Kristian merenggangkan pelukan pada wanita muda di hadapannya yang terpaku bingung. Netra tuanya sudah bersimbah air mata, ia menatap sang putri tercinta dengan sorot yang sendu.
"Kamu baik-baik saja selama ini, Nak?" tanyanya pada Rubi pelan dan sedikit terisak.
Rubi tersentak dari ketermanguannya. "Ba–bapak kenal saya?" tanyanya memastikan.
Kristian menilik tampilan sang putri yang kini berubah. "Kamu kenapa pakai kerudung seperti orang Islam begini, Nak?"
"Ha?" Rubi semakin bingung dengan orang tua di hadapannya itu.
Harun melangkah ke arah Kristian. "Bapak kenal dengan dia?" tanya lelaki berwajah teduh itu. Ia berpikir, boleh jadi pria paruh baya itu adalah keluarga dari wanita yang ia panggil Nisa selama ini.
"Dia Rubi, putri Pak Kris ini," sambar Vicky sembari ikut maju mendekati Kristian.
Harun mengerutkan dahinya.
Rubi masih terdiam mencerna situasi.
"Nisa mengalami amnesia. Dia selama ini tinggal di rumah saya," tutur Harun menjelaskan.
"Amnesia ...? Nisa?" Kristian tersentak kaget. Sorot matanya nanar. Sejurus kemudian ia kembali mencengkram dadanya yang terasa bertambah nyeri, "aakh!" Pria tua itu menunduk menahan sakit.
Semenjak merasa kehilangan sang putri, kesehatan Kristian memang semakin menurun. Ia sangat bersedih dikarenakan putri semata wayangnya disangka telah meninggal dunia.
"Om, kenapa?!" Vicky langsung menyambar tubuh Kris yang sedikit terhuyung.
"Bapak tidak apa-apa?" Rubi juga menahan tubuh sang ayah. Ia menatap Kristian dengan sorot prihatin.
Kristian mengangkat pandangannya ke arah Rubi. Ia merasa sorot mata sang putri bukanlah seperti tatapan putrinya yang dulu. Gadis itu seperti orang lain ketika melihatnya.
"Aaaakh!" Kristian tiba-tiba ambruk, jatuh ke lantai.
Vicky yang sudah memegang pundak Kristian tak mampu menahan bobot tubuh pria tua yang sudah terkulai itu. "Tolong panggil dokter!" serunya panik.
Rubi pun bersimpuh memegang tubuh Kristian yang lemah di hadapannya. Di dalam hatinya berkecamuk. Ia bingung harus berbuat apa. 'Benarkah ini ayahku?' tanyanya membatin.
Jauh di alam pikirannya, Rubi memang seakan mengenal ... sangat kenal dengan pria tua tersebut. Akan tetapi, kepalanya mulai terasa sakit ketika berusaha keras untuk mengingat.
Keluarga pasien di sebelah Nada mulai berkerumun di sekitar mereka.
Harun lari bergegas ke luar ruangan untuk mencari bantuan.
Tidak lama kemudian bantuan pun datang, beberapa perawat mengangkat tubuh Kristian yang tak berdaya ke atas sebuah brankar. Lelaki tua itu dibawa ke ruang pemeriksaan. Vicky ikut mengiringi sang calon mertua.
Rubi menatap gamang tubuh lemah ayahnya yang semakin jauh dibawa pergi. Seketika kepalanya terasa semakin kuat berdenyut. Ia spontan menekan dahinya itu sambil meringis kesakitan.
"Kamu tidak apa-apa, Nis?" tanya Harun cemas ketika melihat ke arah Rubi yang seperti menahan sakit.
Tiba-tiba pandangan mata Rubi menjadi kabur. Ia terhuyung dan nyaris saja jatuh jika tidak segera disambut oleh Harun.
"Nisa!" seru Harun sembari menangkap tubuh yang terkulai dan perlahan akhirnya tak sadarkan diri.
***
Kristian terkena serangan jantung. Walaupun nyawanya masih selamat, tetapi keadaannya cukup mengkhawatirkan dan mesti dirawat di ICU.
