Rowan Ada sesuatu yang akan kamu rasakan ketika melihat mantan istrimu, Ibu dari anakmu, tertembak dan berdarah di atas tanah pemakaman yang dingin. Sesuatu yang tidak pernah aku kira akan kurasakan untuk Ava. Ketika aku melihat pria dengan pistol mengarah ke kami, aku benar-benar tidak berpikir. Aku tahu Noah aman bersama orangtuaku, jadi instingku mengambil alih dan berlari ke arah Emma. Aku rela mati untuknya, dan aku sudah siap untuk itu.Aku lega ketika para penembak lari setelah melihat polisi, tetapi kelegaanku sirna ketika salah satu dari anggota polisi berteriak untuk memanggil ambulans. Aku berbalik, penasaran siapa yang tertembak. Tidak kubayangkan Ava-lah yang tertembak, dan melihatnya seperti itu membuat kakiku melemas hingga aku jatuh berlutut.Semuanya berlangsung cepat. Ambulans datang setelah itu dan polisi itu tidak mau melepaskan Ava sampai dia yakin Ava aman di tangan dokter.Aku sangat tersinggung oleh kegigihannya tidak mau melepaskannya, dia istriku—maksudku ma
AvaAku terbangun dengan punggung kaku dan lengan yang kram. Aku terbaring di ranjang bersama Noah sebab dia tidak mau meninggalkanku setelah kami menonton televisi. Aku tersenyum ketika aku mengingat Noah benar-benar melakukan apa yang dikatakannya, dia benar-benar serius akan mengurusku sepanjang malam.Dengan sedikit kesusahan, aku berhasil memindahkannya tanpa membangunkannya. Pukul menunjukkan sekitar pukul delapan pagi, dan aku harus menyiapkan sarapan sebelum dia bangun.Setelah menyelesaikan rutinitas pagiku, aku turun ke bawah. Aku berdiri di luar dapur untuk beberapa saat, berpikir bagaimana aku membuat sarapan dengan satu lengan saja.Saat aku bergerak untuk menyiapkan bahan untuk memasak pancake, ingatan kemarin membanjiri benakku. Semuanya terjadi seakan tidak nyata dan bagian dari diriku berpikir benarkah itu terjadi. Jika bukan karena pundakku diperban dan lenganku digipsum, aku akan berpikir semuanya hanyalah mimpi buruk.Ketika aku terbangun di rumah sakit setelah aku
Rowan Aku melihatnya ketika kesenangan di wajahnya sirna. Ketika kehangatan di wajahnya yang berlangsung beberapa detik lalu berubah menjadi datar, membuatku merasa dingin.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Tanya Ava dengan nada monoton dan aku memasuki rumahnya.Dia seperti berbicara pada orang asing. Seperti aku bukan siapa-siapa kecuali sebutir debu dan tidak lebih. Aku menatapnya, tidak bisa berkata apa-apa. Aku tinggal bersama wanita ini hampir satu decade dan sekarang aku kehilangan kata-kata.Aku melihat lengannya yang masih digipsum. Aku datang untuk memeriksanya dan menjemput Noah. Hari ini akhir pekan dan waktuku untuk bersamanya.Mengingat pria yang kuliat pergi dari rumahnya tadi, alisku bertaut. Pasti dia yang membuatnya tersenyum. Sadar akan kenyataan ini, rahangku menegang.“Apa yang dia lakukan di sini?” Aku bertanya balik sambil menyembunyikan amarah tidak wajar yang kurasakan.Aku tahu bahwa pria itu polisi dan sudah menyelamatkannya, tetapi dia melewati batas. Aku ti
