Hari ini sesosok wanita tua, ia adalah seorang guru ngaji yang dikenal dengan sebutan Bi Lela memutuskan untuk menyuci pakaian di sebuah batu besar di tepi sungai. Sore itu sungai sudah surut setelah dua hari pasang. Saat ini memang musim penghujan, sehingga orang-orang malas ke sana sebab air sungai sering keruh akibat erosi dan sampah-sampah bekas pepohonan dari hulu.
Tanpa sengaja mata tuanya yang mulai kabur itu menangkap sesuatu tersangkut di bebatuan bertumpuk dengan ranting-ranting pohon. Benda itu tidak jauh dari tempat Bi Lela menyuci.
"Apa itu?" gumam Bi Lela. Hatinya bertanya-tanya.
Kemudian wanita tua itu bangkit dan melangkah mendekati sesuatu yang tersangkut tersebut.
"Haa? Itu ... itu ... itu mayat?" Betapa terkejutnya Bi Lela. Ternyata benda itu adalah sesosok tubuh manusia. Kaki tuanya tiba-tiba terasa sedikit bergetar. Akan tetapi, dengan ragu-ragu ia terus mendekat sembari mencoba menilik lebih teliti sosok tersebut.
Dengan hati-hati Bi Lela mengalihkan ranting-ranting pohon serta dedaunan yang menutupi tubuh itu. Jantung wanita tua tersebut berdebar sangat kencang. "Ya Allah ... ini ... ini perempuan ...."
Perempuan itu adalah Rubi yang ternyata hanyut hingga ke bagian hilir sungai karena saking derasnya arus ketika ia jatuh dari jembatan empat hari yang lalu. Selama empat hari pula ia terbawa arus dalam keadaan pingsan.
Bi Lela mengalihkan rambut yang menutupi wajah perempuan tersebut. Terlihat beberapa luka di bagian kepala yang darahnya mulai mengering. Pakaian yang dikenakan Rubi pun sobek di beberapa bagian. Kemudian jemari Bi Lela yang gemetar mencoba merasai apakah ada udara yang keluar dari hidung sosok yang ditemukannya itu.
"Masih hidup!" serunya tertahan. Sedikit kelegaan menyelinap di dalam dada wanita tua yang memakai kerudung berwarna hijau tersebut.
Dengan tergesa wanita tua tersebut bangkit dan beranjak dari tempat itu. Dengan debar di dada yang bertalu-talu ia berjingkat dan berjalan cepat sebisanya menuju ke rumahnya.
"Harun! Harun!" teriak Bi Lela memanggil seseorang ketika kakinya menjejak di sebuah rumah berdinding papan yang sederhana.
"Ada apa, Bi?" Seorang lelaki dengan perawakan yang gagah muncul dari dalam rumah itu.
Bi Lela berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah. Hal itu membuat lelaki yang bernama Harun heran. Alisnya bertautan. "Ada apa, Bi?" tanyanya cemas.
Harun menuangkan air minum dari teko yang ada di sebuah meja di dekatnya ke dalam sebuah gelas. Kemudian ia serahkan kepada sang bibi yang terlihat pucat sembari menggiring orang tua itu duduk di kursi kayu di tengah rumah tersebut.
Setelah duduk dan meminum seteguk air, Bi Lela berkata dengan terbata, "Aaa–da perempuan sangkut di batu di pinggir sungai!"
Dahi Harun semakin mengernyit. "Apa?"
"Ayuk!" Bi Lela menyambar pergelangan tangan dan menyeret Harun ke luar rumah, lalu berjalan cepat ke arah sungai.
"Siapa, Bi?" tanya Harun di dalam perjalanan. Wajahnya tampak bingung dengan ketergesaan sang bibi yang terus menarik tangannya.
"Gak tahu! Pokoknya cepet tolongin ajah!" omel Bi Lela kepada Harun.
Sesampainya mereka di pinggir sungai, Harun terperanjat melihat seorang wanita muda yang cantik dengan kulit putih pucat seperti mayat di sana. Ia langsung berlari kecil ke arah bebatuan tersebut dan dengan sedikit ragu mengangkat tubuh itu. Ia tidak pernah menyentuh wanita yang bukan mahram baginya. Akan tetapi, ini terpaksa. Ia khawatir akan terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan jika sosok itu tidak segera mendapatkan pertolongan.
