Seminggu telah berlalu sejak Noah pergi dan hidupku terasa hambar tanpanya. Ini waktu terlama aku terpisah darinya dan aku malu mengakui bahwa aku tidak bisa menanganinya dengan baik.Noah itu bagaikan jangkar hidupku, tanpanya aku merasa hilang. Seakan aku mengarungi kehidupan di laut lepas dengan potongan kayu kapal. Setiap hari aku sangat menunggu teleponnya, sebab itulah yang membuatku tenang. Telepon dan suaranya membuatku waras.Aku belum mendengar sepatah kata pun dari Rowan sejak kami bertemu di bandara. Bagian kecil hatiku masih merindukannya, tetapi aku tahu ini untuk yang terbaik. Tidak ada masa depan di antara kami dan aku tidak bisa hidup bersama pria yang tidak mencintaiku.Sejauh ini, semuanya berjalan dengan penuh keheningan. Bukan karena orang-orang tetap berkirim kabar denganku atau yang lain. Tetapi karena tidak ada insiden penembakan atau orang yang meninggal lagi, jadi bisa dibilang pelakunya sedang bersembunyi.Tiba-tiba aku menabrak seseorang, membuat lamunanku s
Kami tetap berdiri di sana setelah itu. Aku menyangga tubuhku dengan bertumpu pada sebelah kaki, dan sebelahnya aku istirahatkan, merasa canggung. Dia menatapku, manik cokelatnya seolah merasuk dalam jiwaku. Aku mengalihkan pandanganku untuk menghindarinya.“Ethan!” Seseorang memanggil namanya. Aku berbalik badan dan mendapati seorang polisi memanggilnya.“Iya!” Ethan berteriak sebelum kembali padaku, “Senang bertemu denganmu, cantik. Akan kutemui kamu lagi, oke?”“Baik,” gumamku.Dengan itu, dia memberiku pelukan yang tidak kusangka sebelumnya, lalu berjalan menjauh. Aku tertinggal, mencerna apa yang sudah terjadi. Aku menggelengkan kepalaku, mencoba menghilangkan kebingunganku setelah beberapa saat dan mulai melangkah. Aku harus membeli bahan makanan dan kebetulan tokonya tidak jauh dari sekolah, jadi aku memutuskan untuk jalan.Gipsum di lenganku telah dilepas, dan meskipun pundakku masih nyeri dan kadang terasa sakit, pundakku masih berfungsi. Aku memikirkan apa saja yang harus ku
“Jadi, bagaimana harimu sayang?” Tanyaku kepada Noah Ponselku kusangga di antara pundak serta telingaku. Aku mencoba untuk memaksimalkan kesempatan berbicara dengannya sambil bersih-bersih. Bukan hal mudah, tetapi setidaknya pundakku sudah terasa lebih enak. “Luar biasa!” Kudengar teriakannya di telepon, hampir saja memecahkan gendang telingaku. “Kami baru saja makan es krim, lalu akan ke perosotan. Di sini ada perosotan yang menuju langsung ke pantai.”Rasa antusiasnya membuatku senang. Kebahagiaannya adalah kebahagiaanku. Melihatnya aman dan bahagia sudah cukup bagiku.“Baguslah sayang. Benar, ‘kan kata Ibu. Kamu akan mengalami banyak hal menyenangkan.”Aku sudah selesai bersih-bersih lalu duduk di sofa. Sebaiknya aku menyelesaikan pembicaraanku dengannya terlebih dahulu.“Bagaimana dengan Ibu? Bagaimana akhir pekan Ibu?”Apa yang bisa kukatakan? Akhir pekanku begitu membosankan. Anakku yang berusia delapan tahun sedang melakukan hal yang lebih menyenangkan dariku. Aku tidak ada te
