Langkah Zuhra terasa berat saat memasuki rumah yang hampir empat tahun ini ditinggalinya bersama ayah dan bundanya.
“Assalamualaikum,” ucap Zuhra seceria mungkin.
“Wa’alaikumsalam.”
“Dari mana saja kamu?” tanya Ayah Zuhra, terlihat sekali pria paruh baya itu sedang menahan amarah.
“Da-dari rumah teman, Yah,” jawab Zuhra gugup.
Tentu saja dia gugup, ayahnya pasti akan sangat marah karena anak gadis satu-satunya tidak pulang semalam dan baru kembali pagi ini.
“Duduk,” perintah Pak Albar -Ayah Zuhra- tegas.
Dengan gelisah Zuhra menuruti perintah ayahnya. Gadis itu duduk di hadapan ayah dan bundanya seperti seorang tersangka. Masih ada satu lagi yang tidak boleh disepelekan. Tatapan tajam pria yang duduk di sebelah sang bunda, Randy Marcello, abang tercintanya.
“Ada apa, Yah?” tanya Zuhra berharap bisa menghentikan tatapan menyelidik ayahnya.
Bunda Zuhra menyodorkan sebuah benda pipih berwarna putih yang menyerupai sebuah stik, ada dua garis merah di sana.
“Bisa kamu jelaskan?” tanya bunda Zuhra dengan suara bergetar.
Zuhra tidak bisa berkata apa-apa, rasa terkejut menyebar menguasainya. Pembuluh darahnya seakan berhenti bekerja. Sekujur tubuh Zuhra seakan tersiram bongkahan es yang membekukan.
Zuhra menyesal tidak langsung membuang benda itu kemarin. Dia meletakkannya begitu saja di kamar mandi saking syoknya melihat dua garis yang muncul. Zuhra terburu-buru menemui seseorang yang menyebabkan kekacauan ini di apartemennya. Namun jawaban yang diberikan pria itu sungguh membuat dunia Zuhra semakin hancur.
“It-itu ....” Sungguh lidahnya terasa kelu. Tubuh gadis itu bergetar hebat.
Dengan sisa kekuatan, Zuhra bersimpuh di kaki sang bunda. “Maafin Zuhra, Bun. Zuhra salah, Bun. Zuhra salah,” ucapnya di sela tangisan.
Dapat dirasakannya tubuh sang bunda ikut bergetar. Zuhra bahkan tidak mampu untuk mengangkat kepala. Sungguh dia tidak akan sanggup melihat bundanya menangis karena kebodohannya.
Ya, Zuhra sadar ia terlalu bodoh. Semalaman ia menangisi keputusan pria berengsek itu. Namun seberapa banyak air mata yang dikeluarkan, tidak akan mampu mengubah kenyataan apa pun. Kenyataan bahwa dirinya hamil tanpa seorang suami. Kenyataan bahwa masa depannya hancur. Kenyataan bahwa dirinya telah melukai hati ayah dan bundanya.
“Apa ini ulah pria bajingan itu?” desis Randy geram.
Zuhra semakin terisak, apalagi kali ini ia menyadari keterdiaman ayahnya. Zuhra yakin ayahnya pasti sangat kecewa sehingga untuk berbicara pun enggan.
Randy Marcello adalah orang yang sedari dulu paling menentang hubungan antara Zuhra dan Reno.
Reno yang terkenal sebagai seorang bad boy membuat Randy tidak menyukainya Apalagi mengetahui bahwa Reno adalah anak tunggal dari seorang pengusaha kaya raya yang hobinya menghambur-hamburkan uang.
“Aku akan menghajar pria itu,” ucap Randy seraya beranjak dari duduknya.
“Jangan, Kak,” cegah Zuhra.
“Lo ngelindungin dia?” Randy mulai kehabisan kesabaran.
Zuhra menggeleng lemah. “Bukan gitu, Kak.”
“Terus apa?” Randy menatap tajam adiknya, “pokoknya gue harus kasih pelajaran si berengsek itu,” tandasnya.
“Dia udah pergi.” Ucapan Zuhra yang serupa bisikan itu nyatanya mampu menyurutkan langkah Randy.
“Apa maksud kamu?” Kali ini Ayah Zuhra yang angkat bicara. Gurat-gurat kekecawaan masih terpancar jelas dari wajahnya.
