POV INA
Air mataku tak hentinya mengucur karna haru sepanjang jalan, sesampai dirumah kami berdua masuk bergandengan dan saling merangkul dalam pelukan hangat, sisa kebahagiaan tadi masih melekat erat melihat kami harmonis begitu mbok Lastri tampak heran. Karna memang semenjak dia datang aku dan mas Feri tidak pernah akur.
“Duh seneng banget deh mbok liatnya, hari ini terasa berbeda.” Ujarnya aku dan mas Feri tersenyum, Mas Feri membawaku kedalam rangkulan dan berkata,
“Tentu saja mbok, hari ini patut dirayakan, karna Ina mengandunng janin kembar.”ujarnya, mbok lastri tampak membulatkan mata dan mendekat.
“Wah beneran non, nyonya Rania harus tau donk kalo begitu.”ucapnya girang , kami berdua mengangguk.
“Kamu telpon mama gih mas?”ucapku, mas Feri tampak mengangguk.
“Baik sayang.”ujarnya, aku menghenyak di sofa di iringi mbo Lastri.
“Gak sabar non, mbok liat baby cewek b
POV FERISiang ini aku sangat sibuk di kantor, ada beberapa harus aku handle sebelum nanti aku kasih ke mama karna memang aku harus kembali pulang, Ina akhir-akhir sangat manja sekali, dia bisa-bisa bête dirumah kalo aku telat pulang. Dari luar ruangan asistenku datang membuyarkan fokusku.“Pak, mohon maaf, di luar ada Direkture Al company.”ujarnya sejenak aku menghentikan aktifitasku dan sedikit buang nafas,“Apa ada metting?”tanyaku.“Tidak, dia hanya ingin bertemu.”ujarnya, nafasku tersengal dan coba berkata dengan tegas.,“Ya sudah, suruh dia masuk.”ujarku. asistenku itu beranjak keluar dan tak lama setelahnya Aldo. Masuk aku memandanginya datar dan berkata.“Apa ada yang bisa saya bantu pak direkture,’’ujarku tanpa menoleh. Aldo terdengar mangatur nafas.“Ekhem..”desisny terdengar memperbaiki tenggorokan.“Kamu mengembalikan
POV ALDOAku menghenyak di atas sofa sembari menghela nafas, walau itu hanya sekedar ancaman untuk Feri, tapi aku sangat merasa bersalah pada mba Ina, aku putus asa sekali sekarang selain sangat kecewa akaan keputusannya, ada masalah lain. Papa akan kembali satu minggu lagi jika dia lihat bisnisku tidak ada progress begini dia akan sangat murka, bagaimana tidak jika aku jadikan asset papa seperti mainan gini,aku gak boleh biarkan Feri melepas kontraknya, aku harus dapatkan project perusaahaan luar negri itu.“Tuan muda ada telpon dari bos.”ucap asistenku. Aku menoleh pada telpon di tanganya dan reflek menyambar,“Hallo pa?”“Bagaimana dengan projectmu?”tanyanya to the point, papa tidak tau saja aku tengah pusingkan ini dari tadi.“Ya pa, semuanya baik-baik saja,’’ucapku pelan“Baiklah jika memang begitu, papa khawatir dengan tindakanmu yang berisiko ini, jangan bilang kamu tidak
POV FERIHari ini aku masih tetap ngantor seperti biasanya, project kerja sama dengan perusahaan luar itu tidak sesuai ekspektasi pencapaian kami tidak sesuai target, sekarang aku lebih banyak bertemu Aldo karna membahas masalah ini. Terlebih tekanan yang harus aku lakukan menghadapinya ialah aku terkesan patuh padanya, karna dia punya kelemahanku, aku tau pria seperti Aldo masih terbilang bocah dan labil mudah baginya membeberkan semua ini,yang akan membuat semuanya berantakan. Apalagii Aldo memiliki perusahaan yang sangat berpengaruh, sekali terendus media Ina bakal jadi sorotan hebat, dan aku tau betul ini akan jadi beban batin yang begitu dalam untuknya,“Sekarang bagaimana? Apa kamu punya solusi untuk masalah ini?”Tanya Aldo saat kami dalam ruangan metting sejenak aku terbangun dari pikiran kaludku dan menoleh padanya.“Aku akan usahakan berikan yang terbaik.”ujarku, Aldo manggut-manggut dengan sedikit mencibir.&l
