Langit cerah kota Jakarta mulai memudar dan digantikan pekatnya malam. Meski begitu, ada banyak bintang yang bertabur acak menghiasi gelapnya cakrawala, di sela-selanya terselip senyum lembut yang berasal dari bulan berbentuk sabit.
Zuhra Kalinka, menatap lurus bayangan dirinya yang sedang duduk di kursi panjang halaman belakang rumah. Tidak ada pemandangan menarik di depannya, hanya rumput hijau yang dengan rutin dipapras dan beberapa tanaman bunga milik bundanya yang terlihat di keremangan.
Melalui posisinya saat ini Zuhra masih bisa mendengar suara riuh canda tawa dari dalam rumah, mungkin yang paling keras adalah suara ayahnya. Meskipun Zuhra tahu masih ada terselip bahagia palsu dalam tawa itu.
“Bagaimana keadaannya?”
Zuhra serta merta menoleh ke samping di mana suara itu berasal. Cukup lama mereka berdiam diri tanpa ada satu pun yang membuka suara. Zuhra seakan melupakan keberadaan lelaki yang sedari tadi duduk di sebelahnya.
Awalnya Zuhra bingung ke mana arah pertanyaan pria itu, namun melihat tatapan Dirgam yang mengarah pada perut datarnya membuat Zuhra mengerti.
“Baik,” jawab Zuhra lirih.
Hanya sebatas itu karena pria yang Zuhra ketahui bernama lengkap Digram Arhab itu kembali diam, pandangannya kembali lurus ke depan.
Zuhra meremas-remas jarinya resah. “K-kenapa Mas mau menikahiku?” cicitnya.
Sebenarnya Zuhra sangat takut menanyakan ini pada Dirgam, apalagi melihat pria ini yang pelit sekali berbicara. Namun Zuhra juga tidak bisa tinggal diam. Dirinya tidak mau rumah tangganya nanti berada dalam ketidakjelasan. Bisa saja nanti Dirgam berniat membunuh atau menjualnya. Terlihat berlebihan memang, namun hal itu kerap terjadi dalam novel yang sering dia baca.
Dirgam melirik Zuhra sekilas. “Karena saya ingin,” sahutnya singkat.
Zuhra yang terperangah dengan jawaban itu hanya mampu mengatupkan bibirnya kaku. Sepertinya pria ini memang berpotensi menguras kesabaran.
“Kenapa Mas ingin?” Gadis itu tidak ingin menyerah.
Zuhra menahan napas saat Dirgam tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Apa begitu sulit menjawab pertanyaan darinya?
Dirgam menghela napasnya seraya melirik Zuhra lagi. “Karena kamu butuh saya, saya butuh kamu.”
Zuhra merasa ini adalah kalimat terpanjang yang pernah didengarnya terucap dari bibir Dirgam, karena saat pertemuan pertama mereka pria itu hanya menjawab seadanya ucapan Ayah Zuhra.
Entah mengapa, meski suara yang terucap oleh pria itu begitu datar dan tanpa rasa, namun Zuhra dapat menangkap keseksian dari suara tersebut. Gadis itu memutarkan bola mata, menyalahkan rasa kantuk yang mulai menyerang dan mengakibatkan kerusakan fatal pada kinerja gendang telinga Zuhra. Entah apa yang dipikirkannya tadi.
“Kenapa Mas butuh Zuhra?” Pertanyaan ketiga Zuhra kali ini sukses membuat bola mata Dirgam menatap tajam ke arahnya.
“M-maksud Zuhra, di luar sana pasti banyak yang ingin jadi istri Mas, kenapa Mas milih Zuhra yang--”
“Karena kamu butuh saya,” tukas Dirgam.
Zuhra menundukkan kepalanya, merasa kesal sendiri dengan jawaban Dirgam yang berputar-putar.
Zuhra merasa aneh Mas mau bertanggungjawab dengan keadaan Zuhra ini.
“Saya ini seorang pria matang, saya butuh istri untuk mengurusi keperluan saya. Saya tidak meminta kamu untuk menjadi pembantu karena saya bisa menggaji sepuluh untuk itu, tapi saya butuh kamu untuk mendampingi saya. Saya sekarang nggak bisa janjikan cinta, tapi saya akan berusaha membimbing kamu sekuat yang saya bisa.”
