Hari berganti pekan, pekan pun berganti bulan. Waktu bergulir begitu saja, hingga tiada terasa sudah tiga bulan Rubi berada di rumah keluarga Harun.
Sebenarnya Harun sudah melaporkan keberadaan wanita muda yang ia dan Bi Lela beri nama Nisa itu kepada kepala desa. Kabarnya kepala desa juga sudah melaporkan kepada pihak yang berwajib, bahwa Rubi ditemukan dalam keadaan hilang ingatan. Tidak ada tanda pengenal apa pun yang ada di dekatnya.
Sementara itu, di kantor polisi sampai saat ini juga tidak mendapati adanya laporan kehilangan orang. Oleh karena itulah mereka masih menyarankan Rubi, untuk tetap tinggal bersama Bi Lela sebagai orang yang pertama kali menemukan.
Rubi yang kini berhijab telah diambil fotonya dan disebar di setiap kantor polisi di wilayah Bekasi dan Bogor. Namun, belum juga ada kabar orang yang mengenali dirinya.
Kristian Dirgantara sudah merelakan bahwa sang putri semata wayang telah tewas, akibat kecelakaan yang menimpanya. Karena itulah lelaki berumur lebih dari enam puluh tahun tersebut tidak membuat laporan kehilangan ke kantor polisi. Walau hatinya masih belum sepenuhnya yakin karena mayat sang putri tidak ditemukan, tetapi akalnya menyatakan ia harus mengikhlaskan kepergian Rubi untuk selamanya.
***
"Gimana keadaan Nada, Bi?" tanya Harun khawatir.
Sudah dua hari ini badan putrinya panas. Lelaki itu jadi bimbang antara tetap di rumah atau pergi berangkat kerja. Hari kemarin ia sudah tidak bekerja. Ia khawatir Juragan Karsa akan marah, karena ia sangat memahami sifat bosnya itu.
"Ini turun panasnya, Run. Kamu pergi kerja aja sana," suruh Bi Lela.
"Iya, Bang. Biar aku dan Bi Lela yang jagain Nada." Rubi berusaha menenangkan Harun.
Sudah dua malam Rubi menjaga Nada karena gadis kecil itu hanya ingin tidur bersamanya. Sesekali Rubi mengelapkan kain basah ke kepala si bocah dan juga lehernya yang panas.
Sorot kekhawatiran masih nampak jelas di netra hitam Harun. Akan tetapi, ia meyakinkan diri sendiri kalau sang putri akan aman bersama Rubi dan Bi Lela. "Baik. Abang pergi dulu, Nis. Titip Nada ya," ujarnya pada wanita jelita itu.
Rubi menarik kedua ujung bibirnya ke atas. "In syaa Allah, Bang," jawabnya.
Harun pun berbalik dan bersiap untuk pergi bekerja.
"Eh, Bibi juga mau belanja dulu, nih!" ujar Bi Lela sembari menyambar kerudung coklat dan mengenakannya, lalu menyusul langkah Harun menuju luar rumah.
***
Sesampainya Harun di tambak Juragan Karsa, ia melihat lelaki berumur lebih dari setengah abad itu berdiri di pinggir sebuah kolam mengawasi salah seorang pekerjanya memberi makan ikan.
"Kamu kemarin kenapa gak kerja, Run?" tanya Juragan Karsa kepada Harun yang baru saja datang ke lokasi tambaknya itu.
"Maaf, Gan. Nada, anak saya sakit," jawab Harun sembari meraih bungkusan pelet untuk memberi makan ikan-ikan di tambak seperti biasanya.
"Nomor hape kamu kenapa gak aktif?" tanya Juragan Karsa lagi, "lain kali kasih kabar kalau memang gak masuk!" ujarnya dengan nada tidak senang.
Selama ini Harun bekerja dengan sangat baik. Akan tetapi, Juragan Karsa ialah orang yang arogan dan perfeksionis kalau soal kedisiplinan para pekerjanya.
"Maaf sekali lagi, Gan. Hape saya lagi diservis kemarin. Baru tadi malam saya ambil," jawab Harun lagi.
