Kekuatan Cinta
Aku duduk termangu depan rumah karena tidak tahu harus berbuat apa. Awan tebal menutupi seluruh langit hingga cuaca siang ini cukup terlihat mendung. Angin sepoi berembus menembus kulit yang hanya tertutup daster panjang.
Tukang bakso lewat sambil tangannya memukul mangkuk dengan sendok, gegas aku melangkah ke luar karena kebetulan ada selembar uang dua puluh ribu di kantong daster yang aku temukan saat mencuci celana Rafan tadi.
“Bakso, Bang!” panggilku.
Penjual bakso yang masih muda itu menoleh, lalu menghentikan langkahnya. Gerobak warna merah muda dihiasi stiker love, mungkin ia seperti pujangga atau musafir cinta. Diva juga mendekat beriringan dengan Sita sambil meringis seperti kuda.
“Semangkuk, Kak?” tanya penjual bakso, aku menangguk.
Diva dan Sita sudah sampai. “Suka bakso, Lin?” tanya Diva.
“Enggak, suka penjualnya,” jawabku ketus, tetapi berhasil mem
Cincin CoupleAku memainkan ponsel sementara Farah menerima panggilan telepon. WhatsApp aku cek karena di Facebook tidak ada sesuatu yang menarik. Mataku tertuju pada nomor yang belum disimpan ke kontak, ia mengganti foto profilnya dengan dua tangan.Saat aku klik, ternyata itu sepasang tangan berpegangan yang saling memakai cincin. Cincin pasangan tepatnya. Aku perhatikan dengan seksama, tangan itu jelas milik Rafan Aditia. Ternyata mereka punya cincin, tetapi saat Rafan pulang aku tidak melihat selain cincin pernikahan kami.“Lagi liatin apa, Lin?” tanya Farah.Aku memperlihatkan gambar itu padanya. Ia menatap penuh tanya. “Itu tangan Rafan, Far. Nomor ini milik Marsha,” jelasku.“Kamu yakin?”“Aku yakin sekali itu tangan Rafan. Ada tahi lalat kecil di jari manisnya,” jawabku dengan suara lirih.“Lin, kamu harus tanya ke Rafan dulu. Pasti ia bisa jelasin, jangan mudah perca
Nasihat Ustazah NurSudah tiga hari Ibu menginap di sini, saatnya weekend. Sabtu ini Rafan ke rumah Marsha karena harus menemani entah kemana tadi, sepertinya sedang liburan karena mertuanya juga ikut. Aku mengizinkan bahkan memaksa Rafan untuk pergi. Meski penuh rasa malas, akhirnya ia beranjak.Hari sudah sore, tepat pukul tiga. Akan tetapi Rafan belum juga pulang. Jika pun akan menginap seharusnya memberi kabar.“Kamu mau hatimu bisa lebih ikhlas? Ibu tahu kamu memikirkan Rafan, bukan?”“Aku mau belajar tentang keikhlasan, Bu. Begitu sulit menjalaninya. Ia seperti tawadu, mudah diucapkan susah dipraktikan. Ngomong-ngomong caranya gimana, Bu?”“Assalamualaikum.” Suara di balik pintu menarik perhatian.“Itu adalah jawaban atas pertanyaan kamu, Lin. Buka pintu!”Aku gegas berdiri, lalu membuka pintu. Rupanya Ustazah Nur. Mungkin Ibu sengaja mengundang atau ada hal lain sehingga bel
Kekuatan Datangnya Dari AllahHari minggu ini cucian tetap sama seperti kemarin. Hanya saja aku lelah setelah mengepel seluruh ruangan. Rafan memang membantu, tetapi tentu tidak aku biarkan membantu terlalu banyak karena esok ia akan kembali ke kantor mencari nafkah dan berhadapan dengan komputer.Untung Ibu bersedia memasak sehingga aku bisa merebahkan diri sekejab di depan televisi sambil menonton acara apa saja. Merebahkan diri sejenak memang menyenangkan karena membuat nyaman, tetapi jika terlalu lama akan menjadi sakit juga.Sesuatu yang nyaman apabila terlalu lama akan membuat sakit. Seperti itu pula manusia, maka jangan terlalu nyaman padanya.Ah, aroma masakan Ibu mengusik indra penciuman karena tadi pagi hanya sarapan roti. Rafan masih di depan rumah mencuci mobil dan motor. Saat aku lirik jam, sudah menunjuk angka 10. Pasti cuaca di luar sudah panas.Aku melangkah ke pintu depan. Saat terbuka, ternyata Diva ada di depan terus mengaj
Sabar Itu Indah“Ibu sama siapa nanti di rumah? Kalau sendiri akan sepi, Bu.”“Ibu ditemani sepupu kamu, Si Dea.”Aku bernapas lega karena rumah Dea memang dekat dari rumah Ibu, hanya beberapa meter saja. Aku mencium tangan Ibu, lalu tangan Rafan setelah itu mereka naik ke mobil dan membelah jalan membiarkanku seorang diri di rumah.Hari ini tidak tahu harus melakukan apa, sepi kembali menemani. Aku seakan dipeluk paksa sunyi yang menjadikanku rindu masa kecil dengan keluarga yang masih lengkap. Angan hanya sebatas angan, nyatanya belum ada calon bayi dalam rahim yang sudah lama tidak disentuh.Jam sudah menunjuk angka sembilan, tidak terasa waktu bergulir begitu cepat padahal sedang sendiri. Mungkin karena membiarkan tiap detik berlalu dengan khayalan. Sebenarnya ini sama saja membuang waktu, harusnya dimanfaatkan selagi ada kesempatan karena waktu selalu ada, tetapi tidak dengan kesempatan.Di luar sana banyak orang
