Terkadang kita selalu melihat pelangi di atas kepala orang lain, lalu merasa kalau hidup mereka lebih indah dan berwarna dari hidup kita sendiri, tanpa kita sadari bahwa di atas kepala kita ada langit cerah dan begitu elok yang di anugerahkan oleh Tuhan.
Zuhra mulai mengepak beberapa barang dan pakaian miliknya. Hari ini dirinya akan pindah dari rumah ayah dan bundanya. Statusnya sekarang sudah berubah. Jadi sudah seharusnya dia siap akan semua perubahan.
“Sudah siap?”
Zuhra menoleh saat mendengar pertanyaan Dirgam, “Belum, Mas.”
“Hm.”
Ingin sekali rasanya Zuhra mendengus kesal dengan reaksi Dirgam. Apa tidak ada jawaban lain? Kapan hubungan mereka ada kemajuan kalau seperti itu.
Zuhra memasukkan bajunya ke dalam koper dengan dongkol.
“Kenapa sebanyak itu?” Dirgam mengernyit di tepi ranjang.
Zuhra pun tak kalah bingung, namanya perempuan ya pasti punya banyak baju atau alat kosmet
Tepukan lembut di pipi Zuhra mengusik tidur nyenyaknya. Matanya bahkan terasa amat lengket untuk sekedar terbuka. Karena itu dirinya hanya bergumam sambil berbalik dan tidur lagi. Namun tidak bertahan lama saat indera pendengarannya menangkap suara khas seseorang.“Kamu mau sholat Subuh bareng atau saya tinggal?”Zuhra bahkan langsung terduduk setelah mendengar suara Dirgam. Dirinya meringis menahan malu karena sebagai istri harusnya dia yang membangunkan Dirgam, bukan malah sebaliknya.Memang, hal terberat bagi Zuhra selama ini adalah bangun Subuh, bahkan bundanya harus rajin-rajin menggedor pintu agar dirinya tidak tidur lagi.“Mas duluan aja, Zuhra belum mandi,” ucapnya seraya mengamati Dirgam yang sudah tidak mengenakan piyama tidur, itu artinya pria itu sudah mandi.“Sepuluh menit, saya tunggu.”Setelah mengatakan hal itu Dirgam berjalan keluar kamar meninggalkan Zuhra yang hanya mampu mengedipkan mat
Dirgam menatap lurus ke depan, di mana punggung kokoh seseorang yang berbalut jas formal bersama antek-anteknya menghilang.Pandangan pria itu begitu sulit diartikan, membuat Zuhra yang sedari tadi juga ikut mengamati berhenti mengunyah makanannya.“Mas....” Teguran Zuhra mengalihkan perhatiannya.Dirgam menoleh dengan pandangan seakan bertanya ‘ada apa?’“Kenapa nggak makan?” tanya Zuhra.“Tadi sudah makan dengan klien.”“Kalau gitu kenapa pesan makanan sebanyak ini?” gerutu Zuhra.Dirgam mengedikkan bahu. Kamu kan harus makan dua porsi. Ingat, kamu bukan hanya memerlukan gizi untuk dirimu sendiri saja, omelnya. Meskipun begitu, bukan berarti Zuhra harus menghabiskan semua ini. Ingat, perut Zuhra cuma satu ini saja, kesalnya. Sudah jangan cerewet, habiskan yang sanggup kamu habiskan saja, pe
Zuhra makan dengan lahap, dirgam yang tadi sedang menyendokkan makanan ke mulutnya sampai harus berhenti mengunyah. Melihat wanita itu memakan habis isi piringnya membuat pria itu tersenyum samar. Kamu makan seperti orang kelaparan, sindir pria itu. Zuhra hanya tersenyum dan tak menghiraukan ejekan suaminya itu. Toh dia tahu, siapa yang paling kalang kabut kalau ia sampai tak berselera makan. Siapa suruh nikahin perempuan hamil dan rakus kayak Zuhra, ucapnya santai. Kamunya minta dinikahin, sahutnya tak kalah santai. Eh, nggak ada ya! sangkal wanita itu. Atau ayah yang maksa Mas, ya? Zuhra baru kepikirann sekarang. Habiskan makananmu, titah pria itu. Mas . Zuhra tak terima
