POV FERI
Siang ini aku sangat sibuk di kantor, ada beberapa harus aku handle sebelum nanti aku kasih ke mama karna memang aku harus kembali pulang, Ina akhir-akhir sangat manja sekali, dia bisa-bisa bête dirumah kalo aku telat pulang. Dari luar ruangan asistenku datang membuyarkan fokusku.
“Pak, mohon maaf, di luar ada Direkture Al company.”ujarnya sejenak aku menghentikan aktifitasku dan sedikit buang nafas,
“Apa ada metting?”tanyaku.
“Tidak, dia hanya ingin bertemu.”ujarnya, nafasku tersengal dan coba berkata dengan tegas.,
“Ya sudah, suruh dia masuk.”ujarku. asistenku itu beranjak keluar dan tak lama setelahnya Aldo. Masuk aku memandanginya datar dan berkata.
“Apa ada yang bisa saya bantu pak direkture,’’ujarku tanpa menoleh. Aldo terdengar mangatur nafas.
“Ekhem..”desisny terdengar memperbaiki tenggorokan.“Kamu mengembalikan
POV ALDOAku menghenyak di atas sofa sembari menghela nafas, walau itu hanya sekedar ancaman untuk Feri, tapi aku sangat merasa bersalah pada mba Ina, aku putus asa sekali sekarang selain sangat kecewa akaan keputusannya, ada masalah lain. Papa akan kembali satu minggu lagi jika dia lihat bisnisku tidak ada progress begini dia akan sangat murka, bagaimana tidak jika aku jadikan asset papa seperti mainan gini,aku gak boleh biarkan Feri melepas kontraknya, aku harus dapatkan project perusaahaan luar negri itu.“Tuan muda ada telpon dari bos.”ucap asistenku. Aku menoleh pada telpon di tanganya dan reflek menyambar,“Hallo pa?”“Bagaimana dengan projectmu?”tanyanya to the point, papa tidak tau saja aku tengah pusingkan ini dari tadi.“Ya pa, semuanya baik-baik saja,’’ucapku pelan“Baiklah jika memang begitu, papa khawatir dengan tindakanmu yang berisiko ini, jangan bilang kamu tidak
POV FERIHari ini aku masih tetap ngantor seperti biasanya, project kerja sama dengan perusahaan luar itu tidak sesuai ekspektasi pencapaian kami tidak sesuai target, sekarang aku lebih banyak bertemu Aldo karna membahas masalah ini. Terlebih tekanan yang harus aku lakukan menghadapinya ialah aku terkesan patuh padanya, karna dia punya kelemahanku, aku tau pria seperti Aldo masih terbilang bocah dan labil mudah baginya membeberkan semua ini,yang akan membuat semuanya berantakan. Apalagii Aldo memiliki perusahaan yang sangat berpengaruh, sekali terendus media Ina bakal jadi sorotan hebat, dan aku tau betul ini akan jadi beban batin yang begitu dalam untuknya,“Sekarang bagaimana? Apa kamu punya solusi untuk masalah ini?”Tanya Aldo saat kami dalam ruangan metting sejenak aku terbangun dari pikiran kaludku dan menoleh padanya.“Aku akan usahakan berikan yang terbaik.”ujarku, Aldo manggut-manggut dengan sedikit mencibir.&l
POV RARA“Dok, besok antarin Rara kekantor polisi.”ucapku saat kami sudah berada dalam mobil untuk sejenak Dokter Bagas diam,“Tapi Ra, kamu belum sembuh. Polisi tidak akan menangani kasus ini jika kamu bel-“ucapanya aku cegat.“Belum apa dok?”singkatku menoleh pada Dokter Bagas.“Kamu belum pulih itu saja. Lagian Ina dan Feri tidak memperkarakan ini lagi, kamu bisa aman dengan keterangan dariku pada polisi.”ucapnya aku berdesih.“Lebih baik aku mendekam di penjara dari pada di anggap gila dok, aku akan lebih tenang dengan cinta ini dalam kesendiiriaan tanpa harus menyakiti siapapun.”ujarku, Dokter Bagas terdengar berdesih dan berkata.“Aku tidak akan menganggapmu sembuh sebelum kamu bisa menghapus cintamu untuk Feri.”ujarnya, aku terdiam dan tertunduk, mataku sedikit terasa basah, entah kenapa aku tidak yakin jika dokter Bagas memintaku untuk menghapus
