Pada Malam Itu
Ba'da asar aku sudah sampai rumah, tetapi tidak langsung masuk karena takutnya Rafan tidak ada di dalam. Daripada menunggu tanpa kepastian, aku mengirim pesan WhatsApp menanyakan posisi.
[Udah dekat. Kamu di mana?] balasnya setelah lima menit berlalu.
[Depan rumah. Buruan ke sini, Fan. Aku takut.]
Kaki rasanya dingin meski dibalut dengan kos kaki. Jangan sampai Farah tahu aku sudah tiba dan menyeret tubuh ini ke dalam, lalu kepala dicelupkan dalam bak mandi. Bulu kudukku meremang seketika, entah kenapa pikiran melayang pada hal sehoror ini.
Detik berganti menit, Rafan sudah tiba dengan kantong plastik di tangan kirinya. Rupanya lelaki itu jalan kaki, mungkin ke alfa atau entahlah. Ia mengulum senyum paling manis. “Masuk, yuk, Sayang!” ajaknya.
Aku gegas berdiri, mengikuti Rafan dari belakang. Rumah jadi terkesan horor sejak kehadiran Marsha. Perempuan itu keluar dari kamar sambil memasang senyum ramah. “Kalia
Perempuan Itu LagiSiang ini cuaca begitu cerah seperti menggambarkan hati yang teramat bahagia. Rafan sudah pergi bekerja sejak tadi, hari ini aku berniat mengunjungi rumah Mei sambil membawa buah yang dibawa Ibu kemarin. Nayyara Dress membuat penampilanku lebih terlihat elegant.Baru saja mengunci gerbang, panggilan dari Diva sudah memekakkan telinga. Aku menoleh dan melihatnya menghampiriku. “Kamu mau ke mana?”“Rumah Mei.”“Aku ikut!”Aku diam tidak tahu harus berkata apa. Ingin membawa Diva sekalian, apa kata Farah? Kalau menolak juga tidak enak karena ia terlihat antusias.Napas ini berembus kasar, benar-benar bingung sekarang.“Kenapa, Lin? Kamu gak mau atau ada janji dengan Farah?”“Farah nyusul nanti.”“Ya udah, ayo!”Mau tidak mau, suka tidak suka, Diva sudah duduk di belakangku. Ia benar-benar cuek padahal baru kemarin ia memb
Bersabarlah!“Apa, sih?!” tanyaku ketus.Sepagi ini Diva datang ke rumah menggedor-gedor pintu. Entah apa yang terjadi padanya.“Mau ngajak Rafan jalan-jalan pagi.” Jawaban Diva berhasil membuat hati ini panas.“Baru pukul tujuh juga.”“Ya, masa pukul sepuluh,” balas Diva.“Ayo, Div. Ayo, Sayang!”Rafan yang terlihat antusias membuatku harus tersenyum kecut. Baru kali ini lelaki itu tidak abai pada Diva Laverna. Ia bahkan terus membujuk di saat aku menggelengkan kepala. Ingin rasanya menjitak Rafan, tetapi Diva terus memperhatikan kami.Sekarang tanggal merah, Rafan tidak harus ke kantor. Dengan rasa malas aku akhirnya mengangguk, lalu melangkah bersama mereka. Rafan ada di tengah dan terus-terusan mengobrol bersama Diva yang sok asik.Aku sering kali memutar bola mata malas saat Diva terang-terangan memuji Rafan di depanku. Bahkan Rafan pun sesekali memuji sika
Takdir CintaPemandangan yang sangat tidak terduga. Farah tiba-tiba berdiri di sampingku. Ia mengukir senyum.“Happy birthday, Putri Raline!” ucap Rafan sambil memegang kue tart.“Ini?” Aku masih tidak mengerti.“Hari ini ulang tahun kamu, masa lupa?” ucap Mei yamg tiba-tiba muncul di balik pintu kamar yang pernah dihuni Marsha. Ternyata bukan hanya Mei, ia disusul Kak Rina dan Ibu. Mereka semua ada di sini.“Selamat ulang tahun, Sayang!” Rafan yang sejak tadi mematung, kini melangkah mendekat. Ia mengukir senyum paling manis.“Maafkan kami, Lin. Ini semua rencana Farah. Kami hanya mengerjaimu,” jelas Diva.Aku melangkah mendekati Rafan sehingga jarak kami semakin dekat. Saat kuedarkan pandangan ternyata beberapa balon sudah menghias. Kue tart warna cokelat tanpa lilin. “Semoga kita bisa bahagia hingga ke surga, Sayang.”“Semoga kamu tetap jadi sahaba
