Zuhra menatap beberapa lipatan kertas berpita yang ada di hadapannya sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di meja. Sesekali diiringi kerutan di kening, pertanda dirinya sedang berpikir keras.
Dengan hati-hati disingkirkannya beberapa kertas dan hanya menyisakan satu di hadapannya.
“Zuhra suka yang ini, bagaimana menurut Mas?” Zuhra menunjuk kertas berwarna maroon dengan tinta emas yang tadi disisakannya.
“Bagus.” Seperti biasa, singkat, padat, tapi tidak jelas.
Zuhra menoleh ke sebelah di mana Dirgam sekarang berada.
Mereka sedang duduk bersebelahan di karpet bulu. Zuhra memang lebih suka duduk di sini daripada di atas sofa, tidak menyangka Dirgam juga mengikutinya.
“Jadi, kita pilih yang ini?” tanya Zuhra meyakinkan.
“Ya.”
Zuhra hampir saja berdecak kesal karena jawaban ringkas yang selalu Dirgam berikan.
Bicara saja pelit, apalagi yang lain, batin Zuhra.
“Oke, undangan sudah, gaun sudah, sekarang cincin,” ucap gadis yang sedari tadi mengamati mereka.
Faranisa, perempuan anggun berambut lurus sepinggang itu adalah adik Dirgam yang merangkap sebagai WO pernikahan mereka.
“Kalian ingin cincin seperti apa?” tanya gadis itu seraya menyodorkan sebuah kotak persegi yang berisi beberapa contoh cincin yang beragam macam bentuk.
Entah apa alasan Dirgam meminta Nisa untuk membawa sampel itu ke rumah Zuhra, padahal mereka bisa saja datang sendiri ke toko perhiasan untuk memilih tanpa harus merepotkan Nisa lebih banyak lagi.
Zuhra kembali mengamati benda melingkar di hadapannya. Lagi-lagi keningnya berkerut seperti kebiasaannya sedang berpikir.
Bagi Zuhra semua cincin itu cantik sehingga menyulitkan dirinya untuk memilih.
Zuhra mengembuskan napas panjang, lalu tangan kecilnya menggeser kotak itu tepat di hadapan Dirgam.
“Mas aja yang pilih, Zuhra kan udah pilih undangannya,” ucap Zuhra.
Dirgam melirik Zuhra sekilas, “Yang menurutmu bagus saja.”
Zuhra mengatupkan bibirnya menahan kekesalannya yang sudah sampai di ubun-ubun. Zuhra kesal dengan sikap Dirgam yang acuh seperti itu, kalau memang tidak niat menikah ya tidak usah.
“Mas itu sebenernya serius nggak sih nikahin Zuhra?” tanya Zuhra jengkel.
Dirgam menoleh, “Maksudmu?”
“Mas serius nggak buat menikah sama Zuhra?” Zuhra memejamkan matanya sejenak. “Kalau nggak, mending kita batalin aja,” lanjutnya.
Ucapan tenang Zuhra mampu membuat mata Dirgam menatapnya tajam, siap menusuk sampai organ terdalam sekali pun.
Nisa yang melihat gelagat pertengkaran di antara mereka hanya menggeleng kepala bosan.
Di umur yang baru menginjak delapan belas tahun ini membuat emosi Zuhra masih sulit dikontrol. Tingkat kelabilannya juga masih sangat tinggi. Wajar saja jika perempuan yang baru saja menyelesaikan sekolah menengah atas itu mengambil keputusan tanpa pikir panjang, seperti yang dilakukannya sekarang ini.
“Nggak usah lebay, deh. Bang Dirgam memang begitu orangnya,” ucap Nisa jengkel.
Entah kenapa Zuhra merasa kalau Nisa ini tidak menyukainya. Dari awal mereka berbicara pun sudah sangat terlihat kalau Nisa begitu antipati kepadanya.
Rasanya Zuhra ingin menangis saat ini juga, merasa tersudut oleh ucapan calon adik ipar yang notabenenya lebih tua dari dirinya.
Zuhra mendengar suara helaan napas di sampingnya. Pria itu memijat pelipisnya pelan.
“Atur pernikahan ini sesuai impianmu, cukup mempelainya saja yang tidak.”
Lagi, kalimat ambigu yang dilontarkan pria itu. Sekarang Zuhra menambahkan Mr. Ambigu sebagai nama lain Dirgam.