Setelah selesai makan malam aku menghampiri mas Feri yang memilih menyendiri di balkon kamar, aku tau banyak sekali hal yang menganggu pikirannya sekarang, dan sekarang aku tidak bisa berbuat apa-apa.“Sayang?”sapaku menghenyak di sampingnya, Mas Feri tampak beringsut pelan dan berkata.“Ya sayang..”ucapnya menggapai badanku mendekat.“Mas kenapa? Tadi dimeja makan mas gak habisin makanannya, sekarang ngelamun disini.’’ujarku mengelus pipinya, Mas Feri memaksa bibirnya untuk tersenyum.“Bingung aja sayang, gimana ngomongnya sama mama.’’ujarnya, aku sedikit menghela nafas dan berkata.“Bener cuman itu?”singkatku, mata mas Feri terlihat sayu dan mengangguk,“Bener..”ujarnya lagi, aku tau dia tidak akan mau terbuka karna mas Feri suka seperti dia akan menyembuyikan dariku, wajah lelah dan gundahnya ini sudah sangat jelas kalau dia sedang banyak pikiran, ba
POV ALDO.“Tuan buka pintunya ada yang pengen bertemu dengan tuan”ujar Duta dari luar aku berdesih dan coba berteriak dengan sedikit lantang dari kamar.“Gua kan sudah bilang, kalo bukan Ina yang kesini lo gak usah panggil gue, suruh aja wartawannya pulang,”ujarku kembali menghempaskan tubuhku di kasur. Namun kembali mataku terbuka saat mendengar suara papa.“Aldo, buka pintunya!”bentaknya sembari menggedor pintu.“Yah papa lagi…”bisikku dengan garuk-garuk kepala. Dengan males aku beranjak kepintu untuk membukakan pintu. Terlihat papa geram menatap wajahku,“Tolong jelaskan kenapa ada berita seperti itu di media, kamu mau jatuhkan pamor perushaan kita.”ujarnya aku hanya diam sembari manyun.“Tolong jelaskan”teriak papa lagi.“memang ada yang salah apa dengan berita itu, itu Cuma berita sampah, waartawannya kurang kerjaan, udah deh pa. gak usah i
“Hiks mas bangun…”tangisku terus saja merebah dan memeluk dadanya. Dari belakang terdengar tapak kaki yang datang, aku menoleh dengan tangis dan air mata, bisa aku lihat Rara juga nanar berdiri sembari bertanya lirih.“Mba… apa yang terjadi?”tanyanya merintikkaan air mata, kembali aku memeluk mas Feri dan berkata.“Mas bangun tolong jangan tinggalkan Ina,’’tangisku Rara mendekat dan juga menangis histeris.“Mba mas, Feri gak mungkin meninggal. Mas Kamu bangun mas.”ucapnya, aku tidak peduli dengan wanita ini, Bagas yang datang tampak menenangkan Rara yang menangis histeris bersimpuh di atas sofa.“Bangun sayang…”bisikkku,“Dok, mas Feri dia..”ucapan Rara terdengar terbata hingga wanita itu jatuh pingsan, Bagas membawannya keluar ruangan, sedangkan aku kembali tertinggal dengan kesedihanku, aku terus saja menangis hingga perawat datang,“Ma
POV INA.Tak henti-hentinya bibirku mengukir senyum, mengelus rambut hingga wajah mas Feri, dahinya sedikit terluka parah hingga harus di perban dan sedikit pula ada goresan dipelipisnya seperti sayatan luka tergores kaca, kembali mataku basah, membayangkan betapa mengerikannya sebelum kejadian itu terjadi, sungguh aku ingin dia cepat sadar dan bercerita banyak padaku."Sayang? Ayolah , sadar? Aku dah kangen banget ngobrol sama kamu."bisikku mengecup punggung tangannya, ini sudah lima hari dari hari kecelakaan itu namun mas Feri masih tetap koma terbaring dirumah sakit ini."Ina.. Kamu makan dulu sayang." pinta mama, yang datang dengan kotak makananya. Aku menoleh dan berdiri menghenyak pada mama."Ma, mas Feri denger gak sih segala omongan aku ?"tanyaku saat menoleh padanya.. Mama tesenyum hangat membukakan kotak makanan itu dan berkata."Jika dia tidak mendengarmu, dia tidak akan kembali bernafas?"u
POV INABeberapa hari berlalu Mas Feri sudah semakin pulih dan hari ini kami mau kembali pulang kerumah, mas Feri tampak menyapu setiap sudut ruangan dengan nanar, saat kami sudah berada dirumah“Mas, kamu istirahat ya, aku akan siapkan teh untukmu.”ujarku mas Feri mengangguk dan memilih duduk di sofa, bergegas aku ke dapur menyiapkan sesuatu untuknya, namun aku teringat sesuatu saat terdengar mas Feri menyalakan TV, secepat kilat aku kembali keluar dan menemui mas Feri lagi,“Sayang, kamu istirahat di kamar aja ya, gak baik untuk nonton Tv sekarang,”ujarku reflek mematikan Tvnya, aku mendekat dengan segelas teh hangat.“Ayo kamu minum dlu.”ucapku mendekat mas Feri tersenyum menyeruput teh hijau itu sembari melirikku,“Makasih ya sayang, “ucapnya aku mengangguk dengan tersenyum hangat, mas Feri melirik perutku dan menyentuhnya,“Gimana? Apa anak kita merepotkanmu?”tanyanya. Aku sedi