Dia memutus sambungan telepon dan aku segera berlari ke kamarku untuk mencari sesuatu yang pantas untuk dipakai. Karena kita akan pergi ke lokasi latihan tembak, aku memutuskan untuk memakai sesuatu yang nyaman, jadi aku memakai celana denim, kaos t-shirt dan sepatu. Ethan benar-benar sampai dalam sepuluh menit seperti yang dia katakan, lalu kami segera pergi.“Jadi, apa yang memutuskanmu untuk menjadi polisi?” Tanyaku sambil menatapnya.Suasananya sangat cair dan aku merasa nyaman di sekitarnya. Baguslah, belum pernah aku merasakan nyaman seperti ini di sekitar orang dewasa untuk waktu yang lama.“Ayahku dibunuh oleh seorang polisi,” jawabnya sembari melemaskan bahunya.Aku mengerutkan keningku, terkejut, “Biasanya orang-orang akan menghindari menjadi polisi jika kejadiannya seperti itu.”“Benar. Namun, ayahku bukanlah pria ataupun Ayah yang baik. Ketika polisi mengacungkan pistol kepadanya karena menjual pistol secara ilegal, sebenarnya aku merasa lega. Melihat polisi membunuh sampah
Rowan Aku melihat polisi yang menyelamatkan Ava membawanya pergi. Untuk beberapa alasan, aku tidak suka bagaimana dia menyentuh tangannya. Yang benar saja, haruskah dia memegang tangan Ava?Aku tidak tahu mengapa melihat mereka berdua bersama membuatku kesal. Aku tidak suka apa yang terjadi di antara mereka.Aku merasakan tangan halus menyentuh tanganku, dan aku tersadar dia menggenggam tanganku dan mengepalkannya.“Kamu baik-baik saja?” Tanya Emma dan aku berbalik untuk menatapnya.Wajah cantiknya membawaku kembali ke kenyataan.‘Dia adalah wanita yang kuinginkan, yang selalu kupikirkan.’ Aku mengingatkan diriku sendiri, membuang pikiran mengenai Ava.Aku tidak menginginkan Ava, jadi seharusnya itu tidak menggangguku jika pria lain tertarik padanya, ‘kan?“Iya. Aku baik-baik saja,” jawabku dan tersenyum kepadanya.Dia tersenyum kembali kepadaku, dan seperti pertama kali aku melihatnya, senyumannya membuatku terkagum. Membuatku berdebar dan mengingat masa-masa saat kami bersama.Beber
“Faktanya kamu memandangi mantan istrimu dan pahlawannya,” terangnya.“Dia bukan pahlawannya!”“Dia pahlawannya. Kalau kamu lupa, dia memang menyelamatkannya, jadi itu membuatnya pahlawan di matanya.”Ava berbalik untuk menatap Ethan. Pandangannya tidak pernah kulihat sebelumnya dan membuatku tidak nyaman.“Tutup mulutmu, Gabriel!” Aku menggeram.Dia terkekeh, tentu saja menganggap ini lucu.“Lihat, kamu harus mengendalikan dirimu. Kamu datang ke sini bersama Emma, jadi jangan menghabiskan waktu dengan menatap Ava. Emma-lah yang ingin kamu ingat, ditambah lagi dia sadar bahwa atensimu terbelah.”Perkataannya membuatku tersadar. Aku melihat ke arah Emma dan melihatnya terduduk, tangannya di pangkuannya dan wajahnya menunduk. Sial! Gabe benar. Emma tidak pantas mendapatkan ini, kami seharusnya memulai semuany adari awal dan aku malah terobsesi dengan Ava, yang sepertinya sudah melupakanku.Aku meletakkan pistolku kembali dan duduk di sebelah Emma.“Maafkan aku, Emma. Pikiranku sedang kac
Ava“Jadi, siapa Rowan?” Ethan bertanya kepadaku saat kami kembali ke rumah.Setelah insiden di ruang ganti, aku tidak ingin berada di sekitar Rowan, jadi aku meminta Ethan untuk mengantarku pulang tiga puluh menit kemudian.“Dia adalah mantan suamiku.” Aku menjawab dengan suara datar dan keheningan tercipta di antara kami.Aku masih tidak percaya kenekatan Rowan untuk memojokkanku di sana. Yang lebih buruknya lagi adalah dia hampir menciumku! Diriku! Rowan belum pernah menginisiasi ciuman denganku sebelymnya, jadi bisa dikatakan aku terlalu terkejut akan hal itu.Aku hampir saja menyerah dalam ciumannya. Ini adalah yang kuinginkan sebelumnya, tetapi kemudian aku ingat dia sedang bersama Emma. Mungkin dia pernah menciumnya dan melakukan hal lain dengannya. Itu memberikanku kekuatan untuk mendorongnya menjauh dariku. Tidak akan kubiarkan dia menggunakanku seperti itu. Tidak lagi. Dia punya Emma dan aku bukan siapa-siapa baginya kecuali ibu dari anaknya.Rowan tidak pernah cemburu atau p