Untung saja Harun mempunyai tenaga yang besar, karena sudah terbiasa bekerja keras sejak kecil. Hal itu tampak dari bentuk badannya yang berotot dan gagah. Ia tidak begitu merasa berat mengangkat tubuh Rubi yang semampai.
Sebentar kemudian ia letakkan wanita itu ke pinggir sungai dan memeriksanya. Harun merasa lega, karena perempuan itu masih bernapas.
"Bawa ke rumah, Run!" seru Bi Lela.
"I–iya, Bi!" jawab Harun terbata. Ia sedikit terpesona dengan wanita muda di hadapannya. Walaupun pucat, tetapi kecantikannya sangat jelas. Lelaki itu pun kembali menggendong Rubi yang tidak sadar tersebut menuju ke kediamannya.
***
"Sudah lima hari kita menyusuri sungainya, Pak. Akan tetapi, tidak mendapatkan petunjuk berarti," ujar ketua tim SAR menjelaskan kepada Kristian Dirgantara, ayah dari Rubi.
"Kemungkinannya bagaimana, Pak?" tanya Kristian dengan wajah lelah dan sedih. Beberapa hari ini ia kurang tidur memikirkan anak gadis semata wayangnya yang kecelakaan dan sampai kini masih menghilang.
"Baru kemarin sungai surut dan hari ini kembali pasang karena hujan kembali turun deras. Besok atau lusa sepertinya kita akan menghentikan pencarian, Pak. Mudah-mudahan masih ada harapan," jelas ketua tim SAR kepada Kristian.
Kristian pun mengangguk-angguk lemah sembari memijat tengkuknya sendiri.
"Saya permisi dulu, Pak!" pamit ketua tim SAR tadi, kemudian ia melenggang menuju pinggir sungai dan kembali mengawasi jalannya proses usaha evakuasi.
"Kita pulang dulu, Om," ajak Vicky, lelaki yang tadinya hendak ditunangkan kepada Rubi.
Kristian melangkah gontai mengekori calon menantunya dan mereka pun pergi dari tempat itu.
*Flashback on
"Iya, Pa! Aku pulang sekarang juga," ujar Rubi meyakinkan sang ayah lewat sambungan telepon selulernya.
Wanita cantik itu baru saja selesai melakukan meeting dengan kliennya di sebuah hotel di wilayah Bekasi dekat perbatasan dengan Kota Bogor. Sang ayah meneleponnya berkali-kali hanya ingin mengingatkan bahwa malam ini Rubi akan melangsungkan acara pertunangan yang sebenarnya tidak diharapkan anak gadisnya. Ya, hal itu karena saat ini wanita tersebut masih ingin terus mengejar karir.
"Kamu sudah Papa bilangin jangan berangkat, masih aja berangkat. 'Kan, bisa Rico yang pergi, Rubi!" Suara Kris terdengar kesal.
"Aku gak bakal telat, Pa ... tenang aja. Ini, 'kan, masih siang," balasnya, "ya udah, aku berangkat pulang sekarang. Dah, Papa ... muach!" Rubi pun menutup telepon selulernya tanpa menunggu jawaban dari sang ayah.
Rubi mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Jalanan memang tidak begitu ramai, bahkan cukup sepi di siang hari yang sejuk karena baru saja selesai hujan yang sangat deras. Wanita jelita itu sengaja membuka kaca jendelanya, sebab masih ingin menikmati aroma petrikor di wilayah itu. Ketika akan melewati sebuah jembatan, sebuah truk berjalan agak lamban menghalangi mobilnya, padahal ia sedang terburu-buru. Akhirnya ia memutuskan untuk menyalip truk tersebut.
