Nasihat Ustazah Nur
Sudah tiga hari Ibu menginap di sini, saatnya weekend. Sabtu ini Rafan ke rumah Marsha karena harus menemani entah kemana tadi, sepertinya sedang liburan karena mertuanya juga ikut. Aku mengizinkan bahkan memaksa Rafan untuk pergi. Meski penuh rasa malas, akhirnya ia beranjak.
Hari sudah sore, tepat pukul tiga. Akan tetapi Rafan belum juga pulang. Jika pun akan menginap seharusnya memberi kabar.
“Kamu mau hatimu bisa lebih ikhlas? Ibu tahu kamu memikirkan Rafan, bukan?”
“Aku mau belajar tentang keikhlasan, Bu. Begitu sulit menjalaninya. Ia seperti tawadu, mudah diucapkan susah dipraktikan. Ngomong-ngomong caranya gimana, Bu?”
“Assalamualaikum.” Suara di balik pintu menarik perhatian.
“Itu adalah jawaban atas pertanyaan kamu, Lin. Buka pintu!”
Aku gegas berdiri, lalu membuka pintu. Rupanya Ustazah Nur. Mungkin Ibu sengaja mengundang atau ada hal lain sehingga bel
Kekuatan Datangnya Dari AllahHari minggu ini cucian tetap sama seperti kemarin. Hanya saja aku lelah setelah mengepel seluruh ruangan. Rafan memang membantu, tetapi tentu tidak aku biarkan membantu terlalu banyak karena esok ia akan kembali ke kantor mencari nafkah dan berhadapan dengan komputer.Untung Ibu bersedia memasak sehingga aku bisa merebahkan diri sekejab di depan televisi sambil menonton acara apa saja. Merebahkan diri sejenak memang menyenangkan karena membuat nyaman, tetapi jika terlalu lama akan menjadi sakit juga.Sesuatu yang nyaman apabila terlalu lama akan membuat sakit. Seperti itu pula manusia, maka jangan terlalu nyaman padanya.Ah, aroma masakan Ibu mengusik indra penciuman karena tadi pagi hanya sarapan roti. Rafan masih di depan rumah mencuci mobil dan motor. Saat aku lirik jam, sudah menunjuk angka 10. Pasti cuaca di luar sudah panas.Aku melangkah ke pintu depan. Saat terbuka, ternyata Diva ada di depan terus mengaj
Sabar Itu Indah“Ibu sama siapa nanti di rumah? Kalau sendiri akan sepi, Bu.”“Ibu ditemani sepupu kamu, Si Dea.”Aku bernapas lega karena rumah Dea memang dekat dari rumah Ibu, hanya beberapa meter saja. Aku mencium tangan Ibu, lalu tangan Rafan setelah itu mereka naik ke mobil dan membelah jalan membiarkanku seorang diri di rumah.Hari ini tidak tahu harus melakukan apa, sepi kembali menemani. Aku seakan dipeluk paksa sunyi yang menjadikanku rindu masa kecil dengan keluarga yang masih lengkap. Angan hanya sebatas angan, nyatanya belum ada calon bayi dalam rahim yang sudah lama tidak disentuh.Jam sudah menunjuk angka sembilan, tidak terasa waktu bergulir begitu cepat padahal sedang sendiri. Mungkin karena membiarkan tiap detik berlalu dengan khayalan. Sebenarnya ini sama saja membuang waktu, harusnya dimanfaatkan selagi ada kesempatan karena waktu selalu ada, tetapi tidak dengan kesempatan.Di luar sana banyak orang
Pendar KebahagiaanPagi ini hujan mengguyur begitu deras disertai angin yang teramat kencang. Suasana di luar rumah begitu gelap sehingga Rafan memutuskan untuk libur sendiri saja. Aku duduk di depan televisi sambil membalut diri dengan jaket dan selimut, di samping ada Rafan dengan jaket tebal pula.“Sayang, bagi selimutnya, dong!”Aku mengangguk membiarkan Rafan menutupi diri dengan selimut juga. Di depan kami terhidang teh hangat. Cuaca begitu menusuk bahkan aku mengenakan kos kaki karena tidak tahan. Jangankan untuk membuka pintu, menengok di balik jendela saja sudah takut bukan main.Tadi Ibu sempat menelepon katanya ditemani Dea dan itu membuatku bisa bernapas lega. Suasana yang amat mencekam membuatku ingin berkumpul dengan keluarga, ingin memastikan mereka baik-baik saja. Semoga pula Marsha sedang tidak sendirian di rumah, Rafan bilang WhatsApp-nya tidak aktif sejak tadi malam.“Ya Allah, aku mohon redakan hujan dan angin
