Zuhra duduk dengan gelisah di sebelah bundanya, kedua jarinya terpaut di atas pangkuan. Sesekali gadis itu akan meremas jari tangan, mencoba mengurangi risau.
Di hadapannya duduk seseorang pria yang tengah berbincang hangat dengan ayahnya, lebih tepat Ayah Zuhra yang mencoba akrab dengan pria itu. Karena sedari tadi dia perhatikan, pria itu hanya sedikit berbicara, menjawab apa yang ayahnya tanyakan tanpa bertanya kembali. Tipikal pria yang sangat irit bicara.
Zuhra kembali meneliti penampilan pria itu, tidak ada yang spesial. Cara berpakaiannya sama dengan eksekutif muda lainnya, karena yang Zuhra tahu pria ini memang seorang pengusaha.
“Jadi, kapan keluarga Nak Dirgam bisa datang ke rumah?” tanya Pak Albar tanpa basa basi.
Mendengar nama pria itu saja sudah membuat Zuhra merinding, apalagi membayangkan dirinya harus hidup serumah dengan pemilik nama tersebut selamanya.
Catat ... selamanya!
Zuhra pasti akan mati ketakutan.
Beberapa menit lalu bahkan Zuhra hampir pingsan saat pria itu menjabat tangannya sembari menyebutkan nama Dirgam.
Entahlah, Zuhra merasakan aura kelam yang menyelimuti pria itu. Wajahnya yang selalu menampilkan raut datar membuat Zuhra bertanya-tanya, apa yang ada di pikiran pria itu.
“Zuhra, Nak Dirgam-nya mau pulang, anterin gih ke depan,” bisik bundanya membuyarkan lamunan Zuhra.
Ternyata sedari tadi dia melamun hingga tak sadar bahwa ayahnya dan Dirgam sudah selesai berbicara.
Zuhra mengangguk lalu berdiri mengantar calon suaminya itu hingga serambi rumah.
“Hati-hati di jalan, Nak, jangan ngebut,” ujar Ayah Zuhra mengingatkan.
Jangan berharap banyak pria itu akan menjawab panjang lebar, karena nyatanya pria itu hanya mengangguk sebagai balasan.
Melihat sikap pria itu membuat Zuhra mencibir tanpa sadar. Tetapi saat tak sengaja matanya menangkap tatapan menghujam pria itu ke arahnya, Zuhra refleks mengatupkan bibir rapat-rapat. Pandangan pria itu benar-benar menakutkan.
✏✏✏
“Jadi, lo udah ketemu sama cowok itu?” tanya Nadia antusias.
“Cowok mana?”
“Calon suami lo,” sahut Nadia gemas.
“Dia pria bukan cowok.”
“Ish, apa bedanya sih?”
“Ya beda, lah.”
“Okelah, terserah. Jadi, lo udah ketemu sama p-r-i-a itu belum?” tanya Nadia penuh penekanan pada kata pria.
“Udah tadi pagi, mungkin sebelum dia berangkat ke kantor,” jawab Zuhra acuh.
“Terus gimana?” Nadia terlihat semangat sekali bertanya.
Tadi saat Zuhra memberitahu bahwa orang tuanya berencana menikahkan gadis itu dengan seorang pria anak kenalan ayahnya, Nadia langsung cepat-cepat menyelesaikan urusannya dan bergegas menemui sahabatnya itu. Baginya itu kabar yang cukup menggembirakan, walaupun agak aneh karena seorang pria mau bertanggung jawab atas sesuatu yang bukan kesalahannya.
“Gimana apanya?”
“Please deh, Ra, jangan ngeselin bisa?” sungut Nadia mulai kesal.
Zuhra terkekeh kecil. “Ya, gitu. Nggak ada yang spesial kok.”
“Ganteng nggak?”
“Lumayan sih, tapi serem.” Zuhra bergidik layaknya orang ketakutan.
“Serem--lo kira hantu.”
“Bukan hantu, tapi iblis,” sahut Zuhra mendramatisir.
“Lebay lo.”
“Ntar juga lo tahu sen--”
Kalimatnya terpotong oleh suara pintu yang di buka tiba-tiba. Randy berdiri di sana sambil ngos-ngosan.
