“Faktanya kamu memandangi mantan istrimu dan pahlawannya,” terangnya.“Dia bukan pahlawannya!”“Dia pahlawannya. Kalau kamu lupa, dia memang menyelamatkannya, jadi itu membuatnya pahlawan di matanya.”Ava berbalik untuk menatap Ethan. Pandangannya tidak pernah kulihat sebelumnya dan membuatku tidak nyaman.“Tutup mulutmu, Gabriel!” Aku menggeram.Dia terkekeh, tentu saja menganggap ini lucu.“Lihat, kamu harus mengendalikan dirimu. Kamu datang ke sini bersama Emma, jadi jangan menghabiskan waktu dengan menatap Ava. Emma-lah yang ingin kamu ingat, ditambah lagi dia sadar bahwa atensimu terbelah.”Perkataannya membuatku tersadar. Aku melihat ke arah Emma dan melihatnya terduduk, tangannya di pangkuannya dan wajahnya menunduk. Sial! Gabe benar. Emma tidak pantas mendapatkan ini, kami seharusnya memulai semuany adari awal dan aku malah terobsesi dengan Ava, yang sepertinya sudah melupakanku.Aku meletakkan pistolku kembali dan duduk di sebelah Emma.“Maafkan aku, Emma. Pikiranku sedang kac
Ava“Jadi, siapa Rowan?” Ethan bertanya kepadaku saat kami kembali ke rumah.Setelah insiden di ruang ganti, aku tidak ingin berada di sekitar Rowan, jadi aku meminta Ethan untuk mengantarku pulang tiga puluh menit kemudian.“Dia adalah mantan suamiku.” Aku menjawab dengan suara datar dan keheningan tercipta di antara kami.Aku masih tidak percaya kenekatan Rowan untuk memojokkanku di sana. Yang lebih buruknya lagi adalah dia hampir menciumku! Diriku! Rowan belum pernah menginisiasi ciuman denganku sebelymnya, jadi bisa dikatakan aku terlalu terkejut akan hal itu.Aku hampir saja menyerah dalam ciumannya. Ini adalah yang kuinginkan sebelumnya, tetapi kemudian aku ingat dia sedang bersama Emma. Mungkin dia pernah menciumnya dan melakukan hal lain dengannya. Itu memberikanku kekuatan untuk mendorongnya menjauh dariku. Tidak akan kubiarkan dia menggunakanku seperti itu. Tidak lagi. Dia punya Emma dan aku bukan siapa-siapa baginya kecuali ibu dari anaknya.Rowan tidak pernah cemburu atau p
Aku terbangun dengan rasa kesal. Aku mengenakan jubah mandiku dan melangkah turun. Siapa pun yang menggangguku akan aku ceramahi.Aku membuka pintuku, siap untuk mengutuk orang tersebut, tetapi langkahku terhenti. Orang terakhir yang ingin kulihat sedang berdiri di depan pintuku.“Apa yang kamu inginkan, Emma?” Tanyaku dengan nada menyentak.Nyawaku masih separuh terkumpul untuk bertengkar dengannya.“Aku di sini untuk memperingatimu untuk menjauh dari Rowan. Dia milikku. Tidak akan kubiarkan kamu mencurinya lagi dariku.” Dia berkata dengan penuh geraman.Alisnya menukik dan aku melihat api amarah di matanya.Aku tertawa datar, “Kamu datang ke rumahku pukul tujuh pagi hanya untuk memperingatiku agar menjauh dari Rowan? Kamu tengah berbicara dengan orang yang salah, Emma.”Aku bukanlah gadis naif nan bodoh yang dia tinggalkan, dan aku akan menyalahkan diriku jika kubiarkan dirinya menginjak-injakku.“Rowan milikku, Ava! Dia selamanya menjadi milikku. Aku kehilangan sembilan tahun bersam