Emosi Zuhra yang tadinya sudah sampai di ubun-ubun kini meluap entah ke mana karena menilisik pandangan mata Dirgam, ada pancaran tulus di sana. Mungkin.
Zuhra akhirnya mengalah dan menunjuk sebuah cincin sederhana tetapi terlihat cantik, yang sejak awal menarik perhatiannya.
“Ini bagaimana?” tanyanya.
“Bagus.”
Hanya itu jawaban yang dilontarkan Dirgam, membuat Zuhra menghela napas pasrah.
✏✏✏
“Mau ke mana sih, Nad?” rengek Zuhra yang saat ini tengah diseret paksa oleh Nadia memasuki mall.
“Jalan-jalan. Lo bisa stres kalau kelamaan angkrem di kamar terus.”
“Lo kira gue ayam?” sungut Zuhra kesal.
“Induknya.” Nadia tertawa kencang melihat wajah Zuhra yang sudah ditekuk.
“Udah deh nggak usah cemberut gitu, udah mau jadi emak-emak juga.”
“Lo ngeselin banget hari ini, Nad, sumpah.”
Nadia tidak perduli dengan ocehan Zuhra. Gadis itu terus saja menarik tangan Zuhra.
“Kok ke sini?” tanya Zuhra bingung.
“Lo itu lagi hamil, nggak boleh pake bedak kayak biasanya. Ganti ini,” ucap Nadia seraya menyodorkan sebuah bedak bayi.
“Loh, kan baby-nya belum keluar, masa dikasih ini?”
“Ini buat lo biar kandungan lo aman, kosmetik yang lo pake sekarang belum tentu aman buat bumil.”
Zuhra menerima bedak bayi yang disodorkan oleh Nadia, “Gue aja nggak punya waktu lagi buat sekedar pake bedak atau lotion,” gumamnya.
“Iya, karena lo sibuk meratap,” dengus Nadia.
“Zuhra!”
Satu panggilan membuat gadis itu menoleh ke asal suara. Seketika dia terpaku. Detak jantungnya seakan bekerja dua kali lipat.
“Kamu ngapain di sini?” tanya suara itu lagi.
“Bukan urusan lo.” Itu bukan suara Zuhra, melainkan suara Nadia.
“Nggak usah nyolot dong lo,” ucap seorang gadis yang berdiri di sebelah pria yang memanggil Zuhra tadi. Intan namanya.
“Kita cuma jalan-jalan aja kok, Al,” jawab Zuhra setelah mencoba tenang.
“Kamu tahu Reno berangkat ke Inggris?”
Hati Zuhra rasanya seperti diketuk palu, amat nyeri. Zuhra meremas jarinya mencari sedikit lagi ketenangan yang dia punya.
“Tahu kok, Al,” jawabnya.
“Mending kita pergi aja yuk, Ra.” Nadia menarik tangan Zuhra untuk menjauhi orang-orang kepo di hadapan mereka.
“Kalau lo tahu, kenapa lo nggak ikut anterin Reno ke bandara? Pacar macem apa lo itu?”
Ucapan Intan sukses membuat langkah Zuhra terhenti. Napasnya sedikit memburu menahan gejolak emosi yang rasanya mulai meluap.
“Eh, mulut lo ya, gue cabein juga lama-lama,” hardik Nadia penuh emosi.
“Kami udah putus.” Jawaban Zuhra sontak membuat mereka bungkam.
“Kalian--”
“Iya, kami putus tepat setengah jam sebelum dia berangkat.” Penjelasan Zuhra memotong perkataan Albi. Matanya lalu tertuju pada Intan. “Dari dulu lo suka kan sama Reno? Ambil gih, gue ikhlas,” ucapnya.
“Kenapa kalian putus?” tanya Albi penasaran.
“Bosen.”
Setelah mengatakan itu Zuhra balik menarik tangan Nadia untuk menjauhi sahabat mantan pacarnya, Reno.
Kamu udah pergi pun masih tetep bisa jadi sebab aku sakit, Ren.
✏✏✏
Setelah berkeliling sebentar, akhirnya Zuhra dan Nadia memutuskan untuk mencari makanan. Dan di sinilah mereka saat ini, sedang menikmati santapan lezat di Rumah Makan Padang, untung belum masuk waktu makan siang, jadi tempat ini masih lumayan sepi.
“Lo makan banyak banget,” ucap Nadia takjub.
