Rubi dengan tatapan bingung memindai sekeliling. Tempat itu terlihat asing baginya. Tampak seorang wanita tua dengan rambut yang penuh helaian putih dan dua orang bocah kecil di hadapannya, laki-laki dan perempuan. Cahaya mentari yang redup masuk melalui sebuah jendela berdaun papan dan celah ventilasi di sana.
"Ini minum dulu, Neng," tawar Bi Lela sembari membantu Rubi untuk duduk. Ia lalu menyodorkan air minum ke mulut wanita cantik itu.
Rubi meminum air yang disodorkan di depan bibirnya itu. Kerongkongannya memang terasa kering sekali.
"A–aku di mana?" tanya Rubi terbata kepada Bi Lela. Ia memegang dahinya sendiri. Kepalanya terasa pusing.
"Ini rumah Bibi, Neng ... panggil aja Bi Lela. Neng Bibi temukan di pinggir sungai di belakang sana," jelas Bi Lela kepada Rubi, "Neng namanya siapa?" lanjutnya bertanya.
Pandangan mata Rubi tertunduk. Ia seperti berusaha mengingat-ingat. "Aku ... aku ...." Entah mengapa ia merasa bingung. Ia sama sekali tidak dapat mengingat siapa dirinya.
"Nama Neng siapa?" Sekali lagi Bi Lela bertanya. Dahi yang memang sudah berkerut itu semakin kentara kerutannya.
Dengan sorot mata yang nanar, Rubi menatap Bi Lela. Alisnya bertautan dan kemudian menggeleng lemah. "Aku ... aku tidak ingat." Wanita muda itu sontak menekan dahinya yang terasa kembali berdenyut.
Nada dan Azzam terlihat heran dengan wanita cantik di hadapan mereka.
Dengan ragu Bi Lela mengangkat ujung bibirnya ke atas dan tersenyum getir. "Ya sudah, Neng. Neng istirahat dulu. Nanti lagi mikirnya. Bibi ambilkan makanan dulu ya. Sudah dua hari di sini Neng belum makan."
Mendengar makan, tiba-tiba saja perut Rubi pun merasa lapar. Sangat lapar. Ia sontak memegang perutnya.
Bi Lela pun bangkit dan melenggang menuju dapur untuk mengambil makanan.
"Bibi gak tahu nama sendiri?" tanya Azzam polos sembari mendekati Rubi di kasur kapuk yang terhampar di atas tikar di lantai papan tersebut.
Dengan alis yang bertaut Rubi menatap dua bocah kecil di hadapannya. Dia benar-benar bingung dan heran. Dia siapa dan orang-orang di hadapannya ini siapa? Apa yang membuatnya sampai di tempat itu?
"Sshhht ...!" Nada meletakkan jari telunjuknya ke depan bibirnya sambil menatap ke arah sang adik.
Bibir Azzam mengerucut lucu. "Kenapa, sih? Aku, 'kan, cuma nanya, Kak," protes Azzam kepada kakaknya.
Tak berapa lama kemudian, Bi Lela datang dengan membawa sepiring nasi dengan lauk ikan pindang dan sayur bening bayam beserta segelas air minum.
"Nada ... Azzam, sana mandi dan siap-siap ke masjid. Sudah mau magrib!" perintah Bi Lela kepada cucu-cucunya.
Kedua bocah kecil itu pun segera bangkit dan melakukan apa yang sang nenek suruh.
"Ini, Neng, makan ...." Bi Lela menyodorkan sesendok nasi ke hadapan Rubi.
Dengan ragu, wanita itu membuka mulutnya. Ia pun makan dengan perlahan-lahan.
Melihat nasi satu piring yang dibawanya hampir habis, Bi Lela bertanya, "Neng mau nambah?" Wanita tua itu melihat sepertinya Rubi sangat lapar.
Rubi menggeleng. "Tidak. Cukup ... aku sudah kenyang. Terima kasih."
Bi Lela mengulas sebuah senyuman hangat kepada Rubi dan menyodorkan segelas air minum.
Rubi pun membalasnya dengan senyum tipis, seraya meraih gelas dari Bi Lela dan meneguk isinya hingga tandas.