“Abang kenapa?” tanya Zuhra.
“Kata Bunda lo dijodohin?” selidik Randy.
Selalu begitu, Randy hanya ber-aku kamu di waktu tertentu saja. Saat di hadapan orang tua mereka misalnya.
“Bunda bilang apa aja?” tanya Zuhra balik.
“Jawab dulu pertanyaan gue,” tuntut Randy.
Zuhra mencebik sebal. “Memangnya bisa disebut perjodohan kalau kondisi Zuhra begini?”
Randy menarik napasnya berat, “Gimana keadaan Baby?” tanya Randy sembari duduk di sebelah Zuhra.
Zuhra mengusap lembut tepat di perutnya. “Babby sehat, Om,” jawabnya lucu.
Randy menatap sendu adik kesayangannya. “Lo baik-baik aja, kan?”
Zuhra mengangguk kecil sambil tersenyum. “Zuhra nggak apa-apa, Bang. Jangan khawatir.”
Bohong! Namun Zuhra bisa apa? Dia hanya tidak ingin orang-orang yang disayanginya semakin khawatir.
Nyatanya gadis itu tidak baik-baik saja, menangis tengah malam pun kini menjadi rutinitasnya.
Setiap pagi dia harus cepat-cepat mengompres mata agar tidak terlihat membengkak.
“Lo nggak ada ngidam apa gitu?” tanya Nadia di tengah kebisuan mereka.
Zuhra menggeleng sambil mengingat-ingat. “Mungkin dia tahu keadaan bundanya,” jawab Zuhra sambil tersenyum getir.
Nadia meringis merutuki kebodohannya, ternyata pertanyaan itu membuat Zuhra kembali bersedih.
Mereka bilang seorang wanita itu dilihat dari masa lalunya, sedangkan pria dilihat dari masa depannya. Lantas bagaimana jika masa lalu kita terlanjur buruk? Perbaiki mulai hari ini, tapi bukankah hari ini juga akan jadi masa lalu?
✏✏✏
Zuhra duduk bersandar di atas kasur kesayangan, tapi pandangannya menerawang jauh seakan mampu menembus dinding kamar.
Berkali-kali dirinya menarik napas dan mengembuskannya kasar. Banyak pertanyaan yang terlintas di benaknya, akan tetapi tak ada satu pun yang mampu ia jawab walaupun sudah berjam-jam dipikirkan.
“Lagi mikirin apa, Anak Bunda?” Suara lembut Bu Ratna -Bunda Zuhra- menyadarkan gadis itu dari lamunan.
Zuhra mengulas senyum lembut, “Nggak ada kok, Bun.”
“Mau bantu Bunda?” tanya Bu Ratna sembari mengusap halus kepala putrinya.
“Bantu apa, Bun?”
Bu Ratna berpikir sejenak. “Ehm ... Bunda mau masak arsik sama rendang, dan beberapa cemilan untuk selingan.”
“Loh, memangnya ada acara apa, Bun? Bunda ada pengajian?” tanya Zuhra bingung.
“Bukan, rencananya calon suami kamu bersama keluarganya akan bertamu malam ini,” ucap Bu Ratna seraya mengulas senyum.
Senyum yang sedari tadi Zuhra sunggingkan perlahan menghilang. “Bun ....”
“Sayang, Dirgam itu pria baik. Dia itu anak temannya ayah, dan selama ini yang Bunda tahu dia nggak pernah neko-neko,” tutur bundanya halus.
“Tapi, Bun, Zuhra nggak kenal pria itu, sifatnya gimana, dia sukanya apa, malah jangan-jangan dia udah punya istri lagi.”
“Hus, nggak boleh ngomong gitu, toh nanti juga kamu akan kenal kok, apalagi setelah menikah kalian punya banyak waktu berdua untuk saling mengenal,” ucap sang bunda memberi pengertian.
“Tapi, Bun--”
“Pikirin bayi kamu? Kamu mau bayi yang nggak bersalah ini jadi korban keegoisan orang tuanya?” Zuhra bungkam, merasa ucapan bundanya barusan tepat mengenai hatinya.
