"Nisa sudah sadar dan sudah lebih dari sepekan di sini, Bi. Sebaiknya kita ke kepala desa biar ke kota untuk melaporkan ke polisi. Siapa tahu, bisa menemukan keluarganya," kata Harun tampak serius. Mereka memberi nama Nisa kepada Rubi, karena hingga saat ini wanita muda itu belum juga dapat mengingat siapa dirinya.
Rubi di dalam kamar bersama dengan Azzam dan Nada. Kedua bocah itu sedang belajar menulis dibimbing olehnya. Di sela-sela mengajar Azzam, Rubi menajamkan telinga mendengar nama barunya disebut. Entah mengapa ada rasa sedih yang menerpa ketika mendengar Harun ingin melaporkan keberadaan dirinya. Walau baru delapan hari ia di sana, tetapi sikap dan perlakuan keluarga Bi Lela sampai saat ini sangat membuatnya nyaman. Ia merasa berada di lingkungan keluarga sendiri.
Di dalam hati bukan ia tidak mau tahu akan hakikat siapa dirinya yang sebenarnya. Akan tetapi, ada rasa takut kalau-kalau ia ternyata bukanlah berasal dari keluarga yang hangat dan menyenangkan seperti di rumah itu.
Walau sederhana, rumah dengan tiga kamar berukuran kecil tersebut terasa nyaman dan tentram bagi Rubi. Di situ ia diajarkan dengan sangat telaten tentang shalat, berjilbab, dan mengaji.
Setiap pagi hari pukul sembilan ada lima sampai enam orang rutin datang dan belajar mengaji dibimbing oleh Bi Lela. Ia pun ikut serta belajar bersama bocah-bocah kecil itu. Walau sepi, orang-orang di desa itu cukup ramah kepadanya. Paling hanya satu atau dua orang yang memandangnya sinis karena seperti cemburu akan keberadaannya di dekat Harun yang merupakan duda tampan.
Di lubuk hatinya, Rubi juga merasa kagum kepada pria gagah dan manis itu. Walaupun seorang lelaki, Harun mengurus kedua anaknya dengan telaten. Dari memasakkan mereka setiap pagi untuk sarapan, terkadang ia juga memandikan Azzam yang masih berumur empat tahun itu. Setelahnya baru ia berangkat kerja mengurus tambak ikan kepunyaan Juragan Karsa di sana. Tanggungjawabnya sebagai seorang ayah dan kepala keluarga sangat baik. Bahkan Bi Lela pernah bilang, ia begitu bangga dengan keponakannya satu itu.
"Kita bilang dulu ke Nisa, Run," sahut Bi Lela, "Neng Nisaaa!" panggilnya pada Rubi.
Rubi yang tanpa sengaja tengah menguping pembicaraan pun sedikit tersentak. "I-iya, Bi!" sahutnya gugup.
"Sini, Neng!"
Rubi pun bangkit dari duduknya di lantai. "Bi Nisa ke sana dulu. Azzam sama Nada lanjutkan nulisnya, ya!" suruhnya pada kedua bocah di hadapannya.
"Oke," sahut Azzam tampak serius menyatukan garis pada titik-titik yang dibuat oleh Rubi membentuk huruf-huruf alfabet.
Sementara Nada, gadis kecil pendiam itu hanya mengangguk sembari terus menulis di buku di atas meja kecilnya. Ia sudah hafal dan lancar dalam menulis.
"Ada apa, Bi?" Manik indah Rubi menatap Bi Lela dan Harun bergiliran.
"Sini, Neng, duduk dekat Bibi!" Bi Lela menepuk kursi kayu panjang yang ia duduki.
Rubi pun mendekat dan mendaratkan bokongnya ke kursi tersebut. Detak jantungnya bekerja lebih kencang.
"Rencananya Harun mau mendatangi kepala desa. Biar buat laporan ke polisi tentang Neng Nisa."