Zuhra tidak mampu untuk membuka mulut barang sedikit pun. Kenyataan bahwa dirinya hamil di luar nikah saja sudah barang tentu menjadi tamparan keras bagi keluarganya. Ditambah fakta bahwa lelaki itu pergi tanpa tanggung jawab, pastilah menjadi aib yang sangat besar.
“Jawab, Nak.” Kali ini suara bundanya mulai melembut.
Zuhra tergugu. “D-dia pergi, Bun.” Lagi-lagi gadis itu terisak. “Dia berangkat ke Inggris kemarin sore.”
Zuhra terkesiap.
Randy dengan kasar menghancurkan guci di sebelahnya.
“BERENGSEK!!” Teriaknya geram.
“Maafin Zuhra, Yah.” Isak gadis itu saat melihat ayahnya mulai tertunduk dengan bahu bergetar.
Hanya tangisan dan kata maaf yang bisa dia ucapkan, karena rasa kecewa ayah dan bundanya pastilah teramat besar.
Zuhra menyesali kebodohannya sendiri yang terbuai oleh janji-janji manis Reno. Harusnya sedari dulu dia mendengarkan nasihat abangnya untuk menjauhi pria itu. Namun sayangnya sebuah alasan klise membuatnya buta. Cinta!
✏✏✏
Suara ketukan di pintu terdengar hati-hati.
“Ra, gue boleh masuk?” Suara sapaan itu membuyarkan lamunan Zuhra.
“Masuk aja, gak dikunci, Nad.” jawabnya parau.
Nadia muncul dari balik pintu, tanpa aba-aba gadis itu langsung merengkuh tubuh mungil Zuhra.
“Yang sabar, ya,” bisiknya lembut.
Zuhra mengangguk kecil. Air matanya terus mengalir meski gadis itu mencoba tetap tersenyum.
Apakah ini ujian bagi hidupnya? Atau sebuah karma?
Entahlah, Zuhra terlalu lelah untuk menerka-nerka semuanya.
“Terus ke depannya gimana?” tanya Nadia setelah melepas pelukan.
Zuhra menggeleng pelan. “Gue gak tahu.”
Nadia terdiam sejenak, menimbang-nimbang pertanyaannya.
“Lo nggak coba hubungin keluarganya Reno?” tanyanya hati-hati.
Zuhra menarik napas dalam-dalam, “Gue gak punya akses ke sana.”
“Maksud lo?”
“Dia nggak pernah ngenalin gue ke keluarganya, Nad,” jawabnya lesu.
“Ya lo kan bisa ngenalin diri, tunjukin foto-foto kebersamaan lo bareng Reno, siapa tahu usaha lo berhasil.”
Zuhra menatap langit-langit kamar seperti menerawang sesuatu.
“Renonya aja nggak mau tanggung jawab, Nad, apalagi orang tuanya.” Zuhra diam sejenak, “apa gue gugurin aja kali ya?” gumamnya yang lantas membuat Nadia terperanjat kaget.
“Jangan yang aneh-aneh deh, Ra. Dosa lo ngelakuin itu aja belum lo tebus, sekarang malah mau nambah dosa lagi,” omelnya.
Zuhra terdiam sambil meremas jemari saking frustasinya. Dia tahu apa yang dikatakan Nadia itu benar, dirinya sadar betul kalau dosanya kali ini sangatlah besar, tetapi sekarang dia benar-benar merasa buntu. Tidak ada satu hal pun yang terpikir untuk pemecah masalahnya saat ini.
“Gue bukannya sok suci, Ra, tapi apa lo tega ngebunuh anak lo sendiri? Darah daging lo, Ra. Darah daging lo.”
“Terus gue harus apa?” lirihnya.
“Berdoa semoga Yang Maha Kuasa kasih jalan. Sekarang lo istirahat, gue mau keluar nemuin bunda, dia juga pasti syok berat, kan?”
Zuhra mengangguk patuh.
“Inget, banyak yang sayang sama lo, jadi jangan mikir yang aneh-aneh.” Pesan Nadia sebelum gadis itu benar-benar keluar dari kamar Zuhra.
Sepeninggal Nadia, Zuhra kembali termenung. Tanpa sadar, sebelah tangan mengusap perut datar miliknya dengan lembut.
Zuhra masih tak menyangka bahwa sekarang ada kehidupan lain di sana.
✏✏✏
Pagi-pagi sekali Zuhra dikejutkan dengan berita yang disampaikan oleh ayah dan bundanya. Mereka berencana menikahkan Zuhra dengan anak teman ayahnya.