“Kamu harus kuat, Bunda tahu sulit untuk membuat Dirgam menjadi sosok yang kamu mau, tapi percayalah, Nak, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Jangan jadikan kekurangan Dirgam itu sebagai alasan kamu menolak. Bunda yakin, apa pun alasan Dirgam melakukan ini, pastilah sudah menjadi rencana indah yang sudah ditetapkan Allah untuk kamu.”
Zuhra memeluk bundanya erat. “Maafin Zuhra ya, Bun. Zuhra udah egois, Zuhra nggak tahu terima kasih, harusnya Zuhra bersyukur ada yang mau menikahi Zuhra dalam keadaan begini,” ucap Zuhra lirih.
Bu Ratna membelai lembut rambut Zuhra. “Jadi, bisa bantu Bunda?”
Zuhra melepaskan pelukannya. “Siap laksanakan, Bunda,” jawabnya dalam posisi hormat layaknya seorang prajurit sembari tersenyum manis.
Langit cerah kota Jakarta mulai memudar dan digantikan pekatnya malam. Meski begitu, ada banyak bintang yang bertabur acak menghiasi gelapnya cakrawala, di sela-selanya terselip senyum lembut yang berasal dari bulan berbentuk sabit.Zuhra Kalinka, menatap lurus bayangan dirinya yang sedang duduk di kursi panjang halaman belakang rumah. Tidak ada pemandangan menarik di depannya, hanya rumput hijau yang dengan rutin dipapras dan beberapa tanaman bunga milik bundanya yang terlihat di keremangan.Melalui posisinya saat ini Zuhra masih bisa mendengar suara riuh canda tawa dari dalam rumah, mungkin yang paling keras adalah suara ayahnya. Meskipun Zuhra tahu masih ada terselip bahagia palsu dalam tawa itu.“Bagaimana keadaannya?”Zuhra serta merta menoleh ke samping di mana suara itu berasal. Cukup lama mereka berdiam diri tanpa ada satu pun yang membuka suara. Zuhra seakan melupakan keberadaan lelaki yang sedari tadi duduk di sebelahnya.
Zuhra menatap beberapa lipatan kertas berpita yang ada di hadapannya sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di meja. Sesekali diiringi kerutan di kening, pertanda dirinya sedang berpikir keras.Dengan hati-hati disingkirkannya beberapa kertas dan hanya menyisakan satu di hadapannya.“Zuhra suka yang ini, bagaimana menurut Mas?” Zuhra menunjuk kertas berwarna maroon dengan tinta emas yang tadi disisakannya.“Bagus.” Seperti biasa, singkat, padat, tapi tidak jelas.Zuhra menoleh ke sebelah di mana Dirgam sekarang berada.Mereka sedang duduk bersebelahan di karpet bulu. Zuhra memang lebih suka duduk di sini daripada di atas sofa, tidak menyangka Dirgam juga mengikutinya.“Jadi, kita pilih yang ini?” tanya Zuhra meyakinkan.“Ya.”Zuhra hampir saja berdecak kesal karena jawaban ringkas yang selalu Dirgam berikan.Bicara saja pelit, apalagi yang lain, batin Zuhra.“
Pernikahan Zuhra dengan Dirgam tinggal seminggu lagi, semua persiapan sudah diurus. Undangan merah maroon pilihan mereka kemarin juga sudah disebar.Awalnya Zuhra berpikir pernikahan mereka akan digelar di gedung hotel, namun ternyata Dirgam lebih memilih halaman belakang rumah Zuhra yang luas sebagai tempat resepsi mereka.Dirgam mewujudkan impian pernikahan garden party ala-ala Zuhra. Namun alasan utamanya adalah agar Zuhra tidak capek bolak balik ke hotel untuk sekedar mengecek persiapan pernikahan mereka. Dirgam memberikan peluang penuh bagi Zuhra untuk mengatur dekorasi sesuai keinginannya.Zuhra tersenyum mengingat itu.“Sudah makan?” Suara berat itu mampu mengembalikan Zuhra ke dunia nyata.Zuhra mengangguk sebagai jawaban, “Mas baru pulang?”“Hmm.”“Zuhra buatkan teh, ya?”“Tidak usah, saya hanya sebentar.”Saya, saya, saya, sayaaa.Zuhra sebal se
