“Rafan mana?” tanya Ahmad pelan. Aku kikuk berhadapan dengan lelaki ini. Meski status sudah menjadi istri Rafan, bayangan masa lalu kembali menghantui.
“Dia ke rumah tadi, kebelet.”
“Oh, aku mau beli aqua empat dus.”
“Tunggu Rafan saja atau ambil sendiri, aku gak kuat berdiri apalagi ngangkat.”
“Sudah berapa bulan?”
“Delapan.”
Ahmad mengangguk pelan. Aku kembali mengupas kulit apel, lalu memotongnya menjadi beberapa bagian kecil. Entah kenapa Rafan lama di rumah.
Suasana canggung seperti ini tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Saat menoleh ke arah kiri, ternyata Ahmad melangkah ke luar. Mungkin takut fitnah atau tidak ingin membuat luka di hati Rafan. Namun, bukankah status kami hanya sebatas penjual dan pembeli?
Aku bahkan tidak sempat bertanya kenapa ia bisa ada di sini, barang kali rumahnya dekat atau sudah menikah dengan orang sekitar sini.
Rafa
Rafan sudah selesai mencuci dan menyapu, sebelum mandi ia menghampiriku yang duduk di ranjang sambil mengelus perut. Di wajahnya tidak terukir senyum, begitu pun denganku.“Ada hubungan apa kamu dengan Ahmad di masa lalu, Lin?”“Tidak ada hubungan di antara kami, Fan. Jika pun ada hubungan seharusnya tidak usah dibahas karena hanya masa lalu,” jawabku sekaligus menyindir.Sepertinya Rafan lupa pada Marsha sehingga tidak enggan untuk menanyakan tentang masa lalu. Jika dipikir tentang luka maka aku yang paling terluka. Andai tidak berusaha sabar dan ikhlas maka mungkin sudah berujung perceraian.“Lalu kenapa Ahmad terus memperhatikanmu?”Aku menautkan kedua alis. “Kapan Ahmad memperhatikanku?”“Waktu jalan pagi kemarin. Ia ada di depan rumah Bu Endang. Makanya aku minta pulang saja karena lihat dia yang gak alihin pandangan.”Rumah Bu Endang? Sepagi itu?Mungkin Rafan sa
Aku termangu dalam kamar temaram. Sejak tadi kami masih belum saling bicara. Mungkin Rafan enggan meminta maaf atau aku yang terlalu sakit sehingga sering abai padanya. Sebenarnya lelaki itu sering mencoba untuk berbicara, tetapi mata pura-pura tidak melihat.Ia masih di luar, mungkin sedang mencuci piring karena makan pun rasanya tidak enak. Namun, harus dipaksa karena ada yang hidup dalam rahim. Entah bagaimana kehidupannya nanti setelah menatap indahnya dunia.Daun pintu terbuka lebar, Rafan muncul di baliknya lalu melangkah pelan setelah mengunci pintu bernuansa putih itu.“Raline.” Rafan duduk di depanku. “Aku mengaku salah, terlalu cemburu hingga berimbas padamu. Seharusnya aku tidak berubah, tetapi mau bagaimana lagi ini kali pertamanya aku cemburu karenamu.”Aku diam.“Raline, maafkan aku. Kenapa juga harus cemburu pada Ahmad yang paham soal agama. Ia tidak akan merebut kamu dariku. Lagian kamu sedang men
Aku dan Farah saling pandang, lalu Farah menjawab dengan sedikit berteriak, “Tetap di situ. Biar kami yang keluar!”Kami gegas melangkah ke luar. Saat sudah melewati pintu kamar, terlihat sosok makhluk kasat mata sedang tersenyum. Aku memutar bola mata malas karena ternyata tadi yang mengusik perhatian adalah Diva.Farah meminta duduk di depan televisi, kami bertiga duduk melingkar. “Ada apa, Far?” tanya Diva.“Harusnya aku yang nanya sama kamu, ada apa?”“Aku ke sini mau ngajak Raline dalam sebuah rencana yang besar dan menguntungkan,” jelas Diva dengan semangat yang menggebu-gebu.Kedua alisku saling bertemu. “Rencana apa?”“Besok kamu harus ikut ke majelis ta'lim. Nah, supaya Ustaz Ganteng memperhatikan aku, kita duduk di barisan paling depan. Kamu harus sering bertanya, oke?”Aku menggaruk telinga yang tidak gatal, lalu beralih memandang Farah yang memasang ai