Saat ini mereka sedang makan di Rumah Makan Padang. Untung belum masuk waktu makan siang, jadi tempat ini masih lumayan sepi.
“Anak gue juga butuh makan,” jawab Zuhra sambil menyuapkan sesendok nasi terakhirnya.
“Wahaha, alibi lo lumayan oke.” Nadia menyeruput jus wortelnya. “Baby, sehat?” tanyanya.
“Sehat, Tante Cantik,” sahut Zuhra menirukan suara anak kecil.
Nadia tersenyum mendengarnya. Gadis itu bersyukur karena Zuhra terlihat mulai bisa menerima keberadaan bayi itu di rahimnya.
“Lo kenapa sih suka banget jus wortel?” tanya Zuhra saat melihat Nadia menandaskan minumannya.
“Gue butuh vitamin supaya mata gue tetep cling liat cowok ganteng,” jawab Nadia santai.
“Sarap.”
Nadia kembali tertawa senang. “Ngomong-ngomong gue suka gaya lo tadi,” ucap Nadia.
“Gaya apa?”
“Bosen.” Nadia menirukan gaya bicara Zuhra tadi yang terdengar menyebalkan.
“Gue seneng lo nggak nangis kejer depan mereka, lo bisa kontrol emosi,” lanjut Nadia lagi.
“Iya doongs, jadilah mantan yang elegan,” ujar Zuhra layaknya sang motivator.
“Gaya lo selangit padahal tinggi cuma semeter.”
Pernikahan Zuhra dengan Dirgam tinggal seminggu lagi, semua persiapan sudah diurus. Undangan merah maroon pilihan mereka kemarin juga sudah disebar.Awalnya Zuhra berpikir pernikahan mereka akan digelar di gedung hotel, namun ternyata Dirgam lebih memilih halaman belakang rumah Zuhra yang luas sebagai tempat resepsi mereka.Dirgam mewujudkan impian pernikahan garden party ala-ala Zuhra. Namun alasan utamanya adalah agar Zuhra tidak capek bolak balik ke hotel untuk sekedar mengecek persiapan pernikahan mereka. Dirgam memberikan peluang penuh bagi Zuhra untuk mengatur dekorasi sesuai keinginannya.Zuhra tersenyum mengingat itu.“Sudah makan?” Suara berat itu mampu mengembalikan Zuhra ke dunia nyata.Zuhra mengangguk sebagai jawaban, “Mas baru pulang?”“Hmm.”“Zuhra buatkan teh, ya?”“Tidak usah, saya hanya sebentar.”Saya, saya, saya, sayaaa.Zuhra sebal se
Keadaan rumah Zuhra sudah mulai ramai pagi ini, beberapa kerabat yang tinggal di luar Pulau Jawa sudah mulai tiba di Jakarta. Beberapa pekerja juga tengah sibuk menata peralatan pesta untuk esok hari. Sesekali Zuhra juga ikut mengecek apakah semua sudah sesuai dengan yang direncanakan atau belum.Sudah hampir seminggu dirinya tidak bertemu Dirgam, terakhir kali bertemu pria itu adalah pada hari minggu lalu. Setelahnya Dirgam tidak pernah berkunjung lagi. Jika ada keperluan penting seperti hal-hal yang menyangkut pernikahan maka pria itu akan mengutus orang kepercayaannya.“Mbak, kelihatannya Zuhra ini gemukan? Efek seneng punya calon suami guanteng, ya?” Salah satu kerabatnya sempat bertanya.Zuhra tersenyum kaku, kehamilannya memang masih dirahasiakan oleh keluarganya. Ayah Zuhra masih bingung ingin menceritakan seperti apa. Lagipula itu adalah aib keluarga.“Iya, Vin, udah tenang dia sekarang.” Bunda Zuhra mengusap kepala anaknya
Terkadang kita selalu melihat pelangi di atas kepala orang lain, lalu merasa kalau hidup mereka lebih indah dan berwarna dari hidup kita sendiri, tanpa kita sadari bahwa di atas kepala kita ada langit cerah dan begitu elok yang di anugerahkan oleh Tuhan.Zuhra mulai mengepak beberapa barang dan pakaian miliknya. Hari ini dirinya akan pindah dari rumah ayah dan bundanya. Statusnya sekarang sudah berubah. Jadi sudah seharusnya dia siap akan semua perubahan.“Sudah siap?”Zuhra menoleh saat mendengar pertanyaan Dirgam, “Belum, Mas.”“Hm.”Ingin sekali rasanya Zuhra mendengus kesal dengan reaksi Dirgam. Apa tidak ada jawaban lain? Kapan hubungan mereka ada kemajuan kalau seperti itu.Zuhra memasukkan bajunya ke dalam koper dengan dongkol.“Kenapa sebanyak itu?” Dirgam mengernyit di tepi ranjang.Zuhra pun tak kalah bingung, namanya perempuan ya pasti punya banyak baju atau alat kosmet