Ungkapan sederhana Dirgam mampu membungkam keinginan Zuhra untuk menyela, tanpa alasan yang jelas ada rasa hangat menjalar di hatinya berkat ucapan Dirgam barusan.
“Uhm ... Bisakah Mas tidak terlalu formal? Kita ... bukan rekan bisnis, kan?” Zuhra berkata gugup.
“Akan saya coba,” jawabnya pendek.
Zuhra mengembuskan napasnya sedikit keras, dia pikir kalimat panjang Dirgam tadi menunjukkan bahwa pria itu mulai murah bicara, ternyata tidak sama sekali.
“Saya punya persyaratan.”
Sudah Zuhra duga, mana mungkin pria itu mau menikahinya tanpa syarat sama sekali.
“Syarat apa?” tanya Zuhra lemah. Dia mulai menduga-duga, syarat apa yang akan diajukan pria itu? Apakah syarat seperti ‘dia boleh menikah lagi’, atau ‘Zuhra tidak boleh mencampuri urusannya’, begitu?
“Kejujuran adalah yang pertama dalam pernikahan kita.”
Zuhra menatap aneh Dirgam, jelas-jelas pria itu yang tidak jujur di sini. Zuhra bahkan sampai menggeleng tidak percaya karena ucapan pria itu.
“Lalu?” tanya Zuhra mengesampingkan ketidakpercayaannnya.
Dirgam menggeleng kecil. “Selebihnya kita bicarakan nanti.”
Zuhra merasa ada banyak rahasia yang disimpan oleh Dirgam. Pria itu nampaknya adalah tipe orang yang tertutup. Zuhra jadi ragu, apakah nantinya dia mampu mengimbangi kepribadian Dirgam? Karena biar bagaimana pun, tak lama lagi dia akan menjadi istri Dirgam, seorang pria yang kikir bicara.
Apakah Zuhra sanggup?
✏✏✏
Setelah pertemuan dua keluarga itu berlangsung, maka tercapailah kesepakatan bahwa mereka akan melangsungkan pernikahan tepat dua minggu dari hari ini. Ayah Zuhra tidak ingin menunda-nunda lagi karena menurutnya lebih cepat maka lebih baik.
Keluarga Dirgam juga tidak keberatan, kelihatan senang malah.
“Ra, udah tidur?” Suara Pak Albar terdengar dari luar.
“Belom kok, Yah.”
Pria paruh baya itu muncul dari balik pintu. “Kenapa belum tidur, Anak Ayah?”
Zuhra tersenyum tipis. “Sebentar lagi, Yah.”
Pak Albar memandang sendu putri bungsunya, “Maafin Ayah yang nggak bisa jagain kamu.”
“Ayah ngomong apa, sih?” Mata Zuhra mulai berkaca-kaca.
“Harusnya Ayah lebih ekstra membimbing dan melindungi kamu,” ujar Pak Albar seraya membelai lembut rambut hitam Zuhra.
“Enggak, Yah. Zuhra yang salah. Zuhra yang nakal, Yah.” Zuhra menggenggam tangan ayahnya, “Ayah adalah pria terhebat yang Zuhra punya. Ayah terbaik bagi Zuhra dan Bang Ran.” Zuhra menghambur ke pelukan sang ayah, “Maafin Zuhra ngecewain Ayah.”
Pak Albar membalas pelukan gadis kecilnya yang sebentar lagi akan menjadi tanggung jawab orang lain. “Ayah sayang putri Ayah.”
“Zuhra juga sayang Ayah.”
Setelah sang ayah keluar, Zuhra mengambil sebuah album poto di dalam laci belajar, tatapannya sendu ketika membuka lembar pertama album foto di hadapannya, di sana terlihat seorang gadis dengan seragam sekolah sedang fokus membaca buku di perpustakaan. Besar kemungkinan foto itu diambil secara diam-diam.
Zuhra membuka lembaran selanjutnya, lagi-lagi berisi gambar gadis itu, kali ini dia sedang tertawa lepas bersama sahabatnya di kantin sekolah. Zuhra yakin foto ini juga diambil sembunyi-sembunyi.
Jari kurusnya terus bergerak lemah membuka lembar demi lembar album tersebut, sampai tiba akhirnya potret yang baru saja dibukanya membuat bibirnya bergetar menahan tangis.