"Kapan, Bang?" tanya Rubi kepada Harun yang kini sudah terbiasa ia panggil dengan 'Abang'.
"Besok atau lusa. Bagaimana menurut kamu, Nis?" tanya Harun sembari merendahkan padangan matanya.
Selama Rubi di sana, jarang sekali lelaki itu menatap langsung ke netra bening wanita tersebut. Jika tidak sengaja beradu pandang, ia merasa ada suatu getaran yang aneh menjalar di dalam dirinya. Mungkin karena sudah lama tidak sedekat itu dengan seorang wanita. Apa lagi mereka satu rumah kini.
"A-aku belum siap, Bang," ucap Rubi seraya menatap wajah Harun lekat dan pelas.
Harun mengangkat pandangan sebentar. Ada kegelisahan di sorot mata wanita cantik yang kini berhijab itu.
"Kenapa?" tanya Harun heran.
Rubi menggelengkan kepala pelan dan bibir merah mudanya mencebik sedikit. "Aku belum siap aja," ujarnya dengan perasaan bingung.
"Tetangga sudah mulai membicarakan, Nis. Soalnya kita bukan mahram." Harun menautkan jemari kedua tangannya.
"Sebenarnya yang heboh itu cuma si Emah sama si Nunung aja, Run! Karena mereka cemburu dengan Nisa. Yang lain, mah, gak masalah!" cibir Bi Lela.
Emah adalah seorang janda beranak satu. Dicerai karena sering membantah suaminya. Nunung adalah gadis yang dulu pernah ketahuan melakukan hubungan mesum dengan seorang mandor kebun jati yang telah beristri. Nunung pernah dilabrak oleh istri sang mandor, sampai dipermalukan di hadapan masyarakat. Sang mandor akhirnya dipecat. Hubungan terlarang keduanya pun berakhir.
"Tapi, apa kamu gak mau tahu tentang siapa keluargamu sebenarnya?" kilah Harun. Sebenarnya ia memang merasa tidak nyaman dengan keberadaan Rubi di rumah itu.
Rubi begitu cantik dan itu sedikit mengusik hati Harun. Bahkan Rubi semakin hari semakin nampak akrab dengan anak-anaknya. Lelaki itu khawatir kalau-kalau wanita yang mereka namai Nisa itu sebenarnya adalah istri dari seorang pria. Bahkan mungkin seorang ibu. Karena tampaknya usia wanita itu sekitar dua puluh empat atau dua puluh lima, menurut penilaiannya. Padahal sebenarnya usia Rubi sudah dua puluh sembilan tahun, memang ia tampak awet muda dibanding usia sebenarnya.
Harun sendiri merasa belum siap untuk kembali membuka hati. Sofia masih bertahta seorang diri di dalam atma sang duda beranak dua itu. Meski hanya tiga tahunan bersama, kenangan bersama sang istri tercinta begitu melekat. Sofia ialah cinta pertamanya.
"Bukan ... bukan begitu, Bang. Aku hanya takut ...." Omongan Rubi tergantung.
"Takut apa, Neng?" tanya Bi Lela sembari menyentuh lembut pundak wanita cantik itu.
"Bi, aku mau di sini dulu. Please ... beri aku sedikit waktu lagi," ucap Rubi menatap sendu ke arah Bi Lela.
Harun menghela napas berat.
Bi Lela menatap pria itu dengan sorot memohon. Walau bagaimanapun, Harun adalah seorang lelaki. Ia kepala keluarga di rumah itu.
Harun melihat ke arah Rubi yang sengaja mengalihkan pandangan darinya. Lelaki itu melipat bibirnya, kemudian bangkit dan memasuki kamarnya.
Setelah pintu kamar kecil itu tertutup, barulah Rubi mengarahkan pandangan ke sana. "Bang Harun marah, Bi?" tanya wanita itu kepada Bi Lela.
"Harun gak marah. Tenang aja," ujar Bi Lela menenangkan Rubi, "nanti Bibi bicara lagi sama Harun," lanjut orang tua itu.
