikut bersamaku ya?''bisiikk Aldo beranjak masuk kemobil akupun membuntuti dan membuka pintu namun aku tersintak saat mas Feri menghardik.&ldqu
POV FERISetelah mencoba menghentikan Ina aku kembali lagi menemui Rara dirumah sakit.“Ra, Kenapa Ina bisa pergi.”tanyaku, Rara menolehku dengan wajah biasa dan sedikit mengangkat bahunya,aku berdesih dan mengusaap wajahku gundah, rencanaku gagal aku yang tadinya mau periksa kandungan Ina sekaligus melanjutkan program hamilnya jadi gagal begitu saja karna dia pergi, bagaimanapun aku masih menunggu kabar bahagia darinya aku berharap dia hamil. karna memang jika aku jujur, dia akan sangat menolak Ini, tapi malah sekarang dia pergi, kembali aku masuk kerumah sakit dan bertanya pada Rara.“Apa yang kamu katakan padanya?’’ujarku kembali Rara mencibir. Dan berkata“Abis aku kesel mas, kamu kok bisa-bisanya ngekambing hitamkan aku agar bisa bawa mba Ina untuk program. Emang kamu cuman mau anak sama mba Ina aja, sama aku gak?”tanyanya aku berdesih dan coba beranjak ke mobil. Rara membuntutiku,“Ra, kalo
POV RARAApa yang bisa aku lakukan di kliniknya dokter Bagas ini . Sudah satu jam aku duduk disini, dan tak berbuat apa-apa selain melihat Bagas, yang sibuk dengan pasiennya,“Apa aku bisa konsul sekarang?”tanyaku, Bagas tersenyum sembari menutup kembali menggapai knop pintu ruangannya yang baru saja menemui pasiennya.“Tunggu sebentar ya, Lagian kamu akan disini sampai sore, Feri bilang nitip kamu sama aku, katanya dia bakal jemput kamu sore, jadi santai aja kita punya banyak waktu.”ujarnya aku manyun dan kembali bersandar di sofa sembari mengotak atik ponselku. Menghubungi mas Feri tapi malah mas Feri meriject dan bahkan dia mematikan ponselnya,“Nitip, emangnya barang.’ujarku, Dokter Bagas tampak terkekeh, dan kembali menemui pasien di ruangan sebelah.“Is mas Feri nyebelin, banget sih.’’ Gerutuku aku menghela nafas berat, satu jam setelahnya Dokter Bagas
Mataku terbuka dan membulat saat fikiranku mengartikan sesuatu, bayangan malam-malam dengan mas Feri yang memang terkadang terasa ganjil, mataku lebih membulat hebat, akan susu yang di berikan mas Feri jika kami bersama.“Kenapa? Haruskah aku mempercayai, apa yang ada dalam fikiranku sekarang.”batinku dihati, air mataku sontak saja merintik.“Tidak, ini tidak mungkin.”gerutuku bicara dengan nanar. aku menangis dan memilih menunggu mas Feri untuk pulang.Entah berapa jam aku nanar dirumah ini, berharap mas Feri akan kembali namun sepertinya tidak mataku membulat saat mendengar suara mba Ina di garasi memarkirkan mobilnya aku mendegup dan coba berdiri, bukannya mas Feri dengan mba Ina yang ada hanya Aldo bersamnnya kedua orang itu terheran saat melihatku akupun berdiri. Nafas Aldo tampak tersengal dan berdesih,,“Kamu masih disiini?”tanyanya, aku mendegup dan melirik wajah Mba Ina yang datar.