Zuhra berjalan mondar-mandir seraya melirik jam dinding di kamar.‘Katanya mau pulang cepat, dasar tukang kibul,’ omel Zuhra.Zuhra menyambar smartphone miliknya yang tergeletak di atas tempat tidur, menimbang antara menelpon Dirgam atau tidak.‘Telpon, enggak? Telpon, enggak?’ gumam Zuhra seraya menggerak-gerakkan jarinya di atas kontak Dirgam. Sungguh, ia dilema.“Oh My God!” pekik Zuhra kaget.Tuuut ....Dengan cepat Zuhra mematikan sambungan tersebut. Entah apa yang tanpa sengaja dilakukan jarinya tadi, sehingga panggilan dengan Dirgam tersambung, membuat Zuhra terkejut setengah mati.Tak lama kemudian handphone Zuhra berbunyi dan menampilkan panggilan dari Dirgam. Zuhra memutuskan untuk menerima panggilan masuk itu dan berpura-pura bahwa dia tadi salah pencet, toh memang dia tidak benar-benar ingin menelpon Dirgam, bukan?“Hallo,”“Di mana?”Zu
“Loh, kok berhenti di sini, Al?”Meski protes, namun Zuhra tetap turun dan melepas helmnya.“Iya, kita makan bentar ya? Aku belum makan dari pagi.” Albi menampilkan cengirannya.“Tapi, bakso aku?” Zuhra mengangkat kantongan plastic itu dengan ragu.“Makan di sini juga nggak apa-apa,” sahutnya cuek, lalu mengajak Zuhra mengikutinya masuk ke dalam restoran.“Ih, ntar kita diusir,” bisik Zuhra.Albi tertawa santai. “Mana berani mereka.”“Udah ah, yuk.”Albi menyantap makanan yang dipesannya dengan lahap, begitu juga Zuhra yang saat ini menikmati bakso yang dibelinya tadi.Ra, gue mau tanya sesuatu. Tapi, lo jangan marah, ucap laki-laki itu setelah menyelesaikan makannya. Hmm, tanya apa? Lo beneran udah nikah? tanya Albi ragu.
Keesokan harinya masih sama, belum ada perbincangan yang terjadi di antara mereka, dan itu semakin membuat Zuhra gelisah.Ini pertengkaran pertama mereka semenjak sebulan pertama menikah, dan rasanya begitu tidak mengenakkan.Malam ini Zuhra bertekad untuk menunggu Dirgam pulang, bagaimana pun juga mereka harus bicara. Ini sudah tiga hari, dan itu cukup rasanya untuk mendinginkan pikiran.Kalau di antara mereka tidak ada yang mau mengalah dan menurunkan sedikit ego, maka hancurlah semuanya, dan untuk sekarang ini, Zuhra tahu dia yang harus mengalah.Zuhra meneguk minuman botol yang sedari tadi di bawanya. Saat ini dirinya sedang berjalan santai di Taman Kota. Tak begitu banyak aktivitas di sini mengingat ini bukan hari libur, hanya beberapa saja yang ingin bersantai seperti dirinya.Merasa tubuhnya sudah mulai gerah, Zuhra akhirnya memutuskan untuk kembali ke apartemen. Anggap saja tadi itu sedikit olahraga, karena baik untuk kandungannya.✏
Pagi ini Zuhra baru saja selesai bersibuk-sibuk ria di dapur menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Dirgam. Kemarin sore Mbok Darmi izin pulang ke Semarang karena anaknya wisuda.Zuhra merasa terharu dengan perjuangan Mbok Darmi dan anaknya. Meski bukan anak kandung, tetapi Mbok Darmi begitu menyayangi putrinya yang hari ini resmi mendapat gelar kebidanan. Tidak sia-sia selama ini perjuangannya membanting tulang demi menyekolahkan buah hatinya.Zuhra berharap dirinya bisa menjadi ibu yang baik seperti Mbok Darmi untuk anak-anaknya kelak.“Melamun?”Suara berat Dirgam terasa begitu dekat di telinga Zuhra.Wanita itu tersenyum kikuk, pasalnya saat ini Dirgam begitu menempel dengannya yang sedang menata makanan di atas meja.“Enggak, Mas. Zuhra cuma kepikiran sama Mbok Darmi,” ucapnya gugup.“Kenapa sama Mbok?” tanya Dirgam sambil menarik kursi hendak sarapan.Zuhra mengusap lembut perutnya