"Bi! Anak-anak ke ma–" Omongan Harun terpotong ketika matanya berserobok dengan netra bening berbulu lentik di hadapannya.
Rubi juga terkejut dengan kedatangan seorang lelaki berwajah manis itu. Beberapa detik, mata mereka beradu pandang. Ada debar aneh menyusup ke dalam dada wanita muda nan cantik tersebut.
"Anak-anak lagi siap-siap ke masjid, Run," jawab Bi Lela singkat.
Mendengar jawaban Bi Lela, sontak Harun tersadar dan langsung memutuskan kontak mata dengan wanita jelita di hadapan. Di dalam hatinya merutuk diri, 'Astagfirullah ... jaga pandangan.'
"Run, siapkan air untuk si Eneng mandi!" suruh Bi Lela kepada keponakannya itu.
"I–iya, Bi!" sahut Harun gugup. Lelaki itu langsung pergi menjauh dari ruang itu.
"Itu keponakan Bibi, namanya Harun. Nada sama Azzam itu anaknya." Sambil tersenyum Bi Lela menjelaskan kepada Rubi tanpa diminta.
Rubi mengangguk pelan mendengar penjelasan dari Bi Lela.
"Neng mandi dulu ya. Ini sudah jam setengah lima sore, Neng 'kan, mesti shalat. Kalau masih lemas, biar Bibi yang bantu," ujar Bi Lela lagi.
"Shalat?" Kata itu begitu asing di telinga Rubi. Ya, tentu saja. Bi Lela tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Rubi adalah seorang nasrani, bukan muslim.
"Iya, ini sudah sore banget," jawab Bi Lela.
"Airnya sudah siap, Bi!"
Tiba-tiba terdengar suara Harun dari luar kamar itu.
"Nah, airnya sudah siap. Ayuk, Bibi bantu Neng ke belakang." Bi Lela meraih sehelai kain sarung, sehelai kain jarik, dan handuk. Kemudian ia membantu Rubi berdiri dan memapah wanita itu menuju ke belakang rumahnya. Sebuah pelataran berlantai papan dengan penutup pintu seadanya dari seng.
Rubi hanya menuruti apa yang dikatakan Bi Lela. Ia memakai sarung untuk menutupi tubuhnya. Kemudian wanita muda itu duduk di sebuah kuda-kuda kayu dan mulai disirami oleh Bi Lela.
***
Setelah selesai membantu Rubi mandi, Bi Lela mengajarkan wanita itu berwudhu. Ternyata Rubi lupa juga cara berwudhu, pikir Bi Lela. Seusainya, lantas wanita tua tersebut menggiring wanita cantik itu kembali ke kamar.
"Astagfirullah!" seru Harun ketika tak sengaja berpapasan dengan Bi Lela dan Rubi yang hanya berkemban dengan kain jarik. Tampaklah belahan dada putih mulus wanita tersebut. Lelaki itu spontan memutar badannya.
"Eh, Run. Maaf, Bibi lupa bawa baju ganti si Eneng tadi ke belakang. Hehehe ...." Bi Lela tertawa kecil. Orang tua itu menepuk pundak Harun yang mengalihkan pandangan.
Harun merasa hawa panas menjalar cepat dari wajah hingga telinganya. Sudah lama dia tidak melihat pemandangan seperti itu di rumahnya.
Sementara itu, Rubi terheran-heran melihat kelakuan Harun. "Kenapa, Bi?" tanya Rubi kepada Bi Lela. Ia tidak mengerti mengapa Harun membalikkan badan ketika berpapasan dengannya tadi.
"Itu, si Harun ngeliat Neng begini." Bi Lela tersenyum simpul di hadapan Rubi.
"Ada yang salah?" tanya Rubi lagi.
"Ya iyalah ... 'kan, itu aurat," ujar Bi Lela menjelaskan.
Rubi mengerutkan dahinya. Ia sama sekali tidak merasa telah melakukan kesalahan. Kain jariknya cukup panjang sampai menutupi lutut. Tubuhnya hanya terbuka sedikit menurutnya.
Walaupun merasa bingung, Rubi akhirnya diam. Ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pertanyaan.