"Kamu, 'kan, bisa minjem hape tetangga kamu, kek. Siapa, kek!" sembur Juragan Karsa.
"Nomor Juragan saya tidak hafal dan ...."
"Halah! Banyak alasan aja kamu! Palingan kamu betah di rumah gara-gara perempuan yang kata orang namanya Nisa itu, 'kan?" tuduh Juragan Karsa.
Harun tersentak kaget. Gosip miring tentangnya dengan Rubi sudah sampai di telinga Juragan Karsa rupanya. Ia menghela napas berat.
"Kalau kamu begini sekali lagi, aku pecat kamu!" sergah Juragan Karsa tidak mau tahu, "sana kasih makan ikan-ikannya! Kolam di ujung sana siap panen, ajak si Maman angkut yang ukuran sekilo enam sampai tujuh ekor!" suruhnya lagi.
"Baik, Gan!" Harun pun segera berbalik dan melangkah menjauhi bos-nya yang tengah emosi tersebut.
***
Sinar sang bagaskara tidak begitu terik siang ini. Banyaknya awan putih berarak menutupi bintang terbesar di tata surya itu cukup membuat cuaca tidak terasa menyengat panasnya.
Harun dan Maman—teman kerjanya—tengah menyortir ikan-ikan yang akan dipanen dengan ukuran yang telah ditetapkan sang juragan. Seperti itulah pekerjaan sehari-hari Harun di tambak tersebut. Pekerjaan ini sudah ia tekuni selama lima tahun dan dengan bekerja di sanalah ia mendapat penghasilan untuk menafkahi keluarganya.
Bi Lela sendiri dengan mengajar ngaji sebenarnya mendapatkan upah dari orangtua para murid. Hanya saja Bi Lela tidak pernah menarik tarif dari itu, bahkan ada beberapa murid yang tidak membayar sama sekali. Wanita tua itu hanya ingin membagi sedikit ilmu dalam membaca Al Qur'an dan ia berharap banyak kalau dengan itu kelak Allah akan mencatat sebagai amalan jariyah yang tidak akan putus pahalanya walau sudah di alam kubur.
"Bang Harun!" panggil Anton, supir dari Juragan Karsa.
"Ya, ada apa, Nton?" tanya Harun masih sambil memilah dan memilih ikan-ikan dan menimbangnya.
"Ada perempuan cantik nyari Abang!" seru Anton sambil cengar-cengir, "kayaknya penting," lanjut lelaki berambut ikal tersebut.
"Perempuan cantik?" Alis Harun bertaut.
"Eh, Neng! Tunggu di luar!"
Tiba-tiba terdengar suara Pak Bondan, bagian keamanan di tambak tersebut.
Mendengar suara Pak Bondan menegur seseorang, Harun dan Maman menoleh ke arah datangnya suara.
Ternyata Rubi yang datang dan berlari mendatangi Harun. Ia tak menghiraukan panggilan Pak Bondan yang berlari kecil mengejarnya. "Neng, Neng gak boleh masuk ke sini!"
"Bang Harun!" panggil Rubi dengan wajah yang terlihat panik.
Harun bangkit dari duduknya dan menatap Rubi dengan heran. Pikirannya langsung ke putrinya, Nada. "Ada apa, Nis? Kok, ke sini?" tanyanya cemas.
"Bang! Badan Nada panasnya tinggi banget. Dia udah gemeteran!" Rubi menjelaskan dengan singkat keadaan putri Harun.
Benar saja perkiraan Harun. "Ya Allah! Ayo kita pulang!" Lelaki itu menyuci tangan sebentar, kemudian ia melangkah cepat dan Rubi pun menyusul Harun di belakangnya.
Belum sempat Harun dan Rubi keluar dari lokasi tambak, mereka berpapasan dengan Juragan Karsa yang baru saja tiba entah dari mana. "Eh, Run. Kamu mau ke mana?" Pandangan mata lelaki paruh baya itu bergiliran ke arah Harun dan Rubi yang ia belum kenal, "ini siapa?"
