Setelah meminta bantuan tetangga yang merupakan penarik angkot, Harun dan Rubi pergi ke puskesmas terdekat. Melihat keadaan Nada, petugas puskesmas memberikan surat rujukan untuk bocah itu dibawa ke rumah sakit terdekat. Kembali Harun dan Nisa bersama Pak Daud—tetangga mereka—pergi menuju rumah sakit yang dimaksud.
"Dek Nada mesti dirawat, Pak. Hasil tes lab-nya positif terserang typus," ujar Dokter Dermawan kepada Harun.
"Ya Allah ...," gumam Harun lirih, "baik, Dok," lanjutnya pasrah.
"Oke kalau begitu," sahut Dokter spesialis anak tersebut, "Sus, tolong diurus!" perintahnya pada seorang perawat yang berdiri di sampingnya.
Dokter pun pamit dan Harun mengurus administrasi untuk perawatan sang anak. Sementara Rubi, ia mengikuti brankar Nada yang dibawa ke ruang perawatan kelas tiga setelah Harun menentukan di ruang mana sang putri akan dirawat.
Di tengah perjalanan menuju ruangan, ada sepasang mata menatap lekat ke arah Rubi.
"Bro, ntar ya! Gue ke sana dulu!" Sesosok lelaki yang menatap Rubi tersebut meninggalkan teman mengobrolnya dengan tiba-tiba, sampai yang teman terheran-heran. Pria itu lalu mengikuti Rubi tanpa sepengetahuan wanita muda itu.
Pria dengan kumis tipis di atas bibirnya itu terus mengamati gerak-gerik Rubi dengan intens. Ia yakin bahwa wanita yang kini berada beberapa meter di depannya itu adalah orang yang ia kenal.
"Tapi mengapa dia pakai kerudung ...?" bisiknya pada diri sendiri.
Ruang kelas tiga memang jauh dari kata eksklusif. Tidak seperti kelas dua dan satu, apalagi VIP tentu saja. Di sana terdapat empat brankar dalam satu ruang yang hanya disekat oleh tirai-tirai berwarna biru muda yang tidak begitu menutup seluruh tubuh pasien.
Pria yang tengah memperhatikan Rubi itu merogoh ponsel yang ada di dalam saku celana mahalnya. Kemudian jemarinya menari di atas layar tujuh inch tersebut, lalu meletakkan benda segi empat itu di telinganya.
***
Kristian Dirgantara tengah memimpin rapat di kantornya. Pertemuan itu hampir selesai, hanya tinggal penutupan saja. Tiba-tiba gawai pria tua itu bergetar.
"Oke, kita tutup rapat hari ini. Selamat bekerja," kata Kristian kepada para peserta rapat.
Kristian memberi isyarat kepada asistennya untuk melanjutkan sesi penutupan. Dia sendiri bangkit dan beranjak dari ruang tersebut sembari menggeser simbol hijau di ponselnya dengan jari.
"Hallo, Vicky? Ada apa?" tanyanya pada orang yang menelepon di seberang sana.
"Om! Aku ngeliat Rubi sekarang!" seru Vicky.
"Ap–apa?" Tiba-tiba degup jantung Kristian bertambah kencang, "ka–kamu yakin, Vick?" tanya lelaki tua itu gugup. Ada yang membuncah di dalam dadanya kini. Harap cemas menerpa bagai angin yang berembus kencang secara tiba-tiba di dalam hatinya.
"Hmmm ... sebentar, Om. Cek WA, aku kirim fotonya sekarang." Vicky yang tadi diam-diam mengambil gambar perempuan yang berada kira-kira enam meter di hadapannya kini memainkan jari di aplikasi berwarna hijau di ponselnya.
Dengan deru napas yang tiba-tiba tidak keruan, Kristian membuka pesan di WA. Dahinya seketika berkerut menatap dengan lebih teliti tiga foto yang baru saja dikirim calon menantunya itu.
"Menurut Om bagaimana?" tanya Vicky masih di saluran telepon selulernya.