Tiba-tiba ada sebuah sepeda motor yang membawa keranjang di kanan-kiri jok belakangnya muncul di hadapan mobil Rubi. Wanita muda itu sangat terkejut sehingga tanpa sadar ia memutar stir dengan mendadak dan akhirnya bagian kanan mobilnya menabrak pagar besi pembatas jembatan. Karena ia lupa memasang seatbelt, Rubi terlempar ke luar jendela dan tercebur ke dalam sungai yang tengah pasang dan berarus deras. Wanita cantik itu pun terbawa arus yang deras tersebut.
*Flashback off
***
Rubi mengerjapkan mata, ia mencoba mengumpulkan kesadaran.
"Alhamdulillaah ... akhirnya kamu sadar, Neng!" Bi Lela sedikit terpekik kegirangan. Dua hari wanita tua itu merawat Rubi di rumah, akhirnya wanita muda itu pun sadar. Genap enam hari ia pingsan.
"Bibinya sadar, Nek?" tanya Azzam, anak kedua Harun yang masih berusia empat tahun.
"Iya," jawab Bi Lela sambil tersenyum, "Nada, ambilkan air minum, Cu!" suruhnya pada Nada, gadis kecil berusia tujuh tahun, putri pertama Harun.
Gadis kecil yang pendiam itu bergegas ke dapur dan mengambilkan segelas air, kemudian diantarkannya kepada sang nenek.
Harun ialah seorang duda beranak dua. Tak lama dari melahirkan anak kedua, Sofia meninggal dunia. Kehadiran wanita manis itu sangat berkesan di hati sang suami. Sudah empat tahun Harun setia dengan status dudanya, sebab masih belum bisa meninggalkan masa lalunya bersama Sofia.
Meski banyak gadis ataupun janda cantik yang tertarik pada Harun yang memang berwajah tampan, pria berjanggut tipis tersebut masih setia kepada mendiang istrinya. Hati lelaki itu ikut bersama jasad yang sudah terkubur di dalam tanah.
Rubi dengan tatapan bingung memindai sekeliling. Tempat itu terlihat asing baginya. Tampak seorang wanita tua dengan rambut yang penuh helaian putih dan dua orang bocah kecil di hadapannya, laki-laki dan perempuan. Cahaya mentari yang redup masuk melalui sebuah jendela berdaun papan dan celah ventilasi di sana."Ini minum dulu, Neng," tawar Bi Lela sembari membantu Rubi untuk duduk. Ia lalu menyodorkan air minum ke mulut wanita cantik itu.Rubi meminum air yang disodorkan di depan bibirnya itu. Kerongkongannya memang terasa kering sekali."A–aku di mana?" tanya Rubi terbata kepada Bi Lela. Ia memegang dahinya sendiri. Kepalanya terasa pusing."Ini rumah Bibi, Neng ... panggil aja Bi Lela. Neng Bibi temukan di pinggir sungai di belakang sana," jelas Bi Lela kepada Rubi, "Neng namanya siapa?" lanjutnya bertanya.Pandangan mata Rubi tertunduk. Ia seperti berusaha mengingat-ingat. "Aku .