"Maaf kalau aku sudah banyak merepotkan di rumah ini, Bi," ucap Rubi menyesal.
"Bibi senang, kok, Eneng di sini." Seulas senyum tulus teruntai di bibir Bi Lela. Senyum itu mengundang kehangatan yang menjalar di relung wanita muda di hadapannya.
Walaupun ada sedikit rasa tidak nyaman karena sudah merepotkan dengan keberadaannya di situ. Rubi merasa lega karena ia merasa Bi Lela dan dua bocah yang ada di sana menerimanya dengan tulus. Hanya Harun saja yang tampak gusar dengan kehadirannya. Hal itu dapat ia rasakan dengan sikap dingin lelaki itu terhadapnya selama ini.
"Bi! Aku sudah selesai nulisnya!" Azzam berlari menuju ruang tamu rumah itu, mendatangi Rubi dan Bi Lela.
"Aku juga!" Nada menyusul menunjukkan hasil kerjanya.
Rubi menyambut buku-buku yang disodorkan kedua bocah kecil itu dengan senyum semringah. "Bagus sekali!" pujinya. Wanita itu membentang kedua tangannya.
Kedua bocah kecil tersebut menghambur memeluk Rubi. Bi Lela membelai rambut Nada yang selama ini pendiam, kini tampak mulai banyak bicara semenjak kehadiran Rubi.
Tanpa disadari keempat orang itu, ada sepasang mata yang melihat dengan sorot gusar akan kebersamaan di hadapannya. Harun tidak sengaja melihat kehangatan itu ketika membuka pintu kamar. Ia ingin ke belakang tadinya, tetapi akhirnya ia urungkan dan kembali menutup pintu.
***
"Abang tumben pergi kerjanya awal begini?" Emah tersenyum menggoda ke arah Harun sembari menyodorkan sepiring pisang goreng.
"Eh, iya ini," sahut Harun tak mau berbasa-basi. Ia hanya menarik sedikit kedua ujung bibirnya ke atas.
"Azzam! Jangan lari-larian! Nanti ja–" Rubi yang tadinya melangkah cepat mengejar Azzam yang habis mandi, langsung melambatkan kakinya ketika netra beningnya berserobok dengan mata Emah yang menyorot tajam ke arahnya.
"Tunggu sebentar ya, Mah," ujar Harun sembari meraih piring berisi pisang goreng yang diberikan oleh Emah.
Emah kembali tersenyum menggoda setelah tadi sebentar ujung-ujung bibirnya terturun melihat Rubi. "Iya, Pah," balasnya dengan berbisik.
Harun kemudian berbalik, ia tidak mendengar jawaban Emah yang menyebut dirinya 'Pah'. Pria gagah itu melirik sebentar ke arah Rubi yang tengah memegang handuk. Lelaki itu lalu melanjutkan langkahnya menuju belakang.
Rubi yang sudah tahu gelagat Emah beberapa hari ini, sama sekali tidak mau bersikap ramah. Ia beberapa kali mendapati Emah menjelek-jelekkannya di hadapan masyarakat sekitar.
"Eh, Emah ...!" Tiba-tiba muncul Bi Lela dari luar rumah, wanita tua itu baru pulang dari berbelanja di warung, "ada apa?"
"Eh, Bi. Gak ada apa-apa, cuma nganterin pisang goreng buatanku. Bang Harun lagi ke belakang nukar piring," jawab Emah.
"Wah, makasih banyak, ya!" ucap Bi Lela.
"Bi, dia masih di sini aja? Mau berapa lama?" tanya Emah sinis sembari melirik Rubi yang mengelap-elap kepala Azzam yang basah dengan handuk.
Bi Lela hanya menjawab dengan melempar senyum yang dipaksakan. "Eh, si Zaki kemarin mukulin Santi, anak Ani," ujar Bi Lela mengalihkan pembicaraan, "bilangin anakmu, kasihan anak orang tangannya lebam kemarin," lanjut Bi Lela.