“Kamu sehat kan, Ren?” bisiknya sendu.
“Bentar lagi aku menikah, maaf, aku nggak bisa nunggu kamu. Aku nggak mau jadi orang tua yang egois.” Ujung jemarinya mengusap lembut foto seorang anak lelaki yang sedang tersenyum manis ke arah gadis berkuncir kuda, dan gadis itu adalah dirinya.
Foto itu diambil sehari setelah mereka jadian, itu artinya tiga tahun yang lalu. Zuhra masih ingat betul masa-masa itu adalah masa-masa terbahagia bagi mereka berdua.
Zuhra menggigit bibir bawahnya untuk meredam isakan kecil yang mulai terdengar. Rasanya begitu menyesakkan dada saat orang yang kamu percayakan untuk menggenggam hatimu malah dengan tenang meremasnya sampai hancur tak bersisa.
“Selamat tinggal, Reno, Aku akan jaga anakku baik-baik.”
Zuhra menatap beberapa lipatan kertas berpita yang ada di hadapannya sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di meja. Sesekali diiringi kerutan di kening, pertanda dirinya sedang berpikir keras.Dengan hati-hati disingkirkannya beberapa kertas dan hanya menyisakan satu di hadapannya.“Zuhra suka yang ini, bagaimana menurut Mas?” Zuhra menunjuk kertas berwarna maroon dengan tinta emas yang tadi disisakannya.“Bagus.” Seperti biasa, singkat, padat, tapi tidak jelas.Zuhra menoleh ke sebelah di mana Dirgam sekarang berada.Mereka sedang duduk bersebelahan di karpet bulu. Zuhra memang lebih suka duduk di sini daripada di atas sofa, tidak menyangka Dirgam juga mengikutinya.“Jadi, kita pilih yang ini?” tanya Zuhra meyakinkan.“Ya.”Zuhra hampir saja berdecak kesal karena jawaban ringkas yang selalu Dirgam berikan.Bicara saja pelit, apalagi yang lain, batin Zuhra.“
Pernikahan Zuhra dengan Dirgam tinggal seminggu lagi, semua persiapan sudah diurus. Undangan merah maroon pilihan mereka kemarin juga sudah disebar.Awalnya Zuhra berpikir pernikahan mereka akan digelar di gedung hotel, namun ternyata Dirgam lebih memilih halaman belakang rumah Zuhra yang luas sebagai tempat resepsi mereka.Dirgam mewujudkan impian pernikahan garden party ala-ala Zuhra. Namun alasan utamanya adalah agar Zuhra tidak capek bolak balik ke hotel untuk sekedar mengecek persiapan pernikahan mereka. Dirgam memberikan peluang penuh bagi Zuhra untuk mengatur dekorasi sesuai keinginannya.Zuhra tersenyum mengingat itu.“Sudah makan?” Suara berat itu mampu mengembalikan Zuhra ke dunia nyata.Zuhra mengangguk sebagai jawaban, “Mas baru pulang?”“Hmm.”“Zuhra buatkan teh, ya?”“Tidak usah, saya hanya sebentar.”Saya, saya, saya, sayaaa.Zuhra sebal se
Keadaan rumah Zuhra sudah mulai ramai pagi ini, beberapa kerabat yang tinggal di luar Pulau Jawa sudah mulai tiba di Jakarta. Beberapa pekerja juga tengah sibuk menata peralatan pesta untuk esok hari. Sesekali Zuhra juga ikut mengecek apakah semua sudah sesuai dengan yang direncanakan atau belum.Sudah hampir seminggu dirinya tidak bertemu Dirgam, terakhir kali bertemu pria itu adalah pada hari minggu lalu. Setelahnya Dirgam tidak pernah berkunjung lagi. Jika ada keperluan penting seperti hal-hal yang menyangkut pernikahan maka pria itu akan mengutus orang kepercayaannya.“Mbak, kelihatannya Zuhra ini gemukan? Efek seneng punya calon suami guanteng, ya?” Salah satu kerabatnya sempat bertanya.Zuhra tersenyum kaku, kehamilannya memang masih dirahasiakan oleh keluarganya. Ayah Zuhra masih bingung ingin menceritakan seperti apa. Lagipula itu adalah aib keluarga.“Iya, Vin, udah tenang dia sekarang.” Bunda Zuhra mengusap kepala anaknya