Kepalaku berdenyut. Selain itu, seluruh badanku terasa sakit. Aku mencoba membuka mataku, tetapi tidak bisa. Rasanya seperti mataku dilem. Aku mencoba memanggil Noah, tetapi tidak ada suara apa pun terdengar dari mulutku.Aku bergerak, atau orang lain yang menggerakkanku. Setiap gerakannya membuatku tersentak dan hanya membuat rasa sakitnya bertambah. Kuharap rasa sakit ini bisa berkurang, atau berhenti sama sekali.“Kami perlu dokter!” Seseorang berteriak.Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan atau mengapa mereka memerlukan dokter, atau apa yang sedang terjadi. Aku mencoba untuk tersadar, tetapi kegelapan sekali lagi menyelimutiku dan lama-lama aku jatuh ke dalam kegelapan tersebut.*******Ketika aku mulai tersadar, aku tidak merasakan sakit, tetapi aku tidak bisa membuka mataku dan tidak bisa menggerakkan tubuhku. Aku merasa sendiku seperti dipatri oleh semen. Seperti aku terjebak dalam tubuhku sendiri.Aku mendengar orang berbicara, tetapi suaranya terdengar jauh. Kata-kata
“Nona Santoso, akhirnya Anda sudah sadar. Kami khawatir di luar sana,” Dokter memulai dengan senyuman, “Nah, apakah Anda tahu dimana Anda sekarang dan apa yang terjadi pada Anda?”Aku mengganggukkan kepalaku, “Aku berada di rumah sakit. Sesuatu melemparku secara tiba-tiba saat aku membuka kunci mobilku. Kepalaku terbentur karenanya.”Aku tidak ingin mengingat apa pun yang terjadi padaku saat aku bangun. Aku takut menerima fakta bahwa aku hampir mati.“Benar. Mobil Anda dibom dan karena ledakan itulah Anda terlempar,” dia berhenti sejenak, “Tahun berapa sekarang?”Aku memberitahunya dan dia mencatatnya. Rowan meremas tanganku dan aku melihatnya sejenak. Sesuatu melintasi matanya, tetapi sudah sirna sebelum aku bisa mencernanya.Aku terkejut. Tidak pernah kukira mobilku akan dibom. Karena stress yang kurasakan, aku merasakan sakit kepala dan rasa sakit mulai merasuk.“Anda mengetahui ini tahun berapa, nama Anda, dan Anda tahu siapa Pak Wijaya, maka ini pertanda bagus. Kami masih harus me
Rowan“Bagaimana kabarnya, Rowan?” Kate, Ibu Ava bertanya.Kekhawatiran di suaranya terdengar tulus, Dapat terdengar bagaimana keras usahanya untuk tidak menangis. Hari-hari terakhir ini sangat berat dan aku masih tidak bisa melupakan bahwa kami hampir kehilangan Ava.“Dia bangun kemarin selama beberapa menit dan kembali tertidur. Sebelum Ibu khawatir, dokter bilang itu hal yang normal bagi pasien dengan cidera kepala.”Aku mendengarnya menghela nafas lega. Kate sudah berubah sejak kematian suaminya. Dia ingin dekat hanya dengan Ava, tetapi Ava sudah memutuskan tidak mau berhubungan lagi dengan keluarganya. Lengkapnya, dia tidak ingin berhubungan dengan kami“Apakah dia akan baik-baik saja? Dia akan sembuh sepenuhnya, ‘kan?”“Iya, dia baik-baik saja. Namun, mereka tidak yakin jika dia akan sepenuhnya baik-baik saja. Masih terlalu dini untuk menerka, tetapi mereka bilang dengan cidera kepala seperti ini, bisa jadi ada komplikasi,”Itulah hal yang kukhawatirkan, Jujur saja, aku ingin dia
Aku berbalik untuk melihat pada Emma. Di sebelahnya da Travis. Tidak seperti Emma, dia terlihat kacau.“Apakah dia sudah sadar?” Tanya Travis dengan suara lembut.Semua yang terjadi mengguncangkan dia. Tidak hanya dia, tetapi semuanya. Dia hampir kehilangan adiknya, dan kupikir dia akhirnya sadar. “Belum,” jawabku.“Kamu perlu pulang ke rumah, Rowan,” Emma membuka suara, “Mandilah dan ganti baju lalu kamu bisa kembali. Kamu terlihat seperti mayat berjalan.“Aku tidak akan pergi, Emma.” Aku menolak.Aku tidak akan pergi. Bagaimana jika sesuatu terjadi dan aku tidak di sini?“Kamu tidak akan bisa apa-apa untuknya atau siapa-siapa jika kamu jatuh sakit. Pulanglah. Aku yakin tidak akan memakan waktu lama bagimu untuk kembali seperti semua,” ucap Emma.Travis melihat ke arahku dan setuju, “Emma benar, Rowan. Aku berjanji kami tidak akan meninggalkannya sedetik pun.”Aku melihat ke arah Ava. Dia masih tertidur, dan sepertinya dia tidak akan bangun dalam waktu dekat. Mungkin aku bisa mandi d
