Pernikahan Zuhra dengan Dirgam tinggal seminggu lagi, semua persiapan sudah diurus. Undangan merah maroon pilihan mereka kemarin juga sudah disebar.
Awalnya Zuhra berpikir pernikahan mereka akan digelar di gedung hotel, namun ternyata Dirgam lebih memilih halaman belakang rumah Zuhra yang luas sebagai tempat resepsi mereka.
Dirgam mewujudkan impian pernikahan garden party ala-ala Zuhra. Namun alasan utamanya adalah agar Zuhra tidak capek bolak balik ke hotel untuk sekedar mengecek persiapan pernikahan mereka. Dirgam memberikan peluang penuh bagi Zuhra untuk mengatur dekorasi sesuai keinginannya.
Zuhra tersenyum mengingat itu.
“Sudah makan?” Suara berat itu mampu mengembalikan Zuhra ke dunia nyata.
Zuhra mengangguk sebagai jawaban, “Mas baru pulang?”
“Hmm.”
“Zuhra buatkan teh, ya?”
“Tidak usah, saya hanya sebentar.”
Saya, saya, saya, sayaaa.
Zuhra sebal setiap mendengar bahasa baku Dirgam.
“Terus ngapain ke sini?” gerutu Zuhra.
Entahlah, dia seperti tidak rela ditinggal Dirgam pulang. Dia trauma ditinggalkan.
Ya hanya itu, tidak ada perasaan lain, batin Zuhra meyakinkan.
“Bertemu Pak Albar, masalah surat.”
Cuek amat, niat nikahin nggak sih?
“Terus kenapa cepet-cepet pulang?” tanya Zuhra yang malah kelihatan sewot.
Dirgam yang masih berdiri di hadapan Zuhra memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Sok keren, batin Zuhra. Tapi memang keren, lanjutnya.
“Karena sudah selesai.”
Zuhra mengembuskan napas malas. “Ya udah, pulang sana, pulang,” ketus Zuhra.
Dirgam maju satu langkah lalu menyodorkan tangan kanannya pada Zuhra.
“Apa?” tanya wanita itus bingung.
“Salam.”
Zuhra tercengang di tempatnya, apa-apaan Dirgam itu? Namun seperti terhipnotis, Zuhra menuruti perintah Dirgam dan mencium punggung tangan pria itu.
Aneh, jantungnya bergerak liar. Saat dirinya tersadar ternyata Dirgam sudah tidak ada di hadapannya. Pria itu melenggang pergi sambil tersenyum tipis tanpa Zuhra sadari.
✏✏✏
[Kita perlu bicara, ini tentang Reno. Gue tunggu di Cafe Breaks.]
[Al]
Pagi ini Zuhra dikejutkan oleh sebuah pesan dari nomor tidak dikenal yang ternyata milik Albi, sahabat karib Reno. Mau apa lagi dia?
Zuhra mengabaikan pesan tersebut, dirinya bergegas mandi dan sarapan.
“Pagi, Bun. Pagi, Yah,” sapanya dengan senyum tersungging di bibir. “Loh, kok ....” Langkahnya terhenti saat melihat Dirgam yang sudah duduk manis di sebelah kursi yang biasa ia tempati.
“Eh, anak Bunda udah bangun, sini duduk,” panggil sang bunda saat melihat anaknya berdiri kaku di tempat.
“Mas Dirgam, kok di sini?” tanya Zuhra pelan seraya berjalan ke kursinya.
“Oh, itu. Iya, Ayah dan Bunda kan pagi ini rencananya mau pergi ke rumah Bu Dewi ambil jahitan kemeja batik ayah dan abangmu, sekalian mampir di rumah Tante Nirma.”
Bu Ratna meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan Zuhra. “Kak Ren hari ini dinas pagi, jadi tidak ada yang menemanimu di rumah, maka dari itu Bunda meminta Nak Dirgam menjagamu hari ini,” jelasnya.
“Bun, Zuhra kan bukan anak kecil.”
“Kamu nolak Dirgam, Dek? Padahal dia udah bela-belain ke sini.” Rendy tiba-tiba muncul dengan pakaian rapinya.