"Ini pakai, Neng. Kemarin Harun belikan beberapa helai baju buat Eneng."
Rubi meraih pakaian dalam dan sebuah daster lengan panjang yang diberikan Bi Lela. Walaupun entah mengapa ia merasa aneh dengan model pakaian itu, tetapi Rubi tetap memakainya.
"Kalau baju yang tadi dipakai Neng itu baju bekas Sofia, kependekan buat Eneng," ujar Bi Lela lagi.
"Sofia?" tanya Rubi.
"Istrinya Harun."
"Ooh." Rubi mengangguk. 'Tentu saja dia punya istri. Dia, 'kan, punya anak.' Rubi teringat akan Nada dan Azzam tadi.
"Sofia sudah meninggal empat tahun yang lalu," jelas Bi Lela sembari membantu Rubi mengenakan pakaian.
"Ha?" Rubi sedikit tersentak.
Bi Lela hanya tersenyum menjawab keterkejutan Rubi.
"Nah, sekarang Eneng shalat dulu."
Rubi menatap Bi Lela dengan sorot mata penuh tanda tanya. Sungguh kata shalat sangat asing baginya. Ia bingung harus bagaimana.
Bi Lela menggelar sajadah. "Arah kiblatnya sebelah sana," ujar Bi Lela sembari menunjuk arah barat.
Rubi terpaku.
"Ayo, Neng. Silakan shalat!" suruh Bi Lela. Wanita tua itu heran, mengapa Rubi kelihatan bingung dari tadi. Apa karena baru sadar dari pingsan beberapa hari?
"Aku ... aku ...." Rubi menggelengkan kepalanya lemah.
"Neng juga lupa caranya shalat?" Alis Bi Lela bertaut.
"I–iya ... aku ... tidak ingat, Bi."
"Hmmm," deham Bi Lela, "sepertinya benturan di kepala Eneng terlalu kuat. Sampai Neng lupa semua." Bi Lela menatap Rubi dengan rasa kasihan.
Rubi menunduk.
"Ya sudah, gak papa! Biar Bibi ajarkan!" ujar Bi Lela kemudian.
"Nisa sudah sadar dan sudah lebih dari sepekan di sini, Bi. Sebaiknya kita ke kepala desa biar ke kota untuk melaporkan ke polisi. Siapa tahu, bisa menemukan keluarganya," kata Harun tampak serius. Mereka memberi nama Nisa kepada Rubi, karena hingga saat ini wanita muda itu belum juga dapat mengingat siapa dirinya.Rubi di dalam kamar bersama dengan Azzam dan Nada. Kedua bocah itu sedang belajar menulis dibimbing olehnya. Di sela-sela mengajar Azzam, Rubi menajamkan telinga mendengar nama barunya disebut. Entah mengapa ada rasa sedih yang menerpa ketika mendengar Harun ingin melaporkan keberadaan dirinya. Walau baru delapan hari ia di sana, tetapi sikap dan perlakuan keluarga Bi Lela sampai saat ini sangat membuatnya nyaman. Ia merasa berada di lingkungan keluarga sendiri.Di dalam hati bukan ia tidak mau tahu akan hakikat siapa dirinya yang sebenarnya. Akan tetapi, ada rasa takut kalau-kalau ia ternyata bukanlah berasal dari keluarga yang h
Hari berganti pekan, pekan pun berganti bulan. Waktu bergulir begitu saja, hingga tiada terasa sudah tiga bulan Rubi berada di rumah keluarga Harun.Sebenarnya Harun sudah melaporkan keberadaan wanita muda yang ia dan Bi Lela beri nama Nisa itu kepada kepala desa. Kabarnya kepala desa juga sudah melaporkan kepada pihak yang berwajib, bahwa Rubi ditemukan dalam keadaan hilang ingatan. Tidak ada tanda pengenal apa pun yang ada di dekatnya.Sementara itu, di kantor polisi sampai saat ini juga tidak mendapati adanya laporan kehilangan orang. Oleh karena itulah mereka masih menyarankan Rubi, untuk tetap tinggal bersama Bi Lela sebagai orang yang pertama kali menemukan.Rubi yang kini berhijab telah diambil fotonya dan disebar di setiap kantor polisi di wilayah Bekasi dan Bogor. Namun, belum juga ada kabar orang yang mengenali dirinya.Kristian Dirgantara sudah merelakan bahwa sang putri semata wayan