Delapan bulan kemudian... “Sayang, hari ini aku ikut jaga toko, ya?” Aku mengucapkan kalimat itu dengan nada manja. Lelaki itu mengangguk. Ia memang lelaki terbaik yang pantas dilabeli suami idaman karena tabungannya ia gunakan untuk membeli toko depan rumah yang kami isi dengan sembako. Rafan tidak ingin meninggalkanku terlalu lama jika sibuk di kantor, jadi memilih resign saja. Aku yang sudah mengandung selama delapan bulan tentu semakin gemuk. Perut pun tidak kalah besar dari balon udara. Namun, selama masa kehamilan ia selalu berusaha menjadi calon ayah yang siaga. Meski malam telah larut jika aku ingin sesuatu, pasti akan diusahakan meski berujung kecewa karena aku tidak lagi menginginkannya. Selama ini pula tidak ada air mata yang luruh karena perempuan kedua. Bukan hanya Rafan, Mei dan Farah pun memberi semangat saat aku ingin mengeluhkan sakitnya mengandung. Mei telah melahirkan seorang anak perempuan yang cantik dan kini sedang
Tak Sengaja BertemuSenin yang mendung, tetapi aku tetap melakukan rutinitas yaitu jalan-jalan subuh karena kalau terus berbaring atau duduk hanya menambah sakit. Kali ini aku tidak hanya jalan di pekarangan rumah saja, melainkan sampai ke depan rumah Diva.Rafan tentu saja menemani. Selain menambah keromantisan juga untuk menjaga jangan sampai ada sesuatu yang tidak diinginkan. Diva sudah berdiri di depan rumah dengan pakaian olahraga yang tidak terlalu ketat. Di tangannya ada tali yang akan digunakan sebagai alat bantu untuk olahraga.Ia terlihat bugar dan sehat dengan tubuh langsingnya. “Jalan-jalan, Bu?”Tumben sekali ia memanggil seperti itu. Aku yang merasa tidak enak apalagi ada beberapa tetangga juga balas menyapa dengan sopan. “Iya, nih, Bu Diva.”“Sehat-sehat, ya.”Aku hanya tersenyum, lalu memandang Rafan yang balas memandangku. Entah apa yang ada dalam benak lelaki itu. Ia tidak banyak bicara d
“Rafan mana?” tanya Ahmad pelan. Aku kikuk berhadapan dengan lelaki ini. Meski status sudah menjadi istri Rafan, bayangan masa lalu kembali menghantui.“Dia ke rumah tadi, kebelet.”“Oh, aku mau beli aqua empat dus.”“Tunggu Rafan saja atau ambil sendiri, aku gak kuat berdiri apalagi ngangkat.”“Sudah berapa bulan?”“Delapan.”Ahmad mengangguk pelan. Aku kembali mengupas kulit apel, lalu memotongnya menjadi beberapa bagian kecil. Entah kenapa Rafan lama di rumah.Suasana canggung seperti ini tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Saat menoleh ke arah kiri, ternyata Ahmad melangkah ke luar. Mungkin takut fitnah atau tidak ingin membuat luka di hati Rafan. Namun, bukankah status kami hanya sebatas penjual dan pembeli?Aku bahkan tidak sempat bertanya kenapa ia bisa ada di sini, barang kali rumahnya dekat atau sudah menikah dengan orang sekitar sini.Rafa