Aku terbangun dengan rasa kesal. Aku mengenakan jubah mandiku dan melangkah turun. Siapa pun yang menggangguku akan aku ceramahi.Aku membuka pintuku, siap untuk mengutuk orang tersebut, tetapi langkahku terhenti. Orang terakhir yang ingin kulihat sedang berdiri di depan pintuku.“Apa yang kamu inginkan, Emma?” Tanyaku dengan nada menyentak.Nyawaku masih separuh terkumpul untuk bertengkar dengannya.“Aku di sini untuk memperingatimu untuk menjauh dari Rowan. Dia milikku. Tidak akan kubiarkan kamu mencurinya lagi dariku.” Dia berkata dengan penuh geraman.Alisnya menukik dan aku melihat api amarah di matanya.Aku tertawa datar, “Kamu datang ke rumahku pukul tujuh pagi hanya untuk memperingatiku agar menjauh dari Rowan? Kamu tengah berbicara dengan orang yang salah, Emma.”Aku bukanlah gadis naif nan bodoh yang dia tinggalkan, dan aku akan menyalahkan diriku jika kubiarkan dirinya menginjak-injakku.“Rowan milikku, Ava! Dia selamanya menjadi milikku. Aku kehilangan sembilan tahun bersam
Punggung wanita itu membelakangiku, begitu juga dengan Guntur. Aku tidak perlu mengkhawatirkan Calvin, sebab dia terlihat begitu tergila-gila dan mengarahkan perhatiannya pada setiap perkataan wanita itu dengan senyuman lembut di bibirnya.Lagi-lagi, perasaan tidak nyaman menyusupi diriku. Mengapa aku merasa aku tidak bisa bernafas? Kerongkonganku terasa tercekat melihatnya. Aku berfokus pada mereka. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan karena mereka berjarak beberapa meja dariku, tapi kedamaian dan kebahagiaan di wajah Calvin sudah cukup untuk membuatku tahu apa yang tengah terjadi. Dia sedang berkencan dan Guntur ikut. Wanita itu bahkan tidak mempermasalahkannya, tapi tidak mungkin aku akan membiarkan wanita lain menggantikanku di kehidupan putraku. Aku tidak bisa melihat Guntur, tapi aku tahu, seperti dengan Calvin, dia senang bisa berada di sini. Calvin pasti akan langsung pergi dengan putra kami kalau dia merasa sebaliknya. Entah mengapa, aku tetap ada di sana meski
Perkataan Merrisa terus terngiang di telingaku bahkan setelah kami makan. Kami sedang memakan hidangan penutup kami. Aku suka es krim, tapi hari ini aku tidak bisa menikmatinya. Tidak ketika dia sudah membuatku meragukan segala yang kuyakini selama beberapa tahun terakhir ini. “Kenapa kamu begitu diam?” tanyanya setelah menaruh milkshake-nya ke meja. “Apakah kamu memikirkan apa yang kukatakan padaku?”Kalimat terakhirnya dikatakannya sambil tersenyum miring sambil bersandar kembali di kursinya. “Tentu tidak,” bohongku. “Aku hanya penasaran caraku untuk membuat Calvin dan Guntur memaafkanku. Tidak peduli seberapa keras kupikirkan, sepertinya tidak ada jalannya.”Sebagai seorang pengacara, aku terbiasa untuk memandang segala hal dari seluruh sisi ketika aku membela klienku. Itulah yang membuat pekerjaanku begitu lancar. Aku membereskan segalanya dan bisa menangani seluruh hasilnya. Aku melakukan itu pada masalahku sekarang dan kuyakin tidak ada harapan. Aku mungkin tidak mencintai Cal