Keadaan rumah Zuhra sudah mulai ramai pagi ini, beberapa kerabat yang tinggal di luar Pulau Jawa sudah mulai tiba di Jakarta. Beberapa pekerja juga tengah sibuk menata peralatan pesta untuk esok hari. Sesekali Zuhra juga ikut mengecek apakah semua sudah sesuai dengan yang direncanakan atau belum.Sudah hampir seminggu dirinya tidak bertemu Dirgam, terakhir kali bertemu pria itu adalah pada hari minggu lalu. Setelahnya Dirgam tidak pernah berkunjung lagi. Jika ada keperluan penting seperti hal-hal yang menyangkut pernikahan maka pria itu akan mengutus orang kepercayaannya.“Mbak, kelihatannya Zuhra ini gemukan? Efek seneng punya calon suami guanteng, ya?” Salah satu kerabatnya sempat bertanya.Zuhra tersenyum kaku, kehamilannya memang masih dirahasiakan oleh keluarganya. Ayah Zuhra masih bingung ingin menceritakan seperti apa. Lagipula itu adalah aib keluarga.“Iya, Vin, udah tenang dia sekarang.” Bunda Zuhra mengusap kepala anaknya
Terkadang kita selalu melihat pelangi di atas kepala orang lain, lalu merasa kalau hidup mereka lebih indah dan berwarna dari hidup kita sendiri, tanpa kita sadari bahwa di atas kepala kita ada langit cerah dan begitu elok yang di anugerahkan oleh Tuhan.Zuhra mulai mengepak beberapa barang dan pakaian miliknya. Hari ini dirinya akan pindah dari rumah ayah dan bundanya. Statusnya sekarang sudah berubah. Jadi sudah seharusnya dia siap akan semua perubahan.“Sudah siap?”Zuhra menoleh saat mendengar pertanyaan Dirgam, “Belum, Mas.”“Hm.”Ingin sekali rasanya Zuhra mendengus kesal dengan reaksi Dirgam. Apa tidak ada jawaban lain? Kapan hubungan mereka ada kemajuan kalau seperti itu.Zuhra memasukkan bajunya ke dalam koper dengan dongkol.“Kenapa sebanyak itu?” Dirgam mengernyit di tepi ranjang.Zuhra pun tak kalah bingung, namanya perempuan ya pasti punya banyak baju atau alat kosmet
Tepukan lembut di pipi Zuhra mengusik tidur nyenyaknya. Matanya bahkan terasa amat lengket untuk sekedar terbuka. Karena itu dirinya hanya bergumam sambil berbalik dan tidur lagi. Namun tidak bertahan lama saat indera pendengarannya menangkap suara khas seseorang.“Kamu mau sholat Subuh bareng atau saya tinggal?”Zuhra bahkan langsung terduduk setelah mendengar suara Dirgam. Dirinya meringis menahan malu karena sebagai istri harusnya dia yang membangunkan Dirgam, bukan malah sebaliknya.Memang, hal terberat bagi Zuhra selama ini adalah bangun Subuh, bahkan bundanya harus rajin-rajin menggedor pintu agar dirinya tidak tidur lagi.“Mas duluan aja, Zuhra belum mandi,” ucapnya seraya mengamati Dirgam yang sudah tidak mengenakan piyama tidur, itu artinya pria itu sudah mandi.“Sepuluh menit, saya tunggu.”Setelah mengatakan hal itu Dirgam berjalan keluar kamar meninggalkan Zuhra yang hanya mampu mengedipkan mat
Dirgam menatap lurus ke depan, di mana punggung kokoh seseorang yang berbalut jas formal bersama antek-anteknya menghilang.Pandangan pria itu begitu sulit diartikan, membuat Zuhra yang sedari tadi juga ikut mengamati berhenti mengunyah makanannya.“Mas....” Teguran Zuhra mengalihkan perhatiannya.Dirgam menoleh dengan pandangan seakan bertanya ‘ada apa?’“Kenapa nggak makan?” tanya Zuhra.“Tadi sudah makan dengan klien.”“Kalau gitu kenapa pesan makanan sebanyak ini?” gerutu Zuhra.Dirgam mengedikkan bahu. Kamu kan harus makan dua porsi. Ingat, kamu bukan hanya memerlukan gizi untuk dirimu sendiri saja, omelnya. Meskipun begitu, bukan berarti Zuhra harus menghabiskan semua ini. Ingat, perut Zuhra cuma satu ini saja, kesalnya. Sudah jangan cerewet, habiskan yang sanggup kamu habiskan saja, pe