Zaki adalah anak dari Emah yang memang terkenal badung. Emah pun tersenyum kecut menanggapi Bi Lela. "Iya, Bi," sahutnya dengan wajah yang memerah.
"Ini piringnya, Emah. Makasih." Harun keluar dari dapur dan menyerahkan piring Emah, lalu ia melangkah ke luar rumah.
Emah menyambut piring tersebut. "Iya, Bang. Sama-sa–" Omongannya terpotong karena melihat Harun yang tidak menghiraukannya.
"Aku berangkat dulu, Bi. Assalamualaikum!" Harun langsung pergi meninggalkan rumah.
"Wa 'alaikumus salam warahmatullahi wa barakatuh," jawab Bi Lela.
Emah yang berharap mengobrol sebentar dengan Harun merasa kecewa. Ia menatap punggung Harun yang makin menjauh dengan nelangsa. Selama ini memang lelaki itu tidak pernah menganggapi perhatian darinya.
Hari berganti pekan, pekan pun berganti bulan. Waktu bergulir begitu saja, hingga tiada terasa sudah tiga bulan Rubi berada di rumah keluarga Harun.Sebenarnya Harun sudah melaporkan keberadaan wanita muda yang ia dan Bi Lela beri nama Nisa itu kepada kepala desa. Kabarnya kepala desa juga sudah melaporkan kepada pihak yang berwajib, bahwa Rubi ditemukan dalam keadaan hilang ingatan. Tidak ada tanda pengenal apa pun yang ada di dekatnya.Sementara itu, di kantor polisi sampai saat ini juga tidak mendapati adanya laporan kehilangan orang. Oleh karena itulah mereka masih menyarankan Rubi, untuk tetap tinggal bersama Bi Lela sebagai orang yang pertama kali menemukan.Rubi yang kini berhijab telah diambil fotonya dan disebar di setiap kantor polisi di wilayah Bekasi dan Bogor. Namun, belum juga ada kabar orang yang mengenali dirinya.Kristian Dirgantara sudah merelakan bahwa sang putri semata wayan
Setelah meminta bantuan tetangga yang merupakan penarik angkot, Harun dan Rubi pergi ke puskesmas terdekat. Melihat keadaan Nada, petugas puskesmas memberikan surat rujukan untuk bocah itu dibawa ke rumah sakit terdekat. Kembali Harun dan Nisa bersama Pak Daud—tetangga mereka—pergi menuju rumah sakit yang dimaksud."Dek Nada mesti dirawat, Pak. Hasil tes lab-nya positif terserang typus," ujar Dokter Dermawan kepada Harun."Ya Allah ...," gumam Harun lirih, "baik, Dok," lanjutnya pasrah."Oke kalau begitu," sahut Dokter spesialis anak tersebut, "Sus, tolong diurus!" perintahnya pada seorang perawat yang berdiri di sampingnya.Dokter pun pamit dan Harun mengurus administrasi untuk perawatan sang anak. Sementara Rubi, ia mengikuti brankar Nada yang dibawa ke ruang perawatan kelas tiga setelah Harun menentukan di ruang mana sang putri akan dirawat.Di tengah perjalanan menuju ruang
Kristian merenggangkan pelukan pada wanita muda di hadapannya yang terpaku bingung. Netra tuanya sudah bersimbah air mata, ia menatap sang putri tercinta dengan sorot yang sendu."Kamu baik-baik saja selama ini, Nak?" tanyanya pada Rubi pelan dan sedikit terisak.Rubi tersentak dari ketermanguannya. "Ba–bapak kenal saya?" tanyanya memastikan.Kristian menilik tampilan sang putri yang kini berubah. "Kamu kenapa pakai kerudung seperti orang Islam begini, Nak?""Ha?" Rubi semakin bingung dengan orang tua di hadapannya itu.Harun melangkah ke arah Kristian. "Bapak kenal dengan dia?" tanya lelaki berwajah teduh itu. Ia berpikir, boleh jadi pria paruh baya itu adalah keluarga dari wanita yang ia panggil Nisa selama ini."Dia Rubi, putri Pak Kris ini," sambar Vicky sembari ikut maju mendekati Kristian.Harun mengerutkan dahinya.Rubi masih