"Maaf, Gan. Saya harus pulang. Anak saya ...," omongan Harun tergantung. Sorot matanya khawatir sekaligus berharap sang juragan mau memaklumi.
"Kerjaan kamu sudah beres belum?" tanya Juragan Karsa lagi.
"Belum," jawab Harun singkat.
"Kalau gitu selesaikan dulu!" sergah Juragan Karsa sengit.
"Bang ... buruan," lirih suara Rubi berbicara kepada Harun.
Harun meliriknya sebentar, ia menangkap raut kekhawatiran di wajah Rubi. Kemudian pandangan matanya kembali ke arah bosnya yang tengah menatap tajam ke arah wanita itu.
"Dia perempuan yang bernama Nisa?" tanya Juragan Karsa memastikan, "pantas saja kamu betah di rumah. Memang cantik sekali perempuan ini." Bibir lelaki tua itu menyeringai.
"Maaf, Gan. Saya harus pergi sekarang!" Harun melangkah hendak menjauh dari sana.
"Eh! Kamu seenaknya!" Juragan Karsa tampak semakin emosi.
Harun tak menghiraukan bosnya lagi, di dalam pikirannya kini hanya ada sang putri yang kini menunggunya di rumah.
Rubi berlari kecil berusaha menyejajarkan langkahnya dengan Harun.
"Harun! Jangan lagi kamu kembali ke sini! Kamu aku pecat!" teriak Juragan Karsa dengan sorot mata penuh amarah.
Harun seakan menulikan telinganya. Ia terus saja berjalan menjauh.
Rubi menoleh sebentar ke arah belakang dan melihat Juragan Karsa yang tengah menendang pot bunga di dekatnya hingga pecah berderai. Ia lalu melanjutkan langkah kakinya cepat menyusul Harun dari belakang.
"Berengsek!" maki Juragan Karsa seraya berkacak pinggang menatap kepergian Harun.
Setelah meminta bantuan tetangga yang merupakan penarik angkot, Harun dan Rubi pergi ke puskesmas terdekat. Melihat keadaan Nada, petugas puskesmas memberikan surat rujukan untuk bocah itu dibawa ke rumah sakit terdekat. Kembali Harun dan Nisa bersama Pak Daud—tetangga mereka—pergi menuju rumah sakit yang dimaksud."Dek Nada mesti dirawat, Pak. Hasil tes lab-nya positif terserang typus," ujar Dokter Dermawan kepada Harun."Ya Allah ...," gumam Harun lirih, "baik, Dok," lanjutnya pasrah."Oke kalau begitu," sahut Dokter spesialis anak tersebut, "Sus, tolong diurus!" perintahnya pada seorang perawat yang berdiri di sampingnya.Dokter pun pamit dan Harun mengurus administrasi untuk perawatan sang anak. Sementara Rubi, ia mengikuti brankar Nada yang dibawa ke ruang perawatan kelas tiga setelah Harun menentukan di ruang mana sang putri akan dirawat.Di tengah perjalanan menuju ruang
Kristian merenggangkan pelukan pada wanita muda di hadapannya yang terpaku bingung. Netra tuanya sudah bersimbah air mata, ia menatap sang putri tercinta dengan sorot yang sendu."Kamu baik-baik saja selama ini, Nak?" tanyanya pada Rubi pelan dan sedikit terisak.Rubi tersentak dari ketermanguannya. "Ba–bapak kenal saya?" tanyanya memastikan.Kristian menilik tampilan sang putri yang kini berubah. "Kamu kenapa pakai kerudung seperti orang Islam begini, Nak?""Ha?" Rubi semakin bingung dengan orang tua di hadapannya itu.Harun melangkah ke arah Kristian. "Bapak kenal dengan dia?" tanya lelaki berwajah teduh itu. Ia berpikir, boleh jadi pria paruh baya itu adalah keluarga dari wanita yang ia panggil Nisa selama ini."Dia Rubi, putri Pak Kris ini," sambar Vicky sembari ikut maju mendekati Kristian.Harun mengerutkan dahinya.Rubi masih
Hanya semalam Rubi menginap dan dirawat di rumah sakit tersebut. Setelah diperbolehkan pulang, ia berjalan mendatangi Nada untuk melihat keadaan gadis kecil tersebut.Di dalam hati Rubi merasa gamang dengan penampilannya sekarang, seperti juga ia merasa bingung setiap masuk waktu shalat. Karena ia sadar, agama asalnya ialah Nasrani, bukan Islam. Bukankah Bunda Maria, ibu dari Yesus-nya itu memakai penutup di kepalanya? Pertanyaan yang sebenarnyamerupakan pernyataan itu berputar di kepala wanita cantik itu. Pada akhirnya ia memutuskan tetap berhijab, walau tidak lagi melakukan shalat."Ehem ...," deham Rubi ketika kakinya sampai di depan brankar Nada.Di hadapan wanita itu tampak Nada yang mulai membaik bercanda dengan Azzam. Sementara itu, Bi Lela sedang duduk di sebuah kursi plastik, begitu juga Harun di sana, keduanya tengah bercakap-cakap, serempak mereka melihat ke arah datangnya suara.