Setelah beberapa detik melihat dan terdiam. Kristian berkata, "Itu Rubi."
Vicky mengangguk-angguk. Ia sendiri percaya dengan penglihatannya.
Tanpa sadar air mata menyeruak dari sudut netra tua Kristian, walaupun di foto wanita muda itu menggunakan kerudung, ia tahu dan sangat yakin bahwa itu adalah anak gadisnya yang menghilang, "Di–dia baik-baik saja kelihatannya, 'kan, Vick? Sehat? Sepertinya itu di rumah sakit?" cecar Kristian lagi.
"Rubi terlihat sangat sehat, Om. Sekarang dia lagi menunggui seorang anak perempuan," jawab Vicky atas pertanyaan calon mertuanya.
"Anak perempuan?" lirih Kristian heran.
"Ya! Nah, sekarang ada seorang pria mendatangi mereka," sahut Vicky. Tatapannya kian tajam ke arah tiga orang di depan sana. Ada rasa dengki atau cemburu di dalam hati lelaki berkumis tipis itu melihat kebersamaan di hadapannya. 'Siapa pria itu?'
"Ya sudah! Kamu tunggu Om. Om nyusul sekarang. Share location, Okey!" seru Kristian sembari melangkah cepat keluar ruangan dan menuju lift.
***
"Om!" Vicky memanggil Kristian dengan suara yang dikecilkan.
Kristian yang tampak tergesa dengan napas tersengal menyahut, "Di–di mana Rubi? Di mana putri saya, Vick?" tanyanya dengan sangat gugup. Detak jantung lelaki tua itu bekerja lebih cepat hingga napasnya terasa sedikit sesak.
"Tenang dulu, Om. Rubi ada di ruangan kelas tiga di arah sana." Vicky mengarahkan pandangan ke arah timur.
"Kalau gitu kita ke sana sekarang!" Kristian sudah sangat tidak sabar sepertinya. Walaupun dadanya terasa sedikit nyeri, ia tetap melangkah cepat menuju arah yang ditunjuk oleh Vicky sembari meremas dadanya.
"Om, tunggu!" Vicky berlari kecil menyusul calon mertuanya itu.
"Di mana dia?" tanya Kristian lagi setelah sampai di antara pintu-pintu kamar ruangan-ruangan yang diberi nama berbagai macam bunga itu.
"Di ruang Kamboja itu, Om," sahut Vicky sembari melangkah maju.
Kristian mengikuti langkah sang calon menantu dengan tidak sabar. Setelah sampai di depan pintu bertuliskan KAMBOJA, ia membukanya perlahan.
"Di mana?" lirih suara Kristian ke arah calon menantunya.
Di sana terdapat tirai-tirai biru yang membentuk empat ruangan kecil. Ada dua brankar yang ditempati pasien. Salah satunya adalah Nada.
Vicky melangkah maju dan menunjukkan ke arah tirai yang paling ujung sebelah kanan ruangan.
Kristian meraih tirai biru itu dan membukanya dengan perlahan. Sontak saja Rubi dan Harun yang berada di sana mengarahkan pandangan ke arah suara tirai yang tersibak.
Hening.
"Cari siapa, Pak?" tanya Harun sembari bangkit dari sebuah kursi plastik di sana, di sebelah brankar yang mana Nada tertidur lelap di sana.
Pandangan mata Kristian tidak lepas dari wajah sang putri. Kaca-kaca mulai menambah kabur mata tuanya itu.
Harun menoleh ke arah Rubi yang terlihat heran melihat seorang bapak-bapak yang menatap lekat ke arahnya.
Rubi bangkit dari duduk di brankar di samping Nada. Ia sedikit menarik kedua ujung bibirnya dengan ragu. "Bapak cari siapa?" Ia mengulang pertanyaan yang tadi dilontarkan oleh Harun kepada orang tua itu.
"Rubi ...." Kristian menyebut nama gadis di depannya.