Sementara sang putri juga dirawat di ruang perawatan. Dokter berkata kepada Harun kalau tensi darah Rubi rendah. Wajar saja, beberapa hari belakangan ini ia memang kurang istirahat, sebab menjaga Nada yang sakit. Ditambah pertemuan yang tidak disangka-sangka dengan ayah kandungnya, itu sedikit membuat dirinya shock.
***
"Iya, Bi. Kalau mau ke sini gak apa-apa. Tapi hati-hati ya ...," ucap Harun di saluran telepon selulernya.
Bi Lela merasa khawatir, ia meminjam handphone milik tetangganya untuk menelepon Harun. Wanita tua itu terkejut mendengar Rubi juga ikut dirawat. Akhirnya ia pun segera mempersiapkan diri dan juga Azzam untuk menyusul menuju rumah sakit. Harun sendiri belum menyampaikan perihal pertemuan Rubi dengan ayah kandungnya.
***
Rubi mengerjapkan kelopak mata setelah hampir lima jam kehilangan kesadarannya. Di hadapannya tampak sosok pria tampan yang semakin hari semakin menarik hatinya, Harun. Lelaki itu duduk di sebuah kursi di sebelah brankar pembaringannya.
"Nis, kamu sudah sadar?" tanya Harun ketika melihat Rubi membuka matanya.
"Bang ... Nada dengan siapa?" Rubi balik bertanya. Ia memperhatikan ruangannya yang cukup luas, tidak seperti tempat Nada dirawat.
"Kamu jangan khawatir, Nis. Bi Lela dan Azzam yang jagain Nada." Harun mengulas senyum tipis ke arah wanita cantik di hadapannya. Tatapan lelaki itu tampak berbeda dari biasanya.
Harun sudah menceritakan kepada Bi Lela akan situasi yang terjadi. Bahwa wanita yang mereka beri nama Nisa itu sudah bertemu dengan ayahnya. Rubi sendiri segera dimasukkan ke ruangan VIP oleh Vicky, sang calon suami.
"Pa–papa aku?" Kembali Rubi bertanya.
Dengan sorot heran, Harun menatap lekat Rubi. Apakah wanita itu mengingat sang ayah? "Pak Kristian kena serangan jantung, beliau sedang di ruang ICU sekarang," jawab Harun menjelaskan.
"Apa?" Rubi spontan kaget dan sangat cemas. Ia hendak bangkit dari pembaringannya.
"Nis, sa–bar. Kamu tenang. In syaa Allah keadaan Pak Kris saat ini stabil. Sekarang belum boleh dikunjungi. Kamu tenang ya ...," ujar Harun mencoba menahan Rubi. Bahkan wanita itu masih terlihat lemas dan lengannya juga dalam keadaan terpasang selang infus.
Rubi menghentikan gerakannya dan menatap Harun lekat. Beberapa saat kemudian ia mengurungkan diri untuk bangkit menyusul sang ayah.
Harun pun membantu memposisikan bantal di belakang punggung wanita itu agar Rubi bisa duduk di tempat tidurnya. Lalu Harun kembali meletakkan bokong di kursinya. Beberapa detik kemudian mereka sama-sama terdiam.
"Bang ...," panggil Rubi pelan.
"Hmm?" Harun menatap Rubi dengan sorot tanda tanya. Apa Rubi ingin menyampaikan sesuatu kepadanya?
"Aku ... aku mulai ingat semuanya ...." Manik indah wanita cantik itu mulai berkaca-kaca.
Harun sedikit terperangah. Ia tertegun mendengar hal itu. Sejurus kemudian lelaki itu berkata, "Alhamdulillah kalau begitu, Nis ... eh, Rubi." Harun meralat panggilannya. Ia tiba-tiba merasa canggung dengan situasi di sana.