POV RARA“Dok, besok antarin Rara kekantor polisi.”ucapku saat kami sudah berada dalam mobil untuk sejenak Dokter Bagas diam,“Tapi Ra, kamu belum sembuh. Polisi tidak akan menangani kasus ini jika kamu bel-“ucapanya aku cegat.“Belum apa dok?”singkatku menoleh pada Dokter Bagas.“Kamu belum pulih itu saja. Lagian Ina dan Feri tidak memperkarakan ini lagi, kamu bisa aman dengan keterangan dariku pada polisi.”ucapnya aku berdesih.“Lebih baik aku mendekam di penjara dari pada di anggap gila dok, aku akan lebih tenang dengan cinta ini dalam kesendiiriaan tanpa harus menyakiti siapapun.”ujarku, Dokter Bagas terdengar berdesih dan berkata.“Aku tidak akan menganggapmu sembuh sebelum kamu bisa menghapus cintamu untuk Feri.”ujarnya, aku terdiam dan tertunduk, mataku sedikit terasa basah, entah kenapa aku tidak yakin jika dokter Bagas memintaku untuk menghapus
Setelah selesai makan malam aku menghampiri mas Feri yang memilih menyendiri di balkon kamar, aku tau banyak sekali hal yang menganggu pikirannya sekarang, dan sekarang aku tidak bisa berbuat apa-apa.“Sayang?”sapaku menghenyak di sampingnya, Mas Feri tampak beringsut pelan dan berkata.“Ya sayang..”ucapnya menggapai badanku mendekat.“Mas kenapa? Tadi dimeja makan mas gak habisin makanannya, sekarang ngelamun disini.’’ujarku mengelus pipinya, Mas Feri memaksa bibirnya untuk tersenyum.“Bingung aja sayang, gimana ngomongnya sama mama.’’ujarnya, aku sedikit menghela nafas dan berkata.“Bener cuman itu?”singkatku, mata mas Feri terlihat sayu dan mengangguk,“Bener..”ujarnya lagi, aku tau dia tidak akan mau terbuka karna mas Feri suka seperti dia akan menyembuyikan dariku, wajah lelah dan gundahnya ini sudah sangat jelas kalau dia sedang banyak pikiran, ba
POV ALDO.“Tuan buka pintunya ada yang pengen bertemu dengan tuan”ujar Duta dari luar aku berdesih dan coba berteriak dengan sedikit lantang dari kamar.“Gua kan sudah bilang, kalo bukan Ina yang kesini lo gak usah panggil gue, suruh aja wartawannya pulang,”ujarku kembali menghempaskan tubuhku di kasur. Namun kembali mataku terbuka saat mendengar suara papa.“Aldo, buka pintunya!”bentaknya sembari menggedor pintu.“Yah papa lagi…”bisikku dengan garuk-garuk kepala. Dengan males aku beranjak kepintu untuk membukakan pintu. Terlihat papa geram menatap wajahku,“Tolong jelaskan kenapa ada berita seperti itu di media, kamu mau jatuhkan pamor perushaan kita.”ujarnya aku hanya diam sembari manyun.“Tolong jelaskan”teriak papa lagi.“memang ada yang salah apa dengan berita itu, itu Cuma berita sampah, waartawannya kurang kerjaan, udah deh pa. gak usah i
“Hiks mas bangun…”tangisku terus saja merebah dan memeluk dadanya. Dari belakang terdengar tapak kaki yang datang, aku menoleh dengan tangis dan air mata, bisa aku lihat Rara juga nanar berdiri sembari bertanya lirih.“Mba… apa yang terjadi?”tanyanya merintikkaan air mata, kembali aku memeluk mas Feri dan berkata.“Mas bangun tolong jangan tinggalkan Ina,’’tangisku Rara mendekat dan juga menangis histeris.“Mba mas, Feri gak mungkin meninggal. Mas Kamu bangun mas.”ucapnya, aku tidak peduli dengan wanita ini, Bagas yang datang tampak menenangkan Rara yang menangis histeris bersimpuh di atas sofa.“Bangun sayang…”bisikkku,“Dok, mas Feri dia..”ucapan Rara terdengar terbata hingga wanita itu jatuh pingsan, Bagas membawannya keluar ruangan, sedangkan aku kembali tertinggal dengan kesedihanku, aku terus saja menangis hingga perawat datang,“Ma
POV INA.Tak henti-hentinya bibirku mengukir senyum, mengelus rambut hingga wajah mas Feri, dahinya sedikit terluka parah hingga harus di perban dan sedikit pula ada goresan dipelipisnya seperti sayatan luka tergores kaca, kembali mataku basah, membayangkan betapa mengerikannya sebelum kejadian itu terjadi, sungguh aku ingin dia cepat sadar dan bercerita banyak padaku."Sayang? Ayolah , sadar? Aku dah kangen banget ngobrol sama kamu."bisikku mengecup punggung tangannya, ini sudah lima hari dari hari kecelakaan itu namun mas Feri masih tetap koma terbaring dirumah sakit ini."Ina.. Kamu makan dulu sayang." pinta mama, yang datang dengan kotak makananya. Aku menoleh dan berdiri menghenyak pada mama."Ma, mas Feri denger gak sih segala omongan aku ?"tanyaku saat menoleh padanya.. Mama tesenyum hangat membukakan kotak makanan itu dan berkata."Jika dia tidak mendengarmu, dia tidak akan kembali bernafas?"u