“Kamu ... ngapain di sini?”“Kita harus bicara, Ra,” ucap laki-laki itu tegas.Zuhra tersenyum miris, rasanya ingin menangis mendapati orang itu kembali. Lelaki itu berdiri tegak di hadapannya dengan tubuh sehat wal’afiat tidak kekurangan sesuatu apa pun. Cukup menandakan bahwa pria di hadapannya ini hidup dengan tenang tanpa rasa bersalah setelah meninggalkannya dengan keji tiga bulan yang lalu.“Aku ngerasa nggak perlu.” Zuhra berniat menutup pintu, tapi dengan sigap ditahan oleh laki-laki itu.“Perlu! Kamu harus dengerin aku, pria itu berengsek, Ra. Kamu harus ceraikan dia,” ucapnya penuh emosi.Zuhra menghentikan gerak tangannya yang menahan pintu. “Maksud kamu?” ujarnya tak suka, Reno tak punya hak menjelekkan Dirgam di hadapannya.Siapa yang dimaksudnya berengsek di sini?“Kamu tahu maksud aku, Ra,” ucap Reno Pramudya, pria yang sangat disayanginya, du
"Ra, udahan dong," rengek Dirgam.Zuhra melotot garang. "Nggak ada! Itu hukuman Mas karena suka ganjen!" ucapnya ketus."Aduuh, Ra. Dia itu sekretaris Papa. Masa sekretaris Papa juga Mas yang pilihin?"
Dirgam merangkul bahu Zuhra dengan sayang. Dia tak membiarkan sedikit pun wanita itu jauh dari jangkauan, membuat semua keluarga yang berkumpul menggelengkan kepala melihat sikap protectivenya.H
Dirgam duduk termenung di taman rumah sakit tempat ibunya dirawat. Sudah satu jam berlalu, dan dia masih enggan untuk beranjak. Ia merenung atas apa yang sudah dialaminya selama ini. Fakta yang baru saja diketahui, dia tak ingin percaya. Tapi, logikanya selalu membenarkan. Jika begitu, bukankah Dirgam sudah berbuat kejam terhadap ayahnya selama ini? Ah, tentu tidak. Ini juga termasuk salah ayahnya yang tak membawanya serta pergi. Kenapa meninggalkan anak pada istri yang tukang selingkuh?Ia menghela napas, terus saja mencari alasan kebenaran atas sikapnya selama ini. Dia juga korban di sini. Lamunan pria itu terhenti karena tarikan kasar seseorang. "Berengsek! Di sini lo ternyata! Bajingan yang udah hamilin adik gue!!" Randy berteria
“Ra ....”Dirgam lantas menoleh karena sapaan lembut Reno pada Zuhra yang berdiri tak jauh dari mereka, dengan perut membuncit serta mata berkaca-kaca.“Maaf ... tapi yang harus selalu kamu tahu, aku tulus sayang sama kamu, Ra,” bisik Reno.
Zuhra menatap sendu pada Dirgam yang memeluk lembut wanita paruh baya yang sedang terbaring di ranjang. Sangat tampak begitu besar kesedihan yang coba pria itu sembunyikan di setiap harinya. Kali ini Zuhra bisa melihat sendiri, betapa rapuhnya seorang Dirgam Arhab.
Katanya cuma teman, tapi di balik layar sayang-sayangan. Kalau ketahuan, alasannya kehilafan.- Perfect Husband“Sewaktu Mas dijemput Papa dan Mama, Kely juga mendapat keluarga baru
Zuhra masih menekuk wajah saat Dirgam merebahkan tubuhnya dengan lembut di atas ranjang.Karena memang tak ada penyakit yang serius,
Kadang semesta memang suka bercanda, sampai kita tak sanggup lagi meski hanya untuk tertawa. Menggelikan.Zuhra mendengus tak percaya. Dia merasa marah, kesal, benci, tapi juga ... lega. Apa-apaan ini?
Kenyataanya ketika cinta sudah meracuni hati dan pikiran, maka kepintaran seseorang akan menguap entah ke mana. Cinta pakai logika? Bullshit.Itulah yang dirasakan Zuhra Kalinka saat ini. Mencintai dalam kerapuhan hati. Pedihnya jiwa yang teriris akibat kelakuan sialan Dirgam nyatan