Rubi terdiam. Alisnya bertautan. Ia seperti akrab dengan nama yang baru saja disebut bapak tua di hadapannya itu. Akan tetapi, ia tidak ingat dan tidak mengenal bapak tua itu.
Kristian berjalan pelan semakin maju. Ia tidak menghiraukan keheranan orang-orang yang berada di sekitarnya.
Harun melangkah maju hendak menahan Kristian mendekati Rubi. Ia khawatir orang tua itu punya kelainan jiwa atau apa. Karena tingkahnya sangat aneh menurut penglihatannya.
Vicky langsung bergerak cepat menahan gerak Harun.
Harun menatap heran ke arah Vicky yang menggeleng mencegah ia menahan Kristian.
"Rubi, putriku ...." Kristian menghambur memeluk erat sang putri yang keheranan. Netra tuanya akhirnya tak dapat lagi membendung air mata yang kini mengalir deras.
Betapa terkejutmya Harun mendengar sebutan 'putriku' oleh lisan Kristian terhadap wanita yang ia beri nama Nisa itu.
Rubi pun tak kalah kaget. Ia terdiam kaku di dalam pelukan pria paruh baya yang tubuhnya kini berguncang karena menangis haru.
Kristian merenggangkan pelukan pada wanita muda di hadapannya yang terpaku bingung. Netra tuanya sudah bersimbah air mata, ia menatap sang putri tercinta dengan sorot yang sendu."Kamu baik-baik saja selama ini, Nak?" tanyanya pada Rubi pelan dan sedikit terisak.Rubi tersentak dari ketermanguannya. "Ba–bapak kenal saya?" tanyanya memastikan.Kristian menilik tampilan sang putri yang kini berubah. "Kamu kenapa pakai kerudung seperti orang Islam begini, Nak?""Ha?" Rubi semakin bingung dengan orang tua di hadapannya itu.Harun melangkah ke arah Kristian. "Bapak kenal dengan dia?" tanya lelaki berwajah teduh itu. Ia berpikir, boleh jadi pria paruh baya itu adalah keluarga dari wanita yang ia panggil Nisa selama ini."Dia Rubi, putri Pak Kris ini," sambar Vicky sembari ikut maju mendekati Kristian.Harun mengerutkan dahinya.Rubi masih
Hanya semalam Rubi menginap dan dirawat di rumah sakit tersebut. Setelah diperbolehkan pulang, ia berjalan mendatangi Nada untuk melihat keadaan gadis kecil tersebut.Di dalam hati Rubi merasa gamang dengan penampilannya sekarang, seperti juga ia merasa bingung setiap masuk waktu shalat. Karena ia sadar, agama asalnya ialah Nasrani, bukan Islam. Bukankah Bunda Maria, ibu dari Yesus-nya itu memakai penutup di kepalanya? Pertanyaan yang sebenarnyamerupakan pernyataan itu berputar di kepala wanita cantik itu. Pada akhirnya ia memutuskan tetap berhijab, walau tidak lagi melakukan shalat."Ehem ...," deham Rubi ketika kakinya sampai di depan brankar Nada.Di hadapan wanita itu tampak Nada yang mulai membaik bercanda dengan Azzam. Sementara itu, Bi Lela sedang duduk di sebuah kursi plastik, begitu juga Harun di sana, keduanya tengah bercakap-cakap, serempak mereka melihat ke arah datangnya suara.
Rubi langsung saja memeluk Nada dengan erat. Air matanya yang tadi mulai kering kini basah kembali."Aku gak mau ... Bibi per–pergi ...." Nada mengulang ucapannya sambil terisak-isak. Pipi bocah itu sudah basah berurai air mata. Gadis kecil itu sangat jarang menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya. Entah mengapa sejak bersama Rubi, Nada tampak lebih ceria dan terbuka.Rubi menepuk pundak gadis kecil itu pelan, kemudian ia membisikkan sesuatu. Perlahan nampak senyum tipis di bibir mungil Nada."Bibi janji?" tanyanya dengan sisa isakan yang masih terdengar."In syaa Allah ...." Rubi mengangguk dan tersenyum lebar seraya membelai rambut halus gadis kecil yang saat ini telah menempati sebagian ruang hatinya.Semua orang heran. Apa yang dibisikkan oleh Rubi ke telinga gadis kecil itu, sehingga dia yang tadinya menangis sedih berubah menjadi tersenyum manis. 