Terkadang kita selalu melihat pelangi di atas kepala orang lain, lalu merasa kalau hidup mereka lebih indah dan berwarna dari hidup kita sendiri, tanpa kita sadari bahwa di atas kepala kita ada langit cerah dan begitu elok yang di anugerahkan oleh Tuhan.Zuhra mulai mengepak beberapa barang dan pakaian miliknya. Hari ini dirinya akan pindah dari rumah ayah dan bundanya. Statusnya sekarang sudah berubah. Jadi sudah seharusnya dia siap akan semua perubahan.“Sudah siap?”Zuhra menoleh saat mendengar pertanyaan Dirgam, “Belum, Mas.”“Hm.”Ingin sekali rasanya Zuhra mendengus kesal dengan reaksi Dirgam. Apa tidak ada jawaban lain? Kapan hubungan mereka ada kemajuan kalau seperti itu.Zuhra memasukkan bajunya ke dalam koper dengan dongkol.“Kenapa sebanyak itu?” Dirgam mengernyit di tepi ranjang.Zuhra pun tak kalah bingung, namanya perempuan ya pasti punya banyak baju atau alat kosmet
Tepukan lembut di pipi Zuhra mengusik tidur nyenyaknya. Matanya bahkan terasa amat lengket untuk sekedar terbuka. Karena itu dirinya hanya bergumam sambil berbalik dan tidur lagi. Namun tidak bertahan lama saat indera pendengarannya menangkap suara khas seseorang.“Kamu mau sholat Subuh bareng atau saya tinggal?”Zuhra bahkan langsung terduduk setelah mendengar suara Dirgam. Dirinya meringis menahan malu karena sebagai istri harusnya dia yang membangunkan Dirgam, bukan malah sebaliknya.Memang, hal terberat bagi Zuhra selama ini adalah bangun Subuh, bahkan bundanya harus rajin-rajin menggedor pintu agar dirinya tidak tidur lagi.“Mas duluan aja, Zuhra belum mandi,” ucapnya seraya mengamati Dirgam yang sudah tidak mengenakan piyama tidur, itu artinya pria itu sudah mandi.“Sepuluh menit, saya tunggu.”Setelah mengatakan hal itu Dirgam berjalan keluar kamar meninggalkan Zuhra yang hanya mampu mengedipkan mat
Dirgam menatap lurus ke depan, di mana punggung kokoh seseorang yang berbalut jas formal bersama antek-anteknya menghilang.Pandangan pria itu begitu sulit diartikan, membuat Zuhra yang sedari tadi juga ikut mengamati berhenti mengunyah makanannya.“Mas....” Teguran Zuhra mengalihkan perhatiannya.Dirgam menoleh dengan pandangan seakan bertanya ‘ada apa?’“Kenapa nggak makan?” tanya Zuhra.“Tadi sudah makan dengan klien.”“Kalau gitu kenapa pesan makanan sebanyak ini?” gerutu Zuhra.Dirgam mengedikkan bahu. Kamu kan harus makan dua porsi. Ingat, kamu bukan hanya memerlukan gizi untuk dirimu sendiri saja, omelnya. Meskipun begitu, bukan berarti Zuhra harus menghabiskan semua ini. Ingat, perut Zuhra cuma satu ini saja, kesalnya. Sudah jangan cerewet, habiskan yang sanggup kamu habiskan saja, pe
Zuhra makan dengan lahap, dirgam yang tadi sedang menyendokkan makanan ke mulutnya sampai harus berhenti mengunyah. Melihat wanita itu memakan habis isi piringnya membuat pria itu tersenyum samar. Kamu makan seperti orang kelaparan, sindir pria itu. Zuhra hanya tersenyum dan tak menghiraukan ejekan suaminya itu. Toh dia tahu, siapa yang paling kalang kabut kalau ia sampai tak berselera makan. Siapa suruh nikahin perempuan hamil dan rakus kayak Zuhra, ucapnya santai. Kamunya minta dinikahin, sahutnya tak kalah santai. Eh, nggak ada ya! sangkal wanita itu. Atau ayah yang maksa Mas, ya? Zuhra baru kepikirann sekarang. Habiskan makananmu, titah pria itu. Mas . Zuhra tak terima