Hanya semalam Rubi menginap dan dirawat di rumah sakit tersebut. Setelah diperbolehkan pulang, ia berjalan mendatangi Nada untuk melihat keadaan gadis kecil tersebut.Di dalam hati Rubi merasa gamang dengan penampilannya sekarang, seperti juga ia merasa bingung setiap masuk waktu shalat. Karena ia sadar, agama asalnya ialah Nasrani, bukan Islam. Bukankah Bunda Maria, ibu dari Yesus-nya itu memakai penutup di kepalanya? Pertanyaan yang sebenarnyamerupakan pernyataan itu berputar di kepala wanita cantik itu. Pada akhirnya ia memutuskan tetap berhijab, walau tidak lagi melakukan shalat."Ehem ...," deham Rubi ketika kakinya sampai di depan brankar Nada.Di hadapan wanita itu tampak Nada yang mulai membaik bercanda dengan Azzam. Sementara itu, Bi Lela sedang duduk di sebuah kursi plastik, begitu juga Harun di sana, keduanya tengah bercakap-cakap, serempak mereka melihat ke arah datangnya suara.
Rubi langsung saja memeluk Nada dengan erat. Air matanya yang tadi mulai kering kini basah kembali."Aku gak mau ... Bibi per–pergi ...." Nada mengulang ucapannya sambil terisak-isak. Pipi bocah itu sudah basah berurai air mata. Gadis kecil itu sangat jarang menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya. Entah mengapa sejak bersama Rubi, Nada tampak lebih ceria dan terbuka.Rubi menepuk pundak gadis kecil itu pelan, kemudian ia membisikkan sesuatu. Perlahan nampak senyum tipis di bibir mungil Nada."Bibi janji?" tanyanya dengan sisa isakan yang masih terdengar."In syaa Allah ...." Rubi mengangguk dan tersenyum lebar seraya membelai rambut halus gadis kecil yang saat ini telah menempati sebagian ruang hatinya.Semua orang heran. Apa yang dibisikkan oleh Rubi ke telinga gadis kecil itu, sehingga dia yang tadinya menangis sedih berubah menjadi tersenyum manis. 
Siang itu cukup cerah, mentari bersinar terang. Secerah dan seterang hati-hati yang tengah berbahagia. Ya, tepat pukul satu siang Rubi berkunjung ke rumah keluarga Harun. Nada dan Azzam merasa sangat senang dengan kedatangannya. Begitu juga Bi Lela yang ikut berbahagia. "Aduh ... maaf ya, Bi. Aku ganggu waktu anak-anak tidur siang," ucap Rubi merasa menyesal sembari keluar dari mobilnya. Para tetangga kasak-kusuk melihat Rubi dengan tampilan lebih elegan dan menambah daya tariknya. Ada beberapa yang menegur dengan ramah, ada pula yang bersikap sinis kepadanya karena dulu terpengaruh oleh Emah dan Nunung. "Gak apa-apa, Neng. Sesekali ini," tutur Bi Lela dengan senyum khasnya yang hangat. Wanita tua itu menyambut pelukan hangat dari wanita muda yang baru saja datang tersebut. Rubi menarik kedua ujung bibirnya semringah. Ia kemudian berbalik kembali ke mobil, mengambil sesuatu di kursi belakang. Ternyata
Harun yang sedari tadi menunduk karena lesu dan lelah mencari pekerjaan, terkejut melihat seorang wanita cantik berhijab dengan tampilan menawan di hadapannya. Ia hampir lupa omongan sang putri tadi pagi dikarenakan pikirannya penuh tentang kerja yang belum lagi didapatkan.Wanita jelita itu yang waktu lalu sehari-harinya selalu bertemu dengan Harun. Baru beberapa hari ini— belum sepekan belakangan—wanita muda tersebut tidak lagi ia temukan di rumahnya. Memang terasa seperti ada yang hilang. Akan tetapi, ia coba untuk menepis perasaan kehilangan tersebut. Degup jantung Harun tiba-tiba saja berdetak lebih kencang dengan kehadiran wanita cantik itu.Begitu juga Rubi, tanpa sadar ia tersenyum sangat manis menyambut kehadiran pria yang entah sejak kapan telah bertahta di hatinya."Bang ...," sambut Rubi seraya bangkit dari duduknya."Nis ... eh, Rubi ...." Harun meralat panggilannya, "kapan datang?