Siang itu cukup cerah, mentari bersinar terang. Secerah dan seterang hati-hati yang tengah berbahagia. Ya, tepat pukul satu siang Rubi berkunjung ke rumah keluarga Harun. Nada dan Azzam merasa sangat senang dengan kedatangannya. Begitu juga Bi Lela yang ikut berbahagia. "Aduh ... maaf ya, Bi. Aku ganggu waktu anak-anak tidur siang," ucap Rubi merasa menyesal sembari keluar dari mobilnya. Para tetangga kasak-kusuk melihat Rubi dengan tampilan lebih elegan dan menambah daya tariknya. Ada beberapa yang menegur dengan ramah, ada pula yang bersikap sinis kepadanya karena dulu terpengaruh oleh Emah dan Nunung. "Gak apa-apa, Neng. Sesekali ini," tutur Bi Lela dengan senyum khasnya yang hangat. Wanita tua itu menyambut pelukan hangat dari wanita muda yang baru saja datang tersebut. Rubi menarik kedua ujung bibirnya semringah. Ia kemudian berbalik kembali ke mobil, mengambil sesuatu di kursi belakang. Ternyata
Harun yang sedari tadi menunduk karena lesu dan lelah mencari pekerjaan, terkejut melihat seorang wanita cantik berhijab dengan tampilan menawan di hadapannya. Ia hampir lupa omongan sang putri tadi pagi dikarenakan pikirannya penuh tentang kerja yang belum lagi didapatkan.Wanita jelita itu yang waktu lalu sehari-harinya selalu bertemu dengan Harun. Baru beberapa hari ini— belum sepekan belakangan—wanita muda tersebut tidak lagi ia temukan di rumahnya. Memang terasa seperti ada yang hilang. Akan tetapi, ia coba untuk menepis perasaan kehilangan tersebut. Degup jantung Harun tiba-tiba saja berdetak lebih kencang dengan kehadiran wanita cantik itu.Begitu juga Rubi, tanpa sadar ia tersenyum sangat manis menyambut kehadiran pria yang entah sejak kapan telah bertahta di hatinya."Bang ...," sambut Rubi seraya bangkit dari duduknya."Nis ... eh, Rubi ...." Harun meralat panggilannya, "kapan datang?
"Bi, aku minta maaf karena masih belum menemukan pekerjaan baru. Doain hari ini aku bisa dapat kerjaan, ya?" Harun merasa menyesal terhadap diri sendiri."Iya, Run. Bibi selalu doain kamu," balas Bi Lela sambil mengulas senyum, "alhamdulillah ini kita masih punya beras, minyak, dan lain-lain dari Neng Rubi. Rezeki dari Allah gak bakal ketuker, in syaa Allah." Bi Lela tetap mencoba menyemangati sang keponakan.Harun tersenyum getir mendengar perkataan dari sang Bibi. "Ya sudah, aku pamit berangkat dulu, Bi!" ucap Harun sembari melangkah hendak keluar dari dapur.Belum sempat ia mengucap salam, tiba-tiba handphone-nya berdering. Ternyata Rubi yang menghubunginya. Degup jantung pria itu seketika berdetak lebih kencang.Bi Lela melihat perubahan warna wajah Harun. Wanita tua itu mengerutkan keningnya."Hallo?" sapa Harun seraya berusaha menetralkan debar di dadanya.