"Namaku benar, Rubi. Rubi Angelina. Aku ... aku bukan muslim, Bang." Rubi menundukkan pandangan. Di dalam hatinya merasa gundah, selama tiga bulan belakangan ia sudah terbiasa dengan kehidupannya sebagai seorang muslim. Ia sholat lima waktu, belajar membaca Al Qur'an bersama Bi Lela, bahkan ia sudah menghafal surat-surat pendek dari kitab suci ummat Islam tersebut. Namun, tiba-tiba bagai sapuan badai, semuanya berubah begitu saja. Sekejap saja ia merasa dipermainkan oleh takdir. Tanpa terasa air matanya meleleh menganak sungai.
Harun melihat Rubi tampak sedih pun ikut merasakan kegundahan hati wanita yang sudah mulai mengisi hati keluarganya itu. Ia merasa prihatin dengan keadaan ini. Ternyata Rubi bukan hanya sudah memiliki kekasih, wanita itu juga memiliki keyakinan berbeda dengan dirinya.
"Vicky adalah calon suami aku," lanjut Rubi dengan berurai air mata. Ia mengangkat pandangannya ke arah Harun yang tertunduk. Seakan ingin menelisik sesuatu yang ada di balik dada lelaki tampan di hadapannya, karena dirinya sendiri merasakan suatu rasa spesial yang memercik di dalam hatinya semenjak semakin mengenal pria itu.
Harun mengangguk pelan, ia sudah mendengar informasi itu dari Vicky tadi siang. Selama ini dia sudah berusaha mempersiapkan hatinya untuk bisa menerima kalau-kalau ternyata Rubi memang sudah mempunyai pasangan. Karena wanita tersebut sudah dewasa dan pantas berkeluarga. Oleh karena itulah akalnya memerintah untuk menahan sesuatu yang begejolak setiap berada dekat dengan Rubi.
Akan tetapi, ia tidak menyangka, rupanya informasi ini cukup membuat goresan sehingga sebuah daging merah di dalam dadanya terasa nyeri. 'Mengapa?' tanyanya dalam hati.
Hanya semalam Rubi menginap dan dirawat di rumah sakit tersebut. Setelah diperbolehkan pulang, ia berjalan mendatangi Nada untuk melihat keadaan gadis kecil tersebut.Di dalam hati Rubi merasa gamang dengan penampilannya sekarang, seperti juga ia merasa bingung setiap masuk waktu shalat. Karena ia sadar, agama asalnya ialah Nasrani, bukan Islam. Bukankah Bunda Maria, ibu dari Yesus-nya itu memakai penutup di kepalanya? Pertanyaan yang sebenarnyamerupakan pernyataan itu berputar di kepala wanita cantik itu. Pada akhirnya ia memutuskan tetap berhijab, walau tidak lagi melakukan shalat."Ehem ...," deham Rubi ketika kakinya sampai di depan brankar Nada.Di hadapan wanita itu tampak Nada yang mulai membaik bercanda dengan Azzam. Sementara itu, Bi Lela sedang duduk di sebuah kursi plastik, begitu juga Harun di sana, keduanya tengah bercakap-cakap, serempak mereka melihat ke arah datangnya suara.
Rubi langsung saja memeluk Nada dengan erat. Air matanya yang tadi mulai kering kini basah kembali."Aku gak mau ... Bibi per–pergi ...." Nada mengulang ucapannya sambil terisak-isak. Pipi bocah itu sudah basah berurai air mata. Gadis kecil itu sangat jarang menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya. Entah mengapa sejak bersama Rubi, Nada tampak lebih ceria dan terbuka.Rubi menepuk pundak gadis kecil itu pelan, kemudian ia membisikkan sesuatu. Perlahan nampak senyum tipis di bibir mungil Nada."Bibi janji?" tanyanya dengan sisa isakan yang masih terdengar."In syaa Allah ...." Rubi mengangguk dan tersenyum lebar seraya membelai rambut halus gadis kecil yang saat ini telah menempati sebagian ruang hatinya.Semua orang heran. Apa yang dibisikkan oleh Rubi ke telinga gadis kecil itu, sehingga dia yang tadinya menangis sedih berubah menjadi tersenyum manis. 