"Bi, aku minta maaf karena masih belum menemukan pekerjaan baru. Doain hari ini aku bisa dapat kerjaan, ya?" Harun merasa menyesal terhadap diri sendiri."Iya, Run. Bibi selalu doain kamu," balas Bi Lela sambil mengulas senyum, "alhamdulillah ini kita masih punya beras, minyak, dan lain-lain dari Neng Rubi. Rezeki dari Allah gak bakal ketuker, in syaa Allah." Bi Lela tetap mencoba menyemangati sang keponakan.Harun tersenyum getir mendengar perkataan dari sang Bibi. "Ya sudah, aku pamit berangkat dulu, Bi!" ucap Harun sembari melangkah hendak keluar dari dapur.Belum sempat ia mengucap salam, tiba-tiba handphone-nya berdering. Ternyata Rubi yang menghubunginya. Degup jantung pria itu seketika berdetak lebih kencang.Bi Lela melihat perubahan warna wajah Harun. Wanita tua itu mengerutkan keningnya."Hallo?" sapa Harun seraya berusaha menetralkan debar di dadanya.
Bab 14 : Keseriusan RubiBaru saja Harun menjejakkan kakinya masuk ke dalam rumah dari pintu samping, tiba-tiba saja ia mendengar suara yang memanggil namanya."Bang Harun, baru pulang dari masjid?" tanya Rubi kepada lelaki yang mengenakan baju koko putih dengan kopiah hitam tersebut. Sosoknya tampak bercahaya dan bersahaja di mata wanita muda itu.Memang masjid tidak begitu jauh dari rumah Rubi. Tidak sampai lima menit jika berjalan kaki ke sana. Jadi, Harun tidak perlu menggunakan kendaraan untuk pergi ke sana jika waktu shalat tiba."Eh, iya, Rubi. Mencari saya?"Sebutan 'saya' dari Harun terasa tidak nyaman di telinga Rubi yang biasanya mendengar lelaki itu membasakan diri dengan sebutan 'Abang'. Hanya saja ia coba menepis rasa tidak nyamannya itu, mungkin Harun tidak enak dengan papanya, begitu pikir Rubi."Makan malam sudah siap. Ayo makan sama-sama!" a
Bab 13 : Kepindahan Harun"Bang!" Rubi yang datang dari dalam langsung menyapa Harun dengan wajah semringah. Entah mengapa setiap kali lelaki itu hadir, hatinya terasa penuh bunga-bunga yang bermekaran. Di mata Rubi lelaki itu hari ini tampak semakin gagah dan tampan saja dengan kemeja berwarna abu tua serta celana berwarna hitam.Netra Harun teralih ke arah Rubi. Ia pun tersenyum canggung."Pa ...." Rubi mendorong kursi roda sang ayah agar lebih dekat dengan set sofa, "Ingat Bang Harun yang keluarganya nolongin aku?" tanyanya pada lelaki tua yang kini berada di kursi roda dengan bibir sebelah kirinya yang agak terturun—bell palsy— disebabkan stroke yang dideritanya beberapa waktu lalu.Orang tua itu mencoba tersenyum dan mengangguk. "I–iya, Papa ingat," sahutnya dengan cara yang tidak sempurna seperti sebelumnya.Tubuh sebelah kiri Kristian menjadi kebas,