Bab 12 : BimbangHarun terdiam. Ia tampak menimbang-nimbang. Pria itu memang butuh pekerjaan. Akan tetapi, ia merasa ada sesuatu di hatinya terhadap Rubi. Saat ini, setiap mendengar nama wanita jelita itu, setiap mendengar suara, dan melihat sosoknya, entah mengapa jantung lelaki itu berdebar lebih kencang. Bagaimana jika ia mesti kembali bertemu dengan wanita cantik itu setiap hari?Melihat kebisuan Harun, senyum manis Rubi berubah menjadi senyuman getir. "Emm ... gimana, Bang?"Harun yang dari tadi merendahkan pandangannya, kemudian mengangkat kedua netranya menatap Rubi. "Boleh Abang pikirkan dulu?" tanya lelaki tampan itu.Rubi kembali tersenyum getir. "Oh iya, tentu saja boleh. Bicarakan saja dulu dengan Bi Lela dan mungkin anak-anak," kata wanita muda itu.Harun mengerutkan dahinya. Mengapa ia harus membicarakan hal ini kepada anak-anaknya yang masih kecil-kecil? Mere
Bab 13 : Kepindahan Harun"Bang!" Rubi yang datang dari dalam langsung menyapa Harun dengan wajah semringah. Entah mengapa setiap kali lelaki itu hadir, hatinya terasa penuh bunga-bunga yang bermekaran. Di mata Rubi lelaki itu hari ini tampak semakin gagah dan tampan saja dengan kemeja berwarna abu tua serta celana berwarna hitam.Netra Harun teralih ke arah Rubi. Ia pun tersenyum canggung."Pa ...." Rubi mendorong kursi roda sang ayah agar lebih dekat dengan set sofa, "Ingat Bang Harun yang keluarganya nolongin aku?" tanyanya pada lelaki tua yang kini berada di kursi roda dengan bibir sebelah kirinya yang agak terturun—bell palsy— disebabkan stroke yang dideritanya beberapa waktu lalu.Orang tua itu mencoba tersenyum dan mengangguk. "I–iya, Papa ingat," sahutnya dengan cara yang tidak sempurna seperti sebelumnya.Tubuh sebelah kiri Kristian menjadi kebas,
Bab 14 : Keseriusan RubiBaru saja Harun menjejakkan kakinya masuk ke dalam rumah dari pintu samping, tiba-tiba saja ia mendengar suara yang memanggil namanya."Bang Harun, baru pulang dari masjid?" tanya Rubi kepada lelaki yang mengenakan baju koko putih dengan kopiah hitam tersebut. Sosoknya tampak bercahaya dan bersahaja di mata wanita muda itu.Memang masjid tidak begitu jauh dari rumah Rubi. Tidak sampai lima menit jika berjalan kaki ke sana. Jadi, Harun tidak perlu menggunakan kendaraan untuk pergi ke sana jika waktu shalat tiba."Eh, iya, Rubi. Mencari saya?"Sebutan 'saya' dari Harun terasa tidak nyaman di telinga Rubi yang biasanya mendengar lelaki itu membasakan diri dengan sebutan 'Abang'. Hanya saja ia coba menepis rasa tidak nyamannya itu, mungkin Harun tidak enak dengan papanya, begitu pikir Rubi."Makan malam sudah siap. Ayo makan sama-sama!" a
Bab 13 : Kepindahan Harun"Bang!" Rubi yang datang dari dalam langsung menyapa Harun dengan wajah semringah. Entah mengapa setiap kali lelaki itu hadir, hatinya terasa penuh bunga-bunga yang bermekaran. Di mata Rubi lelaki itu hari ini tampak semakin gagah dan tampan saja dengan kemeja berwarna abu tua serta celana berwarna hitam.Netra Harun teralih ke arah Rubi. Ia pun tersenyum canggung."Pa ...." Rubi mendorong kursi roda sang ayah agar lebih dekat dengan set sofa, "Ingat Bang Harun yang keluarganya nolongin aku?" tanyanya pada lelaki tua yang kini berada di kursi roda dengan bibir sebelah kirinya yang agak terturun—bell palsy— disebabkan stroke yang dideritanya beberapa waktu lalu.Orang tua itu mencoba tersenyum dan mengangguk. "I–iya, Papa ingat," sahutnya dengan cara yang tidak sempurna seperti sebelumnya.Tubuh sebelah kiri Kristian menjadi kebas,