POV AZZAM“ Pihak Shanum sama sekali tidak mengubris.” Ucap Naira melempar ponselnya ke atas ranjang, sejenak aku abaikan itu dan mencari pakaianku di lemari. Naira terus saja mendumel.“Udah ya Nai, jangan terlalu di pikirkan, ngabisin tenaga tau lebih baik kita bahas yang lain.’’“Tapi Kak,kayaknya kakak itu jauh lebih santai menghadapi ini?’’ Ucapnya tak habis pikir, sedikit aku menoleh pada Naira dan mengenakan piyama tidur.“Ya ampun Nai, kamu juga ngapain terlalu di pikirin? Lagi pula ini bisa di selesaikan, tanpa harus kamu buang-buang tenaga, karna kan kenyataannya, bayi itu bukan tanggung jawabku.’’ Geramku tak habis pikir, Naira terdiam sejenak dan tertunduk dengan manyun, aku menghela nafas panjang dan membuangnya, melihat istriku terdiam begitu aku mendekat padanya dan duduk di sampingnya.“Aku ak
POV INA.“Papa…,” panggilku saat mencari mas Feri di kamar, karna sibuk dengan urusan rumah, aku jadi sedikit mengabaikannya, aku melihat berkas dan laptop mas Feri di atas kasur namun bunyi mobilnya terdengar melaju keluar pagar.“Loh mas Feri mau kemana?’’ bisikku membuka jendela aku menoleh ke barang-barangnya di kasur mendekat dan menghenyak di kasur,“Mungkin mas Feri keluar sebentar, kalau ke kantor gak mungkin dia tinggalkan barang-barangnya.” Bisikku, aku memeriksa tas dan dan dompetnya, sedikit aku menautkan alis melihat ada kartu nama dokter spesialis,“Mas Feri, konsul pada dokter spesialis penyakit dalam buat apa?’’ bisikku coba mengotak atik semua berkas dan tasnya, namun aku tidak temukan apa-apa selain kartu nama itu, aku mulai cemas dan coba menghubunginya.Tuuuuuuut…..Panggilan itu tersambung dan
POV AZZAM.Ting nong…Bunyi bel bergema, Aku yang tengah menunggu Naira di ruang keluarga itu sedikit beringsut dan menoleh kea rah pintu, bisa aku lihat Art bergegas membukakan pintu. Aku juga menyusul karna aku tau itu papa, mama dan yang lainnya.“Siang papa..” sambutku pada keluargaku, dengan girang dua adik gadisku mengejar, akupun bersimpuh mendekap keduannya, mungkin mereka sangat merindukannku karna sudah beberapa minggu tidak bertemu.“Bang Azzam, Tata sangat merindukan bang Azzam.’’ Ucap bibir mungil salah satu dari mereka. Aku tersenyum manis dan mengacak rambut keduanya.“Abang Azzam, juga sangat merindukan kalian.”“Papa mama, ayo semua masuk.” Ajak Naira yang telaah turun dari kamarnya, aku berdiri dan mengajak mama masuk.“Ayo pa..”
POV RARA.Dengan langkah gontai aku temui mas Bagas di kliniknya, semenjak pertikaian itu dia tidak pernnah menemuiku kerumah tidak mau bicara denganku atau bahkan mengusirku, langkahku terhenti saat mendengar chanel televise yang di tonton mas Bagas adalah berita terbaru tentang Shanum, tampak media mengkrumini apartemen anakku itu, aku mendegup dan berniat hendak kembali mas Bagas pasti tidak senang dengan berita ini.“Kamu lihat, anak yang besar karna asuhanmu.”ucapnya tanpa menoleh akupun menghentikan langkahku dan menoleh padanya.“Dia hanya bisa buat malu keluarga.”geramnya, aku menghela nafas dan bersiap hendak pergi lagi, mengajak bicara mas Bagas dalam kondisi seperti ini juga tampaknya sia-sia lebih baik aku pergi sekarang.“ Kamu mau kemana?” cegatnya, langkahku kembali terhenti dan enggan menoleh.“