Rafan sudah selesai mencuci dan menyapu, sebelum mandi ia menghampiriku yang duduk di ranjang sambil mengelus perut. Di wajahnya tidak terukir senyum, begitu pun denganku.“Ada hubungan apa kamu dengan Ahmad di masa lalu, Lin?”“Tidak ada hubungan di antara kami, Fan. Jika pun ada hubungan seharusnya tidak usah dibahas karena hanya masa lalu,” jawabku sekaligus menyindir.Sepertinya Rafan lupa pada Marsha sehingga tidak enggan untuk menanyakan tentang masa lalu. Jika dipikir tentang luka maka aku yang paling terluka. Andai tidak berusaha sabar dan ikhlas maka mungkin sudah berujung perceraian.“Lalu kenapa Ahmad terus memperhatikanmu?”Aku menautkan kedua alis. “Kapan Ahmad memperhatikanku?”“Waktu jalan pagi kemarin. Ia ada di depan rumah Bu Endang. Makanya aku minta pulang saja karena lihat dia yang gak alihin pandangan.”Rumah Bu Endang? Sepagi itu?Mungkin Rafan sa
Aku termangu dalam kamar temaram. Sejak tadi kami masih belum saling bicara. Mungkin Rafan enggan meminta maaf atau aku yang terlalu sakit sehingga sering abai padanya. Sebenarnya lelaki itu sering mencoba untuk berbicara, tetapi mata pura-pura tidak melihat.Ia masih di luar, mungkin sedang mencuci piring karena makan pun rasanya tidak enak. Namun, harus dipaksa karena ada yang hidup dalam rahim. Entah bagaimana kehidupannya nanti setelah menatap indahnya dunia.Daun pintu terbuka lebar, Rafan muncul di baliknya lalu melangkah pelan setelah mengunci pintu bernuansa putih itu.“Raline.” Rafan duduk di depanku. “Aku mengaku salah, terlalu cemburu hingga berimbas padamu. Seharusnya aku tidak berubah, tetapi mau bagaimana lagi ini kali pertamanya aku cemburu karenamu.”Aku diam.“Raline, maafkan aku. Kenapa juga harus cemburu pada Ahmad yang paham soal agama. Ia tidak akan merebut kamu dariku. Lagian kamu sedang men
POV AUTHORBaru saja selesai mandi, Raline merasakan nyeri di bagian pinggangnya. Dia memanggil Rafan dengan suara sangat lemah. Beruntung lelaki itu memang berada di depan kamar. Melihat sang istri kesakitan, dia langsung membopongnya."Kenapa, Sayang?" tanya Rafan khawatir."Sakit, Fan. Kayaknya udah mau lahiran deh!" pekik Raline sambil memejamkan mata. Dia benar-benar lemah.Rafan dengan gerak cepat membawa sang istri ke mobil. Di depan dia bertemu sahabatnya. "Raline mau lahiran, kalian tolong bawa perlengkapan, susul segera!""Oke, Fan!" Mei dan Farah melangkah cepat sementara mobil yang membawa Raline sudah meninggalkan halaman rumah. Ibu Raline memilih tidak ikut karena terlalu takut. Dia berdoa di rumah saja.Setibanya di rumah sakit tepat di ruang persalinan setelah tiga jam menunggu, Raline mengalami kontraksi hebat. Para perawat dan bidan yang sejak tadi menunggu mulai mengecek pembukaan.Sementara di ruang tunggu, Farah d
Mentari pagi telah menyapa begitu hangat. Hujan tadi malam menyisakan genangan yang berangsur hilang. Aku jalan-jalan pagi di depan rumah sambil melafazkan zikir untuk perlindungan dari mata jahat.Sepagi ini pula Rafan menyalakan mesin motor dan melajukan menuju pasar karena harus membeli tiga potong ayam ukuran jumbo. Mei dan Farah itu raja makan sehingga kalau dua potong saja tidak akan cukup.Tidak lupa aku menitip beberapa cemilan juga pada Rafan karena ingat pada Salsa. Ah, bukan sepenuhnya pada anak Mei itu tetapi juga ibu dan sahabat ibunya.“Olaraga, Bu?”Aku menoleh, rupanya itu Diva dan Sita. Baru kali ini aku melihat Diva memakai gamis dan jilbab panjang.“Iya.”“Kamu gak nanya aku mau ke mana?”“Enggak.”“Meski gak nanya aku tahu kamu kepo, Lin. Aku sebenarnya lagi jogging ngikutin calon suami. Ya sudah, bye!”Aku memutar bola mata malas, sungguh ti