Bab 12 : BimbangHarun terdiam. Ia tampak menimbang-nimbang. Pria itu memang butuh pekerjaan. Akan tetapi, ia merasa ada sesuatu di hatinya terhadap Rubi. Saat ini, setiap mendengar nama wanita jelita itu, setiap mendengar suara, dan melihat sosoknya, entah mengapa jantung lelaki itu berdebar lebih kencang. Bagaimana jika ia mesti kembali bertemu dengan wanita cantik itu setiap hari?Melihat kebisuan Harun, senyum manis Rubi berubah menjadi senyuman getir. "Emm ... gimana, Bang?"Harun yang dari tadi merendahkan pandangannya, kemudian mengangkat kedua netranya menatap Rubi. "Boleh Abang pikirkan dulu?" tanya lelaki tampan itu.Rubi kembali tersenyum getir. "Oh iya, tentu saja boleh. Bicarakan saja dulu dengan Bi Lela dan mungkin anak-anak," kata wanita muda itu.Harun mengerutkan dahinya. Mengapa ia harus membicarakan hal ini kepada anak-anaknya yang masih kecil-kecil? Mere
"Bi, aku minta maaf karena masih belum menemukan pekerjaan baru. Doain hari ini aku bisa dapat kerjaan, ya?" Harun merasa menyesal terhadap diri sendiri."Iya, Run. Bibi selalu doain kamu," balas Bi Lela sambil mengulas senyum, "alhamdulillah ini kita masih punya beras, minyak, dan lain-lain dari Neng Rubi. Rezeki dari Allah gak bakal ketuker, in syaa Allah." Bi Lela tetap mencoba menyemangati sang keponakan.Harun tersenyum getir mendengar perkataan dari sang Bibi. "Ya sudah, aku pamit berangkat dulu, Bi!" ucap Harun sembari melangkah hendak keluar dari dapur.Belum sempat ia mengucap salam, tiba-tiba handphone-nya berdering. Ternyata Rubi yang menghubunginya. Degup jantung pria itu seketika berdetak lebih kencang.Bi Lela melihat perubahan warna wajah Harun. Wanita tua itu mengerutkan keningnya."Hallo?" sapa Harun seraya berusaha menetralkan debar di dadanya.
Harun yang sedari tadi menunduk karena lesu dan lelah mencari pekerjaan, terkejut melihat seorang wanita cantik berhijab dengan tampilan menawan di hadapannya. Ia hampir lupa omongan sang putri tadi pagi dikarenakan pikirannya penuh tentang kerja yang belum lagi didapatkan.Wanita jelita itu yang waktu lalu sehari-harinya selalu bertemu dengan Harun. Baru beberapa hari ini— belum sepekan belakangan—wanita muda tersebut tidak lagi ia temukan di rumahnya. Memang terasa seperti ada yang hilang. Akan tetapi, ia coba untuk menepis perasaan kehilangan tersebut. Degup jantung Harun tiba-tiba saja berdetak lebih kencang dengan kehadiran wanita cantik itu.Begitu juga Rubi, tanpa sadar ia tersenyum sangat manis menyambut kehadiran pria yang entah sejak kapan telah bertahta di hatinya."Bang ...," sambut Rubi seraya bangkit dari duduknya."Nis ... eh, Rubi ...." Harun meralat panggilannya, "kapan datang?