“Tapi, Yah, Zuhra nggak kenal sama pria itu, gimana kami bisa menikah?” tolak Zuhra keras.
“Dia baik, itu cukup, kan? Pengenalan itu bisa setelah kalian menikah, yang terpenting anak kamu punya status jelas, Ra,” tutur ayahnya tegas.
“Tapi, Yah--
“Kamu harus nurut kali ini, karena ini demi kebaikan kamu dan bayi kamu juga,” putus ayahnya tak terbantah.
“Bun ....” Zuhra berharap bundanya mau membantu.
“Turuti saja, Nak. Menurut Bunda juga itu yang terbaik.”
Lenyap sudah harapan Zuhra, ayah dan bundanya sudah sepakat untuk menikahkan dirinya dengan seorang pria yang menurut mereka baik dan cocok untuk Zuhra. Tentu saja Zuhra menolak, bukan apa-apa, siapa laki-laki yang mau menikahi seorang perempuan yang sedang hamil dengan orang lain tanpa imbalan. Pasti ada yang tidak beres di sini, kalau bukan karena imbalan sudah pasti karena pria itu punya kelainan. Gay, misalnya.
Oh, tidak. Membayangkan saja Zuhra tidak sanggup, apalagi menjalaninya.
Zuhra duduk dengan gelisah di sebelah bundanya, kedua jarinya terpaut di atas pangkuan. Sesekali gadis itu akan meremas jari tangan, mencoba mengurangi risau.Di hadapannya duduk seseorang pria yang tengah berbincang hangat dengan ayahnya, lebih tepat Ayah Zuhra yang mencoba akrab dengan pria itu. Karena sedari tadi dia perhatikan, pria itu hanya sedikit berbicara, menjawab apa yang ayahnya tanyakan tanpa bertanya kembali. Tipikal pria yang sangat irit bicara.Zuhra kembali meneliti penampilan pria itu, tidak ada yang spesial. Cara berpakaiannya sama dengan eksekutif muda lainnya, karena yang Zuhra tahu pria ini memang seorang pengusaha.“Jadi, kapan keluarga Nak Dirgam bisa datang ke rumah?” tanya Pak Albar tanpa basa basi.Mendengar nama pria itu saja sudah membuat Zuhra merinding, apalagi membayangkan dirinya harus hidup serumah dengan pemilik nama tersebut selamanya.Catat ... selamanya!Zuhra pasti akan mati ketakutan.
Langit cerah kota Jakarta mulai memudar dan digantikan pekatnya malam. Meski begitu, ada banyak bintang yang bertabur acak menghiasi gelapnya cakrawala, di sela-selanya terselip senyum lembut yang berasal dari bulan berbentuk sabit.Zuhra Kalinka, menatap lurus bayangan dirinya yang sedang duduk di kursi panjang halaman belakang rumah. Tidak ada pemandangan menarik di depannya, hanya rumput hijau yang dengan rutin dipapras dan beberapa tanaman bunga milik bundanya yang terlihat di keremangan.Melalui posisinya saat ini Zuhra masih bisa mendengar suara riuh canda tawa dari dalam rumah, mungkin yang paling keras adalah suara ayahnya. Meskipun Zuhra tahu masih ada terselip bahagia palsu dalam tawa itu.“Bagaimana keadaannya?”Zuhra serta merta menoleh ke samping di mana suara itu berasal. Cukup lama mereka berdiam diri tanpa ada satu pun yang membuka suara. Zuhra seakan melupakan keberadaan lelaki yang sedari tadi duduk di sebelahnya.