Siang itu cukup cerah, mentari bersinar terang. Secerah dan seterang hati-hati yang tengah berbahagia. Ya, tepat pukul satu siang Rubi berkunjung ke rumah keluarga Harun. Nada dan Azzam merasa sangat senang dengan kedatangannya. Begitu juga Bi Lela yang ikut berbahagia. "Aduh ... maaf ya, Bi. Aku ganggu waktu anak-anak tidur siang," ucap Rubi merasa menyesal sembari keluar dari mobilnya. Para tetangga kasak-kusuk melihat Rubi dengan tampilan lebih elegan dan menambah daya tariknya. Ada beberapa yang menegur dengan ramah, ada pula yang bersikap sinis kepadanya karena dulu terpengaruh oleh Emah dan Nunung. "Gak apa-apa, Neng. Sesekali ini," tutur Bi Lela dengan senyum khasnya yang hangat. Wanita tua itu menyambut pelukan hangat dari wanita muda yang baru saja datang tersebut. Rubi menarik kedua ujung bibirnya semringah. Ia kemudian berbalik kembali ke mobil, mengambil sesuatu di kursi belakang. Ternyata
Harun yang sedari tadi menunduk karena lesu dan lelah mencari pekerjaan, terkejut melihat seorang wanita cantik berhijab dengan tampilan menawan di hadapannya. Ia hampir lupa omongan sang putri tadi pagi dikarenakan pikirannya penuh tentang kerja yang belum lagi didapatkan.Wanita jelita itu yang waktu lalu sehari-harinya selalu bertemu dengan Harun. Baru beberapa hari ini— belum sepekan belakangan—wanita muda tersebut tidak lagi ia temukan di rumahnya. Memang terasa seperti ada yang hilang. Akan tetapi, ia coba untuk menepis perasaan kehilangan tersebut. Degup jantung Harun tiba-tiba saja berdetak lebih kencang dengan kehadiran wanita cantik itu.Begitu juga Rubi, tanpa sadar ia tersenyum sangat manis menyambut kehadiran pria yang entah sejak kapan telah bertahta di hatinya."Bang ...," sambut Rubi seraya bangkit dari duduknya."Nis ... eh, Rubi ...." Harun meralat panggilannya, "kapan datang?
"Bi, aku minta maaf karena masih belum menemukan pekerjaan baru. Doain hari ini aku bisa dapat kerjaan, ya?" Harun merasa menyesal terhadap diri sendiri."Iya, Run. Bibi selalu doain kamu," balas Bi Lela sambil mengulas senyum, "alhamdulillah ini kita masih punya beras, minyak, dan lain-lain dari Neng Rubi. Rezeki dari Allah gak bakal ketuker, in syaa Allah." Bi Lela tetap mencoba menyemangati sang keponakan.Harun tersenyum getir mendengar perkataan dari sang Bibi. "Ya sudah, aku pamit berangkat dulu, Bi!" ucap Harun sembari melangkah hendak keluar dari dapur.Belum sempat ia mengucap salam, tiba-tiba handphone-nya berdering. Ternyata Rubi yang menghubunginya. Degup jantung pria itu seketika berdetak lebih kencang.Bi Lela melihat perubahan warna wajah Harun. Wanita tua itu mengerutkan keningnya."Hallo?" sapa Harun seraya berusaha menetralkan debar di dadanya.