Rubi langsung saja memeluk Nada dengan erat. Air matanya yang tadi mulai kering kini basah kembali."Aku gak mau ... Bibi per–pergi ...." Nada mengulang ucapannya sambil terisak-isak. Pipi bocah itu sudah basah berurai air mata. Gadis kecil itu sangat jarang menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya. Entah mengapa sejak bersama Rubi, Nada tampak lebih ceria dan terbuka.Rubi menepuk pundak gadis kecil itu pelan, kemudian ia membisikkan sesuatu. Perlahan nampak senyum tipis di bibir mungil Nada."Bibi janji?" tanyanya dengan sisa isakan yang masih terdengar."In syaa Allah ...." Rubi mengangguk dan tersenyum lebar seraya membelai rambut halus gadis kecil yang saat ini telah menempati sebagian ruang hatinya.Semua orang heran. Apa yang dibisikkan oleh Rubi ke telinga gadis kecil itu, sehingga dia yang tadinya menangis sedih berubah menjadi tersenyum manis. 
Siang itu cukup cerah, mentari bersinar terang. Secerah dan seterang hati-hati yang tengah berbahagia. Ya, tepat pukul satu siang Rubi berkunjung ke rumah keluarga Harun. Nada dan Azzam merasa sangat senang dengan kedatangannya. Begitu juga Bi Lela yang ikut berbahagia. "Aduh ... maaf ya, Bi. Aku ganggu waktu anak-anak tidur siang," ucap Rubi merasa menyesal sembari keluar dari mobilnya. Para tetangga kasak-kusuk melihat Rubi dengan tampilan lebih elegan dan menambah daya tariknya. Ada beberapa yang menegur dengan ramah, ada pula yang bersikap sinis kepadanya karena dulu terpengaruh oleh Emah dan Nunung. "Gak apa-apa, Neng. Sesekali ini," tutur Bi Lela dengan senyum khasnya yang hangat. Wanita tua itu menyambut pelukan hangat dari wanita muda yang baru saja datang tersebut. Rubi menarik kedua ujung bibirnya semringah. Ia kemudian berbalik kembali ke mobil, mengambil sesuatu di kursi belakang. Ternyata
Harun yang sedari tadi menunduk karena lesu dan lelah mencari pekerjaan, terkejut melihat seorang wanita cantik berhijab dengan tampilan menawan di hadapannya. Ia hampir lupa omongan sang putri tadi pagi dikarenakan pikirannya penuh tentang kerja yang belum lagi didapatkan.Wanita jelita itu yang waktu lalu sehari-harinya selalu bertemu dengan Harun. Baru beberapa hari ini— belum sepekan belakangan—wanita muda tersebut tidak lagi ia temukan di rumahnya. Memang terasa seperti ada yang hilang. Akan tetapi, ia coba untuk menepis perasaan kehilangan tersebut. Degup jantung Harun tiba-tiba saja berdetak lebih kencang dengan kehadiran wanita cantik itu.Begitu juga Rubi, tanpa sadar ia tersenyum sangat manis menyambut kehadiran pria yang entah sejak kapan telah bertahta di hatinya."Bang ...," sambut Rubi seraya bangkit dari duduknya."Nis ... eh, Rubi ...." Harun meralat panggilannya, "kapan datang?