Setelah meminta bantuan tetangga yang merupakan penarik angkot, Harun dan Rubi pergi ke puskesmas terdekat. Melihat keadaan Nada, petugas puskesmas memberikan surat rujukan untuk bocah itu dibawa ke rumah sakit terdekat. Kembali Harun dan Nisa bersama Pak Daud—tetangga mereka—pergi menuju rumah sakit yang dimaksud."Dek Nada mesti dirawat, Pak. Hasil tes lab-nya positif terserang typus," ujar Dokter Dermawan kepada Harun."Ya Allah ...," gumam Harun lirih, "baik, Dok," lanjutnya pasrah."Oke kalau begitu," sahut Dokter spesialis anak tersebut, "Sus, tolong diurus!" perintahnya pada seorang perawat yang berdiri di sampingnya.Dokter pun pamit dan Harun mengurus administrasi untuk perawatan sang anak. Sementara Rubi, ia mengikuti brankar Nada yang dibawa ke ruang perawatan kelas tiga setelah Harun menentukan di ruang mana sang putri akan dirawat.Di tengah perjalanan menuju ruang
Kristian merenggangkan pelukan pada wanita muda di hadapannya yang terpaku bingung. Netra tuanya sudah bersimbah air mata, ia menatap sang putri tercinta dengan sorot yang sendu."Kamu baik-baik saja selama ini, Nak?" tanyanya pada Rubi pelan dan sedikit terisak.Rubi tersentak dari ketermanguannya. "Ba–bapak kenal saya?" tanyanya memastikan.Kristian menilik tampilan sang putri yang kini berubah. "Kamu kenapa pakai kerudung seperti orang Islam begini, Nak?""Ha?" Rubi semakin bingung dengan orang tua di hadapannya itu.Harun melangkah ke arah Kristian. "Bapak kenal dengan dia?" tanya lelaki berwajah teduh itu. Ia berpikir, boleh jadi pria paruh baya itu adalah keluarga dari wanita yang ia panggil Nisa selama ini."Dia Rubi, putri Pak Kris ini," sambar Vicky sembari ikut maju mendekati Kristian.Harun mengerutkan dahinya.Rubi masih
Hanya semalam Rubi menginap dan dirawat di rumah sakit tersebut. Setelah diperbolehkan pulang, ia berjalan mendatangi Nada untuk melihat keadaan gadis kecil tersebut.Di dalam hati Rubi merasa gamang dengan penampilannya sekarang, seperti juga ia merasa bingung setiap masuk waktu shalat. Karena ia sadar, agama asalnya ialah Nasrani, bukan Islam. Bukankah Bunda Maria, ibu dari Yesus-nya itu memakai penutup di kepalanya? Pertanyaan yang sebenarnyamerupakan pernyataan itu berputar di kepala wanita cantik itu. Pada akhirnya ia memutuskan tetap berhijab, walau tidak lagi melakukan shalat."Ehem ...," deham Rubi ketika kakinya sampai di depan brankar Nada.Di hadapan wanita itu tampak Nada yang mulai membaik bercanda dengan Azzam. Sementara itu, Bi Lela sedang duduk di sebuah kursi plastik, begitu juga Harun di sana, keduanya tengah bercakap-cakap, serempak mereka melihat ke arah datangnya suara.
Rubi langsung saja memeluk Nada dengan erat. Air matanya yang tadi mulai kering kini basah kembali."Aku gak mau ... Bibi per–pergi ...." Nada mengulang ucapannya sambil terisak-isak. Pipi bocah itu sudah basah berurai air mata. Gadis kecil itu sangat jarang menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya. Entah mengapa sejak bersama Rubi, Nada tampak lebih ceria dan terbuka.Rubi menepuk pundak gadis kecil itu pelan, kemudian ia membisikkan sesuatu. Perlahan nampak senyum tipis di bibir mungil Nada."Bibi janji?" tanyanya dengan sisa isakan yang masih terdengar."In syaa Allah ...." Rubi mengangguk dan tersenyum lebar seraya membelai rambut halus gadis kecil yang saat ini telah menempati sebagian ruang hatinya.Semua orang heran. Apa yang dibisikkan oleh Rubi ke telinga gadis kecil itu, sehingga dia yang tadinya menangis sedih berubah menjadi tersenyum manis. 