"Nisa sudah sadar dan sudah lebih dari sepekan di sini, Bi. Sebaiknya kita ke kepala desa biar ke kota untuk melaporkan ke polisi. Siapa tahu, bisa menemukan keluarganya," kata Harun tampak serius. Mereka memberi nama Nisa kepada Rubi, karena hingga saat ini wanita muda itu belum juga dapat mengingat siapa dirinya.Rubi di dalam kamar bersama dengan Azzam dan Nada. Kedua bocah itu sedang belajar menulis dibimbing olehnya. Di sela-sela mengajar Azzam, Rubi menajamkan telinga mendengar nama barunya disebut. Entah mengapa ada rasa sedih yang menerpa ketika mendengar Harun ingin melaporkan keberadaan dirinya. Walau baru delapan hari ia di sana, tetapi sikap dan perlakuan keluarga Bi Lela sampai saat ini sangat membuatnya nyaman. Ia merasa berada di lingkungan keluarga sendiri.Di dalam hati bukan ia tidak mau tahu akan hakikat siapa dirinya yang sebenarnya. Akan tetapi, ada rasa takut kalau-kalau ia ternyata bukanlah berasal dari keluarga yang h
Hari berganti pekan, pekan pun berganti bulan. Waktu bergulir begitu saja, hingga tiada terasa sudah tiga bulan Rubi berada di rumah keluarga Harun.Sebenarnya Harun sudah melaporkan keberadaan wanita muda yang ia dan Bi Lela beri nama Nisa itu kepada kepala desa. Kabarnya kepala desa juga sudah melaporkan kepada pihak yang berwajib, bahwa Rubi ditemukan dalam keadaan hilang ingatan. Tidak ada tanda pengenal apa pun yang ada di dekatnya.Sementara itu, di kantor polisi sampai saat ini juga tidak mendapati adanya laporan kehilangan orang. Oleh karena itulah mereka masih menyarankan Rubi, untuk tetap tinggal bersama Bi Lela sebagai orang yang pertama kali menemukan.Rubi yang kini berhijab telah diambil fotonya dan disebar di setiap kantor polisi di wilayah Bekasi dan Bogor. Namun, belum juga ada kabar orang yang mengenali dirinya.Kristian Dirgantara sudah merelakan bahwa sang putri semata wayan
Setelah meminta bantuan tetangga yang merupakan penarik angkot, Harun dan Rubi pergi ke puskesmas terdekat. Melihat keadaan Nada, petugas puskesmas memberikan surat rujukan untuk bocah itu dibawa ke rumah sakit terdekat. Kembali Harun dan Nisa bersama Pak Daud—tetangga mereka—pergi menuju rumah sakit yang dimaksud."Dek Nada mesti dirawat, Pak. Hasil tes lab-nya positif terserang typus," ujar Dokter Dermawan kepada Harun."Ya Allah ...," gumam Harun lirih, "baik, Dok," lanjutnya pasrah."Oke kalau begitu," sahut Dokter spesialis anak tersebut, "Sus, tolong diurus!" perintahnya pada seorang perawat yang berdiri di sampingnya.Dokter pun pamit dan Harun mengurus administrasi untuk perawatan sang anak. Sementara Rubi, ia mengikuti brankar Nada yang dibawa ke ruang perawatan kelas tiga setelah Harun menentukan di ruang mana sang putri akan dirawat.Di tengah perjalanan menuju ruang
Kristian merenggangkan pelukan pada wanita muda di hadapannya yang terpaku bingung. Netra tuanya sudah bersimbah air mata, ia menatap sang putri tercinta dengan sorot yang sendu."Kamu baik-baik saja selama ini, Nak?" tanyanya pada Rubi pelan dan sedikit terisak.Rubi tersentak dari ketermanguannya. "Ba–bapak kenal saya?" tanyanya memastikan.Kristian menilik tampilan sang putri yang kini berubah. "Kamu kenapa pakai kerudung seperti orang Islam begini, Nak?""Ha?" Rubi semakin bingung dengan orang tua di hadapannya itu.Harun melangkah ke arah Kristian. "Bapak kenal dengan dia?" tanya lelaki berwajah teduh itu. Ia berpikir, boleh jadi pria paruh baya itu adalah keluarga dari wanita yang ia panggil Nisa selama ini."Dia Rubi, putri Pak Kris ini," sambar Vicky sembari ikut maju mendekati Kristian.Harun mengerutkan dahinya.Rubi masih
Hanya semalam Rubi menginap dan dirawat di rumah sakit tersebut. Setelah diperbolehkan pulang, ia berjalan mendatangi Nada untuk melihat keadaan gadis kecil tersebut.Di dalam hati Rubi merasa gamang dengan penampilannya sekarang, seperti juga ia merasa bingung setiap masuk waktu shalat. Karena ia sadar, agama asalnya ialah Nasrani, bukan Islam. Bukankah Bunda Maria, ibu dari Yesus-nya itu memakai penutup di kepalanya? Pertanyaan yang sebenarnyamerupakan pernyataan itu berputar di kepala wanita cantik itu. Pada akhirnya ia memutuskan tetap berhijab, walau tidak lagi melakukan shalat."Ehem ...," deham Rubi ketika kakinya sampai di depan brankar Nada.Di hadapan wanita itu tampak Nada yang mulai membaik bercanda dengan Azzam. Sementara itu, Bi Lela sedang duduk di sebuah kursi plastik, begitu juga Harun di sana, keduanya tengah bercakap-cakap, serempak mereka melihat ke arah datangnya suara.