Minggu ini Rafan izin jogging sebentar karena badannya pegal. Aku mengiyakan dengan syarat tidak membawa ponsel dan dompet. Jika membawa keduanya tentu bisa jauh perginya.Teringat saat pertama ia bertemu dengan Diva. Hal itu bisa terjadi lagi jika tidak berusaha dihindari. Netra memandang ke nakas, di sana ada dompet Rafan sementara ponsel ia charger.Aku beranjak dari kursi rias, lalu menuju nakas. Dompet kulit berwarna cokelat kini dalam genggaman. Sungguh sudah lama aku tidak memegan dompet ini sehingga penasaran dengan isinya.Ada dua atm di sana yang aku tidak tahu berapa saldonya. Aku cek lagi ada beberapa lembar uang merah bergambar presiden pertama, Soekarno Hatta. Namun, saat melihat ke arah KTP, jantung berdebar cepat karena ada sesuatu yang mengganjal.Aku mencopot KTP itu dan ternyata berhasil membuat lidah kelu. Jantung memompa cepat dan aku langsung menjatuhkan diri di tepi ranjang.“Foto Marsha?” gumamku.Pa
“Aku pulang dulu, ya, Lin. Sudah mau pukul lima sore. Nanti orang di rumah nyariin lagi,” ucap Farah dengan raut sedih.Memang kami sering bertemu, tetapi ketahuilah bahwa jika kita punya teman yang bisa membawa kedamaian pasti akan selalu rindu untuk bertemu dan seperti itulah kawan terbaik. “Hum.”“Tenang saja, aku bakal ke sini lagi. Namun, harus kamu dulu yang datang ke pernikahan aku.”“Aku hamil tua, Far.” Aku mengucapkan kalimat itu dengan suara sedih. Dilema.“Yang penting hadir. Kamu sama Mei di dalam kamar saja. Nanti aku sediain kamar si samping kamar pengantin khusus untuk sahabat tercinta. Oke?”“Jangan mencoba beralasan lagi atau persahabatan kita cukup sampai di sini.”“Kalau misal aku lahiran?”“Kamu boleh tidak hadir kalau lagi sakit, lahiran atau semoga enggak, meninggal. Oke?”“Insya Allah, Farah. Kamu sahaba
“Hunna libaasun lakum wa antum libaasun lahunna. Mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka.”—QS. Al-Baqarah ayat 187.***Badai pernikahan pasti berlalu meski dalam waktu yang lama. Aku hanya harus bersabar sedikit lagi. Tentang foto Marsha kemarin, biarlah dilupakan dahulu.Aku menghampiri Rafan yang tengah menyeduh teh hangat. Besok pernikahan Farah, barangkali ia lupa. “Fan?”“Raline. Duduklah!”“Besok kita ke nikahan Farah, 'kan?” tanyaku setelah mengempas bokong di kursi.“Insya Allah, kenapa?”“Aku pikir kamu lupa.Rafan memamerkan gigi putihnya. Benar-benar bosan kala pembicaran habis. Seperti anak remaja akan badmood saat tidak ada bahasan yang harus dibahas lagi.Entah untuk pacar, sahabat atau gebetan. Tepatnya kehabisan kata-kata.Sudah tiga hari hujan mengguyur menjadikan pakaian kadang tidak kering te
[Kamu ke sana jam berapa, Lin?]Pesan WhatsApp pribadi yang dikirim Mei subuh tadi baru aku baca setelah hampir pukul delapan pagi.[Jam delapan, insya Allah, Mei. Kamu sama siapa?][Nebeng sama sepupu. Kebetulan ia mau keluar dan lewatin rumah Farah.][Oke, kalau begitu kita ketemu di sana saja.][Sip.]Aku meletakkan ponsel dan melangkah ke cermin. Sudah bagus dengan make up minimalis. Untung saja Farah ingat kalau aku sedang hamil tua jadi diberi baju ukuran jumbo.Rafan pun telah siap, aku gegas mengambil tas kecil berwarna putih, lalu melangkah ke luar bersama Rafan. Diva berdiri setelah melihat kami.Sejak pukul enam pagi tadi ia sudah ada di sini. Entah ia mandi sebelum subuh atau entahlah. Make up ia poles di ruang tamu, bahkan jilbabnya sekalian. Ia benar-bemar tidak ingin ketinggalan.Aku jadi semakin penasaran seperti apa rupa calon suaminya. Ia memakai dress warna silver untung saja tidak senada dengank
Jam sepuluh pagi aku baru selesai mandi karena lepas salat subuh tadi ketiduran. Bagaimana tidak tidur, sepanjang malam begadang karena jadi langganan kamar kecil.Setelah makan, aku melangkah pelan ke toko menghampiri Rafan. Butuh beberapa menit baru sampai, ternya sedang sepi. Mungkin baru pulang atau entah.Dari dalam muncul Diva sambil tersenyum manis. “Rafan, sejak kapan ....”“Anu tadi, an–”“Tadi ke sini karena ada satu hal. Kalau begitu aku pulang dulu, ya.”“Fan, jangan lupa. Siang atau sore nanti aku balik,” tambah Diva, lalu melenggang pergi.Aku diam menantikan penjelasan. Namun, lelaki itu hanya bisa menunduk. Entahlah, aku tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya.“Assalamualaikum.”Aku menoleh pada pemilik suara itu. Ia tersenyum, di kantong mata dan beberapa bagian wajahnya tergambar keriput.“Waalaikumussalam, Ibu,&rdqu