“Bukan gitu,” Zuhra bergerak tidak nyaman, “tapi kan Kak Dirgam juga harus kerja, Bun, Zuhra nggak mau ngerepotin.”
“Saya libur hari minggu.”
Zuhra refleks menoleh ke arah Dirgam, tidak menyangka pria itu akan berbicara setelah sekian menit bungkam.
Bunda Zuhra tersenyum lebar, “Jadi, permasalahan clear ya.”
✏✏✏
Zuhra memandang sebal pada Dirgam, apa tadi katanya, ‘Saya libur hari minggu’?
Dengan wajah super serius dan macbook yang menyala di hadapannya, masih bisakah disebut libur bekerja? Libur ke kantor iya.
“Kalau tidak ditonton matikan saja.”
Zuhra cepat-cepat menghadap ke depan, mengalihkan pandangan matanya dari Dirgam.
“Kalau Mas sibuk harusnya nggak perlu ke sini.”
“Bunda kamu yang minta.”
Zuhra mendengus, jadi cuma karena permintaan bundanya, tidak ada yang lain?
Aish, apa yang kamu harapkan, Zuhra?
“Mas bisa tolak kalau memang enggak mau,” ujar Zuhra.
Dirgam menghela napas sebelum menoleh pada Zuhra. “Dari pada kamu ngomel terus, mending ambilin saya minum.”
Zuhra mencibir sesaat, tapi tetap menuruti perintah Dirgam. Dirinya pun berjalan gontai ke arah dapur sambil sesekali menggerutu.
Sesampainya di dapur Zuhra justru dilanda kebingungan ingin mengambil minuman apa, pasalnya dia lupa bertanya tadi karena keasyikan menggerutu. Akhirnya Zuhra memutuskan untuk membuat coklat panas saja karena di luar juga sedang turun hujan, tidak mungkin dia membuat jus jeruk di saat dingin seperti ini.
“Ini, Mas, diminum.” Zuhra meletakkan gelas yang dibawanya ke atas meja.
“Ada janji dengan siapa hari ini?”
Bukannya mengucapkan terima kasih, Dirgam malah melontarkan pertanyaan yamg membuat Zuhra bingung.
“Maksud Mas?”
“Di handphone kamu.”
Zuhra mengecek smartphone miliknya, ternyata benar ada satu pesan baru dari Albi. Zuhra memang mengatur aplikasi pesan yang bisa langsung menampilkan isi dari pesan tersebut tanpa kita buka terlebih dahulu. Saat-saat dirinya asik membuka sosial media atau berselancar di dunia wattpad aplikasi pesan tersebut cukup membantu, namun di saat seperti ini rasanya tidak.
[Ra, please dateng. Ini penting, tentang Reno dan orang tuanya.]
[Al]
Zuhra menatap Dirgam yang tengah memejamkan matanya.
“Mas ....”
“Kenapa tidak bilang?”
Zuhra terdiam bingung.
“Jadi itu alasan kamu tidak ingin saya di sini?”
“Bukan gitu,” elak Zuhra tak terima.
“Ingat perjanjian awal kita, kan?” Dirgam menoleh dengan mata kelamnya.
Zuhra mengangguk, tidak mungkin dirinya melupakan janji mereka malam itu.
“Lalu kenapa ingkar?”
“Mas,” Zuhra menyentuh punggung tangan Dirgam, “Zuhra nggak maksud bohong, cuma menurut Zuhra itu nggak penting.”
“Nggak penting?” Dirgam membeo, “Omong kosong!”
“Mas,” Zuhra yang tadinya berusaha sabar jadi kesal rasanya, “Kalau Zuhra mau bohong pasti Zuhra udah pergi nemuin Al dari tadi,” ucapnya.
“Itu tidak terjadi karena ada saya di sini.”
“Zuhra bisa buat alasan kalau cuma karena itu, lagian Mas lihat sendiri, apa Zuhra ada balesin pesan Al? Nggak, kan?”
Dirgam memejamkan matanya seraya mengembuskan napas dalam, saat terbuka, fokusnya menyorot dalam iris coklat milik Zuhra, “Saya cuma benci kebohongan, dan satu hal yang tidak bisa saya maafkan, penghianatan.”
Pria itu menarik napas lagi sebelum menambahkan, “jadi, belajar terbukalah mulai sekarang.”