Rubi langsung saja memeluk Nada dengan erat. Air matanya yang tadi mulai kering kini basah kembali."Aku gak mau ... Bibi per–pergi ...." Nada mengulang ucapannya sambil terisak-isak. Pipi bocah itu sudah basah berurai air mata. Gadis kecil itu sangat jarang menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya. Entah mengapa sejak bersama Rubi, Nada tampak lebih ceria dan terbuka.Rubi menepuk pundak gadis kecil itu pelan, kemudian ia membisikkan sesuatu. Perlahan nampak senyum tipis di bibir mungil Nada."Bibi janji?" tanyanya dengan sisa isakan yang masih terdengar."In syaa Allah ...." Rubi mengangguk dan tersenyum lebar seraya membelai rambut halus gadis kecil yang saat ini telah menempati sebagian ruang hatinya.Semua orang heran. Apa yang dibisikkan oleh Rubi ke telinga gadis kecil itu, sehingga dia yang tadinya menangis sedih berubah menjadi tersenyum manis. 
Siang itu cukup cerah, mentari bersinar terang. Secerah dan seterang hati-hati yang tengah berbahagia. Ya, tepat pukul satu siang Rubi berkunjung ke rumah keluarga Harun. Nada dan Azzam merasa sangat senang dengan kedatangannya. Begitu juga Bi Lela yang ikut berbahagia. "Aduh ... maaf ya, Bi. Aku ganggu waktu anak-anak tidur siang," ucap Rubi merasa menyesal sembari keluar dari mobilnya. Para tetangga kasak-kusuk melihat Rubi dengan tampilan lebih elegan dan menambah daya tariknya. Ada beberapa yang menegur dengan ramah, ada pula yang bersikap sinis kepadanya karena dulu terpengaruh oleh Emah dan Nunung. "Gak apa-apa, Neng. Sesekali ini," tutur Bi Lela dengan senyum khasnya yang hangat. Wanita tua itu menyambut pelukan hangat dari wanita muda yang baru saja datang tersebut. Rubi menarik kedua ujung bibirnya semringah. Ia kemudian berbalik kembali ke mobil, mengambil sesuatu di kursi belakang. Ternyata
Bab 14 : Keseriusan RubiBaru saja Harun menjejakkan kakinya masuk ke dalam rumah dari pintu samping, tiba-tiba saja ia mendengar suara yang memanggil namanya."Bang Harun, baru pulang dari masjid?" tanya Rubi kepada lelaki yang mengenakan baju koko putih dengan kopiah hitam tersebut. Sosoknya tampak bercahaya dan bersahaja di mata wanita muda itu.Memang masjid tidak begitu jauh dari rumah Rubi. Tidak sampai lima menit jika berjalan kaki ke sana. Jadi, Harun tidak perlu menggunakan kendaraan untuk pergi ke sana jika waktu shalat tiba."Eh, iya, Rubi. Mencari saya?"Sebutan 'saya' dari Harun terasa tidak nyaman di telinga Rubi yang biasanya mendengar lelaki itu membasakan diri dengan sebutan 'Abang'. Hanya saja ia coba menepis rasa tidak nyamannya itu, mungkin Harun tidak enak dengan papanya, begitu pikir Rubi."Makan malam sudah siap. Ayo makan sama-sama!" a