Siang itu cukup cerah, mentari bersinar terang. Secerah dan seterang hati-hati yang tengah berbahagia. Ya, tepat pukul satu siang Rubi berkunjung ke rumah keluarga Harun. Nada dan Azzam merasa sangat senang dengan kedatangannya. Begitu juga Bi Lela yang ikut berbahagia. "Aduh ... maaf ya, Bi. Aku ganggu waktu anak-anak tidur siang," ucap Rubi merasa menyesal sembari keluar dari mobilnya. Para tetangga kasak-kusuk melihat Rubi dengan tampilan lebih elegan dan menambah daya tariknya. Ada beberapa yang menegur dengan ramah, ada pula yang bersikap sinis kepadanya karena dulu terpengaruh oleh Emah dan Nunung. "Gak apa-apa, Neng. Sesekali ini," tutur Bi Lela dengan senyum khasnya yang hangat. Wanita tua itu menyambut pelukan hangat dari wanita muda yang baru saja datang tersebut. Rubi menarik kedua ujung bibirnya semringah. Ia kemudian berbalik kembali ke mobil, mengambil sesuatu di kursi belakang. Ternyata
Rubi langsung saja memeluk Nada dengan erat. Air matanya yang tadi mulai kering kini basah kembali."Aku gak mau ... Bibi per–pergi ...." Nada mengulang ucapannya sambil terisak-isak. Pipi bocah itu sudah basah berurai air mata. Gadis kecil itu sangat jarang menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya. Entah mengapa sejak bersama Rubi, Nada tampak lebih ceria dan terbuka.Rubi menepuk pundak gadis kecil itu pelan, kemudian ia membisikkan sesuatu. Perlahan nampak senyum tipis di bibir mungil Nada."Bibi janji?" tanyanya dengan sisa isakan yang masih terdengar."In syaa Allah ...." Rubi mengangguk dan tersenyum lebar seraya membelai rambut halus gadis kecil yang saat ini telah menempati sebagian ruang hatinya.Semua orang heran. Apa yang dibisikkan oleh Rubi ke telinga gadis kecil itu, sehingga dia yang tadinya menangis sedih berubah menjadi tersenyum manis. 
Hanya semalam Rubi menginap dan dirawat di rumah sakit tersebut. Setelah diperbolehkan pulang, ia berjalan mendatangi Nada untuk melihat keadaan gadis kecil tersebut.Di dalam hati Rubi merasa gamang dengan penampilannya sekarang, seperti juga ia merasa bingung setiap masuk waktu shalat. Karena ia sadar, agama asalnya ialah Nasrani, bukan Islam. Bukankah Bunda Maria, ibu dari Yesus-nya itu memakai penutup di kepalanya? Pertanyaan yang sebenarnyamerupakan pernyataan itu berputar di kepala wanita cantik itu. Pada akhirnya ia memutuskan tetap berhijab, walau tidak lagi melakukan shalat."Ehem ...," deham Rubi ketika kakinya sampai di depan brankar Nada.Di hadapan wanita itu tampak Nada yang mulai membaik bercanda dengan Azzam. Sementara itu, Bi Lela sedang duduk di sebuah kursi plastik, begitu juga Harun di sana, keduanya tengah bercakap-cakap, serempak mereka melihat ke arah datangnya suara.
Kristian merenggangkan pelukan pada wanita muda di hadapannya yang terpaku bingung. Netra tuanya sudah bersimbah air mata, ia menatap sang putri tercinta dengan sorot yang sendu."Kamu baik-baik saja selama ini, Nak?" tanyanya pada Rubi pelan dan sedikit terisak.Rubi tersentak dari ketermanguannya. "Ba–bapak kenal saya?" tanyanya memastikan.Kristian menilik tampilan sang putri yang kini berubah. "Kamu kenapa pakai kerudung seperti orang Islam begini, Nak?""Ha?" Rubi semakin bingung dengan orang tua di hadapannya itu.Harun melangkah ke arah Kristian. "Bapak kenal dengan dia?" tanya lelaki berwajah teduh itu. Ia berpikir, boleh jadi pria paruh baya itu adalah keluarga dari wanita yang ia panggil Nisa selama ini."Dia Rubi, putri Pak Kris ini," sambar Vicky sembari ikut maju mendekati Kristian.Harun mengerutkan dahinya.Rubi masih