✏✏✏
Jadi, belajar terbukalah mulai sekarang.
Zuhra rasanya ingin menjambak rambut Dirgam saat pria itu mengatakan hal menggelikan itu. Menyuruh orang lain terbuka, padahal dirinya sendiri bagaikan buku diary yang punya gembok rapat. Akan tetapi sesuatu dalam diri Zuhra merasa Dirgam keren saat berbicara tadi, dan Zuhra merasa gila karena sudah berpikiran seperti itu.
Dari pada gila sungguhan, Zuhra lebih memilih untuk mengenyahkan segala pemikiran tak waras itu. Secepat kilat dirinya mengambil handphone dan memasang earphone miliknya, memutar lagu sambil memejamkan mata.
Yeah, begini lebih baik.
Tutup mata, dan tidur!
Keadaan rumah Zuhra sudah mulai ramai pagi ini, beberapa kerabat yang tinggal di luar Pulau Jawa sudah mulai tiba di Jakarta. Beberapa pekerja juga tengah sibuk menata peralatan pesta untuk esok hari. Sesekali Zuhra juga ikut mengecek apakah semua sudah sesuai dengan yang direncanakan atau belum.Sudah hampir seminggu dirinya tidak bertemu Dirgam, terakhir kali bertemu pria itu adalah pada hari minggu lalu. Setelahnya Dirgam tidak pernah berkunjung lagi. Jika ada keperluan penting seperti hal-hal yang menyangkut pernikahan maka pria itu akan mengutus orang kepercayaannya.“Mbak, kelihatannya Zuhra ini gemukan? Efek seneng punya calon suami guanteng, ya?” Salah satu kerabatnya sempat bertanya.Zuhra tersenyum kaku, kehamilannya memang masih dirahasiakan oleh keluarganya. Ayah Zuhra masih bingung ingin menceritakan seperti apa. Lagipula itu adalah aib keluarga.“Iya, Vin, udah tenang dia sekarang.” Bunda Zuhra mengusap kepala anaknya
Terkadang kita selalu melihat pelangi di atas kepala orang lain, lalu merasa kalau hidup mereka lebih indah dan berwarna dari hidup kita sendiri, tanpa kita sadari bahwa di atas kepala kita ada langit cerah dan begitu elok yang di anugerahkan oleh Tuhan.Zuhra mulai mengepak beberapa barang dan pakaian miliknya. Hari ini dirinya akan pindah dari rumah ayah dan bundanya. Statusnya sekarang sudah berubah. Jadi sudah seharusnya dia siap akan semua perubahan.“Sudah siap?”Zuhra menoleh saat mendengar pertanyaan Dirgam, “Belum, Mas.”“Hm.”Ingin sekali rasanya Zuhra mendengus kesal dengan reaksi Dirgam. Apa tidak ada jawaban lain? Kapan hubungan mereka ada kemajuan kalau seperti itu.Zuhra memasukkan bajunya ke dalam koper dengan dongkol.“Kenapa sebanyak itu?” Dirgam mengernyit di tepi ranjang.Zuhra pun tak kalah bingung, namanya perempuan ya pasti punya banyak baju atau alat kosmet
Tepukan lembut di pipi Zuhra mengusik tidur nyenyaknya. Matanya bahkan terasa amat lengket untuk sekedar terbuka. Karena itu dirinya hanya bergumam sambil berbalik dan tidur lagi. Namun tidak bertahan lama saat indera pendengarannya menangkap suara khas seseorang.“Kamu mau sholat Subuh bareng atau saya tinggal?”Zuhra bahkan langsung terduduk setelah mendengar suara Dirgam. Dirinya meringis menahan malu karena sebagai istri harusnya dia yang membangunkan Dirgam, bukan malah sebaliknya.Memang, hal terberat bagi Zuhra selama ini adalah bangun Subuh, bahkan bundanya harus rajin-rajin menggedor pintu agar dirinya tidak tidur lagi.“Mas duluan aja, Zuhra belum mandi,” ucapnya seraya mengamati Dirgam yang sudah tidak mengenakan piyama tidur, itu artinya pria itu sudah mandi.“Sepuluh menit, saya tunggu.”Setelah mengatakan hal itu Dirgam berjalan keluar kamar meninggalkan Zuhra yang hanya mampu mengedipkan mat