Bab 13 : Kepindahan Harun"Bang!" Rubi yang datang dari dalam langsung menyapa Harun dengan wajah semringah. Entah mengapa setiap kali lelaki itu hadir, hatinya terasa penuh bunga-bunga yang bermekaran. Di mata Rubi lelaki itu hari ini tampak semakin gagah dan tampan saja dengan kemeja berwarna abu tua serta celana berwarna hitam.Netra Harun teralih ke arah Rubi. Ia pun tersenyum canggung."Pa ...." Rubi mendorong kursi roda sang ayah agar lebih dekat dengan set sofa, "Ingat Bang Harun yang keluarganya nolongin aku?" tanyanya pada lelaki tua yang kini berada di kursi roda dengan bibir sebelah kirinya yang agak terturun—bell palsy— disebabkan stroke yang dideritanya beberapa waktu lalu.Orang tua itu mencoba tersenyum dan mengangguk. "I–iya, Papa ingat," sahutnya dengan cara yang tidak sempurna seperti sebelumnya.Tubuh sebelah kiri Kristian menjadi kebas,
Bab 12 : BimbangHarun terdiam. Ia tampak menimbang-nimbang. Pria itu memang butuh pekerjaan. Akan tetapi, ia merasa ada sesuatu di hatinya terhadap Rubi. Saat ini, setiap mendengar nama wanita jelita itu, setiap mendengar suara, dan melihat sosoknya, entah mengapa jantung lelaki itu berdebar lebih kencang. Bagaimana jika ia mesti kembali bertemu dengan wanita cantik itu setiap hari?Melihat kebisuan Harun, senyum manis Rubi berubah menjadi senyuman getir. "Emm ... gimana, Bang?"Harun yang dari tadi merendahkan pandangannya, kemudian mengangkat kedua netranya menatap Rubi. "Boleh Abang pikirkan dulu?" tanya lelaki tampan itu.Rubi kembali tersenyum getir. "Oh iya, tentu saja boleh. Bicarakan saja dulu dengan Bi Lela dan mungkin anak-anak," kata wanita muda itu.Harun mengerutkan dahinya. Mengapa ia harus membicarakan hal ini kepada anak-anaknya yang masih kecil-kecil? Mere
"Bi, aku minta maaf karena masih belum menemukan pekerjaan baru. Doain hari ini aku bisa dapat kerjaan, ya?" Harun merasa menyesal terhadap diri sendiri."Iya, Run. Bibi selalu doain kamu," balas Bi Lela sambil mengulas senyum, "alhamdulillah ini kita masih punya beras, minyak, dan lain-lain dari Neng Rubi. Rezeki dari Allah gak bakal ketuker, in syaa Allah." Bi Lela tetap mencoba menyemangati sang keponakan.Harun tersenyum getir mendengar perkataan dari sang Bibi. "Ya sudah, aku pamit berangkat dulu, Bi!" ucap Harun sembari melangkah hendak keluar dari dapur.Belum sempat ia mengucap salam, tiba-tiba handphone-nya berdering. Ternyata Rubi yang menghubunginya. Degup jantung pria itu seketika berdetak lebih kencang.Bi Lela melihat perubahan warna wajah Harun. Wanita tua itu mengerutkan keningnya."Hallo?" sapa Harun seraya berusaha menetralkan debar di dadanya.
Harun yang sedari tadi menunduk karena lesu dan lelah mencari pekerjaan, terkejut melihat seorang wanita cantik berhijab dengan tampilan menawan di hadapannya. Ia hampir lupa omongan sang putri tadi pagi dikarenakan pikirannya penuh tentang kerja yang belum lagi didapatkan.Wanita jelita itu yang waktu lalu sehari-harinya selalu bertemu dengan Harun. Baru beberapa hari ini— belum sepekan belakangan—wanita muda tersebut tidak lagi ia temukan di rumahnya. Memang terasa seperti ada yang hilang. Akan tetapi, ia coba untuk menepis perasaan kehilangan tersebut. Degup jantung Harun tiba-tiba saja berdetak lebih kencang dengan kehadiran wanita cantik itu.Begitu juga Rubi, tanpa sadar ia tersenyum sangat manis menyambut kehadiran pria yang entah sejak kapan telah bertahta di hatinya."Bang ...," sambut Rubi seraya bangkit dari duduknya."Nis ... eh, Rubi ...." Harun meralat panggilannya, "kapan datang?