“Jika sabar itu ada ujungnya, mungkin aku telah menjauh dari sumber luka. Jika sabar itu tidak berbuah surga, maka tidak mungkin aku terus bermain dalam taman penuh luka. Pun jika sabar menghadapi cobaan bukan bagian dari titah dalam agamaku, maka aku akan berlari dari takdir.”—Putri Raline.***Seperti hari-hari sebelumnya aku hanya bisa banyak bergerak di depan rumah. Rafan membuka toko lebih pagi karena ada Ibu yang membantu kami mengurus rumah. Tidak ada agenda jalan-jalan seperti pasangan pada umumnya.Dulu kami selalu menanti weekend, sekarang semua hari pun sama saja. Tidak harus liburan ke luar juga karena kondisi yang tidak memungkinkan. Ibu hamil sebaiknya banyak di rumah dan olahraga kecil agar proses lahiran lancar.Matahari sudah semakin menyengat, aku kembali masuk dalam kamar karena keringat sudah sedikit membasahi tubuh. Aku langsung masuk kamar mandi agar tubuh segar lagi.Setelah mandi dan mengenakan daster ukura
“Percayalah! Beratnya memaafkan bukanbesarnya kezhaliman orang kepadamu, melainkan hatimu yang kurang luas untuk menampung semua beban.Kala hatimu lapang, kesalahan orang hanyalah warna-warna gelap yang justru memperkaya lukisan di kanvas kehidupanmu.”—S.Aminah Al Attas***“Ibu bahas apa saja sama Rafan?” tanyaku saat Ibu tengah mencuci piring bekas makan tadi.“Ibu bahas semua yang kamu ceritakan. Kenapa memangnya?”“Rafan belum mengajak kamu ngobrol semalam?” tanya Ibu lagi setelah hening dua menit. Ia ikut duduk di kursi meja makan.“Belum, Bu. Aku pura-pura tidur karena mau tahu dulu Ibu bahas apa saja.”Ibu hanya tersenyum, lalu memintaku menyusul Rafan dalam kamar. Tanpa menunggu waktu lagi kaki menuntun diriku masuk kamar.Aku meraih gagang pintu dan membuka perlahan. Rafan terlihat duduk di kursi rias seperti sedang latihan drama atau entahlah.
Jam sepuluh pagi aku baru selesai mandi karena lepas salat subuh tadi ketiduran. Bagaimana tidak tidur, sepanjang malam begadang karena jadi langganan kamar kecil.Setelah makan, aku melangkah pelan ke toko menghampiri Rafan. Butuh beberapa menit baru sampai, ternya sedang sepi. Mungkin baru pulang atau entah.Dari dalam muncul Diva sambil tersenyum manis. “Rafan, sejak kapan ....”“Anu tadi, an–”“Tadi ke sini karena ada satu hal. Kalau begitu aku pulang dulu, ya.”“Fan, jangan lupa. Siang atau sore nanti aku balik,” tambah Diva, lalu melenggang pergi.Aku diam menantikan penjelasan. Namun, lelaki itu hanya bisa menunduk. Entahlah, aku tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya.“Assalamualaikum.”Aku menoleh pada pemilik suara itu. Ia tersenyum, di kantong mata dan beberapa bagian wajahnya tergambar keriput.“Waalaikumussalam, Ibu,&rdqu