“Apa yang ingin aku katakan untukmu? Kamu tahu aku tidak pernah berbohong padamu. Kamu tahu kalau aku selalu mencintainya.”Dia melempar handuk dapur ke meja dengan marah, “Jadi itu tidak menghentikanmu untuk menggunakan tubuhku? Astaga, aku membencimu. Aku tidak tahu apa yang kulihat darimu sejak awal. Aku tidak tahu mengapa aku membuang banyak waktu dan energi untukmu.Aku menggertakkan gigiku mendengarnya. Kata-katanya membuatku naik darah. Ya, kami memang tidur bersama selama pernikahan kami, tetapi hanya itu. Aku hanya menepati janji, dan meskipun aku tidak mencintainya, aku tidak ingkar janji dengan selingkuh darinya.“Aku tidak di sini untuk membicarakan masa lalu. Aku di sini untuk menjemput Noah.” Kataku, merubah topik.Sangat melelahkan berbicara memutar-mutar. Aku harus berbicara mengapa aku di sini lalu pergi sebelum aku mengatakan atau melakukan sesuatu yang akan kusesali nanti.Nama Noah mengambil perhatiannya. Dia tidak menyerang kembali. Dia membuka satu laci dan mengel
Ava“Aku masih tidak mengerti mengapa aku harus pergi. Mengapa aku tidak bisa tinggal bersama Ibu?” Noah mengeluh. Keningnya berkerut di wajah tampannya.Dia sudah lelah dengan semua ini setelah aku bilang padanya dia akan pergi bersama Kakek Neneknya. Awalnya dia sangat antusias, tetapi akhirnya sedih ketika sadar, kami berdua tidak akan menemaninya.Sekolahnya mengerti akan situasinya. Gurunya setuju untuk mengirim materi ajar ke Ibu, agar dia tidak tertinggal terlalu jauh.“Sudah Ibu bilang padamu sayang, ini seperti liburan khusus untuk Kakek-Nenek dan cucu. Hanya untukmu dan mereka.”Setelah berbicara kepada kapolri, dia meyakinkan bahwa mereka akan dikirim ke pulau yang aman.“Kamu akan pergi ke Pantai. Bukankah kamu memohon-mohon pada kami untuk mengajakmu berlibur?” Kataku sambil tersenyum nakal.Kata ‘pantai’ segera menarik perhatiannya. Seluruh keluhan yang dia rasakan, sekarang sirna.Noah benar-benar terobsesi kepada pantai. Dia sangat menyukai pantai, sampai dia pernah men
Dia melangkah mendekat kepadaku. Matanya menyalang dan cuping hidungnya mengembang dan mengempis. Aku tetap di tempatku. Menolak membiarkan dia mengintimidasiku.“Aku tidak akan pergi. Sekarang batalkan pesanan taksimu dan duduklah di mobilku.” Geramnya dan menggertakkan gigi. Aku melihat kilatan amarah dalam sorot matanya.Kemarahanku mulai naik dan aku mengepalkan tanganku. Biasanya aku akan menahan diri sebab aku tidak mau membuatnya marah, tetapi aku sudah tidak peduli.“Dasar manusia arogan. Kamu pikir siapa dirimu ini, hm? Aku bukanlah seekor anjing yang akan patuh jika kamu perintah.” Suaraku mulai meninggi. Aku benar-benar tersinggung.Aku membiarkannya mendikteku selama bertahun-tahun ini. Aku diam karena aku tidak ingin merusak apa yang kupikir kami punya. Namun, apa hasilnya? Apa hasil dari menahan diri ini bagiku? Tidak ada. Hanya sakit hati dan derita yang kudapat.“Ava...” Dia berkata dengan suara mengancam.“Apakah kalian berdua bertengkar lagi?” Suara Noah memotong perk
“Ibumu yang bertanya, bukankah kamu belum berbicara dengannya belakangan ini?”Aku menggeram sebal, “Kamu terlalu cerewet dan lama-lama membuatku sebal, Rowan. Bisakah kamu mengacuhkanku dan menganggapku tidak ada, seperti yang biasanya kamu lakukan?”Cengramannya pada setirnya mengencang. Aku melihat rahangnya menegang. Dia turut merasakan amarah. Mungkin karena aku sudah tidak lagi berlaku seperti domba lemah yang seperti biasanya dia hadapi. Situasi telah terbalik dan dia sangat tidak menyukainya.Aku selalu memaksakan diriku untuk membuatnya senang. Mencoba untuk menjadi apa yang diinginkan olehnya. Mencoba untuk menjadi Emma. Kulakukan apa pun agar aku menjadi istri yang akan dia cintai. Sekarang, aku sudah bermetamorfosis dan dia tidak suka aku tidak bisa lagi diperintah layaknya seekor anjing. Aku tersenyum penuh kemenangan. Membuatnya marah membuatku bersorak di dalam sana.Dari situ, sepanjang perjalanan diisi dengan diam. Masing-masing dari kami duduk diam di bangku kami, sed