Zuhra menatap beberapa lipatan kertas berpita yang ada di hadapannya sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di meja. Sesekali diiringi kerutan di kening, pertanda dirinya sedang berpikir keras.Dengan hati-hati disingkirkannya beberapa kertas dan hanya menyisakan satu di hadapannya.“Zuhra suka yang ini, bagaimana menurut Mas?” Zuhra menunjuk kertas berwarna maroon dengan tinta emas yang tadi disisakannya.“Bagus.” Seperti biasa, singkat, padat, tapi tidak jelas.Zuhra menoleh ke sebelah di mana Dirgam sekarang berada.Mereka sedang duduk bersebelahan di karpet bulu. Zuhra memang lebih suka duduk di sini daripada di atas sofa, tidak menyangka Dirgam juga mengikutinya.“Jadi, kita pilih yang ini?” tanya Zuhra meyakinkan.“Ya.”Zuhra hampir saja berdecak kesal karena jawaban ringkas yang selalu Dirgam berikan.Bicara saja pelit, apalagi yang lain, batin Zuhra.“
Pernikahan Zuhra dengan Dirgam tinggal seminggu lagi, semua persiapan sudah diurus. Undangan merah maroon pilihan mereka kemarin juga sudah disebar.Awalnya Zuhra berpikir pernikahan mereka akan digelar di gedung hotel, namun ternyata Dirgam lebih memilih halaman belakang rumah Zuhra yang luas sebagai tempat resepsi mereka.Dirgam mewujudkan impian pernikahan garden party ala-ala Zuhra. Namun alasan utamanya adalah agar Zuhra tidak capek bolak balik ke hotel untuk sekedar mengecek persiapan pernikahan mereka. Dirgam memberikan peluang penuh bagi Zuhra untuk mengatur dekorasi sesuai keinginannya.Zuhra tersenyum mengingat itu.“Sudah makan?” Suara berat itu mampu mengembalikan Zuhra ke dunia nyata.Zuhra mengangguk sebagai jawaban, “Mas baru pulang?”“Hmm.”“Zuhra buatkan teh, ya?”“Tidak usah, saya hanya sebentar.”Saya, saya, saya, sayaaa.Zuhra sebal se
Keadaan rumah Zuhra sudah mulai ramai pagi ini, beberapa kerabat yang tinggal di luar Pulau Jawa sudah mulai tiba di Jakarta. Beberapa pekerja juga tengah sibuk menata peralatan pesta untuk esok hari. Sesekali Zuhra juga ikut mengecek apakah semua sudah sesuai dengan yang direncanakan atau belum.Sudah hampir seminggu dirinya tidak bertemu Dirgam, terakhir kali bertemu pria itu adalah pada hari minggu lalu. Setelahnya Dirgam tidak pernah berkunjung lagi. Jika ada keperluan penting seperti hal-hal yang menyangkut pernikahan maka pria itu akan mengutus orang kepercayaannya.“Mbak, kelihatannya Zuhra ini gemukan? Efek seneng punya calon suami guanteng, ya?” Salah satu kerabatnya sempat bertanya.Zuhra tersenyum kaku, kehamilannya memang masih dirahasiakan oleh keluarganya. Ayah Zuhra masih bingung ingin menceritakan seperti apa. Lagipula itu adalah aib keluarga.“Iya, Vin, udah tenang dia sekarang.” Bunda Zuhra mengusap kepala anaknya
Terkadang kita selalu melihat pelangi di atas kepala orang lain, lalu merasa kalau hidup mereka lebih indah dan berwarna dari hidup kita sendiri, tanpa kita sadari bahwa di atas kepala kita ada langit cerah dan begitu elok yang di anugerahkan oleh Tuhan.Zuhra mulai mengepak beberapa barang dan pakaian miliknya. Hari ini dirinya akan pindah dari rumah ayah dan bundanya. Statusnya sekarang sudah berubah. Jadi sudah seharusnya dia siap akan semua perubahan.“Sudah siap?”Zuhra menoleh saat mendengar pertanyaan Dirgam, “Belum, Mas.”“Hm.”Ingin sekali rasanya Zuhra mendengus kesal dengan reaksi Dirgam. Apa tidak ada jawaban lain? Kapan hubungan mereka ada kemajuan kalau seperti itu.Zuhra memasukkan bajunya ke dalam koper dengan dongkol.“Kenapa sebanyak itu?” Dirgam mengernyit di tepi ranjang.Zuhra pun tak kalah bingung, namanya perempuan ya pasti punya banyak baju atau alat kosmet