[Kamu ke sana jam berapa, Lin?]Pesan WhatsApp pribadi yang dikirim Mei subuh tadi baru aku baca setelah hampir pukul delapan pagi.[Jam delapan, insya Allah, Mei. Kamu sama siapa?][Nebeng sama sepupu. Kebetulan ia mau keluar dan lewatin rumah Farah.][Oke, kalau begitu kita ketemu di sana saja.][Sip.]Aku meletakkan ponsel dan melangkah ke cermin. Sudah bagus dengan make up minimalis. Untung saja Farah ingat kalau aku sedang hamil tua jadi diberi baju ukuran jumbo.Rafan pun telah siap, aku gegas mengambil tas kecil berwarna putih, lalu melangkah ke luar bersama Rafan. Diva berdiri setelah melihat kami.Sejak pukul enam pagi tadi ia sudah ada di sini. Entah ia mandi sebelum subuh atau entahlah. Make up ia poles di ruang tamu, bahkan jilbabnya sekalian. Ia benar-bemar tidak ingin ketinggalan.Aku jadi semakin penasaran seperti apa rupa calon suaminya. Ia memakai dress warna silver untung saja tidak senada dengank
“Hunna libaasun lakum wa antum libaasun lahunna. Mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka.”—QS. Al-Baqarah ayat 187.***Badai pernikahan pasti berlalu meski dalam waktu yang lama. Aku hanya harus bersabar sedikit lagi. Tentang foto Marsha kemarin, biarlah dilupakan dahulu.Aku menghampiri Rafan yang tengah menyeduh teh hangat. Besok pernikahan Farah, barangkali ia lupa. “Fan?”“Raline. Duduklah!”“Besok kita ke nikahan Farah, 'kan?” tanyaku setelah mengempas bokong di kursi.“Insya Allah, kenapa?”“Aku pikir kamu lupa.Rafan memamerkan gigi putihnya. Benar-benar bosan kala pembicaran habis. Seperti anak remaja akan badmood saat tidak ada bahasan yang harus dibahas lagi.Entah untuk pacar, sahabat atau gebetan. Tepatnya kehabisan kata-kata.Sudah tiga hari hujan mengguyur menjadikan pakaian kadang tidak kering te
“Aku pulang dulu, ya, Lin. Sudah mau pukul lima sore. Nanti orang di rumah nyariin lagi,” ucap Farah dengan raut sedih.Memang kami sering bertemu, tetapi ketahuilah bahwa jika kita punya teman yang bisa membawa kedamaian pasti akan selalu rindu untuk bertemu dan seperti itulah kawan terbaik. “Hum.”“Tenang saja, aku bakal ke sini lagi. Namun, harus kamu dulu yang datang ke pernikahan aku.”“Aku hamil tua, Far.” Aku mengucapkan kalimat itu dengan suara sedih. Dilema.“Yang penting hadir. Kamu sama Mei di dalam kamar saja. Nanti aku sediain kamar si samping kamar pengantin khusus untuk sahabat tercinta. Oke?”“Jangan mencoba beralasan lagi atau persahabatan kita cukup sampai di sini.”“Kalau misal aku lahiran?”“Kamu boleh tidak hadir kalau lagi sakit, lahiran atau semoga enggak, meninggal. Oke?”“Insya Allah, Farah. Kamu sahaba
Minggu ini Rafan izin jogging sebentar karena badannya pegal. Aku mengiyakan dengan syarat tidak membawa ponsel dan dompet. Jika membawa keduanya tentu bisa jauh perginya.Teringat saat pertama ia bertemu dengan Diva. Hal itu bisa terjadi lagi jika tidak berusaha dihindari. Netra memandang ke nakas, di sana ada dompet Rafan sementara ponsel ia charger.Aku beranjak dari kursi rias, lalu menuju nakas. Dompet kulit berwarna cokelat kini dalam genggaman. Sungguh sudah lama aku tidak memegan dompet ini sehingga penasaran dengan isinya.Ada dua atm di sana yang aku tidak tahu berapa saldonya. Aku cek lagi ada beberapa lembar uang merah bergambar presiden pertama, Soekarno Hatta. Namun, saat melihat ke arah KTP, jantung berdebar cepat karena ada sesuatu yang mengganjal.Aku mencopot KTP itu dan ternyata berhasil membuat lidah kelu. Jantung memompa cepat dan aku langsung menjatuhkan diri di tepi ranjang.“Foto Marsha?” gumamku.Pa