Takdir Cinta
Pemandangan yang sangat tidak terduga. Farah tiba-tiba berdiri di sampingku. Ia mengukir senyum.
“Happy birthday, Putri Raline!” ucap Rafan sambil memegang kue tart.
“Ini?” Aku masih tidak mengerti.
“Hari ini ulang tahun kamu, masa lupa?” ucap Mei yamg tiba-tiba muncul di balik pintu kamar yang pernah dihuni Marsha. Ternyata bukan hanya Mei, ia disusul Kak Rina dan Ibu. Mereka semua ada di sini.
“Selamat ulang tahun, Sayang!” Rafan yang sejak tadi mematung, kini melangkah mendekat. Ia mengukir senyum paling manis.
“Maafkan kami, Lin. Ini semua rencana Farah. Kami hanya mengerjaimu,” jelas Diva.
Aku melangkah mendekati Rafan sehingga jarak kami semakin dekat. Saat kuedarkan pandangan ternyata beberapa balon sudah menghias. Kue tart warna cokelat tanpa lilin. “Semoga kita bisa bahagia hingga ke surga, Sayang.”
“Semoga kamu tetap jadi sahaba
Delapan bulan kemudian... “Sayang, hari ini aku ikut jaga toko, ya?” Aku mengucapkan kalimat itu dengan nada manja. Lelaki itu mengangguk. Ia memang lelaki terbaik yang pantas dilabeli suami idaman karena tabungannya ia gunakan untuk membeli toko depan rumah yang kami isi dengan sembako. Rafan tidak ingin meninggalkanku terlalu lama jika sibuk di kantor, jadi memilih resign saja. Aku yang sudah mengandung selama delapan bulan tentu semakin gemuk. Perut pun tidak kalah besar dari balon udara. Namun, selama masa kehamilan ia selalu berusaha menjadi calon ayah yang siaga. Meski malam telah larut jika aku ingin sesuatu, pasti akan diusahakan meski berujung kecewa karena aku tidak lagi menginginkannya. Selama ini pula tidak ada air mata yang luruh karena perempuan kedua. Bukan hanya Rafan, Mei dan Farah pun memberi semangat saat aku ingin mengeluhkan sakitnya mengandung. Mei telah melahirkan seorang anak perempuan yang cantik dan kini sedang
Tak Sengaja BertemuSenin yang mendung, tetapi aku tetap melakukan rutinitas yaitu jalan-jalan subuh karena kalau terus berbaring atau duduk hanya menambah sakit. Kali ini aku tidak hanya jalan di pekarangan rumah saja, melainkan sampai ke depan rumah Diva.Rafan tentu saja menemani. Selain menambah keromantisan juga untuk menjaga jangan sampai ada sesuatu yang tidak diinginkan. Diva sudah berdiri di depan rumah dengan pakaian olahraga yang tidak terlalu ketat. Di tangannya ada tali yang akan digunakan sebagai alat bantu untuk olahraga.Ia terlihat bugar dan sehat dengan tubuh langsingnya. “Jalan-jalan, Bu?”Tumben sekali ia memanggil seperti itu. Aku yang merasa tidak enak apalagi ada beberapa tetangga juga balas menyapa dengan sopan. “Iya, nih, Bu Diva.”“Sehat-sehat, ya.”Aku hanya tersenyum, lalu memandang Rafan yang balas memandangku. Entah apa yang ada dalam benak lelaki itu. Ia tidak banyak bicara d
“Rafan mana?” tanya Ahmad pelan. Aku kikuk berhadapan dengan lelaki ini. Meski status sudah menjadi istri Rafan, bayangan masa lalu kembali menghantui.“Dia ke rumah tadi, kebelet.”“Oh, aku mau beli aqua empat dus.”“Tunggu Rafan saja atau ambil sendiri, aku gak kuat berdiri apalagi ngangkat.”“Sudah berapa bulan?”“Delapan.”Ahmad mengangguk pelan. Aku kembali mengupas kulit apel, lalu memotongnya menjadi beberapa bagian kecil. Entah kenapa Rafan lama di rumah.Suasana canggung seperti ini tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Saat menoleh ke arah kiri, ternyata Ahmad melangkah ke luar. Mungkin takut fitnah atau tidak ingin membuat luka di hati Rafan. Namun, bukankah status kami hanya sebatas penjual dan pembeli?Aku bahkan tidak sempat bertanya kenapa ia bisa ada di sini, barang kali rumahnya dekat atau sudah menikah dengan orang sekitar sini.Rafa