Zuhra makan dengan lahap, dirgam yang tadi sedang menyendokkan makanan ke mulutnya sampai harus berhenti mengunyah. Melihat wanita itu memakan habis isi piringnya membuat pria itu tersenyum samar. Kamu makan seperti orang kelaparan, sindir pria itu. Zuhra hanya tersenyum dan tak menghiraukan ejekan suaminya itu. Toh dia tahu, siapa yang paling kalang kabut kalau ia sampai tak berselera makan. Siapa suruh nikahin perempuan hamil dan rakus kayak Zuhra, ucapnya santai. Kamunya minta dinikahin, sahutnya tak kalah santai. Eh, nggak ada ya! sangkal wanita itu. Atau ayah yang maksa Mas, ya? Zuhra baru kepikirann sekarang. Habiskan makananmu, titah pria itu. Mas . Zuhra tak terima
"Ra, udahan dong," rengek Dirgam.Zuhra melotot garang. "Nggak ada! Itu hukuman Mas karena suka ganjen!" ucapnya ketus."Aduuh, Ra. Dia itu sekretaris Papa. Masa sekretaris Papa juga Mas yang pilihin?"
Dirgam merangkul bahu Zuhra dengan sayang. Dia tak membiarkan sedikit pun wanita itu jauh dari jangkauan, membuat semua keluarga yang berkumpul menggelengkan kepala melihat sikap protectivenya.H
Dirgam duduk termenung di taman rumah sakit tempat ibunya dirawat. Sudah satu jam berlalu, dan dia masih enggan untuk beranjak. Ia merenung atas apa yang sudah dialaminya selama ini. Fakta yang baru saja diketahui, dia tak ingin percaya. Tapi, logikanya selalu membenarkan. Jika begitu, bukankah Dirgam sudah berbuat kejam terhadap ayahnya selama ini? Ah, tentu tidak. Ini juga termasuk salah ayahnya yang tak membawanya serta pergi. Kenapa meninggalkan anak pada istri yang tukang selingkuh?Ia menghela napas, terus saja mencari alasan kebenaran atas sikapnya selama ini. Dia juga korban di sini. Lamunan pria itu terhenti karena tarikan kasar seseorang. "Berengsek! Di sini lo ternyata! Bajingan yang udah hamilin adik gue!!" Randy berteria
“Ra ....”Dirgam lantas menoleh karena sapaan lembut Reno pada Zuhra yang berdiri tak jauh dari mereka, dengan perut membuncit serta mata berkaca-kaca.“Maaf ... tapi yang harus selalu kamu tahu, aku tulus sayang sama kamu, Ra,” bisik Reno.
Zuhra menatap sendu pada Dirgam yang memeluk lembut wanita paruh baya yang sedang terbaring di ranjang. Sangat tampak begitu besar kesedihan yang coba pria itu sembunyikan di setiap harinya. Kali ini Zuhra bisa melihat sendiri, betapa rapuhnya seorang Dirgam Arhab.
Katanya cuma teman, tapi di balik layar sayang-sayangan. Kalau ketahuan, alasannya kehilafan.- Perfect Husband“Sewaktu Mas dijemput Papa dan Mama, Kely juga mendapat keluarga baru
Zuhra masih menekuk wajah saat Dirgam merebahkan tubuhnya dengan lembut di atas ranjang.Karena memang tak ada penyakit yang serius,
Kadang semesta memang suka bercanda, sampai kita tak sanggup lagi meski hanya untuk tertawa. Menggelikan.Zuhra mendengus tak percaya. Dia merasa marah, kesal, benci, tapi juga ... lega. Apa-apaan ini?
Kenyataanya ketika cinta sudah meracuni hati dan pikiran, maka kepintaran seseorang akan menguap entah ke mana. Cinta pakai logika? Bullshit.Itulah yang dirasakan Zuhra Kalinka saat ini. Mencintai dalam kerapuhan hati. Pedihnya jiwa yang teriris akibat kelakuan sialan Dirgam nyatan