Dua hari berlalu, tak bisa aku pungkiri jauh dalam lubuk hatiku aku sangat mengkhawatirkan mas Feri yang tidak ada kabar, tapi saat aku mengingat Rara mengatakan kalau dia hamil hatiku terasa hancur berkeping-keping,Tak mau selalu dalam rasa penasaran ini akhirnya aku putuskan untuk cari tau, terakhir kali mas Feri sedang tidak sehat, jika dia tidak bersama Rara lalu dia kemana, aku coba menghubunginya namun kudapati nomornya tidak aktif, tanpa pikir panjagpun aku berdiri mengambil tas dan kunci mobil. Namun aku tersintak saat mendengar ponselku berdering reflek aku menyambar dan mengangkatnya.“Ya mas? Kamu dimana?”ucapku saat menempelkan ponsel didaun telingaku.“Mas?”tanyanya, reflek aku menoleh ke laayar ponsel dan aku terkejut melihat Aldo yang telpon,“Maaf Al, aku fikir mas Feri.”ucapku terbata,“Kenapa, apa penting ya kalau ada telfon dari Feri,” aku menggigit bibir bawah dan bing
POV AZZAM“ Pihak Shanum sama sekali tidak mengubris.” Ucap Naira melempar ponselnya ke atas ranjang, sejenak aku abaikan itu dan mencari pakaianku di lemari. Naira terus saja mendumel.“Udah ya Nai, jangan terlalu di pikirkan, ngabisin tenaga tau lebih baik kita bahas yang lain.’’“Tapi Kak,kayaknya kakak itu jauh lebih santai menghadapi ini?’’ Ucapnya tak habis pikir, sedikit aku menoleh pada Naira dan mengenakan piyama tidur.“Ya ampun Nai, kamu juga ngapain terlalu di pikirin? Lagi pula ini bisa di selesaikan, tanpa harus kamu buang-buang tenaga, karna kan kenyataannya, bayi itu bukan tanggung jawabku.’’ Geramku tak habis pikir, Naira terdiam sejenak dan tertunduk dengan manyun, aku menghela nafas panjang dan membuangnya, melihat istriku terdiam begitu aku mendekat padanya dan duduk di sampingnya.“Aku ak
POV INA.“Papa…,” panggilku saat mencari mas Feri di kamar, karna sibuk dengan urusan rumah, aku jadi sedikit mengabaikannya, aku melihat berkas dan laptop mas Feri di atas kasur namun bunyi mobilnya terdengar melaju keluar pagar.“Loh mas Feri mau kemana?’’ bisikku membuka jendela aku menoleh ke barang-barangnya di kasur mendekat dan menghenyak di kasur,“Mungkin mas Feri keluar sebentar, kalau ke kantor gak mungkin dia tinggalkan barang-barangnya.” Bisikku, aku memeriksa tas dan dan dompetnya, sedikit aku menautkan alis melihat ada kartu nama dokter spesialis,“Mas Feri, konsul pada dokter spesialis penyakit dalam buat apa?’’ bisikku coba mengotak atik semua berkas dan tasnya, namun aku tidak temukan apa-apa selain kartu nama itu, aku mulai cemas dan coba menghubunginya.Tuuuuuuut…..Panggilan itu tersambung dan
POV AZZAM.Ting nong…Bunyi bel bergema, Aku yang tengah menunggu Naira di ruang keluarga itu sedikit beringsut dan menoleh kea rah pintu, bisa aku lihat Art bergegas membukakan pintu. Aku juga menyusul karna aku tau itu papa, mama dan yang lainnya.“Siang papa..” sambutku pada keluargaku, dengan girang dua adik gadisku mengejar, akupun bersimpuh mendekap keduannya, mungkin mereka sangat merindukannku karna sudah beberapa minggu tidak bertemu.“Bang Azzam, Tata sangat merindukan bang Azzam.’’ Ucap bibir mungil salah satu dari mereka. Aku tersenyum manis dan mengacak rambut keduanya.“Abang Azzam, juga sangat merindukan kalian.”“Papa mama, ayo semua masuk.” Ajak Naira yang telaah turun dari kamarnya, aku berdiri dan mengajak mama masuk.“Ayo pa..”
POV RARA.Dengan langkah gontai aku temui mas Bagas di kliniknya, semenjak pertikaian itu dia tidak pernnah menemuiku kerumah tidak mau bicara denganku atau bahkan mengusirku, langkahku terhenti saat mendengar chanel televise yang di tonton mas Bagas adalah berita terbaru tentang Shanum, tampak media mengkrumini apartemen anakku itu, aku mendegup dan berniat hendak kembali mas Bagas pasti tidak senang dengan berita ini.“Kamu lihat, anak yang besar karna asuhanmu.”ucapnya tanpa menoleh akupun menghentikan langkahku dan menoleh padanya.“Dia hanya bisa buat malu keluarga.”geramnya, aku menghela nafas dan bersiap hendak pergi lagi, mengajak bicara mas Bagas dalam kondisi seperti ini juga tampaknya sia-sia lebih baik aku pergi sekarang.“ Kamu mau kemana?” cegatnya, langkahku kembali terhenti dan enggan menoleh.“