Zuhra berjalan mondar-mandir seraya melirik jam dinding di kamar.‘Katanya mau pulang cepat, dasar tukang kibul,’ omel Zuhra.Zuhra menyambar smartphone miliknya yang tergeletak di atas tempat tidur, menimbang antara menelpon Dirgam atau tidak.‘Telpon, enggak? Telpon, enggak?’ gumam Zuhra seraya menggerak-gerakkan jarinya di atas kontak Dirgam. Sungguh, ia dilema.“Oh My God!” pekik Zuhra kaget.Tuuut ....Dengan cepat Zuhra mematikan sambungan tersebut. Entah apa yang tanpa sengaja dilakukan jarinya tadi, sehingga panggilan dengan Dirgam tersambung, membuat Zuhra terkejut setengah mati.Tak lama kemudian handphone Zuhra berbunyi dan menampilkan panggilan dari Dirgam. Zuhra memutuskan untuk menerima panggilan masuk itu dan berpura-pura bahwa dia tadi salah pencet, toh memang dia tidak benar-benar ingin menelpon Dirgam, bukan?“Hallo,”“Di mana?”Zu
"Ra, udahan dong," rengek Dirgam.Zuhra melotot garang. "Nggak ada! Itu hukuman Mas karena suka ganjen!" ucapnya ketus."Aduuh, Ra. Dia itu sekretaris Papa. Masa sekretaris Papa juga Mas yang pilihin?"
Dirgam merangkul bahu Zuhra dengan sayang. Dia tak membiarkan sedikit pun wanita itu jauh dari jangkauan, membuat semua keluarga yang berkumpul menggelengkan kepala melihat sikap protectivenya.H
Dirgam duduk termenung di taman rumah sakit tempat ibunya dirawat. Sudah satu jam berlalu, dan dia masih enggan untuk beranjak. Ia merenung atas apa yang sudah dialaminya selama ini. Fakta yang baru saja diketahui, dia tak ingin percaya. Tapi, logikanya selalu membenarkan. Jika begitu, bukankah Dirgam sudah berbuat kejam terhadap ayahnya selama ini? Ah, tentu tidak. Ini juga termasuk salah ayahnya yang tak membawanya serta pergi. Kenapa meninggalkan anak pada istri yang tukang selingkuh?Ia menghela napas, terus saja mencari alasan kebenaran atas sikapnya selama ini. Dia juga korban di sini. Lamunan pria itu terhenti karena tarikan kasar seseorang. "Berengsek! Di sini lo ternyata! Bajingan yang udah hamilin adik gue!!" Randy berteria
“Ra ....”Dirgam lantas menoleh karena sapaan lembut Reno pada Zuhra yang berdiri tak jauh dari mereka, dengan perut membuncit serta mata berkaca-kaca.“Maaf ... tapi yang harus selalu kamu tahu, aku tulus sayang sama kamu, Ra,” bisik Reno.
Zuhra menatap sendu pada Dirgam yang memeluk lembut wanita paruh baya yang sedang terbaring di ranjang. Sangat tampak begitu besar kesedihan yang coba pria itu sembunyikan di setiap harinya. Kali ini Zuhra bisa melihat sendiri, betapa rapuhnya seorang Dirgam Arhab.
Katanya cuma teman, tapi di balik layar sayang-sayangan. Kalau ketahuan, alasannya kehilafan.- Perfect Husband“Sewaktu Mas dijemput Papa dan Mama, Kely juga mendapat keluarga baru
Zuhra masih menekuk wajah saat Dirgam merebahkan tubuhnya dengan lembut di atas ranjang.Karena memang tak ada penyakit yang serius,
Kadang semesta memang suka bercanda, sampai kita tak sanggup lagi meski hanya untuk tertawa. Menggelikan.Zuhra mendengus tak percaya. Dia merasa marah, kesal, benci, tapi juga ... lega. Apa-apaan ini?
Kenyataanya ketika cinta sudah meracuni hati dan pikiran, maka kepintaran seseorang akan menguap entah ke mana. Cinta pakai logika? Bullshit.Itulah yang dirasakan Zuhra Kalinka saat ini. Mencintai dalam kerapuhan hati. Pedihnya jiwa yang teriris akibat kelakuan sialan Dirgam nyatan