Siang itu cukup cerah, mentari bersinar terang. Secerah dan seterang hati-hati yang tengah berbahagia. Ya, tepat pukul satu siang Rubi berkunjung ke rumah keluarga Harun. Nada dan Azzam merasa sangat senang dengan kedatangannya. Begitu juga Bi Lela yang ikut berbahagia. "Aduh ... maaf ya, Bi. Aku ganggu waktu anak-anak tidur siang," ucap Rubi merasa menyesal sembari keluar dari mobilnya. Para tetangga kasak-kusuk melihat Rubi dengan tampilan lebih elegan dan menambah daya tariknya. Ada beberapa yang menegur dengan ramah, ada pula yang bersikap sinis kepadanya karena dulu terpengaruh oleh Emah dan Nunung. "Gak apa-apa, Neng. Sesekali ini," tutur Bi Lela dengan senyum khasnya yang hangat. Wanita tua itu menyambut pelukan hangat dari wanita muda yang baru saja datang tersebut. Rubi menarik kedua ujung bibirnya semringah. Ia kemudian berbalik kembali ke mobil, mengambil sesuatu di kursi belakang. Ternyata
Harun yang sedari tadi menunduk karena lesu dan lelah mencari pekerjaan, terkejut melihat seorang wanita cantik berhijab dengan tampilan menawan di hadapannya. Ia hampir lupa omongan sang putri tadi pagi dikarenakan pikirannya penuh tentang kerja yang belum lagi didapatkan.Wanita jelita itu yang waktu lalu sehari-harinya selalu bertemu dengan Harun. Baru beberapa hari ini— belum sepekan belakangan—wanita muda tersebut tidak lagi ia temukan di rumahnya. Memang terasa seperti ada yang hilang. Akan tetapi, ia coba untuk menepis perasaan kehilangan tersebut. Degup jantung Harun tiba-tiba saja berdetak lebih kencang dengan kehadiran wanita cantik itu.Begitu juga Rubi, tanpa sadar ia tersenyum sangat manis menyambut kehadiran pria yang entah sejak kapan telah bertahta di hatinya."Bang ...," sambut Rubi seraya bangkit dari duduknya."Nis ... eh, Rubi ...." Harun meralat panggilannya, "kapan datang?
Bab 14 : Keseriusan RubiBaru saja Harun menjejakkan kakinya masuk ke dalam rumah dari pintu samping, tiba-tiba saja ia mendengar suara yang memanggil namanya."Bang Harun, baru pulang dari masjid?" tanya Rubi kepada lelaki yang mengenakan baju koko putih dengan kopiah hitam tersebut. Sosoknya tampak bercahaya dan bersahaja di mata wanita muda itu.Memang masjid tidak begitu jauh dari rumah Rubi. Tidak sampai lima menit jika berjalan kaki ke sana. Jadi, Harun tidak perlu menggunakan kendaraan untuk pergi ke sana jika waktu shalat tiba."Eh, iya, Rubi. Mencari saya?"Sebutan 'saya' dari Harun terasa tidak nyaman di telinga Rubi yang biasanya mendengar lelaki itu membasakan diri dengan sebutan 'Abang'. Hanya saja ia coba menepis rasa tidak nyamannya itu, mungkin Harun tidak enak dengan papanya, begitu pikir Rubi."Makan malam sudah siap. Ayo makan sama-sama!" a