POV INA.Aku sangat di buat sibuk dengan acara yang akan mendatang, tapi tak mengapa demi Azzura aku harus lakukan semua ini, pesta pernikahan yang terbaik yang sesuai dengan impiannya."Mama sayang, mama dari mana sih."sambut putriku itu mendekap dan mencium pipi, sedikit aku berdengus dan tersenyum hangat."Mama habis dari gedung, dan kamu tau semua gedung itu bagus-bagus, mama jadi bingung mau sewa yang mana." ucapku, Zura sedikit manyun dan menghenyak di sofa."Kok mama gak ngajak?" aku menggeleng dan ikut juga menghenyak."Memang harus ya bawa kamu?""Ya iyalah, oh iya, mama tadi kekantor papa, papa mana?" tanyaku, aku sedikit melapas blezer dan meletakkan tas. 'papa lagi sibuk jadi mama pulang duluan oh iya, aanak-anak mana. Mama capek mau langsung istiraahat.""Ya udah mama istirahat aja, ma kalau baju pengantinyaya boleh gak Zura aja yang pilih bareng Vano?"tanya anakku, aku te
POV AZZAMPagi hari ini, kami tegah bersantai di ruang keluarga, selain menghibur mbak natsya yang tengah bersedih karna pengkhianatan Arga, Naira juga sedikit kurang enak badan, dan aku tak bisa kekantor melihat kondisinya."Selamat siang tuan nyonya." ucap Art, kemi semua menoleh."Ya ijah?""Itu nyonya, aden Arga pulang, dan dia-"ucapan Inem berhenti karna mbak Natsya berdiri, Naira yang tiduran di pahaku dari tadi juga beringsut untuk duduk"Apa mas Arga, membawa wanita itu?"bisiknya aku juga penasaran dan menoleh ke pintu, papa dan mama mertua juga tampak menyimak, hingga tak butuh waktu lama mereka bertiga masuk, dan tentunya bersama Shanum. Aku mendegup. Naira menggertakkan rahangnya dan berdiri, namun aku cegat dengan mencengkram lengannya."Sayang, jangan. Kita cukup nyimak saja."bisikku."Berani sekali dia, d
POV NAIRA.Kak Azzam tega sekali padaku, dia menyalahkan sikapku dan memperdulikan Shanum. Apa aku salah kalau aku menamparnya,“Ah sudahlah, aku bisa setres. Lebih baik sekarang aku temui mbak Natsya dulu di kamar.”bisikku sembari berjalan kekamar mbak natsya walau kesal dengan tingak dua pria dirumah ini yakni kak Azzam dan mas Arga, aku harus kasih perhatian pada mbakku, bagaimanapun sekarang dia sangat terpuruk sekali“Mbak….,’’ panggilku saat sudah sampai di pintu kamarnya, sedikit aku terheran karna kamarnya sunyi, aku mengerinyitkan dahi dan coba berfikir.“Apa mbak Nats, menemui mas Arga sekarang?”bisikku, aku membalik bergegas menuruni anak tangga dan berpapasan dengan papa dan mama di bawah.“Nai, kamu bukannya baru pulang ya kok pergi lagi?” tanya mama, aku sedikit menghela nafas dan berkata.
POV RARA.Sudah lelah aku mencari Shanum kemanapun, semalam dia pergi dari rumah karna marah padaku dan sekarang ini sudah hendak malam lagi,, nomornya belum lagi aktif aku sangat bingung sekali. Mana sekarang papinya sudah tidak peduli lagi padanya aku harus cari anakku kemana bahkan aku gak tau sekarang dia diimana, terkahir yang aku tau dia dekat dengan seorang pengusaha iparnya nya Azzam, mungkin aku bisa menghubungi Azzam?“Semoga saja aku masih punya kontaknya.”bisikku mengotak atik ponsel, namun aku kesal karna aku tidak punya kontak Azzam selain mas Feri.“Apa aku hubungi mas Feri? Tapikan nanti aku tanya apa? Mungkin aku bisa tanyakan nomor Azzam? Tapi apa nanti aku tidak dianggap sok akrab? Ah sialan sekali..”gerutuku sendiri akhirnya dengan ragu aku menghubungi juga nomor iitu.Tuuuuuuut.Aku gemetar saat panggilan itu tersambung
POV INA.Bahagia tak terhingga saat mas Feri rangkul dan peluk aku, menyaksikan kebahagian putrinya setelah sekian lama ia tampak merelakan Zura dengan orang yang tepat.“Akhirnya Zura menemukan seseorang yang sangat mencintainya,”lirihnya, bisa aku lihat ada yang terbendung di sudut matanya, aku terharu bersandar di bahu bidang suamiku itu.“Semoga selamanya kita akan tetap dapatkan kebahagiaan, jangan ada kesedihan lagi pah.”lirihku, mas Feri mengusap kepalaku dan mengecup keningku.“Hidup akan terus berjalan mama, suka duka itu pasti ada, hanya saja bagaimana kita menghadapinya.’’tuturnya aku tersenyum simpul dan berkata.“Dan aku ingin menjalani suka duka itu bersama Papa selamanya.’’ujarku mas Feri terkekeh kembali mendekapku erat.“Jangan manja, kamu ini tidak muda lagi. coba biasakan tanpa diriku.&rsq