Nahkodaku KembaliKapal kembali berlayar di dua samudera karena nahkoda telah kembali. Meski jika sampai di pelabuhan, ia harus pergi ke kapal yang kedua tidak apa-apa. Ketika semua terasa damai dengan ikhlas dan sabar, aku pasti akan mengulum senyum meski pahit.Kebahagiaan benar datang dari diri kita sendiri. Jika terus memikirkan hal yang bisa membuat sedih, maka otomatis otak merespon dan wajah pun tertekuk bagai pakaian yang tak disetrika. Air mata akan luruh karena luka dalam hati.Akan tetapi, jika memikirkan sesuatu yang indah misal burung berkicauan di taman-taman penuh bunga bermekaran, tentu ketenangan akan datang dan bibir pun mengulum senyum paling manis. Bersikap tenang di saat seharusnya amarah meledak-ledak adalah sesuatu yang membanggakan karena jarang orang yang bisa seperti itu.“Tandas!” ucapku bangga. Rasa kenyang sudah berhasil membuat mood semakin bagus.“Farah?” Suara Rafan membuatku menol
Perempuan Berbaju Biru[Kita ketemuan?]Sebuah pesan WhatsApp dari nomor tidak dikenal membuatku mengerutkan dahi. Foto profilnya memang ada, ia memakai baju kaos biru tetapi wajahnya tertutupi buku sehingga tidak bisa mengenalinya.Aku mengikuti saja tanpa ingin bertanya.[Di mana?][Tunggu aku saja di depan rumahmu. Nanti aku jemput satu jam dari sekarang.]Perempuan ini seperti menantangku. Apa ia alumni dari sekolah yang sama denganku dulu dan ingin memberi kejutan? Namun, ulang tahun aku masih lama.Siapa dan apa tujuannya?Aku tidak langsung membalas, melainkan mengirim pesan itu ke Grup KUBIDCAM, tetapi tidak ada respons. Untung saja ingat kalau ada aplikasi yang bisa cek siapa pemilik nomor tidak dikenal. Aku membuka aplikasi Getcontact dan langsung paste nomor itu.“Jadi ini kamu, Div?” gumamku sambil tertus tertawa kecil. Mungkin ia tidak menyangka akan ketahuan.Jemariku kembali
Air Mata Marsha“Aku ... aku tidak ingin sendiri di rumah. Apa boleh tinggal di sini?”Ya, Marsha datang ke rumah sepagi ini dengan alasan sendirian di rumah. Rafan sebenarnya tidak setuju, tetapi ia terus mengiba. Aku ingin menerimanya, tetapi keputusan tetap ada di tangan Marsha.Perempuan yang berstatus istri kedua itu bersujud di kaki Rafan dengan air mata yang terus berjatuhan membasahi pipi. Entah tulus atau palsu air mata itu keluar, tidak ada yang tahu.Namun, aku merasa itu hanya sandiwara. Marsha seperti punya rencana di balik semua ini. Sikapnya yang selalu tampil angkuh kini lemah. Bahkan ia bersujud di kaki Rafan. Ah, pusing rasanya. Bukan aku tidak menerima kehadiran perempuan kedua itu, hanya khawatir.Ada sesuatu yang mengganjal dalam hati. Rafan masih diam tanpa jawaban. Marsha terus menangis dengan terus mengulang kalimat tadi. Tahu Marsha tidak akan mengalah, aku meminta Rafan untuk mengizinkannya tinggal di sin
Pada Malam ItuBa'da asar aku sudah sampai rumah, tetapi tidak langsung masuk karena takutnya Rafan tidak ada di dalam. Daripada menunggu tanpa kepastian, aku mengirim pesan WhatsApp menanyakan posisi.[Udah dekat. Kamu di mana?] balasnya setelah lima menit berlalu.[Depan rumah. Buruan ke sini, Fan. Aku takut.]Kaki rasanya dingin meski dibalut dengan kos kaki. Jangan sampai Farah tahu aku sudah tiba dan menyeret tubuh ini ke dalam, lalu kepala dicelupkan dalam bak mandi. Bulu kudukku meremang seketika, entah kenapa pikiran melayang pada hal sehoror ini.Detik berganti menit, Rafan sudah tiba dengan kantong plastik di tangan kirinya. Rupanya lelaki itu jalan kaki, mungkin ke alfa atau entahlah. Ia mengulum senyum paling manis. “Masuk, yuk, Sayang!” ajaknya.Aku gegas berdiri, mengikuti Rafan dari belakang. Rumah jadi terkesan horor sejak kehadiran Marsha. Perempuan itu keluar dari kamar sambil memasang senyum ramah. “Kalia
Perempuan Itu LagiSiang ini cuaca begitu cerah seperti menggambarkan hati yang teramat bahagia. Rafan sudah pergi bekerja sejak tadi, hari ini aku berniat mengunjungi rumah Mei sambil membawa buah yang dibawa Ibu kemarin. Nayyara Dress membuat penampilanku lebih terlihat elegant.Baru saja mengunci gerbang, panggilan dari Diva sudah memekakkan telinga. Aku menoleh dan melihatnya menghampiriku. “Kamu mau ke mana?”“Rumah Mei.”“Aku ikut!”Aku diam tidak tahu harus berkata apa. Ingin membawa Diva sekalian, apa kata Farah? Kalau menolak juga tidak enak karena ia terlihat antusias.Napas ini berembus kasar, benar-benar bingung sekarang.“Kenapa, Lin? Kamu gak mau atau ada janji dengan Farah?”“Farah nyusul nanti.”“Ya udah, ayo!”Mau tidak mau, suka tidak suka, Diva sudah duduk di belakangku. Ia benar-benar cuek padahal baru kemarin ia memb