POV FERI
Hari sudah mulai malam, namun aku belum juga melihat mobil Ina memasuki gerbang, aku cemas dan sangat mengkhawatirkannya. Jujur aku bingung kenapa setiap keputusan yang aku ambil selalu menjeratku hingga aku tak bisa berkutik seperti ini.
“Mas,”rengek Rara, datang mendekat padaku aku menoleh dan menghela nafas sedikit berat.
“Kamu belum tidur.”ucapku, Rara menggeleng dan mendekat padaku dengan wajah manyun gadis itu merebahkan wajahnya kedadaku yang duduk bersandar di sofa, aku hanya bisa mengelus-ngelus lembut rambutnya. Sempat terfifkir dia kenapa belum tidur juga, apa dia belum minum susu, yang aku bikin barusan.
“Sayang, kamu dah minum susunya belom?’’tanyaku sedikit melihat wajahnya, dia manyun dan coba meggeleng.
“Ya abis kamu belum nyamperin aku kekamar?”ujarnya
“Mas kamu nunggu mba Ina ya?”tanyanya lagi
“Ya iyalah aku nungguin, khawatir aja
PLAK…Tamparan tangan melayang sekeras mungkin ke pipinya, tatapan mataku terasa berkaca-kaca dan sangat kesal sekali padanya, dia menghakimi kami seolah dia yang paling suci saja, mas Feri bungkam melihat wajah kesal yang tertoreh diwajahku.“Apa hakmu menghakimiku seperti ini?”lirihku dengan air mata merintik. Mas Feri bungkam tampak ada yang sakit dalam kerongkongannya hingga bisa aku lihat, jakunnya mendegup gundah.“Bukannya seharusnya kamu pergi ya? Kamu masih disini bersama perempuan itu, sekarang mana suratnya? Apa kamu sudah tangan?”tanyaku. Mas Feri mendegup kesal saat melepas tanganku aku berdengus dan kembali beranjak pada Aldo,“Kamu gak apa kan?, ayo kita pergi.”ujarku membawa Aldo kembali ke mobil."Kamu Ikut bersamaku ya?''bisiikk Aldo beranjak masuk kemobil akupun membuntuti dan membuka pintu namun aku tersintak saat mas Feri menghardik.&ldqu
POV FERISetelah mencoba menghentikan Ina aku kembali lagi menemui Rara dirumah sakit.“Ra, Kenapa Ina bisa pergi.”tanyaku, Rara menolehku dengan wajah biasa dan sedikit mengangkat bahunya,aku berdesih dan mengusaap wajahku gundah, rencanaku gagal aku yang tadinya mau periksa kandungan Ina sekaligus melanjutkan program hamilnya jadi gagal begitu saja karna dia pergi, bagaimanapun aku masih menunggu kabar bahagia darinya aku berharap dia hamil. karna memang jika aku jujur, dia akan sangat menolak Ini, tapi malah sekarang dia pergi, kembali aku masuk kerumah sakit dan bertanya pada Rara.“Apa yang kamu katakan padanya?’’ujarku kembali Rara mencibir. Dan berkata“Abis aku kesel mas, kamu kok bisa-bisanya ngekambing hitamkan aku agar bisa bawa mba Ina untuk program. Emang kamu cuman mau anak sama mba Ina aja, sama aku gak?”tanyanya aku berdesih dan coba beranjak ke mobil. Rara membuntutiku,“Ra, kalo
POV RARAApa yang bisa aku lakukan di kliniknya dokter Bagas ini . Sudah satu jam aku duduk disini, dan tak berbuat apa-apa selain melihat Bagas, yang sibuk dengan pasiennya,“Apa aku bisa konsul sekarang?”tanyaku, Bagas tersenyum sembari menutup kembali menggapai knop pintu ruangannya yang baru saja menemui pasiennya.“Tunggu sebentar ya, Lagian kamu akan disini sampai sore, Feri bilang nitip kamu sama aku, katanya dia bakal jemput kamu sore, jadi santai aja kita punya banyak waktu.”ujarnya aku manyun dan kembali bersandar di sofa sembari mengotak atik ponselku. Menghubungi mas Feri tapi malah mas Feri meriject dan bahkan dia mematikan ponselnya,“Nitip, emangnya barang.’ujarku, Dokter Bagas tampak terkekeh, dan kembali menemui pasien di ruangan sebelah.“Is mas Feri nyebelin, banget sih.’’ Gerutuku aku menghela nafas berat, satu jam setelahnya Dokter Bagas
Mataku terbuka dan membulat saat fikiranku mengartikan sesuatu, bayangan malam-malam dengan mas Feri yang memang terkadang terasa ganjil, mataku lebih membulat hebat, akan susu yang di berikan mas Feri jika kami bersama.“Kenapa? Haruskah aku mempercayai, apa yang ada dalam fikiranku sekarang.”batinku dihati, air mataku sontak saja merintik.“Tidak, ini tidak mungkin.”gerutuku bicara dengan nanar. aku menangis dan memilih menunggu mas Feri untuk pulang.Entah berapa jam aku nanar dirumah ini, berharap mas Feri akan kembali namun sepertinya tidak mataku membulat saat mendengar suara mba Ina di garasi memarkirkan mobilnya aku mendegup dan coba berdiri, bukannya mas Feri dengan mba Ina yang ada hanya Aldo bersamnnya kedua orang itu terheran saat melihatku akupun berdiri. Nafas Aldo tampak tersengal dan berdesih,,“Kamu masih disiini?”tanyanya, aku mendegup dan melirik wajah Mba Ina yang datar.