"Bi, aku minta maaf karena masih belum menemukan pekerjaan baru. Doain hari ini aku bisa dapat kerjaan, ya?" Harun merasa menyesal terhadap diri sendiri."Iya, Run. Bibi selalu doain kamu," balas Bi Lela sambil mengulas senyum, "alhamdulillah ini kita masih punya beras, minyak, dan lain-lain dari Neng Rubi. Rezeki dari Allah gak bakal ketuker, in syaa Allah." Bi Lela tetap mencoba menyemangati sang keponakan.Harun tersenyum getir mendengar perkataan dari sang Bibi. "Ya sudah, aku pamit berangkat dulu, Bi!" ucap Harun sembari melangkah hendak keluar dari dapur.Belum sempat ia mengucap salam, tiba-tiba handphone-nya berdering. Ternyata Rubi yang menghubunginya. Degup jantung pria itu seketika berdetak lebih kencang.Bi Lela melihat perubahan warna wajah Harun. Wanita tua itu mengerutkan keningnya."Hallo?" sapa Harun seraya berusaha menetralkan debar di dadanya.
Bab 12 : BimbangHarun terdiam. Ia tampak menimbang-nimbang. Pria itu memang butuh pekerjaan. Akan tetapi, ia merasa ada sesuatu di hatinya terhadap Rubi. Saat ini, setiap mendengar nama wanita jelita itu, setiap mendengar suara, dan melihat sosoknya, entah mengapa jantung lelaki itu berdebar lebih kencang. Bagaimana jika ia mesti kembali bertemu dengan wanita cantik itu setiap hari?Melihat kebisuan Harun, senyum manis Rubi berubah menjadi senyuman getir. "Emm ... gimana, Bang?"Harun yang dari tadi merendahkan pandangannya, kemudian mengangkat kedua netranya menatap Rubi. "Boleh Abang pikirkan dulu?" tanya lelaki tampan itu.Rubi kembali tersenyum getir. "Oh iya, tentu saja boleh. Bicarakan saja dulu dengan Bi Lela dan mungkin anak-anak," kata wanita muda itu.Harun mengerutkan dahinya. Mengapa ia harus membicarakan hal ini kepada anak-anaknya yang masih kecil-kecil? Mere
Bab 14 : Keseriusan RubiBaru saja Harun menjejakkan kakinya masuk ke dalam rumah dari pintu samping, tiba-tiba saja ia mendengar suara yang memanggil namanya."Bang Harun, baru pulang dari masjid?" tanya Rubi kepada lelaki yang mengenakan baju koko putih dengan kopiah hitam tersebut. Sosoknya tampak bercahaya dan bersahaja di mata wanita muda itu.Memang masjid tidak begitu jauh dari rumah Rubi. Tidak sampai lima menit jika berjalan kaki ke sana. Jadi, Harun tidak perlu menggunakan kendaraan untuk pergi ke sana jika waktu shalat tiba."Eh, iya, Rubi. Mencari saya?"Sebutan 'saya' dari Harun terasa tidak nyaman di telinga Rubi yang biasanya mendengar lelaki itu membasakan diri dengan sebutan 'Abang'. Hanya saja ia coba menepis rasa tidak nyamannya itu, mungkin Harun tidak enak dengan papanya, begitu pikir Rubi."Makan malam sudah siap. Ayo makan sama-sama!" a
Bab 13 : Kepindahan Harun"Bang!" Rubi yang datang dari dalam langsung menyapa Harun dengan wajah semringah. Entah mengapa setiap kali lelaki itu hadir, hatinya terasa penuh bunga-bunga yang bermekaran. Di mata Rubi lelaki itu hari ini tampak semakin gagah dan tampan saja dengan kemeja berwarna abu tua serta celana berwarna hitam.Netra Harun teralih ke arah Rubi. Ia pun tersenyum canggung."Pa ...." Rubi mendorong kursi roda sang ayah agar lebih dekat dengan set sofa, "Ingat Bang Harun yang keluarganya nolongin aku?" tanyanya pada lelaki tua yang kini berada di kursi roda dengan bibir sebelah kirinya yang agak terturun—bell palsy— disebabkan stroke yang dideritanya beberapa waktu lalu.Orang tua itu mencoba tersenyum dan mengangguk. "I–iya, Papa ingat," sahutnya dengan cara yang tidak sempurna seperti sebelumnya.Tubuh sebelah kiri Kristian menjadi kebas,