Bab 12 : BimbangHarun terdiam. Ia tampak menimbang-nimbang. Pria itu memang butuh pekerjaan. Akan tetapi, ia merasa ada sesuatu di hatinya terhadap Rubi. Saat ini, setiap mendengar nama wanita jelita itu, setiap mendengar suara, dan melihat sosoknya, entah mengapa jantung lelaki itu berdebar lebih kencang. Bagaimana jika ia mesti kembali bertemu dengan wanita cantik itu setiap hari?Melihat kebisuan Harun, senyum manis Rubi berubah menjadi senyuman getir. "Emm ... gimana, Bang?"Harun yang dari tadi merendahkan pandangannya, kemudian mengangkat kedua netranya menatap Rubi. "Boleh Abang pikirkan dulu?" tanya lelaki tampan itu.Rubi kembali tersenyum getir. "Oh iya, tentu saja boleh. Bicarakan saja dulu dengan Bi Lela dan mungkin anak-anak," kata wanita muda itu.Harun mengerutkan dahinya. Mengapa ia harus membicarakan hal ini kepada anak-anaknya yang masih kecil-kecil? Mere
"Bi, aku minta maaf karena masih belum menemukan pekerjaan baru. Doain hari ini aku bisa dapat kerjaan, ya?" Harun merasa menyesal terhadap diri sendiri."Iya, Run. Bibi selalu doain kamu," balas Bi Lela sambil mengulas senyum, "alhamdulillah ini kita masih punya beras, minyak, dan lain-lain dari Neng Rubi. Rezeki dari Allah gak bakal ketuker, in syaa Allah." Bi Lela tetap mencoba menyemangati sang keponakan.Harun tersenyum getir mendengar perkataan dari sang Bibi. "Ya sudah, aku pamit berangkat dulu, Bi!" ucap Harun sembari melangkah hendak keluar dari dapur.Belum sempat ia mengucap salam, tiba-tiba handphone-nya berdering. Ternyata Rubi yang menghubunginya. Degup jantung pria itu seketika berdetak lebih kencang.Bi Lela melihat perubahan warna wajah Harun. Wanita tua itu mengerutkan keningnya."Hallo?" sapa Harun seraya berusaha menetralkan debar di dadanya.
Harun yang sedari tadi menunduk karena lesu dan lelah mencari pekerjaan, terkejut melihat seorang wanita cantik berhijab dengan tampilan menawan di hadapannya. Ia hampir lupa omongan sang putri tadi pagi dikarenakan pikirannya penuh tentang kerja yang belum lagi didapatkan.Wanita jelita itu yang waktu lalu sehari-harinya selalu bertemu dengan Harun. Baru beberapa hari ini— belum sepekan belakangan—wanita muda tersebut tidak lagi ia temukan di rumahnya. Memang terasa seperti ada yang hilang. Akan tetapi, ia coba untuk menepis perasaan kehilangan tersebut. Degup jantung Harun tiba-tiba saja berdetak lebih kencang dengan kehadiran wanita cantik itu.Begitu juga Rubi, tanpa sadar ia tersenyum sangat manis menyambut kehadiran pria yang entah sejak kapan telah bertahta di hatinya."Bang ...," sambut Rubi seraya bangkit dari duduknya."Nis ... eh, Rubi ...." Harun meralat panggilannya, "kapan datang?