“Kenapa aku harus membiarkanmu untuk meyakinkanku keluar makan siang?” keluhku sambil melihat pemandangan di depan kami. Sudah lama sekali sejak aku keluar dari rumah keluarga kami. Sepertinya terakhir kali aku keluar adalah saat aku menghadiri pernikahan Ava. Sejujurnya, aku bahkan terkejut bahwa dia mengundangku. Di antara semua orang, kupikir aku akan menjadi orang terakhir yang diinginkannya hadir di pernikahannya. “Sebab kamu harus keluar,” balas Merrisa sambil menarikku dari pemikiranku. “Aku biasanya keluar dari rumah, Merrisa,” ujarku untuk membela diriku. Dengusannya begitu membuatku kesal. “Pergi ke taman tidak terhitung keluar,” balasnya. “Sekarang, berhentilah mengeluh dan duduk serta nikmati. Kamu pasti akan menyukai ini, aku janji.”“Aku tidak yakin.”Setelah itu aku bersandar ke kursi dan menutup mataku. Benakku berkecamuk akan ribuan pemikiran di setiap menitnya. Aku tidak bisa mengendalikannya sama sekali. Setelah pembicaraanku dengan Merrisa di kamarku, benakku
Emma. “Kamu harus keluar dari kamarmu, Emma. Kamu tidak bisa menghabiskan harimu di dalam sini.” Aku mendengar perkataan Ibu, tapi aku tidak menatapnya sebab mataku tetap terfokus pada drama sedih yang sedang kutonton. Aku duduk di ranjangku dengan masih memakai piyama dan beberapa cemilan yang berceceran di sekitar selimutku. Aku minum bermacam-macam minuman dan sekotak besar es krim, yang mana tengah menjadi adiksiku saat ini. Gorden kamarku tertutup dan menghalangi sinar matahari masuk sedari aku menutup gorden ini sejak beberapa bulan lalu. “Itulah yang sudah kucoba katakan padanya, tapi wanita itu tidak mau mendengarku!” dengus Merrisa. Aku bisa merasakan kata-katanya menusuk di hatiku, tapi aku sama sekali tidak mengindahkannya. Aku hanya mau sendirian untuk meresapi penderitaanku. Lagipula, akulah yang membawa penderitaan ini sendiri. “Apa yang akan Guntur katakan kalau dia melihatmu seperti itu? Kamu begitu berantakan, begitu juga dengan ruanganmu. Aku tidak tahu kapan ter
Aku melihat Rowan begitu kami masuk. Sama seperti kembarannya, dia memakai jas hitam. Kami berjalan ke depan kapel saat pendeta berjalan masuk ke dalam.“Hai, Hana,” sapa Rowan dengan sopan dan menyambutku dengan senyumannya. Aku benar-benar terkejut. Dia sudah sangat berubah, dia tidak seperti Rowan yang kuingat. Sebelumnya, dia selalu terlihat dingin dan datar, seolah dia menganggap seluruh orang tidaklah penting. Tapi sekarang, dia terlihat hangat. Seolah kekelaman yang dulu menyelimutinya sudah sepenuhnya sirna. “H ... Hai,” balasku dengan terbata-bata. Aku penasaran apakah dia berhasil kembali bersama mantan pacarnya. Lagipula, semua orang tahu bahwa dia berubah setelah dia kehilangan dirinya dan terpaksa untuk menikahi Ava. Ah, pasti dia sudah kembali bersama mantan pacarnya. Dia begitu membenci Ava, jadi perubahan ini pastilah karena kakaknya Ava, Emma. “Bisa kita mulai sekarang?” sela si pendeta dan kami bertiga mengangguk. Aku berdiri di sebelah Gabriel dan Rowan berdiri
Aku menyelesaikan riasakanku sebelum menatap diriku di kaca. Aku benar-benar gugup sebab hari ini adalah hari pernikahanku yang ketiga kali. Memang kedengarannya aku kecewa akan hal ini, ‘kan? Satu-satunya hal yang menenangkanku adalah aku akan menikahi pria yang sama yang kunikahi bertahun-tahun yang lalu, suamiku yang pertama. Sembari memakai mantelku, aku mengambil tasku dan berjalan keluar dari kamar. Udara di sana seakan menyengatku seiring dengan rasa kecemasan yang menjalari setiap jengkal tubuhku. Gabriel sudah membawakan kontrak yang baru yang sudah disetujui malam itu, dan sekarang, sehari setelahnya, kami menuju ke gereja untuk pemberkatan. “Apakah kamu sudah siap?” tanya Gabriel saat aku berjalan ke ruang tamu. Aku tidak bisa menjawab. Aku merasa aku tidak bisa berpikir, jadi aku hanya mengangguk. “Kenapa aku tidak bisa pergi bersama Ibu?” keluh Lilly yang membuatku berbalik ke arahnya. Dia sedang duduk di sofa yang berbentuk L sembari mengernyitkan dahinya dan melip