Bab 12 : BimbangHarun terdiam. Ia tampak menimbang-nimbang. Pria itu memang butuh pekerjaan. Akan tetapi, ia merasa ada sesuatu di hatinya terhadap Rubi. Saat ini, setiap mendengar nama wanita jelita itu, setiap mendengar suara, dan melihat sosoknya, entah mengapa jantung lelaki itu berdebar lebih kencang. Bagaimana jika ia mesti kembali bertemu dengan wanita cantik itu setiap hari?Melihat kebisuan Harun, senyum manis Rubi berubah menjadi senyuman getir. "Emm ... gimana, Bang?"Harun yang dari tadi merendahkan pandangannya, kemudian mengangkat kedua netranya menatap Rubi. "Boleh Abang pikirkan dulu?" tanya lelaki tampan itu.Rubi kembali tersenyum getir. "Oh iya, tentu saja boleh. Bicarakan saja dulu dengan Bi Lela dan mungkin anak-anak," kata wanita muda itu.Harun mengerutkan dahinya. Mengapa ia harus membicarakan hal ini kepada anak-anaknya yang masih kecil-kecil? Mere
"Bi, aku minta maaf karena masih belum menemukan pekerjaan baru. Doain hari ini aku bisa dapat kerjaan, ya?" Harun merasa menyesal terhadap diri sendiri."Iya, Run. Bibi selalu doain kamu," balas Bi Lela sambil mengulas senyum, "alhamdulillah ini kita masih punya beras, minyak, dan lain-lain dari Neng Rubi. Rezeki dari Allah gak bakal ketuker, in syaa Allah." Bi Lela tetap mencoba menyemangati sang keponakan.Harun tersenyum getir mendengar perkataan dari sang Bibi. "Ya sudah, aku pamit berangkat dulu, Bi!" ucap Harun sembari melangkah hendak keluar dari dapur.Belum sempat ia mengucap salam, tiba-tiba handphone-nya berdering. Ternyata Rubi yang menghubunginya. Degup jantung pria itu seketika berdetak lebih kencang.Bi Lela melihat perubahan warna wajah Harun. Wanita tua itu mengerutkan keningnya."Hallo?" sapa Harun seraya berusaha menetralkan debar di dadanya.
Harun yang sedari tadi menunduk karena lesu dan lelah mencari pekerjaan, terkejut melihat seorang wanita cantik berhijab dengan tampilan menawan di hadapannya. Ia hampir lupa omongan sang putri tadi pagi dikarenakan pikirannya penuh tentang kerja yang belum lagi didapatkan.Wanita jelita itu yang waktu lalu sehari-harinya selalu bertemu dengan Harun. Baru beberapa hari ini— belum sepekan belakangan—wanita muda tersebut tidak lagi ia temukan di rumahnya. Memang terasa seperti ada yang hilang. Akan tetapi, ia coba untuk menepis perasaan kehilangan tersebut. Degup jantung Harun tiba-tiba saja berdetak lebih kencang dengan kehadiran wanita cantik itu.Begitu juga Rubi, tanpa sadar ia tersenyum sangat manis menyambut kehadiran pria yang entah sejak kapan telah bertahta di hatinya."Bang ...," sambut Rubi seraya bangkit dari duduknya."Nis ... eh, Rubi ...." Harun meralat panggilannya, "kapan datang?