Dirgam menatap lurus ke depan, di mana punggung kokoh seseorang yang berbalut jas formal bersama antek-anteknya menghilang.Pandangan pria itu begitu sulit diartikan, membuat Zuhra yang sedari tadi juga ikut mengamati berhenti mengunyah makanannya.“Mas....” Teguran Zuhra mengalihkan perhatiannya.Dirgam menoleh dengan pandangan seakan bertanya ‘ada apa?’“Kenapa nggak makan?” tanya Zuhra.“Tadi sudah makan dengan klien.”“Kalau gitu kenapa pesan makanan sebanyak ini?” gerutu Zuhra.Dirgam mengedikkan bahu. Kamu kan harus makan dua porsi. Ingat, kamu bukan hanya memerlukan gizi untuk dirimu sendiri saja, omelnya. Meskipun begitu, bukan berarti Zuhra harus menghabiskan semua ini. Ingat, perut Zuhra cuma satu ini saja, kesalnya. Sudah jangan cerewet, habiskan yang sanggup kamu habiskan saja, pe
Zuhra makan dengan lahap, dirgam yang tadi sedang menyendokkan makanan ke mulutnya sampai harus berhenti mengunyah. Melihat wanita itu memakan habis isi piringnya membuat pria itu tersenyum samar. Kamu makan seperti orang kelaparan, sindir pria itu. Zuhra hanya tersenyum dan tak menghiraukan ejekan suaminya itu. Toh dia tahu, siapa yang paling kalang kabut kalau ia sampai tak berselera makan. Siapa suruh nikahin perempuan hamil dan rakus kayak Zuhra, ucapnya santai. Kamunya minta dinikahin, sahutnya tak kalah santai. Eh, nggak ada ya! sangkal wanita itu. Atau ayah yang maksa Mas, ya? Zuhra baru kepikirann sekarang. Habiskan makananmu, titah pria itu. Mas . Zuhra tak terima
Zuhra berjalan mondar-mandir seraya melirik jam dinding di kamar.‘Katanya mau pulang cepat, dasar tukang kibul,’ omel Zuhra.Zuhra menyambar smartphone miliknya yang tergeletak di atas tempat tidur, menimbang antara menelpon Dirgam atau tidak.‘Telpon, enggak? Telpon, enggak?’ gumam Zuhra seraya menggerak-gerakkan jarinya di atas kontak Dirgam. Sungguh, ia dilema.“Oh My God!” pekik Zuhra kaget.Tuuut ....Dengan cepat Zuhra mematikan sambungan tersebut. Entah apa yang tanpa sengaja dilakukan jarinya tadi, sehingga panggilan dengan Dirgam tersambung, membuat Zuhra terkejut setengah mati.Tak lama kemudian handphone Zuhra berbunyi dan menampilkan panggilan dari Dirgam. Zuhra memutuskan untuk menerima panggilan masuk itu dan berpura-pura bahwa dia tadi salah pencet, toh memang dia tidak benar-benar ingin menelpon Dirgam, bukan?“Hallo,”“Di mana?”Zu
“Loh, kok berhenti di sini, Al?”Meski protes, namun Zuhra tetap turun dan melepas helmnya.“Iya, kita makan bentar ya? Aku belum makan dari pagi.” Albi menampilkan cengirannya.“Tapi, bakso aku?” Zuhra mengangkat kantongan plastic itu dengan ragu.“Makan di sini juga nggak apa-apa,” sahutnya cuek, lalu mengajak Zuhra mengikutinya masuk ke dalam restoran.“Ih, ntar kita diusir,” bisik Zuhra.Albi tertawa santai. “Mana berani mereka.”“Udah ah, yuk.”Albi menyantap makanan yang dipesannya dengan lahap, begitu juga Zuhra yang saat ini menikmati bakso yang dibelinya tadi.Ra, gue mau tanya sesuatu. Tapi, lo jangan marah, ucap laki-laki itu setelah menyelesaikan makannya. Hmm, tanya apa? Lo beneran udah nikah? tanya Albi ragu.