Bab 13 : Kepindahan Harun"Bang!" Rubi yang datang dari dalam langsung menyapa Harun dengan wajah semringah. Entah mengapa setiap kali lelaki itu hadir, hatinya terasa penuh bunga-bunga yang bermekaran. Di mata Rubi lelaki itu hari ini tampak semakin gagah dan tampan saja dengan kemeja berwarna abu tua serta celana berwarna hitam.Netra Harun teralih ke arah Rubi. Ia pun tersenyum canggung."Pa ...." Rubi mendorong kursi roda sang ayah agar lebih dekat dengan set sofa, "Ingat Bang Harun yang keluarganya nolongin aku?" tanyanya pada lelaki tua yang kini berada di kursi roda dengan bibir sebelah kirinya yang agak terturun—bell palsy— disebabkan stroke yang dideritanya beberapa waktu lalu.Orang tua itu mencoba tersenyum dan mengangguk. "I–iya, Papa ingat," sahutnya dengan cara yang tidak sempurna seperti sebelumnya.Tubuh sebelah kiri Kristian menjadi kebas,
Bab 12 : BimbangHarun terdiam. Ia tampak menimbang-nimbang. Pria itu memang butuh pekerjaan. Akan tetapi, ia merasa ada sesuatu di hatinya terhadap Rubi. Saat ini, setiap mendengar nama wanita jelita itu, setiap mendengar suara, dan melihat sosoknya, entah mengapa jantung lelaki itu berdebar lebih kencang. Bagaimana jika ia mesti kembali bertemu dengan wanita cantik itu setiap hari?Melihat kebisuan Harun, senyum manis Rubi berubah menjadi senyuman getir. "Emm ... gimana, Bang?"Harun yang dari tadi merendahkan pandangannya, kemudian mengangkat kedua netranya menatap Rubi. "Boleh Abang pikirkan dulu?" tanya lelaki tampan itu.Rubi kembali tersenyum getir. "Oh iya, tentu saja boleh. Bicarakan saja dulu dengan Bi Lela dan mungkin anak-anak," kata wanita muda itu.Harun mengerutkan dahinya. Mengapa ia harus membicarakan hal ini kepada anak-anaknya yang masih kecil-kecil? Mere
"Bi, aku minta maaf karena masih belum menemukan pekerjaan baru. Doain hari ini aku bisa dapat kerjaan, ya?" Harun merasa menyesal terhadap diri sendiri."Iya, Run. Bibi selalu doain kamu," balas Bi Lela sambil mengulas senyum, "alhamdulillah ini kita masih punya beras, minyak, dan lain-lain dari Neng Rubi. Rezeki dari Allah gak bakal ketuker, in syaa Allah." Bi Lela tetap mencoba menyemangati sang keponakan.Harun tersenyum getir mendengar perkataan dari sang Bibi. "Ya sudah, aku pamit berangkat dulu, Bi!" ucap Harun sembari melangkah hendak keluar dari dapur.Belum sempat ia mengucap salam, tiba-tiba handphone-nya berdering. Ternyata Rubi yang menghubunginya. Degup jantung pria itu seketika berdetak lebih kencang.Bi Lela melihat perubahan warna wajah Harun. Wanita tua itu mengerutkan keningnya."Hallo?" sapa Harun seraya berusaha menetralkan debar di dadanya.
Harun yang sedari tadi menunduk karena lesu dan lelah mencari pekerjaan, terkejut melihat seorang wanita cantik berhijab dengan tampilan menawan di hadapannya. Ia hampir lupa omongan sang putri tadi pagi dikarenakan pikirannya penuh tentang kerja yang belum lagi didapatkan.Wanita jelita itu yang waktu lalu sehari-harinya selalu bertemu dengan Harun. Baru beberapa hari ini— belum sepekan belakangan—wanita muda tersebut tidak lagi ia temukan di rumahnya. Memang terasa seperti ada yang hilang. Akan tetapi, ia coba untuk menepis perasaan kehilangan tersebut. Degup jantung Harun tiba-tiba saja berdetak lebih kencang dengan kehadiran wanita cantik itu.Begitu juga Rubi, tanpa sadar ia tersenyum sangat manis menyambut kehadiran pria yang entah sejak kapan telah bertahta di hatinya."Bang ...," sambut Rubi seraya bangkit dari duduknya."Nis ... eh, Rubi ...." Harun meralat panggilannya, "kapan datang?