Seminggu telah berlalu sejak Noah pergi dan hidupku terasa hambar tanpanya. Ini waktu terlama aku terpisah darinya dan aku malu mengakui bahwa aku tidak bisa menanganinya dengan baik.Noah itu bagaikan jangkar hidupku, tanpanya aku merasa hilang. Seakan aku mengarungi kehidupan di laut lepas dengan potongan kayu kapal. Setiap hari aku sangat menunggu teleponnya, sebab itulah yang membuatku tenang. Telepon dan suaranya membuatku waras.Aku belum mendengar sepatah kata pun dari Rowan sejak kami bertemu di bandara. Bagian kecil hatiku masih merindukannya, tetapi aku tahu ini untuk yang terbaik. Tidak ada masa depan di antara kami dan aku tidak bisa hidup bersama pria yang tidak mencintaiku.Sejauh ini, semuanya berjalan dengan penuh keheningan. Bukan karena orang-orang tetap berkirim kabar denganku atau yang lain. Tetapi karena tidak ada insiden penembakan atau orang yang meninggal lagi, jadi bisa dibilang pelakunya sedang bersembunyi.Tiba-tiba aku menabrak seseorang, membuat lamunanku s
HanaSudah hampir dua minggu sejak Gabriel membuat janji padaku yang meluluh lantakkan seluruh pertahananku, aku hampir memberinya kesempatan kedua. Aku bersumpah, aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan sebahagia ini. Hidupku bersama Eddy memanglah indah, tapi saat bersama dengan Gabriel, hidupku jauh lebih indah lagi. Mungkin karena Gabriel-lah pria yang kucintai. Dialah pria yang memiliki tempat di hatiku selama hampir satu dekade. Bohong kalau kukatakan aku tidak takut. Masih ada sebagian kecil diriku yang berpikir segalanya akan berbalik. Lagipula, ini bukan kali pertama dalam hidupku, di mana orang yang kukasihi diambil dariku. Ada juga ketakutan bahwa segalanya berjalan dengan begitu mudah, ah kalian tahu lah. Seperti, bukankah seharusnya segalanya sedikit lebih sulit? Sedikit lebih susah. Sedikit lebih menantang ... atau hanya ini sisi diriku yang tidak mau maju?Mungkin aku terbiasa untuk tidak mendapat apa yang kuinginkan, yang mana membuatku bertanya-tanya ketika akhirn
Dia sekali lagi memandang mobilnya sebelum melangkah masuk. Kemudian dia berhenti sejenak, matanya bergerak mengamati ruangan itu.Mungkin sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali dia menginjakkan kaki di rumah ini. Terakhir kali, kalau tidak salah, adalah setelah dia ditembak saat pemakaman Ayah.Pandangannya terlihat muram. Aku bisa melihat bayangan kekelaman memenuhi pandangannya. Beban kenangan buruk yang dia bawa tentang rumah ini dan orang-orang di dalamnya. Apakah Guntur akan terbayang oleh hal yang sama karena aku? Karena apa yang telah aku lakukan?Aku tidak mau itu terjadi.Aku memang tidak banyak berada di sini setelah dia dan Rowan menikah, tetapi aku ada saat kami masih kecil. Aku tidak secara langsung mau mengakuinya sebagai saudaraku, seperti yang lainnya, aku mengabaikannya. Kami seharusnya menjadi saudara, tapi aku memperlakukannya seolah dia tidak pantas berada di sini. Orang lain juga melakukan hal yang sama. Saat melihatnya sekarang, aku bisa memahami apa yang Mia