POV INA.Aku sangat di buat sibuk dengan acara yang akan mendatang, tapi tak mengapa demi Azzura aku harus lakukan semua ini, pesta pernikahan yang terbaik yang sesuai dengan impiannya."Mama sayang, mama dari mana sih."sambut putriku itu mendekap dan mencium pipi, sedikit aku berdengus dan tersenyum hangat."Mama habis dari gedung, dan kamu tau semua gedung itu bagus-bagus, mama jadi bingung mau sewa yang mana." ucapku, Zura sedikit manyun dan menghenyak di sofa."Kok mama gak ngajak?" aku menggeleng dan ikut juga menghenyak."Memang harus ya bawa kamu?""Ya iyalah, oh iya, mama tadi kekantor papa, papa mana?" tanyaku, aku sedikit melapas blezer dan meletakkan tas. 'papa lagi sibuk jadi mama pulang duluan oh iya, aanak-anak mana. Mama capek mau langsung istiraahat.""Ya udah mama istirahat aja, ma kalau baju pengantinyaya boleh gak Zura aja yang pilih bareng Vano?"tanya anakku, aku te
POV AZZAMPagi hari ini, kami tegah bersantai di ruang keluarga, selain menghibur mbak natsya yang tengah bersedih karna pengkhianatan Arga, Naira juga sedikit kurang enak badan, dan aku tak bisa kekantor melihat kondisinya."Selamat siang tuan nyonya." ucap Art, kemi semua menoleh."Ya ijah?""Itu nyonya, aden Arga pulang, dan dia-"ucapan Inem berhenti karna mbak Natsya berdiri, Naira yang tiduran di pahaku dari tadi juga beringsut untuk duduk"Apa mas Arga, membawa wanita itu?"bisiknya aku juga penasaran dan menoleh ke pintu, papa dan mama mertua juga tampak menyimak, hingga tak butuh waktu lama mereka bertiga masuk, dan tentunya bersama Shanum. Aku mendegup. Naira menggertakkan rahangnya dan berdiri, namun aku cegat dengan mencengkram lengannya."Sayang, jangan. Kita cukup nyimak saja."bisikku."Berani sekali dia, d
POV NAIRA.Kak Azzam tega sekali padaku, dia menyalahkan sikapku dan memperdulikan Shanum. Apa aku salah kalau aku menamparnya,“Ah sudahlah, aku bisa setres. Lebih baik sekarang aku temui mbak Natsya dulu di kamar.”bisikku sembari berjalan kekamar mbak natsya walau kesal dengan tingak dua pria dirumah ini yakni kak Azzam dan mas Arga, aku harus kasih perhatian pada mbakku, bagaimanapun sekarang dia sangat terpuruk sekali“Mbak….,’’ panggilku saat sudah sampai di pintu kamarnya, sedikit aku terheran karna kamarnya sunyi, aku mengerinyitkan dahi dan coba berfikir.“Apa mbak Nats, menemui mas Arga sekarang?”bisikku, aku membalik bergegas menuruni anak tangga dan berpapasan dengan papa dan mama di bawah.“Nai, kamu bukannya baru pulang ya kok pergi lagi?” tanya mama, aku sedikit menghela nafas dan berkata.
POV RARA.Sudah lelah aku mencari Shanum kemanapun, semalam dia pergi dari rumah karna marah padaku dan sekarang ini sudah hendak malam lagi,, nomornya belum lagi aktif aku sangat bingung sekali. Mana sekarang papinya sudah tidak peduli lagi padanya aku harus cari anakku kemana bahkan aku gak tau sekarang dia diimana, terkahir yang aku tau dia dekat dengan seorang pengusaha iparnya nya Azzam, mungkin aku bisa menghubungi Azzam?“Semoga saja aku masih punya kontaknya.”bisikku mengotak atik ponsel, namun aku kesal karna aku tidak punya kontak Azzam selain mas Feri.“Apa aku hubungi mas Feri? Tapikan nanti aku tanya apa? Mungkin aku bisa tanyakan nomor Azzam? Tapi apa nanti aku tidak dianggap sok akrab? Ah sialan sekali..”gerutuku sendiri akhirnya dengan ragu aku menghubungi juga nomor iitu.Tuuuuuuut.Aku gemetar saat panggilan itu tersambung
POV INA.Bahagia tak terhingga saat mas Feri rangkul dan peluk aku, menyaksikan kebahagian putrinya setelah sekian lama ia tampak merelakan Zura dengan orang yang tepat.“Akhirnya Zura menemukan seseorang yang sangat mencintainya,”lirihnya, bisa aku lihat ada yang terbendung di sudut matanya, aku terharu bersandar di bahu bidang suamiku itu.“Semoga selamanya kita akan tetap dapatkan kebahagiaan, jangan ada kesedihan lagi pah.”lirihku, mas Feri mengusap kepalaku dan mengecup keningku.“Hidup akan terus berjalan mama, suka duka itu pasti ada, hanya saja bagaimana kita menghadapinya.’’tuturnya aku tersenyum simpul dan berkata.“Dan aku ingin menjalani suka duka itu bersama Papa selamanya.’’ujarku mas Feri terkekeh kembali mendekapku erat.“Jangan manja, kamu ini tidak muda lagi. coba biasakan tanpa diriku.&rsq