Siang itu cukup cerah, mentari bersinar terang. Secerah dan seterang hati-hati yang tengah berbahagia. Ya, tepat pukul satu siang Rubi berkunjung ke rumah keluarga Harun. Nada dan Azzam merasa sangat senang dengan kedatangannya. Begitu juga Bi Lela yang ikut berbahagia. "Aduh ... maaf ya, Bi. Aku ganggu waktu anak-anak tidur siang," ucap Rubi merasa menyesal sembari keluar dari mobilnya. Para tetangga kasak-kusuk melihat Rubi dengan tampilan lebih elegan dan menambah daya tariknya. Ada beberapa yang menegur dengan ramah, ada pula yang bersikap sinis kepadanya karena dulu terpengaruh oleh Emah dan Nunung. "Gak apa-apa, Neng. Sesekali ini," tutur Bi Lela dengan senyum khasnya yang hangat. Wanita tua itu menyambut pelukan hangat dari wanita muda yang baru saja datang tersebut. Rubi menarik kedua ujung bibirnya semringah. Ia kemudian berbalik kembali ke mobil, mengambil sesuatu di kursi belakang. Ternyata
Rubi langsung saja memeluk Nada dengan erat. Air matanya yang tadi mulai kering kini basah kembali."Aku gak mau ... Bibi per–pergi ...." Nada mengulang ucapannya sambil terisak-isak. Pipi bocah itu sudah basah berurai air mata. Gadis kecil itu sangat jarang menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya. Entah mengapa sejak bersama Rubi, Nada tampak lebih ceria dan terbuka.Rubi menepuk pundak gadis kecil itu pelan, kemudian ia membisikkan sesuatu. Perlahan nampak senyum tipis di bibir mungil Nada."Bibi janji?" tanyanya dengan sisa isakan yang masih terdengar."In syaa Allah ...." Rubi mengangguk dan tersenyum lebar seraya membelai rambut halus gadis kecil yang saat ini telah menempati sebagian ruang hatinya.Semua orang heran. Apa yang dibisikkan oleh Rubi ke telinga gadis kecil itu, sehingga dia yang tadinya menangis sedih berubah menjadi tersenyum manis. 
Hanya semalam Rubi menginap dan dirawat di rumah sakit tersebut. Setelah diperbolehkan pulang, ia berjalan mendatangi Nada untuk melihat keadaan gadis kecil tersebut.Di dalam hati Rubi merasa gamang dengan penampilannya sekarang, seperti juga ia merasa bingung setiap masuk waktu shalat. Karena ia sadar, agama asalnya ialah Nasrani, bukan Islam. Bukankah Bunda Maria, ibu dari Yesus-nya itu memakai penutup di kepalanya? Pertanyaan yang sebenarnyamerupakan pernyataan itu berputar di kepala wanita cantik itu. Pada akhirnya ia memutuskan tetap berhijab, walau tidak lagi melakukan shalat."Ehem ...," deham Rubi ketika kakinya sampai di depan brankar Nada.Di hadapan wanita itu tampak Nada yang mulai membaik bercanda dengan Azzam. Sementara itu, Bi Lela sedang duduk di sebuah kursi plastik, begitu juga Harun di sana, keduanya tengah bercakap-cakap, serempak mereka melihat ke arah datangnya suara.
Kristian merenggangkan pelukan pada wanita muda di hadapannya yang terpaku bingung. Netra tuanya sudah bersimbah air mata, ia menatap sang putri tercinta dengan sorot yang sendu."Kamu baik-baik saja selama ini, Nak?" tanyanya pada Rubi pelan dan sedikit terisak.Rubi tersentak dari ketermanguannya. "Ba–bapak kenal saya?" tanyanya memastikan.Kristian menilik tampilan sang putri yang kini berubah. "Kamu kenapa pakai kerudung seperti orang Islam begini, Nak?""Ha?" Rubi semakin bingung dengan orang tua di hadapannya itu.Harun melangkah ke arah Kristian. "Bapak kenal dengan dia?" tanya lelaki berwajah teduh itu. Ia berpikir, boleh jadi pria paruh baya itu adalah keluarga dari wanita yang ia panggil Nisa selama ini."Dia Rubi, putri Pak Kris ini," sambar Vicky sembari ikut maju mendekati Kristian.Harun mengerutkan dahinya.Rubi masih