Dia mendorong dokumen itu ke arahku di atas meja. Aku mengambilnya dan mulai membacanya. Aku akan meminta pengacaraku memeriksanya nanti, tapi penting juga bagiku untuk memahami isi kontrak itu sendiri terlebih dahulu. Satu hal yang diajarkan kakakku adalah jangan pernah menandatangani apa pun tanpa membacanya dengan seksama.Dasar-dasar yang kami diskusikan sebelumnya tercantum di sana. Kontrak ini akan berlaku minimal selama dua tahun. Setelahnya, aku akan mendapatkan Perusahaan Gelora dan sedikit tunjangan. Gabriel juga akan terus membiayai Lilly. Dia juga menegaskan bahwa dia ingin Lilly diakui sebagai putrinya dan Lilly harus menyematkan nama Wijaya di nama belakangnya. Itulah poin-poin terpenting bagiku, jadi setelah membaca dan mengulangi bagian itu, aku meletakkan kertas-kertasnya.“Ada keluhan?” tanyanya sambil menyodorkan pulpen ke arahku.“Tidak, tapi aku ingin menambahkan beberapa ketentuan,” ujarku sambil menatap pulpen itu, tapi tidak segera mengambilnya.“Ketentuan sepe
HanaSudah hampir seminggu sejak Gabriel meninggalkan kami dengan sopirnya dan pergi. Aku tidak mendengar kabar darinya, apalagi melihat wajahnya. Dia juga tidak datang ke sini, yang membuatku yakin dia tinggal di salah satu dari banyak properti lain yang dia miliki.Sulit rasanya untuk mulai terbiasa, terutama bagi Lilly. Dia tipe anak yang sulit tidur di tempat tidur asing. Tentu, kasurnya bagus, dan lebih nyaman dibandingkan yang dia punya di rumah, tapi masalahnya adalah ini bukan tempat tidurnya.Saat ini, aku mulai tergoda untuk meminta Gabriel mengirim tempat tidurnya ke sini kalau situasinya terus seperti ini. Dia hampir tidak tidur, dan ketika dia berhasil tidur beberapa jam, aku harus ada di sampingnya supaya dia merasa nyaman.Aku juga tidak tenang. Aku terus bertanya-tanya apakah aku membuat keputusan yang tepat dengan setuju untuk menikah lagi. Hidup bersama Gabriel dulu adalah neraka ... Seharusnya aku mencoba berjuang untuk hak asuh Lilly, ‘kan? Aku mencintai putriku den
Untuk pertama kalinya sejak aku mengangkat teleponnya, aku tersenyum, sebab senang karena dia mulai berpikir untuk mengenal putrinya.“Kalau begitu, aku akan mendukungmu.”“Tapi gimana caranya? Aku paham dunia finansial seperti mengenal diriku sendiri. Tapi soal menjadi Ayah? Aku tidak tahu apa-apa soal itu,” ujarnya sambil mendesah frustrasi, dan itu membuatku tertawa kecil.“Kamu harus sadar kalau tidak ada buku panduan yang bisa memandumu jadi Ayah yang baik. Bahkan setelah bertahun-tahun jadi seorang Ayah, aku masih belajar hal baru setiap hari. Jadi orang tua itu ya begitu, kamu harus percaya akan intuisimu. Hadirlah untuk mereka dan lakukan apa yang menurutmu benar.”“Ya, mungkin kamu benar.”“Apa yang kamu rencanakan dengan Hana, dan apakah kamu merasakan suatu perasaan padanya?” tanyaku dengan penasaran.Dia langsung menyambar pertanyaanku. “Tidak, sama sekali tidak! Aku tidak merasakan apa-apa untuknya, dan kalau bukan karena aku butuh dia, aku tidak bakal repot-repot.”Aku me