Bab 12 : BimbangHarun terdiam. Ia tampak menimbang-nimbang. Pria itu memang butuh pekerjaan. Akan tetapi, ia merasa ada sesuatu di hatinya terhadap Rubi. Saat ini, setiap mendengar nama wanita jelita itu, setiap mendengar suara, dan melihat sosoknya, entah mengapa jantung lelaki itu berdebar lebih kencang. Bagaimana jika ia mesti kembali bertemu dengan wanita cantik itu setiap hari?Melihat kebisuan Harun, senyum manis Rubi berubah menjadi senyuman getir. "Emm ... gimana, Bang?"Harun yang dari tadi merendahkan pandangannya, kemudian mengangkat kedua netranya menatap Rubi. "Boleh Abang pikirkan dulu?" tanya lelaki tampan itu.Rubi kembali tersenyum getir. "Oh iya, tentu saja boleh. Bicarakan saja dulu dengan Bi Lela dan mungkin anak-anak," kata wanita muda itu.Harun mengerutkan dahinya. Mengapa ia harus membicarakan hal ini kepada anak-anaknya yang masih kecil-kecil? Mere
Bab 13 : Kepindahan Harun"Bang!" Rubi yang datang dari dalam langsung menyapa Harun dengan wajah semringah. Entah mengapa setiap kali lelaki itu hadir, hatinya terasa penuh bunga-bunga yang bermekaran. Di mata Rubi lelaki itu hari ini tampak semakin gagah dan tampan saja dengan kemeja berwarna abu tua serta celana berwarna hitam.Netra Harun teralih ke arah Rubi. Ia pun tersenyum canggung."Pa ...." Rubi mendorong kursi roda sang ayah agar lebih dekat dengan set sofa, "Ingat Bang Harun yang keluarganya nolongin aku?" tanyanya pada lelaki tua yang kini berada di kursi roda dengan bibir sebelah kirinya yang agak terturun—bell palsy— disebabkan stroke yang dideritanya beberapa waktu lalu.Orang tua itu mencoba tersenyum dan mengangguk. "I–iya, Papa ingat," sahutnya dengan cara yang tidak sempurna seperti sebelumnya.Tubuh sebelah kiri Kristian menjadi kebas,
Bab 14 : Keseriusan RubiBaru saja Harun menjejakkan kakinya masuk ke dalam rumah dari pintu samping, tiba-tiba saja ia mendengar suara yang memanggil namanya."Bang Harun, baru pulang dari masjid?" tanya Rubi kepada lelaki yang mengenakan baju koko putih dengan kopiah hitam tersebut. Sosoknya tampak bercahaya dan bersahaja di mata wanita muda itu.Memang masjid tidak begitu jauh dari rumah Rubi. Tidak sampai lima menit jika berjalan kaki ke sana. Jadi, Harun tidak perlu menggunakan kendaraan untuk pergi ke sana jika waktu shalat tiba."Eh, iya, Rubi. Mencari saya?"Sebutan 'saya' dari Harun terasa tidak nyaman di telinga Rubi yang biasanya mendengar lelaki itu membasakan diri dengan sebutan 'Abang'. Hanya saja ia coba menepis rasa tidak nyamannya itu, mungkin Harun tidak enak dengan papanya, begitu pikir Rubi."Makan malam sudah siap. Ayo makan sama-sama!" a
Bab 14 : Keseriusan RubiBaru saja Harun menjejakkan kakinya masuk ke dalam rumah dari pintu samping, tiba-tiba saja ia mendengar suara yang memanggil namanya."Bang Harun, baru pulang dari masjid?" tanya Rubi kepada lelaki yang mengenakan baju koko putih dengan kopiah hitam tersebut. Sosoknya tampak bercahaya dan bersahaja di mata wanita muda itu.Memang masjid tidak begitu jauh dari rumah Rubi. Tidak sampai lima menit jika berjalan kaki ke sana. Jadi, Harun tidak perlu menggunakan kendaraan untuk pergi ke sana jika waktu shalat tiba."Eh, iya, Rubi. Mencari saya?"Sebutan 'saya' dari Harun terasa tidak nyaman di telinga Rubi yang biasanya mendengar lelaki itu membasakan diri dengan sebutan 'Abang'. Hanya saja ia coba menepis rasa tidak nyamannya itu, mungkin Harun tidak enak dengan papanya, begitu pikir Rubi."Makan malam sudah siap. Ayo makan sama-sama!" a