Pendar KebahagiaanPagi ini hujan mengguyur begitu deras disertai angin yang teramat kencang. Suasana di luar rumah begitu gelap sehingga Rafan memutuskan untuk libur sendiri saja. Aku duduk di depan televisi sambil membalut diri dengan jaket dan selimut, di samping ada Rafan dengan jaket tebal pula.“Sayang, bagi selimutnya, dong!”Aku mengangguk membiarkan Rafan menutupi diri dengan selimut juga. Di depan kami terhidang teh hangat. Cuaca begitu menusuk bahkan aku mengenakan kos kaki karena tidak tahan. Jangankan untuk membuka pintu, menengok di balik jendela saja sudah takut bukan main.Tadi Ibu sempat menelepon katanya ditemani Dea dan itu membuatku bisa bernapas lega. Suasana yang amat mencekam membuatku ingin berkumpul dengan keluarga, ingin memastikan mereka baik-baik saja. Semoga pula Marsha sedang tidak sendirian di rumah, Rafan bilang WhatsApp-nya tidak aktif sejak tadi malam.“Ya Allah, aku mohon redakan hujan dan angin
Nahkodaku KembaliKapal kembali berlayar di dua samudera karena nahkoda telah kembali. Meski jika sampai di pelabuhan, ia harus pergi ke kapal yang kedua tidak apa-apa. Ketika semua terasa damai dengan ikhlas dan sabar, aku pasti akan mengulum senyum meski pahit.Kebahagiaan benar datang dari diri kita sendiri. Jika terus memikirkan hal yang bisa membuat sedih, maka otomatis otak merespon dan wajah pun tertekuk bagai pakaian yang tak disetrika. Air mata akan luruh karena luka dalam hati.Akan tetapi, jika memikirkan sesuatu yang indah misal burung berkicauan di taman-taman penuh bunga bermekaran, tentu ketenangan akan datang dan bibir pun mengulum senyum paling manis. Bersikap tenang di saat seharusnya amarah meledak-ledak adalah sesuatu yang membanggakan karena jarang orang yang bisa seperti itu.“Tandas!” ucapku bangga. Rasa kenyang sudah berhasil membuat mood semakin bagus.“Farah?” Suara Rafan membuatku menol
Perempuan Berbaju Biru[Kita ketemuan?]Sebuah pesan WhatsApp dari nomor tidak dikenal membuatku mengerutkan dahi. Foto profilnya memang ada, ia memakai baju kaos biru tetapi wajahnya tertutupi buku sehingga tidak bisa mengenalinya.Aku mengikuti saja tanpa ingin bertanya.[Di mana?][Tunggu aku saja di depan rumahmu. Nanti aku jemput satu jam dari sekarang.]Perempuan ini seperti menantangku. Apa ia alumni dari sekolah yang sama denganku dulu dan ingin memberi kejutan? Namun, ulang tahun aku masih lama.Siapa dan apa tujuannya?Aku tidak langsung membalas, melainkan mengirim pesan itu ke Grup KUBIDCAM, tetapi tidak ada respons. Untung saja ingat kalau ada aplikasi yang bisa cek siapa pemilik nomor tidak dikenal. Aku membuka aplikasi Getcontact dan langsung paste nomor itu.“Jadi ini kamu, Div?” gumamku sambil tertus tertawa kecil. Mungkin ia tidak menyangka akan ketahuan.Jemariku kembali
Air Mata Marsha“Aku ... aku tidak ingin sendiri di rumah. Apa boleh tinggal di sini?”Ya, Marsha datang ke rumah sepagi ini dengan alasan sendirian di rumah. Rafan sebenarnya tidak setuju, tetapi ia terus mengiba. Aku ingin menerimanya, tetapi keputusan tetap ada di tangan Marsha.Perempuan yang berstatus istri kedua itu bersujud di kaki Rafan dengan air mata yang terus berjatuhan membasahi pipi. Entah tulus atau palsu air mata itu keluar, tidak ada yang tahu.Namun, aku merasa itu hanya sandiwara. Marsha seperti punya rencana di balik semua ini. Sikapnya yang selalu tampil angkuh kini lemah. Bahkan ia bersujud di kaki Rafan. Ah, pusing rasanya. Bukan aku tidak menerima kehadiran perempuan kedua itu, hanya khawatir.Ada sesuatu yang mengganjal dalam hati. Rafan masih diam tanpa jawaban. Marsha terus menangis dengan terus mengulang kalimat tadi. Tahu Marsha tidak akan mengalah, aku meminta Rafan untuk mengizinkannya tinggal di sin