Siang itu cukup cerah, mentari bersinar terang. Secerah dan seterang hati-hati yang tengah berbahagia. Ya, tepat pukul satu siang Rubi berkunjung ke rumah keluarga Harun. Nada dan Azzam merasa sangat senang dengan kedatangannya. Begitu juga Bi Lela yang ikut berbahagia. "Aduh ... maaf ya, Bi. Aku ganggu waktu anak-anak tidur siang," ucap Rubi merasa menyesal sembari keluar dari mobilnya. Para tetangga kasak-kusuk melihat Rubi dengan tampilan lebih elegan dan menambah daya tariknya. Ada beberapa yang menegur dengan ramah, ada pula yang bersikap sinis kepadanya karena dulu terpengaruh oleh Emah dan Nunung. "Gak apa-apa, Neng. Sesekali ini," tutur Bi Lela dengan senyum khasnya yang hangat. Wanita tua itu menyambut pelukan hangat dari wanita muda yang baru saja datang tersebut. Rubi menarik kedua ujung bibirnya semringah. Ia kemudian berbalik kembali ke mobil, mengambil sesuatu di kursi belakang. Ternyata
Rubi langsung saja memeluk Nada dengan erat. Air matanya yang tadi mulai kering kini basah kembali."Aku gak mau ... Bibi per–pergi ...." Nada mengulang ucapannya sambil terisak-isak. Pipi bocah itu sudah basah berurai air mata. Gadis kecil itu sangat jarang menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya. Entah mengapa sejak bersama Rubi, Nada tampak lebih ceria dan terbuka.Rubi menepuk pundak gadis kecil itu pelan, kemudian ia membisikkan sesuatu. Perlahan nampak senyum tipis di bibir mungil Nada."Bibi janji?" tanyanya dengan sisa isakan yang masih terdengar."In syaa Allah ...." Rubi mengangguk dan tersenyum lebar seraya membelai rambut halus gadis kecil yang saat ini telah menempati sebagian ruang hatinya.Semua orang heran. Apa yang dibisikkan oleh Rubi ke telinga gadis kecil itu, sehingga dia yang tadinya menangis sedih berubah menjadi tersenyum manis. 
Hanya semalam Rubi menginap dan dirawat di rumah sakit tersebut. Setelah diperbolehkan pulang, ia berjalan mendatangi Nada untuk melihat keadaan gadis kecil tersebut.Di dalam hati Rubi merasa gamang dengan penampilannya sekarang, seperti juga ia merasa bingung setiap masuk waktu shalat. Karena ia sadar, agama asalnya ialah Nasrani, bukan Islam. Bukankah Bunda Maria, ibu dari Yesus-nya itu memakai penutup di kepalanya? Pertanyaan yang sebenarnyamerupakan pernyataan itu berputar di kepala wanita cantik itu. Pada akhirnya ia memutuskan tetap berhijab, walau tidak lagi melakukan shalat."Ehem ...," deham Rubi ketika kakinya sampai di depan brankar Nada.Di hadapan wanita itu tampak Nada yang mulai membaik bercanda dengan Azzam. Sementara itu, Bi Lela sedang duduk di sebuah kursi plastik, begitu juga Harun di sana, keduanya tengah bercakap-cakap, serempak mereka melihat ke arah datangnya suara.
Kristian merenggangkan pelukan pada wanita muda di hadapannya yang terpaku bingung. Netra tuanya sudah bersimbah air mata, ia menatap sang putri tercinta dengan sorot yang sendu."Kamu baik-baik saja selama ini, Nak?" tanyanya pada Rubi pelan dan sedikit terisak.Rubi tersentak dari ketermanguannya. "Ba–bapak kenal saya?" tanyanya memastikan.Kristian menilik tampilan sang putri yang kini berubah. "Kamu kenapa pakai kerudung seperti orang Islam begini, Nak?""Ha?" Rubi semakin bingung dengan orang tua di hadapannya itu.Harun melangkah ke arah Kristian. "Bapak kenal dengan dia?" tanya lelaki berwajah teduh itu. Ia berpikir, boleh jadi pria paruh baya itu adalah keluarga dari wanita yang ia panggil Nisa selama ini."Dia Rubi, putri Pak Kris ini," sambar Vicky sembari ikut maju mendekati Kristian.Harun mengerutkan dahinya.Rubi masih