Tepukan lembut di pipi Zuhra mengusik tidur nyenyaknya. Matanya bahkan terasa amat lengket untuk sekedar terbuka. Karena itu dirinya hanya bergumam sambil berbalik dan tidur lagi. Namun tidak bertahan lama saat indera pendengarannya menangkap suara khas seseorang.“Kamu mau sholat Subuh bareng atau saya tinggal?”Zuhra bahkan langsung terduduk setelah mendengar suara Dirgam. Dirinya meringis menahan malu karena sebagai istri harusnya dia yang membangunkan Dirgam, bukan malah sebaliknya.Memang, hal terberat bagi Zuhra selama ini adalah bangun Subuh, bahkan bundanya harus rajin-rajin menggedor pintu agar dirinya tidak tidur lagi.“Mas duluan aja, Zuhra belum mandi,” ucapnya seraya mengamati Dirgam yang sudah tidak mengenakan piyama tidur, itu artinya pria itu sudah mandi.“Sepuluh menit, saya tunggu.”Setelah mengatakan hal itu Dirgam berjalan keluar kamar meninggalkan Zuhra yang hanya mampu mengedipkan mat
Dirgam menatap lurus ke depan, di mana punggung kokoh seseorang yang berbalut jas formal bersama antek-anteknya menghilang.Pandangan pria itu begitu sulit diartikan, membuat Zuhra yang sedari tadi juga ikut mengamati berhenti mengunyah makanannya.“Mas....” Teguran Zuhra mengalihkan perhatiannya.Dirgam menoleh dengan pandangan seakan bertanya ‘ada apa?’“Kenapa nggak makan?” tanya Zuhra.“Tadi sudah makan dengan klien.”“Kalau gitu kenapa pesan makanan sebanyak ini?” gerutu Zuhra.Dirgam mengedikkan bahu. Kamu kan harus makan dua porsi. Ingat, kamu bukan hanya memerlukan gizi untuk dirimu sendiri saja, omelnya. Meskipun begitu, bukan berarti Zuhra harus menghabiskan semua ini. Ingat, perut Zuhra cuma satu ini saja, kesalnya. Sudah jangan cerewet, habiskan yang sanggup kamu habiskan saja, pe
Zuhra makan dengan lahap, dirgam yang tadi sedang menyendokkan makanan ke mulutnya sampai harus berhenti mengunyah. Melihat wanita itu memakan habis isi piringnya membuat pria itu tersenyum samar. Kamu makan seperti orang kelaparan, sindir pria itu. Zuhra hanya tersenyum dan tak menghiraukan ejekan suaminya itu. Toh dia tahu, siapa yang paling kalang kabut kalau ia sampai tak berselera makan. Siapa suruh nikahin perempuan hamil dan rakus kayak Zuhra, ucapnya santai. Kamunya minta dinikahin, sahutnya tak kalah santai. Eh, nggak ada ya! sangkal wanita itu. Atau ayah yang maksa Mas, ya? Zuhra baru kepikirann sekarang. Habiskan makananmu, titah pria itu. Mas . Zuhra tak terima
Zuhra berjalan mondar-mandir seraya melirik jam dinding di kamar.‘Katanya mau pulang cepat, dasar tukang kibul,’ omel Zuhra.Zuhra menyambar smartphone miliknya yang tergeletak di atas tempat tidur, menimbang antara menelpon Dirgam atau tidak.‘Telpon, enggak? Telpon, enggak?’ gumam Zuhra seraya menggerak-gerakkan jarinya di atas kontak Dirgam. Sungguh, ia dilema.“Oh My God!” pekik Zuhra kaget.Tuuut ....Dengan cepat Zuhra mematikan sambungan tersebut. Entah apa yang tanpa sengaja dilakukan jarinya tadi, sehingga panggilan dengan Dirgam tersambung, membuat Zuhra terkejut setengah mati.Tak lama kemudian handphone Zuhra berbunyi dan menampilkan panggilan dari Dirgam. Zuhra memutuskan untuk menerima panggilan masuk itu dan berpura-pura bahwa dia tadi salah pencet, toh memang dia tidak benar-benar ingin menelpon Dirgam, bukan?“Hallo,”“Di mana?”Zu
“Loh, kok berhenti di sini, Al?”Meski protes, namun Zuhra tetap turun dan melepas helmnya.“Iya, kita makan bentar ya? Aku belum makan dari pagi.” Albi menampilkan cengirannya.“Tapi, bakso aku?” Zuhra mengangkat kantongan plastic itu dengan ragu.“Makan di sini juga nggak apa-apa,” sahutnya cuek, lalu mengajak Zuhra mengikutinya masuk ke dalam restoran.“Ih, ntar kita diusir,” bisik Zuhra.Albi tertawa santai. “Mana berani mereka.”“Udah ah, yuk.”Albi menyantap makanan yang dipesannya dengan lahap, begitu juga Zuhra yang saat ini menikmati bakso yang dibelinya tadi.Ra, gue mau tanya sesuatu. Tapi, lo jangan marah, ucap laki-laki itu setelah menyelesaikan makannya. Hmm, tanya apa? Lo beneran udah nikah? tanya Albi ragu.