Rafan sudah selesai mencuci dan menyapu, sebelum mandi ia menghampiriku yang duduk di ranjang sambil mengelus perut. Di wajahnya tidak terukir senyum, begitu pun denganku.“Ada hubungan apa kamu dengan Ahmad di masa lalu, Lin?”“Tidak ada hubungan di antara kami, Fan. Jika pun ada hubungan seharusnya tidak usah dibahas karena hanya masa lalu,” jawabku sekaligus menyindir.Sepertinya Rafan lupa pada Marsha sehingga tidak enggan untuk menanyakan tentang masa lalu. Jika dipikir tentang luka maka aku yang paling terluka. Andai tidak berusaha sabar dan ikhlas maka mungkin sudah berujung perceraian.“Lalu kenapa Ahmad terus memperhatikanmu?”Aku menautkan kedua alis. “Kapan Ahmad memperhatikanku?”“Waktu jalan pagi kemarin. Ia ada di depan rumah Bu Endang. Makanya aku minta pulang saja karena lihat dia yang gak alihin pandangan.”Rumah Bu Endang? Sepagi itu?Mungkin Rafan sa
Aku termangu dalam kamar temaram. Sejak tadi kami masih belum saling bicara. Mungkin Rafan enggan meminta maaf atau aku yang terlalu sakit sehingga sering abai padanya. Sebenarnya lelaki itu sering mencoba untuk berbicara, tetapi mata pura-pura tidak melihat.Ia masih di luar, mungkin sedang mencuci piring karena makan pun rasanya tidak enak. Namun, harus dipaksa karena ada yang hidup dalam rahim. Entah bagaimana kehidupannya nanti setelah menatap indahnya dunia.Daun pintu terbuka lebar, Rafan muncul di baliknya lalu melangkah pelan setelah mengunci pintu bernuansa putih itu.“Raline.” Rafan duduk di depanku. “Aku mengaku salah, terlalu cemburu hingga berimbas padamu. Seharusnya aku tidak berubah, tetapi mau bagaimana lagi ini kali pertamanya aku cemburu karenamu.”Aku diam.“Raline, maafkan aku. Kenapa juga harus cemburu pada Ahmad yang paham soal agama. Ia tidak akan merebut kamu dariku. Lagian kamu sedang men
Aku dan Farah saling pandang, lalu Farah menjawab dengan sedikit berteriak, “Tetap di situ. Biar kami yang keluar!”Kami gegas melangkah ke luar. Saat sudah melewati pintu kamar, terlihat sosok makhluk kasat mata sedang tersenyum. Aku memutar bola mata malas karena ternyata tadi yang mengusik perhatian adalah Diva.Farah meminta duduk di depan televisi, kami bertiga duduk melingkar. “Ada apa, Far?” tanya Diva.“Harusnya aku yang nanya sama kamu, ada apa?”“Aku ke sini mau ngajak Raline dalam sebuah rencana yang besar dan menguntungkan,” jelas Diva dengan semangat yang menggebu-gebu.Kedua alisku saling bertemu. “Rencana apa?”“Besok kamu harus ikut ke majelis ta'lim. Nah, supaya Ustaz Ganteng memperhatikan aku, kita duduk di barisan paling depan. Kamu harus sering bertanya, oke?”Aku menggaruk telinga yang tidak gatal, lalu beralih memandang Farah yang memasang ai
Minggu ini Rafan izin jogging sebentar karena badannya pegal. Aku mengiyakan dengan syarat tidak membawa ponsel dan dompet. Jika membawa keduanya tentu bisa jauh perginya.Teringat saat pertama ia bertemu dengan Diva. Hal itu bisa terjadi lagi jika tidak berusaha dihindari. Netra memandang ke nakas, di sana ada dompet Rafan sementara ponsel ia charger.Aku beranjak dari kursi rias, lalu menuju nakas. Dompet kulit berwarna cokelat kini dalam genggaman. Sungguh sudah lama aku tidak memegan dompet ini sehingga penasaran dengan isinya.Ada dua atm di sana yang aku tidak tahu berapa saldonya. Aku cek lagi ada beberapa lembar uang merah bergambar presiden pertama, Soekarno Hatta. Namun, saat melihat ke arah KTP, jantung berdebar cepat karena ada sesuatu yang mengganjal.Aku mencopot KTP itu dan ternyata berhasil membuat lidah kelu. Jantung memompa cepat dan aku langsung menjatuhkan diri di tepi ranjang.“Foto Marsha?” gumamku.Pa
“Aku pulang dulu, ya, Lin. Sudah mau pukul lima sore. Nanti orang di rumah nyariin lagi,” ucap Farah dengan raut sedih.Memang kami sering bertemu, tetapi ketahuilah bahwa jika kita punya teman yang bisa membawa kedamaian pasti akan selalu rindu untuk bertemu dan seperti itulah kawan terbaik. “Hum.”“Tenang saja, aku bakal ke sini lagi. Namun, harus kamu dulu yang datang ke pernikahan aku.”“Aku hamil tua, Far.” Aku mengucapkan kalimat itu dengan suara sedih. Dilema.“Yang penting hadir. Kamu sama Mei di dalam kamar saja. Nanti aku sediain kamar si samping kamar pengantin khusus untuk sahabat tercinta. Oke?”“Jangan mencoba beralasan lagi atau persahabatan kita cukup sampai di sini.”“Kalau misal aku lahiran?”“Kamu boleh tidak hadir kalau lagi sakit, lahiran atau semoga enggak, meninggal. Oke?”“Insya Allah, Farah. Kamu sahaba