Siang itu cukup cerah, mentari bersinar terang. Secerah dan seterang hati-hati yang tengah berbahagia. Ya, tepat pukul satu siang Rubi berkunjung ke rumah keluarga Harun. Nada dan Azzam merasa sangat senang dengan kedatangannya. Begitu juga Bi Lela yang ikut berbahagia. "Aduh ... maaf ya, Bi. Aku ganggu waktu anak-anak tidur siang," ucap Rubi merasa menyesal sembari keluar dari mobilnya. Para tetangga kasak-kusuk melihat Rubi dengan tampilan lebih elegan dan menambah daya tariknya. Ada beberapa yang menegur dengan ramah, ada pula yang bersikap sinis kepadanya karena dulu terpengaruh oleh Emah dan Nunung. "Gak apa-apa, Neng. Sesekali ini," tutur Bi Lela dengan senyum khasnya yang hangat. Wanita tua itu menyambut pelukan hangat dari wanita muda yang baru saja datang tersebut. Rubi menarik kedua ujung bibirnya semringah. Ia kemudian berbalik kembali ke mobil, mengambil sesuatu di kursi belakang. Ternyata
Rubi langsung saja memeluk Nada dengan erat. Air matanya yang tadi mulai kering kini basah kembali."Aku gak mau ... Bibi per–pergi ...." Nada mengulang ucapannya sambil terisak-isak. Pipi bocah itu sudah basah berurai air mata. Gadis kecil itu sangat jarang menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya. Entah mengapa sejak bersama Rubi, Nada tampak lebih ceria dan terbuka.Rubi menepuk pundak gadis kecil itu pelan, kemudian ia membisikkan sesuatu. Perlahan nampak senyum tipis di bibir mungil Nada."Bibi janji?" tanyanya dengan sisa isakan yang masih terdengar."In syaa Allah ...." Rubi mengangguk dan tersenyum lebar seraya membelai rambut halus gadis kecil yang saat ini telah menempati sebagian ruang hatinya.Semua orang heran. Apa yang dibisikkan oleh Rubi ke telinga gadis kecil itu, sehingga dia yang tadinya menangis sedih berubah menjadi tersenyum manis. 
Hanya semalam Rubi menginap dan dirawat di rumah sakit tersebut. Setelah diperbolehkan pulang, ia berjalan mendatangi Nada untuk melihat keadaan gadis kecil tersebut.Di dalam hati Rubi merasa gamang dengan penampilannya sekarang, seperti juga ia merasa bingung setiap masuk waktu shalat. Karena ia sadar, agama asalnya ialah Nasrani, bukan Islam. Bukankah Bunda Maria, ibu dari Yesus-nya itu memakai penutup di kepalanya? Pertanyaan yang sebenarnyamerupakan pernyataan itu berputar di kepala wanita cantik itu. Pada akhirnya ia memutuskan tetap berhijab, walau tidak lagi melakukan shalat."Ehem ...," deham Rubi ketika kakinya sampai di depan brankar Nada.Di hadapan wanita itu tampak Nada yang mulai membaik bercanda dengan Azzam. Sementara itu, Bi Lela sedang duduk di sebuah kursi plastik, begitu juga Harun di sana, keduanya tengah bercakap-cakap, serempak mereka melihat ke arah datangnya suara.
Kristian merenggangkan pelukan pada wanita muda di hadapannya yang terpaku bingung. Netra tuanya sudah bersimbah air mata, ia menatap sang putri tercinta dengan sorot yang sendu."Kamu baik-baik saja selama ini, Nak?" tanyanya pada Rubi pelan dan sedikit terisak.Rubi tersentak dari ketermanguannya. "Ba–bapak kenal saya?" tanyanya memastikan.Kristian menilik tampilan sang putri yang kini berubah. "Kamu kenapa pakai kerudung seperti orang Islam begini, Nak?""Ha?" Rubi semakin bingung dengan orang tua di hadapannya itu.Harun melangkah ke arah Kristian. "Bapak kenal dengan dia?" tanya lelaki berwajah teduh itu. Ia berpikir, boleh jadi pria paruh baya itu adalah keluarga dari wanita yang ia panggil Nisa selama ini."Dia Rubi, putri Pak Kris ini," sambar Vicky sembari ikut maju mendekati Kristian.Harun mengerutkan dahinya.Rubi masih