Perkataan Mia terus terngiang di kepalaku bahkan saat aku memasuki mobilku. Kebenaran itu brutal. Tidak mudah untuk menelan pil pahit, tetapi aku harus menelannya.Alih-alih keluar dari tempat parkir dengan terburu-buru seperti biasanya, aku hanya duduk di dalam mobil dan membiarkan air mata mengalir. Aku tidak bisa menghentikannya, meskipun aku mau. Ruangan itu dipenuhi suara tangisanku. Isakanku terasa menyiksa dari dalam, seolah-olah seluruh bebanku menghantamku sekaligus.Kepalaku terjatuh ke kemudi karena aku sudah tidak bisa lagi menahannya. Rasa maluku sudah tertanam di diriku. Rasa malu itu terukir jauh di dalam diriku seperti sebuah tato yang terkutuk.Kenapa aku membiarkan semuanya sampai sejauh ini? Kenapa aku menyakitinya seperti itu? Kenapa aku membiarkan keegoisanku merusak ikatan yang bisa aku miliki dengan Guntur?Kenapa. Kenapa. Kenapa?Kalau saja kutahu bahwa suatu hari nanti aku akan sangat ingin memeluk Guntur. Ingin menjadi bagian dari hidupnya. Ingin mendengar dia
Ava memberikannya sebuah kasih Ibu, yang mana tidak kuberikan padanya. Kasih itulah yang sudah didambakannya dariku untuk diberi padanya. Aku menyadarinya sekarang. Ketika dia bertemu dengan Ava. Saat dia membangun hubungan dengannya, bahkan setelah kebenarannya diketahui, itulah saat dia menyerah padaku. Saat itulah Guntur berhenti untuk memedulikan akan hubungan di antara kami. “Aku mendengarmu, Emma.” Mia lalu memberiku tisu. “Aku mendengarmu, tapi aku harus bertanya. Di mana tekadmu ini dulu? Mengapa dulu kamu menolak untuk berhubungan dengan Guntur?”Aku juga sudah menanyakan hal itu berulang kali ke diriku sendiri. Selama delapan tahun, aku menepis eksistensinya. Selama delapan tahun, aku memperlakukannya seolah dia tidak ada. Selama delapan tahun, aku tidak mengasihinya. “Aku paham bahwa mungkin ini kedengarannya seperti sebuah alasan bodoh kalau dipikir sekarang, tapi saat itu aku tidak mau berurusan dengan apa pun dan siapa pun yang mengingatkanku akan kehidupanku saat Rowa
EmmaAku kembali dengan sesi terapi bersama Mia. Aku masih tidak percaya bahwa aku benar-benar menuju kantor Calvin dan meminta maaf. Sejujurnya, kalau ini menyangkut Calvin, aku tidak pernah melakukan hal seberani itu sebelumnya. “Ya?”“Tadi kamu berkata bahwa kamu meminta maaf pada Calvin,” ujarnya sambil mendorong kacamata ke hidungnya. Humidifier di ruangannya membuat suara lembut sambil membuat aroma menenangkan dari lavender di udara. Aku merasa tenang. Aku merasa seolah sedang melayang. Mungkin sudah saatnya bagiku untuk membeli aroma terapi, sebab sejauh ini, aku suka akan dampaknya padaku. “Ya, benar,” jawabku sambil kembali dari angan-anganku. “Dokter membuatku menyadari seberapa salahnya aku dalam memperlakukan Calvin dan meskipun aku sudah menyadari kesalahanku, aku belum pernah meminta maaf padanya.”“Lalu, apa perasaanmu setelah meminta maaf padanya?”“Bebanku terasa sedikit lebih ringan.”Aku menyisirkan jemari di rambutku sebelum menempatkannya ke pangkuanku. Aku men
“Hai, Calvin.” Suara riangnya menarikku dari pemikiranku.Aku tersenyum dan berdiri. Aku memeluk lalu mencium pipinya yang merona. Aku bertemu dengan Anjani saat aku berada di gedung serbaguna dan acara perusahaan konstruksi. Dia adalah seorang arsitek. Kami langsung cocok, yang mana tidak pernah kukira akan begitu sebelumnya. Dirinya yang cerdas dan menawan menarikku begitu dia duduk di sebelahku.Dia sungguh berani saat menanyakan nomorku setelah acara itu selesai. Aku masih mencoba untuk sembuh dari aksiku yang memutus hubungan dengan Emma dari hidupku, tapi entah mengapa aku berakhir dengan mengetikkan nomorku di ponselnya. “Kuharap kamu tidak menungguku terlalu lama,” ujarnya dengan suara lembut saat aku menarik kursi untuknya.Aku tersenyum sebelum duduk di kursiku sendiri. “Sama sekali tidak.”“Pertama-tama, bagaimana kabarnya Guntur?” tanyanya sambil mendekat. Matanya memancarkan kasih sayang. “Aku sangat merindukannya!”Kami berawal menjadi teman. Saling mengirim pesan singk