Ethan duduk di samping kanannya dengan setumpuk kartu yang telah dibuka. Ava duduk bersandar di bangsalnya. Meskipun dengan perban di kepala dan goresan di wajahnya, dia tersenyum dan itu merubah air mukanya.Dia melihatku dan senyumannya pudar dari wajahnya.“Keluar!” Perintahnya.Aku yakin dia kembali menjadi dingin.“Tidak akan terjadi, Ava.” Aku dengan tenang menjawabnya dan duduk di kirinya.Wajahnya penuh dengan amarah dan matanya menyalang marah. Dia baik-baik saja kemarin, apa yang sudah terjadi?“Aku tidak menginginkanmu di sini, jadi bisakah kamu pergi, lalu bawa mereka berdua pergi juga. Aku tidak butuh kalian di sini.”Aku yakin yang dimaksud olehnya adalah Emma dan Travis. Sesuatu telah terjadi. Kemarin dia jinak, tetapi hari ini berbeda. Mungkin tidak seharusnya aku meninggalkannya dengan Emma dan Travis.“Kamu harus tenang, Ava. Ingatlah kamu sedang tidak sehat dan tidak boleh stres.” Ethan memotong keheningan yang tercipta.Dia meraih tangannya dan meremasnya secara lem
EmmaAku memandangi kekacauan yang ada di depanku. Aku tidak begitu yakin harus apa. Aku sudah memikirkannya selama beberapa hari ke belakang ini, dan masih saja tidak bisa kutemukan jawaban tepat akan kenapa aku merasa seperti ini. Aku sudah mencoba untuk memikirkannya, tapi sama sekali tidak ada yang terpikir olehku. Apa yang kutahu adalah aku merasa aneh. Seakan ada hal yang salah atau buruk yang akan terjadi. Aku tidak bisa menepis perasaan itu, tidak peduli sekeras apa yang kucoba. Perasaan itu masih menghampiriku dan tertancap di hatiku. Pernahkah kalian merasa seperti itu? Seolah kalian mendapat ramalan soal sesuatu yang akan terjadi? Hal ini membuatku frustasi, sebab aku tidak bisa menepisnya, dan aku seolah akan gila dibuatnya. Aku menghela nafas dan menatap tanganku yang ditutupi sarung tangan. Mia menyarankan agar aku melakukan sesuatu untuk melupakan kekhawatiranku dan rileks. Kemarin, aku berbicara dengan Ava dan berbicara padanya soal ini. Dia menyarankan agar aku mula
“Aku akan berbicara dengan orang tuaku.”Kami berbalik, dan terkejut saat melihat Ava berdiri beberapa langkah dari kami, fokusnya tertuju pada Travis.“Balas dendam mereka sudah berlangsung terlalu lama.”“Belum cukup lama menurutku,” sahut Reaper dengan suara penuh rasa jijik. “Mengingat perlakuanmu terhadap Ava, aku tidak akan berhenti jika aku jadi mereka.”“Serius? Lalu bagaimana dengan saudaramu? Dia mempermainkannya dan memanfaatkannya,” balas Travis dengan penuh amarah.“Itu benar, tapi dia akan membayar untuk itu untuk waktu yang sangat lama ... Tapi, bagaimana denganmu dan keluargamu? Ethan mempermainkannya selama beberapa bulan tetapi akhirnya jatuh cinta padanya. Kamu, di sisi lain, memperlakukannya dengan sangat buruk sejak dia masih kecil. Bisakah kamu benar-benar membayar rasa sakit hati yang telah kamu sebabkan padanya?”Rowan menegang saat mendengar nama Ethan dan cinta yang dimilikinya untuk Ava. Aku mengenal saudaraku, dan kami sudah membicarakan ini beberapa kali. D