Keesokan harinya masih sama, belum ada perbincangan yang terjadi di antara mereka, dan itu semakin membuat Zuhra gelisah.Ini pertengkaran pertama mereka semenjak sebulan pertama menikah, dan rasanya begitu tidak mengenakkan.Malam ini Zuhra bertekad untuk menunggu Dirgam pulang, bagaimana pun juga mereka harus bicara. Ini sudah tiga hari, dan itu cukup rasanya untuk mendinginkan pikiran.Kalau di antara mereka tidak ada yang mau mengalah dan menurunkan sedikit ego, maka hancurlah semuanya, dan untuk sekarang ini, Zuhra tahu dia yang harus mengalah.Zuhra meneguk minuman botol yang sedari tadi di bawanya. Saat ini dirinya sedang berjalan santai di Taman Kota. Tak begitu banyak aktivitas di sini mengingat ini bukan hari libur, hanya beberapa saja yang ingin bersantai seperti dirinya.Merasa tubuhnya sudah mulai gerah, Zuhra akhirnya memutuskan untuk kembali ke apartemen. Anggap saja tadi itu sedikit olahraga, karena baik untuk kandungannya.✏
"Ra, udahan dong," rengek Dirgam.Zuhra melotot garang. "Nggak ada! Itu hukuman Mas karena suka ganjen!" ucapnya ketus."Aduuh, Ra. Dia itu sekretaris Papa. Masa sekretaris Papa juga Mas yang pilihin?"
Dirgam merangkul bahu Zuhra dengan sayang. Dia tak membiarkan sedikit pun wanita itu jauh dari jangkauan, membuat semua keluarga yang berkumpul menggelengkan kepala melihat sikap protectivenya.H
Dirgam duduk termenung di taman rumah sakit tempat ibunya dirawat. Sudah satu jam berlalu, dan dia masih enggan untuk beranjak. Ia merenung atas apa yang sudah dialaminya selama ini. Fakta yang baru saja diketahui, dia tak ingin percaya. Tapi, logikanya selalu membenarkan. Jika begitu, bukankah Dirgam sudah berbuat kejam terhadap ayahnya selama ini? Ah, tentu tidak. Ini juga termasuk salah ayahnya yang tak membawanya serta pergi. Kenapa meninggalkan anak pada istri yang tukang selingkuh?Ia menghela napas, terus saja mencari alasan kebenaran atas sikapnya selama ini. Dia juga korban di sini. Lamunan pria itu terhenti karena tarikan kasar seseorang. "Berengsek! Di sini lo ternyata! Bajingan yang udah hamilin adik gue!!" Randy berteria
“Ra ....”Dirgam lantas menoleh karena sapaan lembut Reno pada Zuhra yang berdiri tak jauh dari mereka, dengan perut membuncit serta mata berkaca-kaca.“Maaf ... tapi yang harus selalu kamu tahu, aku tulus sayang sama kamu, Ra,” bisik Reno.
Zuhra menatap sendu pada Dirgam yang memeluk lembut wanita paruh baya yang sedang terbaring di ranjang. Sangat tampak begitu besar kesedihan yang coba pria itu sembunyikan di setiap harinya. Kali ini Zuhra bisa melihat sendiri, betapa rapuhnya seorang Dirgam Arhab.
Katanya cuma teman, tapi di balik layar sayang-sayangan. Kalau ketahuan, alasannya kehilafan.- Perfect Husband“Sewaktu Mas dijemput Papa dan Mama, Kely juga mendapat keluarga baru
Zuhra masih menekuk wajah saat Dirgam merebahkan tubuhnya dengan lembut di atas ranjang.Karena memang tak ada penyakit yang serius,
Kadang semesta memang suka bercanda, sampai kita tak sanggup lagi meski hanya untuk tertawa. Menggelikan.Zuhra mendengus tak percaya. Dia merasa marah, kesal, benci, tapi juga ... lega. Apa-apaan ini?
Kenyataanya ketika cinta sudah meracuni hati dan pikiran, maka kepintaran seseorang akan menguap entah ke mana. Cinta pakai logika? Bullshit.Itulah yang dirasakan Zuhra Kalinka saat ini. Mencintai dalam kerapuhan hati. Pedihnya jiwa yang teriris akibat kelakuan sialan Dirgam nyatan