Dua hari berlalu, tak bisa aku pungkiri jauh dalam lubuk hatiku aku sangat mengkhawatirkan mas Feri yang tidak ada kabar, tapi saat aku mengingat Rara mengatakan kalau dia hamil hatiku terasa hancur berkeping-keping,Tak mau selalu dalam rasa penasaran ini akhirnya aku putuskan untuk cari tau, terakhir kali mas Feri sedang tidak sehat, jika dia tidak bersama Rara lalu dia kemana, aku coba menghubunginya namun kudapati nomornya tidak aktif, tanpa pikir panjagpun aku berdiri mengambil tas dan kunci mobil. Namun aku tersintak saat mendengar ponselku berdering reflek aku menyambar dan mengangkatnya.“Ya mas? Kamu dimana?”ucapku saat menempelkan ponsel didaun telingaku.“Mas?”tanyanya, reflek aku menoleh ke laayar ponsel dan aku terkejut melihat Aldo yang telpon,“Maaf Al, aku fikir mas Feri.”ucapku terbata,“Kenapa, apa penting ya kalau ada telfon dari Feri,” aku menggigit bibir bawah dan bing
Aldo berdesih tampak sulit untuk menggetarkkan bibirnya hanya ada gundah yang tampak menyelimuti matanya , dia tertunduk dengan mengusap berkali-kali wajah hingga mulutnya , sedikit dia hela nafas dan menjauh dariku. Ia menghenyak di sofa dan kembali menoleh padaku.“Sekarang apa rencanamu?”tanyanya aku mendegup. Pertanyaan itu terdengar menyudutkan tadinya aku berfikir Aldo akan menerima anak ini dan aku rasa tidak. Walaupun dia inginpun aku juga tak bisa meneruskan hubungan ini.“Aku tidak bisa meneruskan rencana kita.”ucapku. Aldo mendegup dan berdesih“Aku tidak bisa, membebankan ini padamu Aldo. Maaf, rencana pernikahan kita lupakan saja.”ujarku. Kembali, pria itu berdesih menyibak belahan rambutnya, dia tampak pusing.“Tapi Ina, aku udah terlanjur bilang sama papa kalo aku, akan menikah.’ujarnya. aku mendegup dan tertunduk.“lupakan saja Aldo.”tegasku 
POV FERI“Ya udah kamu tidur ya ini sudah malam,”ujarku, Rara tersenyum dan sedikit beringsut mendekat. Aku diam saat dia mengelus pipiku lembut.“Mas, selama kita menikah,Gimana kesannya kamu bermalam denganku.”ujarnya, sedikit aku menautkan alis dan berkata,“Humm.. ya gimana ya, ya biasa aja sih, nikmat.”bisikku dengan sedikit memainkan wajah, Rara mendekat dan coba mengecup bibirku dan sama seperti sebelumnya aku masih diam.“Rara terlalu terbuai, atau gimana ya mas, kok Rara gak ingat?’’ujarnya sedikit aku garuk tengkukku dan berkata.“Masa sih.. ngawur kamu.”ujarku, kembali wanita itu mengendus leherku yang membuat aku bergidik sedikit aku hela nafas sedikit dalam dan membuangnya pelan,“Ra, aku capek. Kamu tidur ya. Beneran deh mas gak mood banget sekarang,”ujarku dia tampak kesal mendorong hingga naik keatas badanku, sedikit ritme nafasku tak beraturan saat
POV FERI“Ina bangun sayang.”bisikku mengenggam tangan Ina, istriku itu terbaring pucat tak sadarkan diri, aku terus saja merintikkan air mata karna tak sanggup menerima kenyataan ini.“Anakku..’’teriak Ina yang tiba-tiba sadar dan menangis histeris reflek aku memeluk dan coba menenangkan.‘’Tenang, sayang.”lirihku.“Mas, bagaimana dengan anak kita?’’tangisnya, aku menghela nafas sesak dan coba menatap mata istriku itu dalam. Aku bingung bagaimana katakanya, harapan kami yang besar sebelumya harus pupus, tak tega hatiku melihat wajah Ina yang tampak menunggu jawaban dariku.“Kamu…, yang sabar ya.”lirihku terbata dahi Ina berkerut dan reflek merintikkan air matanya yang menghujan.“Gak… kamu bilang apa sih mas, tolong yang jelas. Janinku baik-baik saja kan hiks?”tangisnya menangis sesegukan, aku miris dan hanya bisa memeluk Ina erat. Janinn