Gabriel.Kami melihat Ayah kami pergi, langsung menuju ke arah Ibu kami. Menurutnya, kami membosankan, jadi dia memilih Ibu kami, yang katanya lebih menyenangkan daripada kami.Begitu dia berada di luar jangkauan pendengaran, Travis berbalik ke arah kami dengan alis mengernyit.“Aku tidak mengerti kenapa dia ada di sini,” gerutu Travis sambil menatap tajam Reaper.“Ada masalah?” tanya Reaper. Meskipun nadanya tenang, tidak dipungkiri auranya diselimuti oleh aura berbahaya. Tatapan matanya yang berkilat, meskipun terlihat tenang dan terkendali, sudah cukup jadi peringatan bahwa tidak seorang pun seharusnya macam-macam dengannya. Dia adalah ancaman yang nyata, tapi sahabatku terlalu bodoh untuk menyadari itu. Untuk menyadari bahwa Reaper bukan orang lemah, meskipun sekarang dia tampak tidak berbahaya.“Ya, aku punya masalah!” Travis menggeram. “Kamu membunuh ayahku, dan berani-beraninya kamu kemari?”“Aku di sini bersama tunanganku. Apapun masalahmu itu, selesaikanlah sendiri.”Rowan da
Aku punya salah satu produk mereka, dan merupakan produk kesukaanku. Yah, dulunya, sebab aku tidak lagi menggunakannya sekarang saat bersama dengan Gabriel. Ah, kalian pasti tidak akan menyadari perbedaan saat memakainya. Rasanya seperti kelamin pria sungguhan. Mereka punya alat lain, tapi dildo merekalah yang kesukaanku. “Yah, butuh banyak riset, dan kami semua berperan. Sungguh menyenangkan meneliti dan bereksperimen,” imbuh Ava dengan senyumannya.“Karena kamu menyukai produk kami,” ujar Ruby sambil tersenyum miring. “Bagaimana kalau kamu jadi mitra?”Aku mengerutkan kening sambil memikirkan tawarannya. “Aku tidak tahu. Gabriel sudah mengembalikan perusahaan keluargaku. Bukankah terlibat dengan perusahaan alat bantu seks bisa merusak citranya? Kamu tahu betapa angkuhnya orang-orang bisa jadi.”“Jangan khawatir,” Ava menenangkan. “Kami semua semacam mitra diam. Kami punya CEO dan wakilnya, tapi mereka hanya menjadi wajah perusahaan. Kami yang menjalankan semuanya, tentu dengan bant
“Ro!” seru Ava. “Dia akan tetap polos dan suci sampai rambutnya memutih nanti. Akhir dari cerita.” Setelah itu, dia berjalan menjauh sambil menghentakkan kakinya. Pemikiran bahwa Liliana akan berhubungan badan suatu hari nanti jelas mengganggunya. Ava menoleh ke arahku. “Aku tidak mengerti! Bagaimana bisa pemikiran bahwa Liliana berhubungan badan begitu mengganggunya, padahal kita juga melakukan hal yang sama sepanjang waktu? Aku juga putri orang lain, dan dia masih meniduriku!”Aku terkekeh sambil mengusap lengannya dengan lembut untuk menghiburnya. “Jangan khawatir, aku rasa semua pria sama saja jika menyangkut putri mereka. Gabriel mengatakan hal yang hampir sama tentang Lilly ... Ethan juga akan bereaksi serupa, begitu pula Reaper kalau mereka punya anak perempuan. Ayahku dulu sering bilang bahwa dia tidak akan pernah mengizinkan anak laki-laki mendekatiku, dan aku yakin kalau kamu tanya ayahmu, dia pasti berpikir hal yang sama saat kamu lahir. Bahkan, aku tahu dia mungkin benci
Hana. Aku memandang sekitar, mencoba untuk memastikan segalanya sudah sempurna. Kami sudah berada di rumah kami yang baru hari ini, dan kami memutuskan untuk menghelat pesta peresmian bagi rumah baru kami. Bukan pesta besar, kami hanya akan mengundang teman dekat dan keluarga. “Apakah semuanya sudah siap?” tanyaku pada koki. Koki itu terpesona akan rumah ini dan jatuh cinta pada dapur ini. Seperti yang kukatakan sebelumnya, dapur kami ini mimpi bagi setiap koki. Kalau bukan karena dia harus pulang ke rumah untuk keluarganya, aku bersumpah bahwa dia pasti akan tidur di sini. Maksudku di dapur, bukan di rumah ini. “Ya,” jawabnya sambil tersenyum. Matanya berbinar akan kebahagiaan dan keantusiasan. “Semuanya sudah siap.”Seperti yang sudah kukatakan, pestanya tidaklah besar. Hanya akan ada orang tuanya Gabriel, Rowan dan Ava, Travis dan Ruby, Calista dan Reapeer, Noah, Liliana, Guntur, dan Shella. Bel pintu berbunyi, dan aku meninggalkan dapur untuk membukanya. Lilly masih bersiap-si