Bab 13 : Kepindahan Harun"Bang!" Rubi yang datang dari dalam langsung menyapa Harun dengan wajah semringah. Entah mengapa setiap kali lelaki itu hadir, hatinya terasa penuh bunga-bunga yang bermekaran. Di mata Rubi lelaki itu hari ini tampak semakin gagah dan tampan saja dengan kemeja berwarna abu tua serta celana berwarna hitam.Netra Harun teralih ke arah Rubi. Ia pun tersenyum canggung."Pa ...." Rubi mendorong kursi roda sang ayah agar lebih dekat dengan set sofa, "Ingat Bang Harun yang keluarganya nolongin aku?" tanyanya pada lelaki tua yang kini berada di kursi roda dengan bibir sebelah kirinya yang agak terturun—bell palsy— disebabkan stroke yang dideritanya beberapa waktu lalu.Orang tua itu mencoba tersenyum dan mengangguk. "I–iya, Papa ingat," sahutnya dengan cara yang tidak sempurna seperti sebelumnya.Tubuh sebelah kiri Kristian menjadi kebas,
Bab 12 : BimbangHarun terdiam. Ia tampak menimbang-nimbang. Pria itu memang butuh pekerjaan. Akan tetapi, ia merasa ada sesuatu di hatinya terhadap Rubi. Saat ini, setiap mendengar nama wanita jelita itu, setiap mendengar suara, dan melihat sosoknya, entah mengapa jantung lelaki itu berdebar lebih kencang. Bagaimana jika ia mesti kembali bertemu dengan wanita cantik itu setiap hari?Melihat kebisuan Harun, senyum manis Rubi berubah menjadi senyuman getir. "Emm ... gimana, Bang?"Harun yang dari tadi merendahkan pandangannya, kemudian mengangkat kedua netranya menatap Rubi. "Boleh Abang pikirkan dulu?" tanya lelaki tampan itu.Rubi kembali tersenyum getir. "Oh iya, tentu saja boleh. Bicarakan saja dulu dengan Bi Lela dan mungkin anak-anak," kata wanita muda itu.Harun mengerutkan dahinya. Mengapa ia harus membicarakan hal ini kepada anak-anaknya yang masih kecil-kecil? Mere
"Bi, aku minta maaf karena masih belum menemukan pekerjaan baru. Doain hari ini aku bisa dapat kerjaan, ya?" Harun merasa menyesal terhadap diri sendiri."Iya, Run. Bibi selalu doain kamu," balas Bi Lela sambil mengulas senyum, "alhamdulillah ini kita masih punya beras, minyak, dan lain-lain dari Neng Rubi. Rezeki dari Allah gak bakal ketuker, in syaa Allah." Bi Lela tetap mencoba menyemangati sang keponakan.Harun tersenyum getir mendengar perkataan dari sang Bibi. "Ya sudah, aku pamit berangkat dulu, Bi!" ucap Harun sembari melangkah hendak keluar dari dapur.Belum sempat ia mengucap salam, tiba-tiba handphone-nya berdering. Ternyata Rubi yang menghubunginya. Degup jantung pria itu seketika berdetak lebih kencang.Bi Lela melihat perubahan warna wajah Harun. Wanita tua itu mengerutkan keningnya."Hallo?" sapa Harun seraya berusaha menetralkan debar di dadanya.
Harun yang sedari tadi menunduk karena lesu dan lelah mencari pekerjaan, terkejut melihat seorang wanita cantik berhijab dengan tampilan menawan di hadapannya. Ia hampir lupa omongan sang putri tadi pagi dikarenakan pikirannya penuh tentang kerja yang belum lagi didapatkan.Wanita jelita itu yang waktu lalu sehari-harinya selalu bertemu dengan Harun. Baru beberapa hari ini— belum sepekan belakangan—wanita muda tersebut tidak lagi ia temukan di rumahnya. Memang terasa seperti ada yang hilang. Akan tetapi, ia coba untuk menepis perasaan kehilangan tersebut. Degup jantung Harun tiba-tiba saja berdetak lebih kencang dengan kehadiran wanita cantik itu.Begitu juga Rubi, tanpa sadar ia tersenyum sangat manis menyambut kehadiran pria yang entah sejak kapan telah bertahta di hatinya."Bang ...," sambut Rubi seraya bangkit dari duduknya."Nis ... eh, Rubi ...." Harun meralat panggilannya, "kapan datang?