"Ra, udahan dong," rengek Dirgam.Zuhra melotot garang. "Nggak ada! Itu hukuman Mas karena suka ganjen!" ucapnya ketus."Aduuh, Ra. Dia itu sekretaris Papa. Masa sekretaris Papa juga Mas yang pilihin?"
Dirgam merangkul bahu Zuhra dengan sayang. Dia tak membiarkan sedikit pun wanita itu jauh dari jangkauan, membuat semua keluarga yang berkumpul menggelengkan kepala melihat sikap protectivenya.H
Dirgam duduk termenung di taman rumah sakit tempat ibunya dirawat. Sudah satu jam berlalu, dan dia masih enggan untuk beranjak. Ia merenung atas apa yang sudah dialaminya selama ini. Fakta yang baru saja diketahui, dia tak ingin percaya. Tapi, logikanya selalu membenarkan. Jika begitu, bukankah Dirgam sudah berbuat kejam terhadap ayahnya selama ini? Ah, tentu tidak. Ini juga termasuk salah ayahnya yang tak membawanya serta pergi. Kenapa meninggalkan anak pada istri yang tukang selingkuh?Ia menghela napas, terus saja mencari alasan kebenaran atas sikapnya selama ini. Dia juga korban di sini. Lamunan pria itu terhenti karena tarikan kasar seseorang. "Berengsek! Di sini lo ternyata! Bajingan yang udah hamilin adik gue!!" Randy berteria
“Ra ....”Dirgam lantas menoleh karena sapaan lembut Reno pada Zuhra yang berdiri tak jauh dari mereka, dengan perut membuncit serta mata berkaca-kaca.“Maaf ... tapi yang harus selalu kamu tahu, aku tulus sayang sama kamu, Ra,” bisik Reno.
Zuhra menatap sendu pada Dirgam yang memeluk lembut wanita paruh baya yang sedang terbaring di ranjang. Sangat tampak begitu besar kesedihan yang coba pria itu sembunyikan di setiap harinya. Kali ini Zuhra bisa melihat sendiri, betapa rapuhnya seorang Dirgam Arhab.
Katanya cuma teman, tapi di balik layar sayang-sayangan. Kalau ketahuan, alasannya kehilafan.- Perfect Husband“Sewaktu Mas dijemput Papa dan Mama, Kely juga mendapat keluarga baru
Zuhra masih menekuk wajah saat Dirgam merebahkan tubuhnya dengan lembut di atas ranjang.Karena memang tak ada penyakit yang serius,
Kadang semesta memang suka bercanda, sampai kita tak sanggup lagi meski hanya untuk tertawa. Menggelikan.Zuhra mendengus tak percaya. Dia merasa marah, kesal, benci, tapi juga ... lega. Apa-apaan ini?
Kenyataanya ketika cinta sudah meracuni hati dan pikiran, maka kepintaran seseorang akan menguap entah ke mana. Cinta pakai logika? Bullshit.Itulah yang dirasakan Zuhra Kalinka saat ini. Mencintai dalam kerapuhan hati. Pedihnya jiwa yang teriris akibat kelakuan sialan Dirgam nyatan