Aku melipat tanganku di atas meja dapur. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan atau berkata apa setelahnya. “Bagaimana rasanya?” tanyaku setelah beberapa saat. “Aku tidak tahu. Aku berbicara pada Noah dan dia berkata padaku bahwa dia juga meminta maaf padanya karena sudah mencoba menghalangi hubungan Paman Rowan dan Tante Ava.”Wow. Aku terkejut mendengarnya. Sepertinya, Emma sudah mencoba untuk meminta maaf pada yang telah disakitinya, termasuk anak-anak yang biasanya diremehkan oleh orang lain. “Dia juga meminta maaf padaku, beberapa minggu yang lalu,” ujarku. “Lalu, bagaimana rasanya?”“Oh, apakah kamu sedang berperan jadi orang tua?” ujarku sambil tertawa kecil. “Tapi, kita sedang tidak membicarakan diriku. Kamulah yang Ayah khawatirkan.”Dia menghela nafas. “Aku tidak tahu. Aku masih marah padanya dan merasa sakit. Dadaku sesak saat memikirkan bagaimana sakitnya dulu saat dia tidak mau berurusan denganku.”“Ayah mengerti itu, anakku. Kamu juga berhak untuk marah. Tidak ada y
Calvin. Aku melihat video yang dikirimkan Anjani padaku dan tertawa perlahan saat melihat seberapa lucunya itu. Dia mengirimkanku video hewan lucu secara acak, sebab dia tahu bahwa video ini akan membuatku tertawa. Tidak satu hari pun terlewatkan tanpa dirinya yang mengirim satu atau dua video. Kalau boleh jujur, aku mendambakan untuk melihatnya dari percakapan kami. Segalanya di antara kami sempurna. Di luar Emma, aku belum pernah seserius ini soal wanita sebelumnya. Memang, aku sudah mencoba untuk melupakaannya ketika aku masuk kuliah, tapi yang kulakukan hanyalah sekedar tidur dengan wanita secara asal, alih-alih melupakan Emma. Jangan lihat aku seperti itu. Semua gadis yang kutiduri sebelum Emma tahu batasan. Mereka tahu bahwa tidak akan ada apa-apa di antara kami, hanya kesenangan semata. Aku sudah membuatnya begitu jelas sebelum tidur bersama mereka. Mereka mengerti dan menerimanya. Hidup sungguh simpel sampai Emma dan aku kembali bertemu. Setelah kali pertama aku tidur denga
“Apa yang kamu rasakan saat melihat Guntur?” tanya Mia. Seperti biasa, matanya begitu ajaib. Menatapku seolah dia bisa melihat sampai menembus jiwaku. Karena aku sudah kembali bekerja, kami harus memindahkan jadwal untuk menyesuaikan jadwal baruku. Kebanyakan sesiku sekarang dijadwalkan antara pukul empat tiga puluh dan enam sore. Aku sudah tahu jawabannya. Aku tidak perlu memikirkannya. Tapi, saat memikirkan hari itu, air mata langsung membanjiri mataku. “Menyayat hati,” lirihku. Aku merasa bahwa perasaanku dipaksa untuk ditarik keluar dari dalam diriku. Ditarik keluar dari sisi terdalam jiwaku. Aku mencoba untuk menahan isakan yang akan lepas, tapi percuma saja. Aku menangis begitu keras sampai aku kesulitan untuk bernafas. “Bagaimana bisa?” tanya Mia sambil mengulurkanku tisu. Aku menerima tisu itu dan menyeka air mata yang membanjiri wajahku. Tapi percuma saja, sebab air mata itu terus mengalir layaknya air terjun. Aku merasa marah pada air mata itu sebab mereka terus berjatu