Siang itu cukup cerah, mentari bersinar terang. Secerah dan seterang hati-hati yang tengah berbahagia. Ya, tepat pukul satu siang Rubi berkunjung ke rumah keluarga Harun. Nada dan Azzam merasa sangat senang dengan kedatangannya. Begitu juga Bi Lela yang ikut berbahagia. "Aduh ... maaf ya, Bi. Aku ganggu waktu anak-anak tidur siang," ucap Rubi merasa menyesal sembari keluar dari mobilnya. Para tetangga kasak-kusuk melihat Rubi dengan tampilan lebih elegan dan menambah daya tariknya. Ada beberapa yang menegur dengan ramah, ada pula yang bersikap sinis kepadanya karena dulu terpengaruh oleh Emah dan Nunung. "Gak apa-apa, Neng. Sesekali ini," tutur Bi Lela dengan senyum khasnya yang hangat. Wanita tua itu menyambut pelukan hangat dari wanita muda yang baru saja datang tersebut. Rubi menarik kedua ujung bibirnya semringah. Ia kemudian berbalik kembali ke mobil, mengambil sesuatu di kursi belakang. Ternyata
Rubi langsung saja memeluk Nada dengan erat. Air matanya yang tadi mulai kering kini basah kembali."Aku gak mau ... Bibi per–pergi ...." Nada mengulang ucapannya sambil terisak-isak. Pipi bocah itu sudah basah berurai air mata. Gadis kecil itu sangat jarang menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya. Entah mengapa sejak bersama Rubi, Nada tampak lebih ceria dan terbuka.Rubi menepuk pundak gadis kecil itu pelan, kemudian ia membisikkan sesuatu. Perlahan nampak senyum tipis di bibir mungil Nada."Bibi janji?" tanyanya dengan sisa isakan yang masih terdengar."In syaa Allah ...." Rubi mengangguk dan tersenyum lebar seraya membelai rambut halus gadis kecil yang saat ini telah menempati sebagian ruang hatinya.Semua orang heran. Apa yang dibisikkan oleh Rubi ke telinga gadis kecil itu, sehingga dia yang tadinya menangis sedih berubah menjadi tersenyum manis. 
Hanya semalam Rubi menginap dan dirawat di rumah sakit tersebut. Setelah diperbolehkan pulang, ia berjalan mendatangi Nada untuk melihat keadaan gadis kecil tersebut.Di dalam hati Rubi merasa gamang dengan penampilannya sekarang, seperti juga ia merasa bingung setiap masuk waktu shalat. Karena ia sadar, agama asalnya ialah Nasrani, bukan Islam. Bukankah Bunda Maria, ibu dari Yesus-nya itu memakai penutup di kepalanya? Pertanyaan yang sebenarnyamerupakan pernyataan itu berputar di kepala wanita cantik itu. Pada akhirnya ia memutuskan tetap berhijab, walau tidak lagi melakukan shalat."Ehem ...," deham Rubi ketika kakinya sampai di depan brankar Nada.Di hadapan wanita itu tampak Nada yang mulai membaik bercanda dengan Azzam. Sementara itu, Bi Lela sedang duduk di sebuah kursi plastik, begitu juga Harun di sana, keduanya tengah bercakap-cakap, serempak mereka melihat ke arah datangnya suara.
Kristian merenggangkan pelukan pada wanita muda di hadapannya yang terpaku bingung. Netra tuanya sudah bersimbah air mata, ia menatap sang putri tercinta dengan sorot yang sendu."Kamu baik-baik saja selama ini, Nak?" tanyanya pada Rubi pelan dan sedikit terisak.Rubi tersentak dari ketermanguannya. "Ba–bapak kenal saya?" tanyanya memastikan.Kristian menilik tampilan sang putri yang kini berubah. "Kamu kenapa pakai kerudung seperti orang Islam begini, Nak?""Ha?" Rubi semakin bingung dengan orang tua di hadapannya itu.Harun melangkah ke arah Kristian. "Bapak kenal dengan dia?" tanya lelaki berwajah teduh itu. Ia berpikir, boleh jadi pria paruh baya itu adalah keluarga dari wanita yang ia panggil Nisa selama ini."Dia Rubi, putri Pak Kris ini," sambar Vicky sembari ikut maju mendekati Kristian.Harun mengerutkan dahinya.Rubi masih