CalvinKetika aku bangun di pagi hari ini, aku tidak berpikir akan melihat Emma di kantorku untuk meminta maaf. Sebenarnya, setelah membanting pintu di depan mata kepalanya saat terakhir kali aku bertemu dengannya, aku tidak berpikir akan menjumpainya lagi. Kupikir itu adalah akhir dari segalanya. Kupikir itulah hari terakhir aku melihatnya. Aku mengenal Emma, dan aku tahu dia tidak akan menerima penolakan. Aku berpikir dia akan menyerah dan tidak akan pernah menunjukkan batang hidungnya di depanku atau anakku lagi. Alih-alih, dia mengejutkanku. Sudah berapa hari berlalu sejak itu? Beberapa minggu telah berlalu dan dia kembali. Kali ini, dia kembali dengan permintaan maaf, bukan dengan permohonan akan kesempatan untuk menemui Guntur. Aku tidak pernah melihat Emma meminta maaf. Dia hanya akan mengambil yang diinginkannya dan tidak akan merasa bersalah. “Bos, haruskah saya menambahkan Anna sebagai klien potensial kita?” tanya si sekretarisku, Becca, saat berjalan ke kantorku. “Beliau
Hai pembaca tercinta,Hari ini tidak akan ada bab baru oleh sebab masalah penerbitan. Jadi, aku sudah membaca komentar kalian semua dan aku mau tahu pendapat kalian yang sejujur-jujurnya. Aku paham akan apa yang kalian katakan dan aku sangat-sangat mendengarkan pembacaku sebab kalau bukan karena kalian, maka untuk apa aku menulis?Pertama-tama, aku terburu-buru untuk menyelesaikan buku ini sebab banyak dari kalian, para pembacaku terkasih berpirkir bahwa buku ini sudah berjalan cukup lama dan mereka ingin agar aku menyelesaikannya. Tapi, ada kubu pembaca lain yang ingin agar aku benar-benar menyelesaikan buku ini sebelum memulai bukunya Noah. Meskipun aku ingin memberi seluruh pasangan di buku ini cerita mereka, aku berencana agar beberapa pertanyaan mengenai itu untuk dijawab di bukunya Noah. Kalian sudah memberiku banyak masukan, dan itulah mengapa aku ingin mendengar pendapat kalian.Beri tahu aku kalau kalian ingin agar cerita Gabriel dan Hana sedikit lebih panjang. Aku tahu bahw
Astaga, seharusnya kulepas saja Rowan begitu dia memutuskan untuk menikahi Ava. Dia tidak harus untuk menikahinya, tapi dia tetap menikahinya, karena mungkin jauh di lubuk hatinya, dia mulai merasakan suatu hal yang berbeda. Seharusnya aku langsung melupakan hubungan kami ketika kusadari bahwa tidak ada masa depan bagi kami. Aku membenci diriku sendiri, karena Mia baru saja menunjukanku hal di mana aku menghancurkan Calvin. Yang dilakukannya hanyalah mencintaiku, sedangkan aku memanfaatkannya dan membuatnya terus melekat padaku alih-alih membiarkannya pergi. “Baik, sepertinya sudah cukup untuk hari ini,” ujar Mia setelah aku sudah menenangkan diri dan tangisanku sudah usai. Hari ini sungguh menyakitkan, tapi ini juga menorehkan cahaya baru bagiku. “Terima kasih,” ujarku sambil terisak dan mengusap hidungku dengan tisu yang diberikannya padaku. “Sama-sama,” balasnya. “Kita akan bertemu lagi lusa.”Saat di sesi keempatku, kami setuju bahwa aku akan menemuinya setiap lusa setelah ses