Siang itu cukup cerah, mentari bersinar terang. Secerah dan seterang hati-hati yang tengah berbahagia. Ya, tepat pukul satu siang Rubi berkunjung ke rumah keluarga Harun. Nada dan Azzam merasa sangat senang dengan kedatangannya. Begitu juga Bi Lela yang ikut berbahagia. "Aduh ... maaf ya, Bi. Aku ganggu waktu anak-anak tidur siang," ucap Rubi merasa menyesal sembari keluar dari mobilnya. Para tetangga kasak-kusuk melihat Rubi dengan tampilan lebih elegan dan menambah daya tariknya. Ada beberapa yang menegur dengan ramah, ada pula yang bersikap sinis kepadanya karena dulu terpengaruh oleh Emah dan Nunung. "Gak apa-apa, Neng. Sesekali ini," tutur Bi Lela dengan senyum khasnya yang hangat. Wanita tua itu menyambut pelukan hangat dari wanita muda yang baru saja datang tersebut. Rubi menarik kedua ujung bibirnya semringah. Ia kemudian berbalik kembali ke mobil, mengambil sesuatu di kursi belakang. Ternyata
Rubi langsung saja memeluk Nada dengan erat. Air matanya yang tadi mulai kering kini basah kembali."Aku gak mau ... Bibi per–pergi ...." Nada mengulang ucapannya sambil terisak-isak. Pipi bocah itu sudah basah berurai air mata. Gadis kecil itu sangat jarang menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya. Entah mengapa sejak bersama Rubi, Nada tampak lebih ceria dan terbuka.Rubi menepuk pundak gadis kecil itu pelan, kemudian ia membisikkan sesuatu. Perlahan nampak senyum tipis di bibir mungil Nada."Bibi janji?" tanyanya dengan sisa isakan yang masih terdengar."In syaa Allah ...." Rubi mengangguk dan tersenyum lebar seraya membelai rambut halus gadis kecil yang saat ini telah menempati sebagian ruang hatinya.Semua orang heran. Apa yang dibisikkan oleh Rubi ke telinga gadis kecil itu, sehingga dia yang tadinya menangis sedih berubah menjadi tersenyum manis. 
Hanya semalam Rubi menginap dan dirawat di rumah sakit tersebut. Setelah diperbolehkan pulang, ia berjalan mendatangi Nada untuk melihat keadaan gadis kecil tersebut.Di dalam hati Rubi merasa gamang dengan penampilannya sekarang, seperti juga ia merasa bingung setiap masuk waktu shalat. Karena ia sadar, agama asalnya ialah Nasrani, bukan Islam. Bukankah Bunda Maria, ibu dari Yesus-nya itu memakai penutup di kepalanya? Pertanyaan yang sebenarnyamerupakan pernyataan itu berputar di kepala wanita cantik itu. Pada akhirnya ia memutuskan tetap berhijab, walau tidak lagi melakukan shalat."Ehem ...," deham Rubi ketika kakinya sampai di depan brankar Nada.Di hadapan wanita itu tampak Nada yang mulai membaik bercanda dengan Azzam. Sementara itu, Bi Lela sedang duduk di sebuah kursi plastik, begitu juga Harun di sana, keduanya tengah bercakap-cakap, serempak mereka melihat ke arah datangnya suara.
Kristian merenggangkan pelukan pada wanita muda di hadapannya yang terpaku bingung. Netra tuanya sudah bersimbah air mata, ia menatap sang putri tercinta dengan sorot yang sendu."Kamu baik-baik saja selama ini, Nak?" tanyanya pada Rubi pelan dan sedikit terisak.Rubi tersentak dari ketermanguannya. "Ba–bapak kenal saya?" tanyanya memastikan.Kristian menilik tampilan sang putri yang kini berubah. "Kamu kenapa pakai kerudung seperti orang Islam begini, Nak?""Ha?" Rubi semakin bingung dengan orang tua di hadapannya itu.Harun melangkah ke arah Kristian. "Bapak kenal dengan dia?" tanya lelaki berwajah teduh itu. Ia berpikir, boleh jadi pria paruh baya itu adalah keluarga dari wanita yang ia panggil Nisa selama ini."Dia Rubi, putri Pak Kris ini," sambar Vicky sembari ikut maju mendekati Kristian.Harun mengerutkan dahinya.Rubi masih