Tepukan lembut di pipi Zuhra mengusik tidur nyenyaknya. Matanya bahkan terasa amat lengket untuk sekedar terbuka. Karena itu dirinya hanya bergumam sambil berbalik dan tidur lagi. Namun tidak bertahan lama saat indera pendengarannya menangkap suara khas seseorang.“Kamu mau sholat Subuh bareng atau saya tinggal?”Zuhra bahkan langsung terduduk setelah mendengar suara Dirgam. Dirinya meringis menahan malu karena sebagai istri harusnya dia yang membangunkan Dirgam, bukan malah sebaliknya.Memang, hal terberat bagi Zuhra selama ini adalah bangun Subuh, bahkan bundanya harus rajin-rajin menggedor pintu agar dirinya tidak tidur lagi.“Mas duluan aja, Zuhra belum mandi,” ucapnya seraya mengamati Dirgam yang sudah tidak mengenakan piyama tidur, itu artinya pria itu sudah mandi.“Sepuluh menit, saya tunggu.”Setelah mengatakan hal itu Dirgam berjalan keluar kamar meninggalkan Zuhra yang hanya mampu mengedipkan mat
Dirgam menatap lurus ke depan, di mana punggung kokoh seseorang yang berbalut jas formal bersama antek-anteknya menghilang.Pandangan pria itu begitu sulit diartikan, membuat Zuhra yang sedari tadi juga ikut mengamati berhenti mengunyah makanannya.“Mas....” Teguran Zuhra mengalihkan perhatiannya.Dirgam menoleh dengan pandangan seakan bertanya ‘ada apa?’“Kenapa nggak makan?” tanya Zuhra.“Tadi sudah makan dengan klien.”“Kalau gitu kenapa pesan makanan sebanyak ini?” gerutu Zuhra.Dirgam mengedikkan bahu. Kamu kan harus makan dua porsi. Ingat, kamu bukan hanya memerlukan gizi untuk dirimu sendiri saja, omelnya. Meskipun begitu, bukan berarti Zuhra harus menghabiskan semua ini. Ingat, perut Zuhra cuma satu ini saja, kesalnya. Sudah jangan cerewet, habiskan yang sanggup kamu habiskan saja, pe
"Ra, udahan dong," rengek Dirgam.Zuhra melotot garang. "Nggak ada! Itu hukuman Mas karena suka ganjen!" ucapnya ketus."Aduuh, Ra. Dia itu sekretaris Papa. Masa sekretaris Papa juga Mas yang pilihin?"
Dirgam merangkul bahu Zuhra dengan sayang. Dia tak membiarkan sedikit pun wanita itu jauh dari jangkauan, membuat semua keluarga yang berkumpul menggelengkan kepala melihat sikap protectivenya.H
Dirgam duduk termenung di taman rumah sakit tempat ibunya dirawat. Sudah satu jam berlalu, dan dia masih enggan untuk beranjak. Ia merenung atas apa yang sudah dialaminya selama ini. Fakta yang baru saja diketahui, dia tak ingin percaya. Tapi, logikanya selalu membenarkan. Jika begitu, bukankah Dirgam sudah berbuat kejam terhadap ayahnya selama ini? Ah, tentu tidak. Ini juga termasuk salah ayahnya yang tak membawanya serta pergi. Kenapa meninggalkan anak pada istri yang tukang selingkuh?Ia menghela napas, terus saja mencari alasan kebenaran atas sikapnya selama ini. Dia juga korban di sini. Lamunan pria itu terhenti karena tarikan kasar seseorang. "Berengsek! Di sini lo ternyata! Bajingan yang udah hamilin adik gue!!" Randy berteria
“Ra ....”Dirgam lantas menoleh karena sapaan lembut Reno pada Zuhra yang berdiri tak jauh dari mereka, dengan perut membuncit serta mata berkaca-kaca.“Maaf ... tapi yang harus selalu kamu tahu, aku tulus sayang sama kamu, Ra,” bisik Reno.
Zuhra menatap sendu pada Dirgam yang memeluk lembut wanita paruh baya yang sedang terbaring di ranjang. Sangat tampak begitu besar kesedihan yang coba pria itu sembunyikan di setiap harinya. Kali ini Zuhra bisa melihat sendiri, betapa rapuhnya seorang Dirgam Arhab.
Katanya cuma teman, tapi di balik layar sayang-sayangan. Kalau ketahuan, alasannya kehilafan.- Perfect Husband“Sewaktu Mas dijemput Papa dan Mama, Kely juga mendapat keluarga baru
Zuhra masih menekuk wajah saat Dirgam merebahkan tubuhnya dengan lembut di atas ranjang.Karena memang tak ada penyakit yang serius,
Kadang semesta memang suka bercanda, sampai kita tak sanggup lagi meski hanya untuk tertawa. Menggelikan.Zuhra mendengus tak percaya. Dia merasa marah, kesal, benci, tapi juga ... lega. Apa-apaan ini?
Kenyataanya ketika cinta sudah meracuni hati dan pikiran, maka kepintaran seseorang akan menguap entah ke mana. Cinta pakai logika? Bullshit.Itulah yang dirasakan Zuhra Kalinka saat ini. Mencintai dalam kerapuhan hati. Pedihnya jiwa yang teriris akibat kelakuan sialan Dirgam nyatan